Ilustrasi: BAKUMSU
SELAMA puluhan tahun, konflik agraria di kawasan Danau Toba, khususnya yang melibatkan masyarakat adat dan PT Toba Pulp Lestari (TPL), didominasi oleh dua narasi politik utama: advokasi kepatuhan lingkungan perusahaan dan perjuangan simbolik melalui tuntutan pengakuan hak atas tanah. Advokasi yang dijalankan masyarakat sekitar pabrik dan perkebunan bersama lembaga swadaya masyarakat umumnya menempatkan identitas adat sebagai basis perlawanan, dengan menuntut hak-hak teritorial berdasarkan silsilah genealogis dan pengakuan kultural.
Perlawanan awal terhadap perusahaan perkebunan eukaliptus yang pada 1990-an masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) memang berakar kuat pada isu lingkungan, seperti pencemaran Sungai Asahan dan polusi udara pabrik bubur kertas, serta klaim hak ulayat. Tekanan politik yang dibangun atas nama hak asasi manusia, terutama hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, berhasil memaksa pencabutan izin IIU pada 1999.
Namun, struktur agraria dan politik pembangunan pasca-1998 bergerak jauh lebih cepat daripada arah strategi gerakan. Pada 2002, perusahaan kembali beroperasi dengan nama TPL, membawa konsesi seluas sekitar 167.000 hektare dan dilindungi penuh oleh rezim legal kehutanan. Sementara itu, strategi perlawanan sebagian besar stagnan pada dua agenda lama: pengakuan identitas adat dan perbaikan tata kelola lingkungan. Kedua agenda ini tidak cukup untuk menjelaskan pecahnya solidaritas internal komunitas, perubahan relasi produksi, diferensiasi kelas, serta munculnya praktik koersi baru yang jauh lebih sistemik.
Di bawah tekanan kapitalisme ekstraktif yang tidak hanya merampas tanah tetapi juga mereorganisasi produksi, komunitas adat tidak lagi tampil sebagai satu kesatuan yang solid. Mereka terbelah oleh kepentingan kelas, serta dipecah melalui kombinasi penghukuman terhadap pihak yang resisten dan pemberian imbalan kepada mereka yang bersedia mendukung perusahaan. Sebagian menjadi petani kapitalis yang bermitra, sebagian terserap sebagai buruh harian lepas TPL, sementara sebagian lain bertahan dalam posisi resistensi yang semakin rentan. Kondisi ini menuntut kerangka analisis yang melampaui bahasa hak dan pengakuan. Tulisan ini tidak hanya berbicara tentang hak yang diakui atau dirampas, tetapi tentang bagaimana logika kapital dan struktur hukum berinteraksi membentuk posisi sosial baru di pedesaan Tano Batak: Subjek Kriminal.
Subjek Kriminal sebagai Produk Kapitalisme Agraria
Secara formal, Subjek Kriminal di Tano Batak adalah status legal yang dilekatkan pada penduduk yang mendapati diri dan tanahnya tumpang tindih dengan kawasan hutan negara dan atau konsesi perkebunan. Dalam kerangka hukum positif, mereka diposisikan sebagai pelanggar karena mempertahankan dan mengolah tanah yang oleh negara dan korporasi diklaim sebagai kawasan hutan dengan fungsi dan hak tertentu. Kondisi inilah yang lazim disebut sebagai kriminalisasi.
Dalam pemahaman umum, kriminalisasi kerap dimaknai sebagai upaya pemidanaan terhadap seseorang yang memenuhi unsur perbuatan pidana, lalu digunakan oleh perusahaan, dengan sokongan aparatus represif negara, untuk membungkam kritik dan perlawanan terhadap pembangunan. Namun, memahami kriminalisasi semata sebagai manipulasi hukum akan mereduksi persoalan. Secara ekonomi-politik, konsep ini jauh lebih mendalam.
Subjek Kriminal bukan sekadar pelanggar hukum pidana. Status ini lahir dari dua proses yang saling berkelindan. Pertama, akumulasi primitif, ketika tanah dirampas, sumber daya alam dikomodifikasi, dan tenaga kerja dilepaskan dari alat produksinya. Kedua, pendisiplinan kapital, ketika negara dan kapital menyusun kerangka hukum serta mekanisme pasar untuk mengatur, mendisiplinkan, dan menyerap tenaga kerja yang telah terlepas itu ke dalam proses produksi kapitalis.
Mereka yang menolak untuk diserap ke dalam proses produksi akan diposisikan sebagai “pelaku kejahatan” karena dianggap mengganggu formasi kapital (Linebaugh dalam Greenberg, 2010). Secara hukum, Subjek Kriminal memang adalah mereka yang menegaskan klaim komunal atas tanah dan melakukan aktivitas produksi yang tidak sejalan dengan rencana kerja perusahaan, tindakan yang dilarang secara hukum dan berkonsekuensi pidana. Namun, pembentukan Subjek Kriminal secara utuh hanya dapat dipahami dengan melihat bagaimana perusahaan mengoperasikan mekanisme pendisiplinan.
Dalam konteks ini, TPL memanfaatkan strategi ganda: eksklusi dan inkorporasi. Eksklusi dijalankan melalui penghukuman terhadap mereka yang menolak terlibat dalam proses produksi dan menentang kehadiran perusahaan. Inkorporasi dilakukan dengan melibatkan sebagian anggota komunitas ke dalam skema produksi dengan tujuan subordinasi. Pada tahap ini, pembentukan Subjek Kriminal tidak bermuara pada represi semata, melainkan pada penciptaan ketertiban lapangan.
Ketertiban tersebut bekerja melalui efek jera dan kalkulasi ulang para resisten. Setelah mengalami penghukuman, seseorang didorong untuk menyesuaikan sikapnya: tunduk pasca-penjara atau mengubah praktik bertani agar selaras dengan model produksi perusahaan. Proses pendisiplinan ini berlangsung melalui interaksi kompleks antara hukum, struktur sosial, dan kegiatan produksi perkebunan.
Dengan demikian, kriminalisasi di Tano Batak bukanlah peristiwa tunggal. Ia merupakan rangkaian proses yang dimulai dari penetapan kawasan hutan, dilanjutkan dengan pemutusan kontrol masyarakat atas tanah, dan dipertegas melalui ancaman pidana yang membayangi setiap aktivitas agraris yang tidak mau diatur. Status kriminal tidak dilekatkan pada individu karena moralitas personalnya, melainkan pada posisi sosial tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan akumulasi kapital. Seseorang dapat berubah dari “warga adat” menjadi “pelaku pidana” hanya karena mempertahankan haknya untuk menanam, sementara individu lain dari komunitas genealogis yang sama dapat berubah menjadi “mitra perusahaan” karena memilih masuk ke dalam orbit produksi TPL. Identitas adat tetap, tetapi posisi kelas berubah, dan perubahan posisi inilah yang menentukan relasi seseorang terhadap hukum.
Sampai pada titik ini, kita tidak hanya dihadapkan pada definisi Subjek Kriminal, tetapi juga pada kompleksitas relasi sosial pedesaan. Kehadiran perusahaan tidak otomatis memperkuat kesatuan dan resistensi komunitas adat. Sebaliknya, ia memperdalam diferensiasi kelas dan meruwetkan relasi sosial. Pembentukan Subjek Kriminal merupakan kelanjutan dari proses tersebut: sebuah mekanisme pendisiplinan yang membuat keterlibatan atau penolakan terhadap produksi perusahaan tidak lagi dapat dijelaskan semata-mata oleh identitas, melainkan oleh kondisi ekonomi-politik yang jauh lebih kompleks.
Adat Batak: Struktur Hierarkis dan Keterbukaan terhadap Kapital
Untuk memahami bagaimana kapital menembus dan memecah komunitas, penting meninjau struktur dasar adat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba diatur oleh sistem patrilineal yang kuat dengan tata kuasa tenurial yang hierarkis. Di dalamnya terdapat kuasa marga (keturunan laki-laki), di mana marga pembuka kampung atau pemilik tanah secara struktural memegang hak waris atas tanah sekaligus berperan sebagai penjaga ulayat kolektif. Struktur ini, pada saat yang sama, menghasilkan kerentanan bagi boru (keturunan perempuan), yang tidak memiliki hak melekat atas tanah kecuali melalui hibah simbolik (pauseang).
Pemberian tanah kepada boru harus melalui rangkaian seremoni adat yang ketat, melibatkan persetujuan seluruh marga pembuka kampung atau pemilik tanah serta penyerahan piso-piso (penghargaan dalam bentuk uang atau barang). Tanah yang diberikan pun bersifat tidak permanen dan wajib dikembalikan apabila tidak ditempati. Dengan demikian, struktur adat menciptakan diferensiasi akses atas tanah yang berbasis genealogis.
Secara historis, sistem ini menjaga integritas ulayat dan menegaskan adat sebagai klaim sosial sekaligus politik. Namun, seiring penetrasi kapital, korelasi antara marga dan penguasaan sumber daya alam tidak lagi bersifat mutlak. Diferensiasi kelas dan relasi sosial produksi kapitalis mulai menggerus fondasi genealogis tersebut.
Untuk melihat dinamika ini secara konkret, tulisan ini menggunakan Komunitas Masyarakat Adat Pomparan Ompu Panggal Manalu di Desa Aek Raja, Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagai studi kasus. Dari sekitar 47 keluarga keturunan Ompu Panggal yang tinggal di Aek Raja, hanya 12 kepala keluarga yang secara konsisten bertahan dalam perjuangan pelepasan wilayah adat dari TPL. Dari dua belas rumah tangga tersebut, lima orang dari tiga keluarga bekerja sebagai buruh harian lepas TPL, dua keluarga berposisi sebagai petani kapitalis lokal yang menyewa tenaga kerja dan menjual hasil panen ke pasar luar desa, sementara sisanya mengelola lahan terbatas di sekitar perkampungan atau bekerja musiman ke luar daerah. Pola ini mencerminkan fluktuasi khas kelas-kelas agraris yang terhimpit oleh kebutuhan reproduksi sehari-hari. Mayoritas keturunan lainnya yang tidak terlibat dalam tuntutan pengakuan adat memilih menjadi pekerja atau kontraktor TPL.
Jika mengikuti logika pengaturan tenurial berbasis adat semata, marga Manalu seharusnya menguasai tanah yang lebih luas dan, karenanya, lebih kuat secara ekonomi. Namun asumsi ini mengabaikan perubahan mendasar sejak tanah adat ditetapkan sebagai kawasan hutan dan dimasukkannya konsesi TPL. Sejak saat itu, tanah tidak lagi semata menjadi basis sosial, tetapi juga komoditas bernilai tukar tinggi. Dalam kondisi ini, struktur adat menunjukkan kerapuhannya dan membuka ruang bagi manipulasi oleh individu yang memiliki modal.
Interaksi antara adat dan kapital paling nyata terlihat pada peristiwa tahun 1998, ketika seorang keturunan boru Ompu Panggal kembali dari perantauan dengan membawa modal finansial yang besar. Dengan membayar piso-piso sekitar Rp10 juta, angka yang sangat signifikan pada masa itu, kepada marga Manalu dan menjalankan seluruh rangkaian seremoni adat, ia memperoleh legitimasi atas sekitar 110 hektare tanah. Legitimasi ini tidak berhenti sebagai pengakuan simbolik. Beberapa waktu kemudian, seluruh lahan tersebut diserahkan ke dalam skema PKR TPL. Dalam satu gerakan, adat menjadi pintu masuk bagi kapital, sementara kapital mengubah adat menjadi instrumen akumulasi individual sekaligus sarana konsolidasi lahan dalam proses penertiban produksi perkebunan.
Kasus ini menunjukkan bahwa adat tidak dihapus oleh kapital, melainkan dinegosiasikan dan diinstrumentalisasi. Legitimasi adat dibeli dan digunakan oleh aktor internal yang bermodal untuk memfasilitasi akumulasi kapital TPL. Keturunan boru tersebut kemudian bertransformasi menjadi petani kapitalis internal, terintegrasi ke dalam sirkuit produksi TPL, yang pada gilirannya menajamkan diferensiasi kelas dan memecah komunitas dari dalam.
Fragmentasi Internal, Diferensiasi Kelas, dan Fluktuasi Posisi
Penetrasi kapital TPL dan komodifikasi tanah yang difasilitasi oleh manipulasi adat melahirkan fragmentasi kelas yang nyata dan menggerus kesatuan identitas Pomparan Ompu Panggal Manalu. Aman atau tidaknya seseorang berada di atas tanah adat tidak lagi ditentukan oleh legitimasi adat, melainkan oleh sikap serta kontribusinya terhadap proses produksi perkebunan TPL. Ketika verifikasi hutan adat gagal pada 2021, klaim simbolik pun runtuh dan menyisakan realitas material yang telanjang.
Alih-alih disatukan oleh kesamaan identitas, komunitas adat kini terdiferensiasi ke dalam kelas-kelas ekonomi politik yang tajam. Sebagian keturunan berposisi sebagai petani kapitalis, mengelola produksi komersial, menyewa tenaga kerja, dan memanfaatkan skema PKR TPL sebagai medium ekspansi. Sebagian lain merupakan petani mandiri dengan lahan terbatas atau pekerja perkebunan dan pertanian yang sepenuhnya menjual tenaga kerjanya.
Dua belas kepala keluarga yang masih konsisten memperjuangkan wilayah adat berada dalam posisi yang paling rapuh. Mereka hanya menguasai lahan terbatas, termasuk sekitar 85 hektare yang berhasil dipertahankan dari aktivitas TPL, dan mengelolanya dengan mengandalkan tenaga keluarga. Posisi kelas mereka bersifat fluktuatif dan mencerminkan classes of labour. Pada satu waktu mereka bertani, pada waktu lain bekerja sebagai buruh harian atau pekerja komuter musiman. Sebagian bahkan telah menjadi proletariat penuh, menjual tenaga kerja baik kepada TPL sebagai buruh harian lepas maupun kepada sesama anggota komunitas.
Diferensiasi ini membuat hukum dan praktik pemidanaan bekerja secara berbeda pada setiap posisi kelas dan relasinya dengan perusahaan. Legal atau ilegalnya suatu tindakan di atas lahan sengketa tidak ditentukan oleh legitimasi adat, melainkan oleh keterlibatan seseorang dalam proses produksi komoditas TPL. Logika kapital menjadi penentu siapa yang dianggap sah dan siapa yang dilabeli pelanggar. Dari sekitar 47 kepala keluarga keturunan Ompu Panggal Manalu di Aek Raja, hanya 12 yang secara konsisten terlibat dalam perjuangan pelepasan wilayah adat. Sebagian besar lainnya berada pada posisi diam, tidak melawan, tetapi juga tidak secara terbuka mendukung perusahaan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Sekitar lima kepala keluarga bekerja sebagai buruh harian lepas TPL, sementara dua keluarga menjalankan usaha pertanian skala kecil hingga menengah yang dapat dikategorikan sebagai petani kapitalis lokal. Mereka menyewa tenaga kerja dan menjual hasil produksi ke luar desa, namun tidak selalu berpihak pada TPL. Bahkan, salah satu di antaranya turut terlibat aktif dalam aksi pendudukan tanah.
Pola ini menegaskan bahwa struktur sosial masyarakat adat tidak dapat dibaca semata melalui garis keturunan atau hukum adat. Posisi kelas yang konkret, berbasis penguasaan tanah, tenaga kerja, dan relasi produksi, membentuk sikap politik warga terhadap konflik, dan posisi tersebut kerap tidak tunggal maupun stabil. Inilah yang dimaksud sebagai fragmentasi subjek kriminal, ketika kompleksitas kelas dan kesatuan identitas adat direduksi menjadi dua kategori sederhana, yaitu pihak penerima manfaat dan non-penerima manfaat dari aktivitas perkebunan eukaliptus TPL.
Fragmentasi ini bukan semata hasil intervensi perusahaan, melainkan juga konsekuensi dari perubahan struktur produksi desa dan melemahnya fungsi komunal ulayat. Ketika tanah bergeser dari basis relasi sosial menjadi objek nilai tukar, kohesi genealogis tidak lagi mampu menahan tarikan-tarikan material kapital.
Kriminalisasi sebagai Mekanisme Produksi
TPL dan aktor internal yang bermitra dengannya tidak hanya mengandalkan mekanisme pasar untuk mengamankan produksi, tetapi juga memobilisasi aparatus represif negara untuk mendisiplinkan mereka yang diposisikan sebagai Subjek Kriminal. Puncak dari proses ini terjadi pada tahun 2012. Seorang keturunan boru Ompu Panggal Manalu yang telah memperoleh legitimasi adat atas 110 hektare tanah, bertransformasi menjadi petani kapitalis, dan bermitra dengan TPL, melaporkan dua belas anggota komunitas yang menolak pembangunan mess pekerja TPL di wilayah PKR yang tumpang tindih dengan klaim adat. Laporan tersebut berujung pada vonis pidana tiga bulan penjara bagi seluruh terlapor.
Pada tataran formal, peristiwa ini tampak sebagai perkara hukum biasa, yakni pelanggaran, pelaporan, dan penghukuman. Namun jika dibaca dari dinamika produksi, penjara tidak berfungsi sebagai penyelesaian konflik, melainkan sebagai instrumen pendisiplinan sosial. Pemenjaraan memutus ritme hidup, memisahkan individu dari jaringan kolektif, merusak rasa aman, dan menanamkan ketakutan yang menjangkau jauh melampaui tubuh mereka yang dikurung. Hukuman tidak berhenti pada masa tahanan. Ia bekerja sebagai ingatan koersif yang terus memengaruhi tindakan setelah kebebasan diperoleh.
Dampak itu terlihat jelas pasca-pembebasan. Dari dua belas orang yang dipidana, tiga orang akhirnya menyerahkan lahan mereka, sekitar tujuh belas hektare, ke dalam skema PKR TPL. Keputusan ini bukan hasil kalkulasi ekonomi rasional semata, melainkan konsekuensi dari tekanan psikologis dan sosial yang dihasilkan oleh proses kriminalisasi. Penjara bekerja sebagai penanda batas. Melawan berarti berhadapan dengan hukum. Tunduk membuka jalur aman menuju kelangsungan hidup.
Dalam konteks inilah PKR berfungsi sebagai gerbang subordinasi. Pasca-penjara, sebagian korban kriminalisasi diserap kembali ke dalam orbit produksi melalui kontrak kemitraan yang timpang. Fenomena ini dapat dibaca sebagai bentuk penundukan agraria fleksibel. Kapital tidak perlu membeli atau merampas seluruh tanah. Cukup dengan mendisiplinkan subjek melalui aparatus hukum, lalu menginkorporasi mereka kembali melalui kontrak yang bersifat subordinat. Status sebagai Subjek Kriminal tidak dihapus, melainkan diredam, dengan syarat kepatuhan terhadap ritme produksi TPL. Mereka berubah menjadi buruh tidak langsung yang terikat pada skema perusahaan, dengan kerentanan yang tetap melekat.
Proses ini melahirkan fragmentasi akhir Subjek Kriminal di Aek Raja. Pertama, Subjek Kriminal yang tereksklusi, yaitu mereka yang terus bertahan di luar sistem produksi TPL dan karenanya selalu rentan terhadap kriminalisasi ulang. Kedua, Subjek Kriminal yang terintegrasi secara subordinat, yaitu mereka yang dipaksa masuk ke dalam PKR atau bekerja sebagai buruh harian lepas. Mereka tunduk pada logika produksi, tetapi berada pada posisi kelas yang sangat lemah dan sewaktu-waktu dapat kembali dikriminalisasi jika kepatuhan mereka terganggu atau dianggap menghambat produksi.
Dalam kerangka ini, kontrak PKR tidak dapat dibaca sebagai kemitraan sukarela. Ia adalah mekanisme subordinasi agraria yang hanya mungkin bekerja setelah subjek dipatahkan oleh penghukuman. TPL tidak perlu menguasai tanah secara langsung. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa mereka yang masih menguasai tanah tunduk pada logika produksi perusahaan. PKR menjadi pintu masuk inkorporasi pasca-kriminalisasi, sebuah mekanisme yang efektif justru karena didahului oleh kekerasan hukum.
Di sinilah konsep Subjek Kriminal menemukan bentuk konkretnya. Mereka yang melawan dilabeli kriminal karena tindakan mereka mengganggu operasi kapital. Mereka yang tunduk diintegrasikan sebagai mitra atau buruh karena kesetiaan mereka pada ritme produksi. Kedua kategori ini bukan penilaian moral, melainkan posisi sosial yang ditentukan oleh relasi terhadap produksi kayu industri. Posisi tersebut tidak statis. Ia dapat berubah, dari resisten menjadi buruh, dari penantang menjadi kontraktor, dan sebaliknya.
Pembacaan ini menunjukkan bahwa kejahatan bukanlah hasil dari perilaku individual yang menyimpang, melainkan produk struktural dari kebutuhan akumulasi. Kejahatan diciptakan sebagai kategori untuk menandai segala tindakan dan sikap yang merintangi produksi. Kasus masyarakat adat Ompu Panggal Manalu memperlihatkan bahwa kapitalisme perkebunan dan kriminalisasi merupakan dua proses yang saling membutuhkan. Yang kedua harus bekerja agar yang pertama dapat berlangsung.
Apa yang terjadi di Aek Raja adalah sejarah pembentukan kelas dalam konteks konflik agraria. Kegagalan memperoleh pengakuan Hutan Adat pada 2021 hanya memperjelas realitas material yang telah lama bekerja. Komunitas adat telah terfragmentasi. Penentu siapa yang dianggap sah dan siapa yang dilabeli kriminal bukan lagi ikatan genealogis atau klaim adat, melainkan posisi dalam relasi produksi TPL. Eksklusi dan inkorporasi adalah dua sisi dari logika yang sama.
Jika gerakan sosial hendak menantang ekstraktivisme secara serius, maka realitas ini harus dihadapi tanpa ilusi. Mengabaikan keretakan internal dan pembentukan Subjek Kriminal hanya akan berujung pada kekalahan advokasi dan memperdalam cengkeraman kapitalisme perkebunan di Tano Batak. Di garis depan konflik ini, kelas berbicara lebih keras daripada identitas.
Daftar Rujukan
Althusser, Louis. 1971. Ideology and Ideological State Apparatuses. Dalam Lenin and Philosophy and Other Essays. New York: Monthly Review Press.
Bernstein, Henry. 2010. Class Dynamics of Agrarian Change. Halifax: Fernwood Publishing.
Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li. 2011. Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Honolulu: University of Hawai‘i Press.
Habibi, Muchtar. 2023. “Extracting Labour from the Neighbour: Class Dynamics of Agrarian Change in Sumatran Oil Palm.” The Journal of Peasant Studies 50(4): 1317–1346.
Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. 2012–2023. Dokumentasi Kasus Kriminalisasi Masyarakat Adat.
Li, Tania Murray. 2014. Land’s End: Capitalist Relations on an Indigenous Frontier. Durham: Duke University Press.
Linebaugh, Peter. 2010. “Karl Marx, the Theft of Wood and Working-Class Composition: A Contribution to the Current Debate.” Dalam David Greenberg (ed.), Crime and Capitalism: Readings in Marxist Criminology. Philadelphia: Temple University Press.
Situmorang, Abdul Wahib. 2003. Contentious Politics in Toba Samosir: The Toba Batak Movement Opposing the PT Inti Indorayon Utama Pulp and Rayon Mill in Sosor Ladang, Indonesia (1988–2003). Tesis Magister. Athens, OH: Ohio University.
Vergouwen, J. C. 1933. The Social Organisation and Customary Law of the Toba-Batak. The Hague: Martinus Nijhoff.
Dion Pardede menghabiskan dua tahun di perdesaan Danau Toba. ia tertarik pada soal agraria, pembangunan, dan pengelolaan sumber daya alam, dan dinamika sosial-produksi pedesaan. Saat ini menetap di Bogor dan bekerja sebagai staf pengelola pengetahuan di RMI – The Indonesian Institute for Forest and Environment.




