Let’s Jazz Together?
SOAL bagaimana menciptakan orkestrasi yang asyik di tengah kemandegan dan fragmentasi gerakan sosial, kok saya beberapa waktu lalu dapat inspirasi dari musik jazz.
Berbeda dengan musik klasik, ada dirigen, partitur, pemain musik yang tertib di tempatnya masing-masing, serta segudang pekem-pakem musik klasik, di dalam musik jazz, kebebasan, kreatifitas, keliaran, serta kejutan merupakan nafas dan jiwa musiknya. Ada saxophone, flute, drum, perkusi, bass gitar, dan piano yang masing-masing berdaulat penuh.
Di satu sisi ada keliaran tapi, segala keliaran itu tetap menghasilkan harmoni yang asyik. Kebebasan dan keliaran tiap musisi, patuh pada satu kesepakatan: saling menghargai kebebasan dan keliaran masing-masing musisi, sekaligus menemukan harmoni dan mencapai tujuannya yakni, kepuasan diri musisinya dan kepuasan pendengarnya.
Jadi, selain kebebasan juga ada semangat saling memberi ruang dan kebebasan, saling memberi kesempatan tiap musisi mengembangkan keliarannya (improvisasi), guna merengkuh penampilan terbaik. Keinginan masing-masing musisi adalah saling mendukung, berdialog, dan bercumbu. Bukan saling mendominasi, memarginalisasikan dan mengabaikan.
Seringkali saat bermusik ada momen-momen ketika seorang musisi diberikan kesempatan tampil ke depan untuk menampilkan atraksi sehebat-hebatnya, sedangkan musisi lain agak menurunkan tensi permainannya. Misalnya, Agustiana Petani pada drum, bak buk bak buk cess setak setak duk duk duk; Emil Kleden Masyarakat Adat pada bass betot, dum dum dum dum dem dem dum; Sastro Buruh pada saxophone, tetet toet-toet; Alien Perempuan pada guitar creng creng tiiiiiungggggggg; Wardah Miskin Kota pada flute tuit tuit seruling bambu; dan Chalid Hijau pada tambur.
tung-tung tung sarimin pergi ke pasar
tung-tung tung bapak dan ibu tani pergi ke pasar,
tung-tung tung kaum buruh pergi ke pasar.
tung-tung-tung feminis pergi ke pasar
tung-tung-tung masyarakat adat pergi ke pasar
Tapi, anda tentunya tahu gitar tetap gitar, tambur tetap tambur, piano tetap piano. Namun demikian dialog antar musisi dilakukan juga dengan cara musisi piano memainkan cengkok saxophone, musisi perkusi memainkan cengkok bass betot. OHOOOOOOOOO guyub dan elok nian.
Lepas dari jiwa musik jazz yang saya sampaikan sebelumnya, tetap saja ada juga yang ‘memimpin.’ Pusat gagasan dan inspirasi tentunya, dengan kerelaan memberi tempat kepemimpinan dari semua musisi. Bisa dalam bentuk beberapa person/lembaga maupun kolektifitas. Misalnya, dalam grup Chahakan, bahwa vocalisnya Chahakan adalah inspirator utama grup ini. Apa yang menarik dari vokalis Chahakan ini, adalah dia yang menjadi
inspirator, penulis lagu dan partitur dasar musiknya, selain itu improvisasi, keliaran dan kekuatan vokalnya menebarkan energi , menyetrum dan meledakkan potensi musisi pendukungnya.
Tapi, model kepemimpinannya bukan seperti dirigen dalam musik klasik yang menjaga kepatuhan dan disiplin tanpa reserve tetapi, lebih menjadi penjaga semangat (nilai-nilai, atau bahkan cita-cita kolektif), memberi ruang bagi setiap musisi untuk pengayaan gagasan dan proses yang dinamis. Baik ketika mematerialkan gagasan maupun ketika berproses di panggung atau di studio rekaman. Tidak memaksakan pola yang baku dan beku, tetapi sangat dinamis dan fleksibel. Setiap penampilan mereka di panggung adalah penemuan cengkok-cengkok baru, nyaris sebenarnya setiap performance selalu baru. Tidak ada penampilan yang persis sama.
Tetapi tetap mereka dipandu tujuan yang sama, memuaskan kebutuhan masing-masing musisi dan pendengarnya, menggerakan dan mengubah pendengarnya (masyarakat luas).
Yang menarik juga dari jazz, adalah sifatnya yang terbuka, open mind, open heart. Waljinah, master penyanyi keroncong dengan lagu walang kekek-nya, atau lagu bengawan solo-nya Gesang, atau darah juang lagu perlawanan itu, Ravi Shankar dengan sitar, rebab dan spirit Indianya, atau bahkan internasionale dan maju tak gentar, atau imagine-nya John Lennon, atau reportoar klasik Bach, bahkan dangdut pun, dan lagu-lagu spiritual bisa diakomodir oleh musisi jazz dan jadi jazzy.
Itulah karakter kepemimpinan yang asyik, kepemimpinan yang berkarakter kepemimpinan spiritual, menjaga dan menyalakan spirit/semangat/ nilai-nilai/ garis perjuangan, menyeimbangkan dan mencapai harmoni musik. Selain itu kepemimpinan ini harus bisa fleksibel dalam pengayaan pilihan-pilihan pendekatan, bisa menawarkan nuansa keroncong, dangdut, gending, samba, regge, rock, gambus, pop, klasik dalam bermusik jazz. Atau memberi peluang atau kesempatan satu musisi atau alat musik leading, maju ke depan dan yang lainnya memperkaya di latar belakang.
Lepas dari itu, bukan berarti saya lebih mencintai jazz, dibanding klasik, new age atau dangdut. Ini lebih kepada menemukan analogi dan metafora. Marilah kita gunakan analogi, metafora untuk bercermin, berefleksi, jangan pake pendekatan baku melulu dan itu-itu juga. Karena, seringkali sampai berbusa-busapun agak sulit kalo pake pasal-pasal teori thok untuk menyentuh dan mengubah. Karena dengan gaya-gaya konvensional, kadang sulit mendorong perubahan.
So let’s dance together.***
Andreas Iswinarto, Sekjend Sarekat Hijau Indonesia