Ini cermin yang bisa membuat wajah kita buruk.
PADA hari kedua belas, Surajan bangkit dari ranjang. Ia menuju ke halaman, balik lagi ke dalam rumah, kembali dengan setumpuk buku. Ditaburnya buku-buku itu di atas tanah serupa gabah. Sang ibu mengira anaknya sedang menjemur buku. Ada Das Kapital, karya-karya Lenin, Engels, Gorky, Dostoyevsy, Tolstoy, Sartre, Pavlov, Rabindranath, Nehru, dan banyak lagi.
Surajan berjongkok. Tangannya mulai menyobek halaman demi halaman dari buku-bukunya, lantas menyalakan api. Karya-karya keramat itu terbakar semuanya. Ia senang memandang jilatan api. Dalam matanya: itulah rumah orang-orang Hindu yang dibakar di negerinya.
Kita kembali ke pangkal:
Sore hari, 6 Desember 1992. Peristiwa mengerikan terjadi di bendungan Sungai Surya, kota Ayodya, India. Masjid Babri yang telah berusia 450 tahun, dihancurkan oleh gerombolan bernama kar sevak. Versi VHP (Vishwa Hindu Parishad), masjid itu merupakan tempat kelahiran Rama. Karena itu, lokasi masjid dianggap tempat keramat bagi agama Hindu. Polisi, pejabat pemerintah, tentara dan anggota partai politik yang ada di lokasi itu diam saja. Pukul 14.45, salah satu kubah masjid hancur. Dua jam kemudian kubah kedua dan ketiga menyusul. Menjelang senja semuanya sudah rata.
Berita itu menyebar dari India ke seluruh mata angin. Sampai di Bangladesh menjadi aksi balas dendam. Taslima Nasrin mencatat dalam novelnya: Lajja.
Tiga belas hari kehidupan keluarga Sudhamoy Dutta diceritakan dengan perih oleh Taslima dalam Lajja. Seperti keluarga Hindu yang lain, mereka hidup dalam ketakutan, kegetiran dan kengerian di tengah amukan kaum fundamentalis Islam. Ketika Masjid Babri dibakar di India, di Bangladesh kuil-kuil Hindu menjadi sasaran amukan. Orang Hindu dikejar-kejar, rumah mereka dijarah, kaum perempuan diculik dan diperkosa. Kejadian ini menimbulkan kegamangan bagi Sudhamoy—sang ayah—dan Surajan—sang anak laki-laki.
Sudhamoy memang beragama Hindu, tapi ia lebih senang menyebut dirinya seorang nasionalis. Ia terlibat perjuangan kemerdekaan Bangladesh melepaskan diri dari Pakistan. Baginya, negerinya merupakan tempat bagi semua orang Bengali. Mereka bisa saja beragama Islam, Hindu, Kristen maupun Budha. Sementara, Surajan, seorang aktivis kiri, juga berpandangan yang sama dengan sang ayah. Ia mengampanyekan Bangladesh yang satu. Tak terkotak-kotak oleh agama maupun kasta.
Tapi semuanya telah luruh.
Selama tiga belas hari, keluarga Sudhamoy berada di tengah pusaran kebutralan. Perbedaan agama telah menjadi musibah. Akibat ketakutan, orang-orang Hindu banyak yang melakukan eksodus ke India. Tak ada yang pernah tahu. Mengapa mereka harus menanggung ulah kaum fundamentalis Hindu yang telah menghancurkan Masjid Babri di India? Apakah karena kutukan para dewa akibat enggan pergi ke kuil? Bukankah yang melakukan penghancuran adalah orang-orang Hindu di India, bukan mereka yang berada di Bangladesh? Tak pernah ada yang bisa menjawab.
Keluarga Sudhamoy semakin terpencil. Sendiri. Sepi. Dan terkucil.
Kampung-kampung orang Hindu terus dihancurkan. Semuanya tinggal abu dan reruntuhan. Gadis-gadis kecil ditelanjangi. Perempuan muda diperkosa secara acak. Barang-barang berharga dirampok. Sepatu, baju, dan perabotan yang dianggap tak berguna dilempar ke jalanan, dibakar. Semua itu bisa menimpa mereka hanya karena beragama Hindu.
Puncak kegetiran keluarga Sudhamoy terjadi pada hari keenam. Pintu rumah mereka digedor-gedor. Setelah terbuka, tujuh orang pemuda merangsek masuk. Semuanya terjadi begitu cepat. Seluruh isi rumah diobrak-obrik. Setelah puas, mereka menarik Maya. Sang ibu berusaha menahan anak gadisnya, tapi pemuda-pemuda tersebut sudah beringas. Perempuan tua itu dihempaskan. Maya ditarik ke luar rumah. Gerombolan itu pergi secepat mereka datang. Sejak itu, Maya tak pernah kembali lagi. Taslima tak menceritakan apa yang terjadi pada Maya setelah penculikan itu. Ia mengajak kita untuk berpikir sendiri.
Seperti biasa, negara, seperti yang ditulis Taslima: ‘…polisi, petugas pemerintah, dan BNP berkeras bahwa semua kerusuhan itu adalah reaksi alamiah terhadap perusakan Masjid Babri. Penjarahan dan kerusuhan adalah akibat spontan.’
Ada dua kata: ‘alamiah’ dan ‘spontan.’
Bukankah ini yang sering kita dengar?
Tapi, Taslima cerdik. Ia mencari akar.
Sejak Pakistan berkuasa, diskriminasi itu sudah ada. Pakistan memang memelihara itu untuk adu domba: Islam diadu dengan Hindu. Apalagi ketika gerakan pembebasan nasional sedang bersemi di Bengali Timur. Awalnya, gerakan ini hanya menutut agar bahasa Bengali diakui sebagai bahasa nasional. Kemudian berkembang menjadi gerakan kemerdekaan. Pakistan berusaha mempertahankan wilayahnya. Sentimen agama menjadi senjata. Mereka berusaha menipu dengan berpropaganda: umat Islam di Punjab masih saudara dengan umat Islam di Bengali. Provokasli terus dilakukan. Orang-orang Hindu di Bengali Timur dikejar-kejar oleh tentara Pakistan dengan melibatkan kaum fundamentalis Islam. Tapi tak berhasil.
Orang-orang Bengali yang Islam dan Hindu menyadari: mereka bukan disatukan oleh agama. Yang menyatakuan adalah sejarah, bahasa, budaya dan ekonomi yang sama. Bagi mereka, sebelum menjadi Islam dan Hindu, mereka sudah menjadi Bengali. Pakistan tak bisa berkutik lagi. Bengali Timur merdeka pada 18 Desember 1971, dan mengubah nama menjadi Bangladesh.
Awalnya semua baik-baik. Sentimen agama bisa ditinggalkan. Bangladesh sejak mula dirancang sebagai negara demokratis. Sheikh Mujibur Rahman menjadi Perdana Menteri [PM] yang pertama. Liga Arwani—aliansi kekuatan demokratis dan kiri—memenangkan pemilu tahun 1973. Mujib kembali menjadi PM. Ia semakin condong ke kiri. Pada awal tahun 1975, Mujib menerapkan sosialis satu partai melalui BAKSAL. Tentara dan kaum fundamentalis gerah. Tepat 15 Agustus 1975, Mujib beserta sebagian besar anggota keluarganya dibunuh dalam kudeta militer. Sejak itu, wajah Bangladesh berubah sampai saat ini.
Setelah kudeta, tentara mendirikan Partai Nasionalis Bangladesh (PNB). Partai ini bersekutu dengan partai Islam garis keras: Jamaat-e-Islami Bangladesh dan Islami Oikya Jote. Pada tahun 1978 mereka berhasil mengamandemen Undang-Undang Dasar Banglandesh dari demokratis menjadi berlandaskan agama.
Untuk itulah Taslima menulis Lajja. Dalam edisi bahasa Inggris, Lajja diterjemahkan menjadi Shame: Malu. Taslima bisa saja terdorong oleh rasa malu sehingga menulis Lajja: malu pada negerinya sendiri; agama yang selalu mengaku sebagai pembawa perdamaian, ternyata lebih sering membawa petaka. Lantas, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga mengenal rasa malu itu—yang mampu menggerakkan perubahan besar? Apakah rasa malu kita hanya serupa kentut—setelah baunya hilang kemudian kita lupakan? Ataukah dunia modern telah membuat rasa malu kita hanya sepanjang 140 karakter yang muncul setiap kali ada kekerasan komunal?
Lajja bernada pedih namun keras. Ia telanjangi watak kekuasaan dan membongkar topeng kebohongannya. Tak heran, Islam garis keras di Bangladesh menuntut Taslima dihukum gantung. Pemerintah secara resmi menyatakan Taslima telah melakukan blaspemy [di Indonesia semacam penghinaan terhadap agama]. Tak pelak, ia dijuluki Salman Rusdhie Betina oleh musuh-musuhnya.
Dalam hal Lajja, sastra ternyata lebih ditakuti daripada gerakan kiri. Betulkah?***
Lereng Merapi, 18 September 2012