PADA TAHUN 1969, dunia akademik di Eropa Barat dan Amerika Serikat dikejutkan oleh terbitnya buku The State in Capitalist Society, karya ilmuwan politik Marxis asal Inggris, Ralph Miliband. Menurut Michael Newman, penulis biografi Miliband, pengaruh buku ini jauh melampaui lingkaran kaum Marxis dan merupakan buku yang paling berjasa dalam membawa kembali negara (bringing the state back) dalam perbendaharaan kajian ilmu politik dan sosiologi.
Melalui buku ini pula, Ralph Miliband hampir menduduki ranking teratas dalam daftar Asosiasi Ilmu Politik Amerika (American Political Science Association), sebagai ilmuwan politik yang paling banyak dikutip. Sebuah prestasi yang absen diraih oleh ilmuwan politik kiri sejak tahun 1920an. Sejak saat itu, Miliband mengukuhkan dirinya sebagai intelektual dengan reputasi internasional.
Tetapi, adalah sosiolog politik Nicos Poulantzas yang makin mengukuhkan pengaruh Miliband sebagai intelektual Marxis terkemuka. Pada edisi November-Desember 1969, jurnal kiri terkemuka New Left Review, yang berbasis di London, Inggris, memuat resensi Poulantzas atas buku Miliband tersebut. Dalam resensi berjudul The Problem of the Capitalist State, Poulantzas memberikan kredit besar pada buku Miliband, sebagai buku pertama – dengan pengecualian pada Antonio Gramsci – yang secara serius menteorikan negara dari sudut pandang Marxist. Namun, hal itu tidak menghalangi Poulantzas untuk mengritik Milband, karena baginya ‘hanya kritisismelah yang bisa memajukan teori Marxist.’
Review Poulantzas ini kemudian menjadi terkenal dengan sebutan ‘the Miliband-Poulantzas Debate.’ Inilah debat yang paling berpengaruh di dunia akademik Marxis, setelah debat antara ekonom Maurice Dobb dan Paul M. Sweezy tentang asal-usul kapitalisme, yang terkenal dengan sebutan ‘the Transition Debate.’ Dari debat yang berlangsung hampir satu dekade itu, tak terhitung karya-karya akademik dalam bentuk buku dan jurnal serta konferensi-konferensi ilmiah yang membahasnya. Tulisan ini sendiri tidak akan mengulas isi perdebatan yang telah melahirkan teori aliran “Negara instrumentalis’ vs aliran ‘Negara strukturalis,’ tersebut. Menyambut hari jadi Poulantzas yang ke-75 pada 21 September lalu, saya ingin memperkenalkan satu teori lain yang kontroversial dari tokoh kita kali ini: teori formasi sosial (social formation). Saya pilih teori ini, karena saya anggap cukup relevan untuk diperbincangkan oleh kalangan pergerakan di tanah air. Namun demikian, saya tidak akan memberikan telaah kritis terhadap dari teori ini, melainkan sekadar memaparkannya.
Sekilas Poulantzas
Nicos Poulantzas lahir pada 21 September 1936 di kota Athena, Yunani. Ia melakoni masa remajanya ketika negeri para dewa itu dipimpin oleh kediktatoran militer jenderal Ioannis Metaxas pada akhir 1930an, yang kemudian diikuti oleh munculnya rejim boneka fasis Nazi selama masa perang. Setelah Metaxas meninggal pada 1940, Polantzas harus menyaksikan Yunani yang diamuk perang saudara pada 1946-49, dan kemudian ketika Yunani dipimpin oleh rejim konservatif yang didukung Barat pada dekade 1950an. Pada masa ini, sebagai mahasiswa, Poulantzas bergabung ke dalam organisasi mahasiswa kiri Yunani, Greek Democratic Alliance (EDA), sebuah organisasi aliansi yang berada di bawah pengaruh Partai Komunis Yunani yang terlarang saat itu.
Pada tahun 1957, Poulantzas lulus sarjana hukum dari universitas Athens, dan kemudian harus ikut wajib militer. Lepas dari kewajiban ini, Poulantzas memutuskan untuk melanjutkan studi di bidang filsafat hukum di Munich, Jerman. Tetapi di Jerman ia tak bertahan lama, dan pada 1960 ia selanjutnya pindah ke Paris, Perancis, yang ketika itu merupakan tempat mukim mayoritas pelarian politik Yunani, seperti Kostas Axelos, Cornelius Castoriadis, dan intelektual sayap kiri lainnya.
Selama mukim di Paris inilah, Poulantzas selain menjelma menjadi teoritikus Marxis yang terkemuka juga kemudian aktif sebagai anggota Partai Komunis Yunani. Newman menggambarkan Poulantzas sebagai ‘intelektual yang tak perlu diragukan kecerdasannya, yang kepakarannya bahkan diakui oleh pengritiknya yang tidak bersimpati: profesional yang muram, seorang pemikir dengan logika yang sangat ketat dan konsisten… yang tampak ingin membaca semua yang pernah ditulis pada abad ini.’ Bob Jessop, ilmuwan politik Inggris yang dianggap sebagai suksesor Poulantzas menulis, ‘Poulantzas adalah satu-satunya pemikir teori politik dan negara yang paling berpengaruh pada masa pasca perang.’
Di Paris-lah Poulantzas menemukan bahwa garis politiknya sangat dinamis, bergerak dan bergeser dari satu tendensi ke tendensi lainnya. Pada saat-saat pertama kedatangannya, ia berkawan akrab dengan Jean Paul Sartre, Merleu-Ponty, Simone de Beauvoir dan mereka yang terasosiasi dengan jurnal Les Tempes Modernes yang dikelola Sartre. Menurut Poulantzas, karena kesulitannya untuk mengakses buku-buku klasik karya Marx dan Engels di Yunani, maka perkenalannya yang intensif dengan Marxisme sesungguhnya adalah melalui filsafat Prancis, khususnya melalui Sartre. Pada masa-masa ini, sebagai seorang sarjana filsafat hukum, Poulantzas mendedikasikan aktivitas intelelektualnya pada pengembangan gaya filsafat ‘humanistik’ yang dipengaruhi oleh Sartre, Lukacs, dan Lucien Goldman. Secara politik, pada dekade ini ia ada di garis politik Marxis-Leninis. Tetapi setelah demonstrasi mahasiswa Paris pada Mei 1968, garis politiknya bergeser ke Maoisme. Ketika pada 1968 Partai Komunis Yunani mengalami perpecahan internal di masa gelombang kudeta para kolonel, Poulantzas kemudian bergabung dengan Partai Komunis Yunani Interior yang anti Stalinis. Sejak tahun ini juga, Poulantzas mengajar di University of Paris VIII.
Dalam artikel reviewnya terhadap buku Miliband, Poulantzas telah meninggalkan tradisi humanisme Sartre dan berpaling pada strukturalisme Althusserian yang anti-humanis, yang digagas oleh Louis Althusser, seorang filsuf Marxis terkemuka dan anggota Partai Komunis Prancis. Dalam debat itu, strukturalisme Althusser menjadi pendekatan dan titik tolak Poulantzas. Dan tak lama berselang, Poulantzas memahatkan dirinya sebagai murid Althusser yang paling terkemuka. Bersama Etienne Balibar, Pierre Macherey, Jacques Rancière, dan Regis Debray, Poulantzas menjadi anggota inti dari strukturalisme Althusser. Teorinya tentang Formasi Sosial, juga sangat dipengaruhi oleh strukturalisme Althusserian ini.
Dalam masa dekade 1970an, Poulantzas mulai meninggalkan strukturalisme Althusser, yang ditandai oleh penerbitan bukunya State, Power, Socialism (1978), dan mulai tertarik pada pemikiran Michel Foucault yang anti-esensialis. Namun demikian, setelah beberapa waktu menggeluti Foucault, ia tiba pada kesimpulan bahwa kelemahan utama Foucault adalah mengabaikan analisa kelas dalam hubungannya dengan kekuasaan. Tidak hanya itu, pada masa ini ia juga mulai mengritik pendekatan Leninis ortodoks yang menganggap jalan parlementarian tidak akan sanggup untuk membawa politik sosialis pada kemenangan yang sesungguhnya. Dengan berkaca pada kasus Yunani yang dikuasai oleh kediktatoran militer, ia kemudian menganjurkan perlunya sebuah aliansi popular yang luas untuk melawan kediktatoran. Konsekuensi selanjutnya, Poulanzas kemudian mengidentikkan dirinya dengan strategi Eurocommunism yang ditempuh oleh Partai Komunis Italia dan Spanyol, yang menerima jalan parlementarian ketimbang strategi insureksi untuk menggapai kekuasaan.
Namun demikian, pergeseran posisi politik Poulantzas ini tidak menjadikan dirinya menolak premis-premis dasar Marxian. Ia tetap kukuh pada posisi ideologisnya semula, yang merupakan warisan dari gurunya Louis Althusser bahwa Marxisme harus dibersihkan kontaminasi pemikiran reformis dan revisionis. Sebuah posisi yang sangat kontroversial, karena keterkaitannya dengan Eurocommunism membuat dirinya punya andil besar bagi kemunculan aliran Post-Marxis yang kelak meradikalkan posisi politik Poulantzas ini.
Sedihnya, dunia pemikiran dan aktivitas politik Marxis harus berpisah lebih cepat dengan tokoh kita yang cerdas dan kontroversial ini. Pada 3 Oktober 1979, dalam usianya yang baru menginjak 47, Poulantzas memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Bertempat di apartemen kawannya di Paris, ia meloncat dari jendela yang ada di ketinggian untuk menjemput maut.
Tiga level perjuangan
Untuk bisa memahami teori Poulantzas tentang formasi sosial, terlebih dahulu kita mesti melihat basis teori yang mendasari konsepnya tentang formasi sosial itu.
Seperti gurunya Louis Althusser, Poulantas menolak dengan keras penafsiran reduksionis terhadap Marxisme, yang mengatakan bahwa basis ekonomi secara langsung dan total menentukan superstruktur politik, ideologi dan hukum. Bagi Poulantzas, corak produksi (mode of production) senantiasa meliputi tiga hal sekaligus: ekonomi, politik, dan ideologi.
Dalam bukunya Class in Contemporary Capitalism, Poulantzas mengatakan pengelompokkan agen-agen sosial pada prinsipnya, namun tidak secara eksklusif, mengambil lokasi pada proses produksi, yakni pada wilayah ekonomi. Domain ekonomi ini, dimana para agen sosial berada, menjadi penentu dari kelas-kelas sosial. Tapi buru-buru Poulantzas mengatakan, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa domain ekonomi ini telah mencukupi untuk menentukan kelas-kelas sosial. Baginya, Marxisme memang mengatakan bahwa ekonomi memainkan peran menentukan dalam corak produksi atau formasi sosial, tetapi ideologi dan politik (superstruktur) juga tidak kalah menentukannya. Di sini ia mencontohkan pandangan Marx, Engels, Lenin, dan Mao yang katanya tidak pernah membatasi diri mereka pada kriteria ekonomi semata dalam menganalisis kelas-kelas sosial, tapi malahan secara eksplisit memberikan rujukan pada kriteria politik dan ideologi.
Tetapi, berbeda dengan kalangan Marxis Hegelian, misalnya, yang melihat antara ketiga level ekonomi, politik, dan ideologi itu sebagai sebuah kesatuan, maka Poulantzas, seperti gurunya Althusser, mengatakan bahwa ideologi dan politik bersifat independen dari ekonomi. Ekonomi bukan hanya menentukan ideologi dan politik, tapi ideologi dan politik itu sendiri bisa menentukan basis ekonomi. Dari sini ia kemudian mengatakan bahwa kelas-kelas sosial tersebut mencakup kontradiksi kelas (class contradiction) dan perjuangan kelas (class struggle). Dan ini yang paling penting, ‘kelas-kelas sosial tidak pertama-tama eksis dengan sendirinya melainkan hanya ketika ia berbentuk perjuangan kelas.’ Atau dengan kata lain, ‘kelas-kelas hanya eksis dalam perjuangan kelas.’
Dan apa yang dimaksud dengan perjuangan kelas? Karena corak produksi mencakup tiga level ekonomi, politik, dan ideologi, maka perjuangan kelas dengan sendirinya mengambil bentuk perjuangan ekonomi, perjuangan politik, dan perjuangan ideologi. Karna perjuangan di tiga level ini sama pentingnya, dimana yang satu tidak dominan dan yang lain subordinat, maka Poulantzas menolak skema Hegelian yang membagi dua level kesadaran kelas, yakni kesadaran ekonomi (class-in-itself), yakni kesadaran buruh sebagai buruh dalam sebuah produksi, dan kesadaran politik-ideologi (class-for-itself), yakni kesadaran buruh sebagai sebuah kelas. Bagi Poulantzas, dalam sebuah perjuangan kelas antara kesadaran ekonomi dan kesadaran kelas itu pada akhirnya melebur, dan karena itu bukan kelas buruh itu sendiri yang menakutkan bagi borjuasi, melainkan perjuangan kelas yang dilnacarkan oleh buruh tersebut.
Namun, Poulantzas tidak segera berhenti di sini. Sebaliknya ia melangkah lebih jauh dengan penjelasan yang lebih detil tentang apa yang dimaksud kaum Marxis dengan istilah ekonomi. Menurutnya, ekonomi adalah sebuah ruang yang ditentukan oleh proses produksi, dan agen-agen yang menempatinya, dimana distribudinya dalam kelas-kelas sosial ditentukan oleh hubungan produksi. Di sini, kita temukan dua kata kunci: proses produksi (process of production) dan hubungan produksi (relations of production). Proses produksi senantiasa berkaitan dengan proses kerja, yakni merujuk pada hubungan manusia dengan alam dalam makna yang umum. Proses kerja ini senantiasa muncul dalam sebuah bentuk sosial yang ditentukan secara historis. Ia eksis dalam satu kesatuan dengan hubungan produksi tertentu. Sementara hubungan produksi dalam sebuah masyarakat berkelas, mencakup hubungan ganda: pertama hubungan antara agen-agen produksi dengan obyek dan ala-alat kerja (the productive forces); dan kedua, melalui hubungan ini muncul hubungan manusia dengan manusia, yakni hubungan kelas yang bersifat eksploitatif.
Menariknya, Poulantzas lantas mengatakan bahwa ‘proses produksi, di satu sisi dimaknai bukan oleh faktor-faktor teknologi, melainkan oleh hubungan di antara agen-agen dan alat-alat kerja, dan dengan demikian hubungan di antara agen-agen itu sendiri.’ Dengan kata lain, proses produksi itu merupakan kesatuan antara proses kerja, tenaga-tenaga produksi, dan hubungan produksi. Karena itu bagi Poulantzas, proses kerja, tenaga produktif, termasuk teknologi, tidak eksis dengan sendirinya pada dirinya sendiri melainkan senantiasa berkaitan erat dengan hubungan produksi.
Dari penjelasan ini, bagi Poulantzas, proses produksi pada esensinya merupakan kesatuan antara proses kerja dan hubungan produksi. Tetapi, menegaskan apa yang telah ia kemukakan sebelumnya, di dalam kesatuan ini, proses kerja, termasuk teknologi dan proses-proses teknikal, tidak memainkan peran yang dominan; justru sebaliknya, hubungan produksi-lah yang selalu mendominasi proses kerja dan tenaga-tenaga produktif yang menentukan pola dan kehadiran mereka. Dari proposisi ini, Poulantzas lalu mengatakan ‘peran dominan dari hubungan produksi atas tenaga produktif dan proses kerja inilah yang selanjutnya menyebabkan hubungan ideologi dan politik memainkan peranannya dalam menentukan struktur kelas-kelas sosial.’ Lebih tegas lagi dikatakannya, ‘proses produksi dan eksploitasi pada saat yang sama adalah proses reproduksi dari dominasi dan subordinasi hubungan politik dan ideologi.’ Dari kesimpulan ini, kita lihat bahwa posisi Poulantzas bergerak lebih radikal dari gurunya Althusser, yang hanya menyatakan bahwa ruang politik dan ideologi adalah independen dari ruang ekonomi, dimana eknonomi hanya menjadi ‘penentu akhirnya.’
Formasi sosial dan konsekuensinya
Dalam beberapa kesempatan, saya sering mendengar beberapa kawan mengatakan bahwa pendekatan kelas yang kaku, yakni buruh vs kapitalis, tidak cocok diterapkan di Indonesia. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia adalah petani yang menggantungkan hidupnya pada sepetak dua petak tanah. Di daerah perkotaan, bahkan bukan kelas buruh yang mayoritas, melainkan kaum miskin perkotaan (KMK). Ini belum ditambah dengan masih adanya kelompok masyarakat yang hidup secara komunal (baca: masyarakat adat), yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan mekanisme pasar dan pembagian kerja yang formal.
Secara empiris argumen ini kelihatan meyakinkan. Tetapi Marxisme bukanlah empirisisme, sehingga itu perlu ada pendasaran teoritis dari argumentasi ini. Dan justru itu yang belum ada, sehing berakibat perdebatan yang muncul bukan sebuah perdebatan teoritis melainkan lebih bersifat politik.
Sesungguhnya argumen seperti itu telah dikemukakan jauh sebelumnya oleh Poulantzas. Setelah menjelaskan tentang kelas-kelas sosial dan perjuangan kelas, dimana kelas-kelas sosial ini hanya eksis dalam perjuangan kelas, maka Poulantzas kemudian mengajukan distingsi antara corak produksi (mode of production) dan formasi sosial (social formation).
Menurut Poulantzas, corak produksi adalah obyek yang formal dan abstrak, walaupun dalam konsepnya di dalam corak produksi ini sudah terkandung hubungan produksi, hubungan politik, dan hubungan ideologi. Seperti kalangan Marxis lainnya, yang dimaksud Poulantzas dengan corak produksi itu adalah corak produksi perbudakan, feodal, dan kapitalisme. Dalam hubungannya dengan kelas-kelas sosial, maka dalam setiap corak produksi senantiasa eksis dua kelas yang saling berkontradiksi, yakni kelas yang mengeksploitasi, yang dominan secara politik dan ideologi, serta kelas yang dieksploitasi baik secara politik dan juga ideologi. Pada corak produksi perbudakan dua kelas dominan itu adalah pemilik budak dan budak; tuan tanah dan petani hamba pada corak produksi feodal, serta proletariat dan borjuasi dalam corak produksi kapitalisme.
Tetapi, seperti penjelasannya soal kelas-kelas dan perjuangan kelas, Poulantzas mengatakan bahwa corak produksi ini hanya eksis dan bisa mereproduksi dirinya dalam formasi sosial yang terikat pada situasi sejarah tertentu, misalnya formasi sosial Jerman, Inggris, Indonesia, dan momen-momen sejarah tertentu. Karena bersifat historis, maka formasi sosial ini selalu unik, karena ia merupakan obyek riil yang tunggal dan konkret.
Selanjutnya Poulantzas mengatakan, formasi sosial ini terdiri atas berbagai corak , dan juga bentuk-bentuk produksi, dalam artikulasinya yang khusus. Ia memberi contoh, masyarakat kapitalis Eropa pada awal abad ke-20 terdiri atas (i) elemen-elemen dari corak produksi feodal, (ii) bentuk sederhana dari produksi komoditi dan manufaktur (bentuk transisi dari feodalisme ke kapitalisme) dan (iii) corak produksi kapitalisme dalam bentuk yang kompetitif maupun monopolistik. Artinya, masyarakat Eropa saat itu adalah masyarakat kapitalis, karena corak produksi yang dominan adalah corak produksi kapitalis. Karena corak produksi kapitalis ini eksis dalam formasi sosial tertentu (Eropa pada awal abad ke-20), yang terdiri dari beragam corak dan bentuk-bentuk produksi, maka tampak bahwa ada lebih dari dua kelas yang eksis dan karenanya kita tidak bisa mengatakan bahwa hanya ada dua kelas yang dominan, walaupun kelas fundamentalnya adalah proletariat dan borjuasi.
Namun demikian, Poulantzas menegaskan bahwa formasi sosial ini bukanlah konkretisasi sederhana atau perluasan dari corak dan bentuk-bentuk produksi yang eksis dalam wujudnya yang ‘murni.’ Tidak juga formasi sosial merupakan hasil dari corak produksi yang ‘ditumpuk bersama’ dalam ruang. Dan seperti yang sudah dikatakan di atas, justru menurut Poulantzas, formasi sosial dimana perjuangan kelas berlangsung adalah tempat yang aktual bagi eksistensi dan reproduksi bentuk-bentuk dan corak produksi. Kalau kita hubungkan dengan perjuangan kelas, maka perjuangan kelas dalam formasi sosial inilah yang merupakan motor penggerak sejarah. Dengan kata lain, bagi Poulantzas, bukan kelas-kelas yang melekat dalam corak produksi itu sendiri yang menjadi motor penggerak sejarah, melainkan perjuangan kelas-kelas yang eksis dalam formasi sosial tertentu.
Apa konsekuensi ideologis dan politik dari teori formasi sosial ini? Pertama, karena corak produksi hanya eksis dalam sebuah formasi sosial tertentu, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa hanya ada dua kelas yang eksis dan kelas yang lain semakin melenyap. Di sinilah argumentasi kawan tadi memperoleh pendasaran teoritiknya. Dalam kasus Indonesia sebagai masyarakat kapitalis terbelakang, kita tidak bisa mengklaim bahwa hanya kelas proletariat dan kapitalis yang dominan, dimana bentrokan kepentingan kedua kelas ini yang akan menggerakkan sejarah Sebaliknya, kita mesti melihat bahwa ada polarisasi dan fraksionalisasi kelas-kelas di seputaran kedua kelas fundamental tersebut. Polarisasi kelas itu, misalnya, kelas non-industrial urban proletariat (kaum miskin kota), petani, dan juga masyarakat adat yang memiliki kepentingan yang beragam. Sementara fraksionalisasi kelas, misalnya, antara fraksi borjuasi dagang vs borjuasi industrial atau vs borjuasi keuangan; sedangkan fraksionalisasi di kalangan kelas proletariat, misalnya antara buruh manual vs buruh intelektual, atau kemunculan apa yang disebut Lenin sebagai buruh bangsawan (labor aristocracy).
Poulantzas sadar bahwa teorisasinya ini sangat kontroversial dari sudut pandang Marxis ortodoks, karena itu ia kembali pulang pada teorinya bahwa domain politik dan ideologilah yang mereproduksi proses produksi dan eksploitasi. Dengan senjata ini, ia kemudian mengatakan bahwa sebaiknya kita menempatkan kelas-kelas itu dalam kategori ideologi dan politik, yakni kelas yang mengeksplotasi dan kelas yang dieksploitasi. Kelas yang mengeksploitasi ini terdiri atas borjuasi dan fraksi-fraksi di dalamnya, dimana dalam rangka mengekalkan kekuasaannya mereka kemudian membentuk ‘power bloc/blok kekuasaan.’ Sementara kelas yang diesklpoitasi, yakni proletariat dan kelas lainnya, dalam rangka melawan kelas yang mengeksploitasi, mau tidak mau mesti membentuk ‘people alliance/aliansi rakyat.’ Inilah konsekuensi kedua dari teori formasi sosial ini.
Penutup
Dari teori formasi sosial ini, kita belajar bahwa sebuah proyek politik tertentu senantiasa harus didasarkan pada refleksi teoritik tertentu pula. Pada Poulantzas kita bercermin, apakah proyek aliansi atau pembangunan front yang selama ini telah dilakukan, benar-benar didasari pada pembacaan yang serius atas kondisi ekonomi-politik yang ada? Ataukah pembentukan aliansi dan front itu hanya sekadar kebutuhan taktis politik yang temporer dan parsial?
Selain itu, walaupun bertujuan ‘merayakan keragaman,’ Poulantzas tetap mendasarkan teori dan praktek politiknya pada garis Marxis, dalam hal ini pendekatan kelas. Ini yang membedakannya dengan, katakanlah kalangan Post-Marxis, yang juga menyerukan ‘perayaan keragaman’’ sambil berlari meninggalkan pendekatan kelas Marxian. Itulah sebabnya, pada Poulantzas yang disebut keragaman itu adalah ‘polarisasi dan fraksionalisasi kelas’ dan bukan ‘identitas politik’ seperti yang dikampanyekan oleh kaum posmodernis, cultural studies, dan post-Marxis.***
Coen Husain Pontoh, mahasiswa ilmu politik di City University of New York (CUNY)
Kepustakaan:
James Martin, ‘The Poulantzas Reader Marxism, Law, and the State,’ Verso, 2008.
Louis Althusser, ‘For Marx,’ Verso, 2005.
Michael Newman, ‘Ralph Miliband And The Politics Of The New Left,’ The Merlin Press, 2010.
Nicos Poulantzas, ‘Classes in Contemporary Capitalism,’ NLB, 1975.