JIKA ini adalah panggung penerimaan Oscar, dan aku didaulat untuk maju ke depan (nggg, untuk menerima piala “menelantarkan blog hingga berdebu sampai tumbuh bulu-bulu”), aku akan tersenyum begitu lebar dan merayakan banyak hal, lalu mulai mengucapkan terimakasih tanpa menyebutkan nama-nama.
Sebagai gantinya, aku akan memandang mereka, si nama-nama yang tak kunamai ini, dan menaruhnya ke dalam bilik di hatiku atau sekedar menjadikannya asesoris di lemari pintu, yang bisa kubuang sewaktu-waktu, tapi menjadikanku belajar banyak dari situ.
Terima kasih kepada kamu. Ya, kamu. Yang sudah menyaksikan begitu banyak keterpurukan di sekitarmu dan masih bisa memilih untuk tak peduli dan melengos begitu saja pada hal-hal sensitif yang membunuh peri kemanusiaanmu. Yang lupa pada berjibunnya manusia tak berdaya. Dan yang merasa bahwa itu pun adalah bagian dari kemanusiawianmu.
Terima kasih kepada kamu. Ya kamu. Yang tak pernah lupa menyitir ayat-ayat, mengajak yang lain untuk beribadah dan meraih berkat. Yang mengurusi akhlak dan sikap dan tindak tanduk umat. Tapi tak sekalipun bergerak untuk mengurusi kebobrokan para pejabat. Biarlah korupsi berjalan seriangnya. Biarlah kemiskinan tetap kekal abadi. Biarlah kekerasan terhadap perempuan menjadi lestari. Biarlah militerisme dan cara-cara preman berjaya dalam urat nadi.
Terima kasih kepada kamu. Ya kamu. Yang tak memiliki keberpihakan apapun kecuali tempat teraman. Yang tak pernah meresikokan apapun kecuali jalan teraman. Dan dengan tenang kau akan terus berada di antara orang-orang. Orang-orang yang tak tahu kau itu ada untuk apa, kecuali rasa aman.
Terima kasih kepada kamu. Ya kamu. Yang untuk hidup esok hari pun, tak tahu dari mana kekuatannya. Tutup mata atas segala hal di dunia dan bergerak semaksimal mungkin dalam segala cara untuk menyelamatkan kehidupan diri sendiri dan barangkali juga keluarga. Di benakmu kautahan kutukan-kutukan pada penderitaan hidup. Di doamu kaupanjatkan harapan-harapan untuk tak jadi redup. Karena hidup sudah begitu tak tertahankan, dan merenungi diri sendiri pun bahkan sudah jadi sebentuk kemewahan.
Terima kasih kepada kamu. Ya kamu. Yang tak lelah mengobarkan semangat pada diri sendiri. Bahwa mimpi-mimpi, cita-cita dan ambisi pribadi akan teraih dalam kesempurnaan. Bahwa dari sini akan muncullah hidup yang bisa dikenang dan diingat. Dijadikan cerita untuk cucu dan cicit di masa tanpa tenggat.
Terima kasih kepada kamu. Ya kamu. Yang tak lelah mengobarkan semangat pada diri dan orang lain. Yang rela mengorbankan hidup untuk sesuatu yang kaupercayai. Yang meresikokan hidup dan mengalami kehilangan-kehilangan, lalu penemuan-penemuan, lalu penciptaan-penciptaan. Dan percaya bahwa dunia yang lebih baik bisa ada, bisa nyata.
Terima kasih pada kamu. Ya kamu. Yang mencintai hidup dalam kesejatiannya. Yang berdarah-darah melampaui semua rintangan dan mensyukuri kemenangan-kemenangan kecil maupun besar. Yang selalu bersyukur akan orang-orang yang memompa semangat-membangun-menjaga-melindungi-menghadirkan dirimu dalam kehidupan. Dan juga bersyukur akan orang-orang yang menjegal-meracau-mengebiri-meniadakanmu dalam hidup dan menganggap mereka sebagai episode yang membuatmu kaya, menjadikanmu manusia yang sempurna dalam warna.
Aku menemukan semua kamu dalam jalanku. Dan seperti kupu-kupu, aku siap terbang. Terima kasih padamu, sekali lagi, yang membekaliku dengan wawasan yang masih akan kurenungi hingga akhir tiba. Kini, aku siap mengepakkan sayapku, ke tempat yang penuh pengertian baru.
Sari Safitri Mohan, mantan wartawan, kini tinggal dan bekerja di New York, AS.
Artikel ini juga bisa dibaca di http://fitrimohan.blogspot.com