GOENAWAN MOHAMAD, dalam jawabannya atas kritik saya, tidak hanya mengelak dari mempersoalkan inti kritik saya, tetapi juga tak henti-hentinya mempertontonkan kontradiksi-dirinya. Saya akan mulai dari pokok kedua. Goenawan menulis:
‘Dari tulisannya saya dapat kesan, bagi Martin, kritik kepada Marx, atau kepada para penafsirnya yang resmi, harus dianggap anti-Marxis. Padahal banyak suara yang memakai bendera Marxis yang tak bebas dari kritik. Kritik itu tak berarti ‘anti-Marxis’: kita tak bisa mencap, misalnya, Trostky (kecuali bila kita Stalinis) sebagai ‘anti-Marxis’ bila ia melawan Stalinisme yang totaliter yang telah menghukum mati praktis seluruh anggota Politbiro Partai dari masa Lenin. Martin (yang tak saya ketahui sikapnya terhadap Stalinisme) menganggap saya bukan Marxis atau Marxis gadungan atau musuh Marxis diam-diam. Saya selalu geli bila diberi label. Saya terbiasa menulis sastra, bukan pemikir sistematik – dan sebab itu terbiasa untuk tidak bolak-balik dalam satu sistem pemikiran, apalagi siap ditentukan oleh satu ‘isme.’ Terjebak sendiri dalam satu label itu lucu.’
Di sini Goenawan menjalankan strategi ganda yang sejatinya kontradiktif: di satu sisi, ia menolak untuk dilabeli/dikategorikan, di sisi lain, ia mengancam akan menghadiahi saya label ‘Stalinis.’ Ia menolak pengkotak-kotakkan sembari mengkotaki terlebih dahulu ranah perdebatannya dengan label ‘Stalinis’ dan ‘non-Stalinis.’ Lalu kita bisa bertanya apa fungsi label ‘Stalinis’-‘non-Stalinis’ di sini, kalau bukannya homolog atau sebangun dengan label ‘halal’-‘haram’? Di sini Goenawan mempertontonkan kontradiksi-dirinya: sebagai liberal dan konservatif sekaligus. Sejak perdebatannya yang pertama dengan saya dan kawan-kawan setahun yang lalu, ia tak henti-hentinya memobilisasi rasa takut melalui label ‘bahaya laten Stalinisme.’ Persoalannya: ia sendiri tak pernah jelas mendefinisikan label ‘Stalinis’ yang kerap dirapalnya itu. Maka itu Goenawan akan saya bantu untuk merumuskannya dari tulisannya sendiri.
Apabila predikat ‘Stalinis’ saya rumuskan ulang berdasarkan kriteria pembacaan Goenawan sendiri, maka predikat itu dapat didefinisikan sebagai ‘sifat/tendensi Marxis yang anti-kritik.’ Apakah yang dimaksud dengan ‘anti-kritik’ itu? Lalu juga pertanyaan dasarnya: Apa itu ‘kritik?’ Di sinilah substansi kritik saya atas Goenawan—mempersoalkan pengertian dasar ‘kritik’ dalam hubungannya dengan ‘emansipasi’—yang justru dihindari oleh Goenawan dalam tanggapannya. Akibatnya, pengertian ‘kritik’ dan ‘anti-kritik’ tetap spekulatif dalam tulisan Goenawan. Apakah yang dimaksud ‘anti-kritik’ ini adalah penolakan argumentatif atas suatu posisi pembacaan tertentu? Tidak jelas. Yang muncul kemudian adalah kesan bahwa Goenawan bermaksud melawan segala bentuk argumen yang berusaha ketat dalam prinsip-prinsip dialektika materialis, dengan cara melabelinya ‘anti-kritik,’ dan karenanya ‘Stalinis.’ Kalau itu definisi terdasar dari ‘Stalinisme’ yang dimaui Goenawan—yakni keyakinan teoretik pada materialisme dialektis dan keberanian teoretik untuk mengkaji persoalan dari perspektif materialisme dialektis—maka Goenawan telah membuat kontradiksi tak hanya terhadap dirinya saja, melainkan dengan semua yang disebut Marxis, mulai dari Trotskyis seperti Bertell Ollman (Dance of the Dialectic, hlm. 15-19) sampai Maois seperti Louis Althusser (For Marx, hlm. 161-218). Kalau begitu maka semua Marxis menjadi ‘Stalinis’ dan karena ‘Stalinis’ dianggap mesti dikesampingkan, maka semua Marxis mesti dikesampingkan. Dengan rapalan ‘bahaya laten Stalinisme,’ Goenawan meng-Orde-Baru-kan kembali Marxisme secara keseluruhan. Dengan demikian, ia justru menggenapi diagnosis dalam kritik saya, yakni bahwa ‘esensi dari Marxisme, menurut Goenawan Mohamad, adalah pembubaran Marxisme.’ Sampai di sini saya sulit mengerti bagaimana orang yang mau membubarkan atau melikuidasi Marxisme bisa tak mau disebut anti-Marxis.
Persoalan yang lain adalah keenganannya untuk dilabeli. Goenawan kembali merancukan pokok permasalahannya. Mana yang bermasalah—labelnya atau argumentasi yang bergerak ke arah label itu? Seperti juga mana yang bermasalah—banderol harga di supermarket atau relasi sosial produksi tertentu yang menjadi syarat adanya banderol harga itu? Goenawan, yang selalu berhenti dalam kesan-kesan penampakkan, mengritik segala bentuk pelabelan. Kritiknya, karena itu, menjadi spekulatif: kritik atas frase, atas suasana, atas aura dan kesan-kesan. Dan seperti dalam bahasa editorial Jurnal PROBLEM FILSAFAT edisi 10: kritik jadi tak terbedakan dari ‘kritisisme atas cuaca,’ sementara kita tahu, ‘kritik atas hari yang mendung pada akhirnya adalah penerimaan atas hari yang mendung.’ Padahal intinya bukan pada label itu sendiri, melainkan pada argumentasi yang menopang label tersebut. Menolak segala bentuk label berarti menolak berpikir sebab berpikir berarti memilah-milah ke dalam kumpulan pengertian atau definisi. Berpikir, karenanya, adalah mengambil posisi. Posisi teoretik itulah yang diringkaskan dalam suatu label. Jadi yang bermasalah bukan label itu sendiri tetapi ada/tidaknya definisi yang jelas tentang label itu.
Goenawan yang menolak segala label, dengan sendirinya menolak untuk mengambil posisi teoretik. Ia memilih untuk melompat-lompat dari satu posisi ke posisi yang lain tanpa menguji terlebih dahulu kompatibilitas antar posisi tersebut. Ia lompat dari afirmasi atas ‘humanisme universal’ menuju afirmasi atas keuniversalan ‘masyarakat tanpa kelas’ tanpa menjelaskan bagaimana analisis Marx tentang proses ke arah ‘masyarakat tanpa kelas’—lewat kediktatoran proletariat, misalnya—bisa cocok dengan posisi ‘humanisme universal’ yang didengungkan oleh penandatangan Manifes. Kalau ternyata keduanya sama, lantas soalnya mengapa para demagog ‘humanisme universal’ tahun 60-an tidak bergabung saja dengan PKI? Artinya, ada inkompatibilitas yang tak diceritakan di sini demi memuluskan lompatan spekulatif Goenawan. Saya ambil contoh lompatan yang lain. Ia melompat dari analisis Milovan Djilas dalam Kelas Baru ke analisis Mao Tse-Tung yang mengemuka dalam Revolusi Kebudayaan, untuk kemudian melompat lagi ke analisis Trotsky atas Soviet di masa Stalin. Goenawan mengelak untuk membedakan terlebih dahulu posisi Djilas dari posisi Mao-Trotsky. Djilas memandang adanya kelas baru dalam Uni Soviet, sementara Trotsky masih berbicara tentang Soviet sebagai “negara pekerja” walaupun mengalami ‘deformasi’ (tentang pembedaan kedua posisi ini, lih. misalnya Tom Bottomore ed., Dictionary of Marxist Thought hlm. 523 dalam entri tentang the state) dan Mao masih mengakui Uni Soviet di zaman Stalin sebagai negeri sosialis (bdk. misalnya editorial koran Renmin Ribao dan Honqi pada 6 September 1963 dalam C.C. CPC, Polemic on the General Line of the International Communist Movement, hlm. 59-61). Artinya, Goenawan melompat dari posisi analisis anti-Marxis Djilas (yang eks-komunis), ke posisi analisis Marxis Trotsky dan Mao tanpa menunjukkan terlebih dahulu perbedaan spesifik antara keduanya.
Lalu apakah karena saya berdebat secara ketat dengan kategori-kategori yang saya definisikan sejelas mungkin maka saya disebut anti-tafsir? Saya bahkan tak mendapat penjelasan dari Goenawan tentang apa yang dimaksudnya ‘anti-tafsir’ itu. Yang jelas saya anti terhadap tafsir yang tak punya metode yang jelas. Saya hargai tafsiran kreatif yang dibuat para Marxis Prancis kontemporer, seperti misalnya Alain Badiou, yang membaca Marxisme lewat argumentasi matematis—saya bahkan menulis satu buku tentangnya. Saya tidak tahu di mana mesti meletakkan penghargaan pada gaya tafsir yang tak berangkat dari metode Marxis, tetapi sekaligus menolak disebut ‘bukan Marxis.’ Marxisme macam apa yang tidak berangkat dari metode Marxis? Tak ada lagi selain ‘Marxisme’ sebagai wisata kuliner, alias comot sana-comot sini.
Dalam kerangka ‘wisata kuliner Marxisme’ inilah Goenawan tiba-tiba mencomot kutipan dari Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte bahwa ‘manusia membuat sejarah, tapi dalam kondisi yang tak dipilihnya sendiri’ sebagai justifikasi bagi tafsiran tentang Marxisme sebagai filsafat kedhaifan atau keterhinggaan. Sungguhkah materialisme historis dapat ditafsirkan sebagai filsafat kedhaifan? Dalam tulisan kritik saya, saya sudah mendefinisikan filosofi kedhaifan sebagai pandangan bahwa ‘manusia mesti dilihat pertama-tama sebagai makhluk yang terbatas sehingga lebih baik mengupayakan suatu konstruksi politik yang cocok dengan asumsi antropologi filosofis tentang keterhinggaan itu.’ Konstruksi politik itu tak lain adalah tatanan demokrasi borjuis di mana tegangan di antara kepentingan-kepentingan parsial didamaikan lewat mediasi parlementer. Inilah yang justru dikritik secara teoretik oleh Marx dalam Eighteeenth Brumaire dan disudahi secara historis lewat Komune Paris yang diterangkan Marx dalam Civil War in France. Dalam Komune, tak ada lagi mediasi parlementer sebab separasi kuasa antara eksekutif dan legislatif telah dilebur ke dalam dewan rakyat yang berfungsi sebagai eksekutif dan legislatif sekaligus, yang anggotanya dipilih oleh rakyat di masing-masing distrik dan dapat ditarik kembali kapan saja oleh rakyat (lih. Marx dan Engels, Selected Works Vol 1, hlm. 519). Di situ asumsi kedhaifan seperti yang didefinisikan di muka tak berlaku lagi sebab kedhaifan dalam definisi di muka hanya dimungkinkan dalam kerangka demokrasi borjuis di mana semua proletariat diharuskan untuk merelatifkan posisinya di hadapan para penghisapnya. Apakah Marxisme menolak anggapan bahwa manusia itu makhluk yang terbatas. Tentu tidak. Yang jadi soal bagi Marxisme adalah ketika asumsi keterbatasan itu diberi peran penjelas untuk menerangkan tatanan yang semestinya ada, sebab tatanan itu tak lain dan tidak bukan adalah demokrasi liberal.
Paranoid terhadap label tapi sekaligus bermain label diam-diam tanpa klarifikasi, melompat-lompat sambil menghindari posisi teoretik yang dapat dipertanggung-jawabkan, merayakan ‘1000 tafsir’ dan ‘0 metode’—dari semua observasi saya ini, rasanya saya sulit mengambil kesimpulan lain selain bahwa berdebat dengan Goenawan seperti berdebat dengan orang mabuk. Selama ia berdiam dalam label spekulatif seperti ‘Stalinisme,’ dalam ketakutan spekulatif tentang segala label, dalam lompatan spekulatif atas segala posisi teoretik dan konsekuensi politiknya, dalam penafsiran spekulatif yang tanpa metode, maka setiap ungkapannya sejatinya hanyalah gumam dan desas-desus. Mulanya, dalam kritik saya, saya berasumsi bahwa Goenawan memiliki benang merah teoretik yang membuat pendekatannya tidak sekedar eklektik dan karenanya tak bisa sekedar dikesampingkan secara retorik melainkan mesti dikritik secara teoretik. Namun setelah jawaban-jawabannya kini saya mulai meragukan asumsi saya yang rupanya terlalu tinggi itu. Ia sama sekali tak punya metode, tak mau mengambil posisi teoretik yang ketat dan konsisten. Argumentasinya habis dimakan oleh paranoianya terhadap Marxisme dan segala label—argumentasinya adalah rasa takut itu sendiri. Goenawan Mohamad ternyata cuma desas-desus.***
Martin Suryajaya, Pegiat di Forum Komunitas Marx, Jakarta