Bencana Ekologis Memukul Si Miskin di Sumatera

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Mongabay


SUMATERA berduka. Banjir dan tanah longsor menenggelamkan serta meluluhlantakkan hutan dan permukiman. Beberapa desa di Aceh bahkan dikabarkan hilang tersapu banjir. Ratusan nyawa melayang akibat bencana ekologis yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Ribuan orang lainnya kehilangan rumah, harta benda, hewan ternak, dan sumber penghidupan. Yang tersisa hanyalah puing reruntuhan dan lumpur.

Mereka yang selamat berkumpul di tempat-tempat aman, menunggu bantuan sambil menahan lapar. Banjir memutus banyak akses ke lokasi terdampak sehingga distribusi bantuan dan pergerakan relawan kemanusiaan terhambat. Luka, tangis, dan ratapan tergambar jelas di wajah para pengungsi yang kehilangan anggota keluarga maupun harta benda.

Bencana ekologis ini memperlihatkan betapa kuatnya kapital di Indonesia di tengah kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya. Dalam sistem kapitalisme, lebih mudah membayangkan banjir dan longsor di permukiman warga, lenyapnya keanekaragaman hutan, serta jatuhnya korban jiwa, ketimbang membayangkan berhentinya aktivitas ekstraksi hutan atau pembatasan luas perkebunan atas dasar keselamatan ekologis dan warga sekitar.

Kelangsungan produksi kapitalisme dianggap lebih masuk akal, lebih nyata, dan lebih penting daripada keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks krisis ekologis, kapitalisme,menurut para aktornya,justru yang harus diselamatkan, bukan bumi itu sendiri.


Jejak Kerusakan Ekologis di Sumatera

Bencana yang menimpa Sumatera ini tidak dapat dipahami sebagai peristiwa alam semata. Untuk memahami akar persoalannya, kita perlu menelusuri jejak kerusakan ekologis yang telah lama berlangsung di wilayah ini dan melihat bagaimana aktivitas ekonomi tertentu berkontribusi langsung terhadap meningkatnya kerentanan bencana.

Berbagai video dan laporan media lokal memperlihatkan aliran banjir yang membawa kayu gelondongan dalam jumlah besar. Pemandangan ini menjadi penanda kuat bahwa aktivitas masif di kawasan hutan,yang umumnya terkait kepentingan ekonomi,sedang berlangsung dan meninggalkan kerusakan serius.

Data SIMONTINI mendukung dugaan tersebut. Pada 2024, Indonesia mengalami deforestasi seluas 261.575 hektare, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Aceh dan Sumatera Utara bahkan masuk dalam sepuluh besar penyumbang deforestasi tertinggi, masing-masing mencapai 8.962 hektare dan 7.303 hektare (SIMONTINI, 2025). WALHI Sumatera Utara juga mengidentifikasi sejumlah perusahaan besar yang beroperasi di kawasan hutan dan berkontribusi langsung terhadap hilangnya tutupan hutan.

Konversi hutan menjadi perkebunan monokultur untuk menyuplai bahan baku industri skala besar telah menghapus daerah resapan air, merusak keanekaragaman hayati, serta mengguncang keseimbangan ekologis. Alih fungsi lahan ini menyempitkan ruang hidup masyarakat dan meningkatkan risiko bagi kelompok rentan seperti lansia, perempuan, dan anak-anak.

Fakta-fakta kerusakan ekologis tersebut menunjukkan bahwa banjir dan longsor bukan sekadar akibat kesalahan tata kelola lokal, melainkan bagian dari pola yang lebih luas. Untuk membaca pola ini secara lebih mendalam, diperlukan kerangka teoretis yang mampu menjelaskan bagaimana risiko diproduksi secara sistemik dalam masyarakat modern.


Modernitas, Kapitalisme, dan Masyarakat Risiko

Dalam masyarakat modern, sumber-sumber kekayaan justru melahirkan beragam risiko baru. Aktivitas industri beserta limbah dan produk sampingannya menghasilkan konsekuensi berbahaya, bahkan mematikan, bagi manusia dan lingkungan (Ritzer, 2014). Kondisi inilah yang melatarbelakangi gagasan risk society atau masyarakat risiko dari Ulrich Beck.

Beck menilai modernitas tidak hanya menghasilkan kemakmuran, tetapi juga “risiko buatan”, yakni risiko yang lahir dari keputusan teknologi dan ekonomi manusia sendiri. Teori ini sekaligus menjadi kritik terhadap rasionalitas modern dan keyakinan bahwa teknologi berkembang secara netral.

Namun, masyarakat risiko tidak lahir dalam ruang hampa. Ia berakar pada cara berpikir tertentu yang mendominasi modernitas, yakni rasionalitas yang menempatkan efisiensi teknis di atas pertimbangan moral dan ekologis.

Sejalan dengan itu, berbagai pemikir telah lama memperingatkan bahaya ekspansi teknologi: mulai dari ancaman teknologi totaliter (Adorno & Horkheimer, 1972), tirani teknologi (Mumford, 1955), otonomi teknologi yang seolah lepas dari kendali manusia (Winner, 1977), hingga keyakinan bahwa setiap teknologi yang bisa diciptakan harus diwujudkan (Ekberg, 2007).

Pemikir Mazhab Frankfurt seperti Adorno, Horkheimer, dan Marcuse menunjukkan bahwa rasionalitas yang bekerja dalam masyarakat industri modern adalah rasionalitas instrumental. Dalam bentuk ini, rasio tidak lagi dipahami sebagai kemampuan manusia memberi makna dan penilaian moral, melainkan sekadar alat teknis untuk mengoperasikan sistem secara efisien. Sesuatu dianggap rasional sejauh ia dapat dioperasikan, diotomatisasi, dan memenuhi standar efektivitas teknis. Nilai moral, imajinasi, dan pengalaman subjektif disingkirkan sebagai sesuatu yang dianggap tidak rasional (Hardiman, 2009).

Ketika rasio dipisahkan dari praksis,yakni tindakan yang berlandaskan pertimbangan moral,rasionalitas berubah menjadi alat penopang sistem sosial dan teknologi yang mapan. Moralitas, harapan, dan subjektivitas dianggap menghambat kerja sistem. Pada titik inilah modernitas, melalui rasionalitas instrumental, membentuk relasi manusia dengan alam secara dominatif: alam dipandang sebagai objek yang harus dikontrol dan dieksploitasi.

Ketika rasionalitas instrumental ini dilembagakan dalam sistem ekonomi, ia menemukan bentuknya yang paling konkret dalam kapitalisme. Di sinilah produksi risiko tidak lagi bersifat insidental, melainkan menjadi bagian inheren dari cara kerja sistem.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Rasionalitas ini kemudian terlembagakan dalam sistem kapitalisme. Dalam kapitalisme, baik alam maupun manusia direduksi menjadi komoditas yang dapat dimanipulasi demi akumulasi keuntungan. Hubungan manusia dengan alam terputus; alam dipersepsikan semata sebagai sumber material bagi ekspansi produksi. Sebatang pohon tidak lagi dilihat sebagai penyangga kehidupan, melainkan sebagai angka yang dapat dihitung, ditebang, dan dikonversi menjadi nilai ekonomi. Cara pandang inilah yang menjadikan risiko sebagai bagian inheren dari kapitalisme.

Risiko dalam masyarakat modern tidak muncul secara alamiah, melainkan merupakan konsekuensi struktural dari sistem ekonomi-politik kapitalis yang menempatkan efisiensi teknis dan akumulasi modal di atas keselamatan ekologis dan sosial. Risiko-risiko ini diproduksi oleh oligarki ekonomi dan elite politik yang memusatkan kuasa, sementara perlindungan terhadap kepentingan publik absen atau dilemahkan.

Konsekuensi dari sistem ini tidak hanya terlihat pada relasi manusia dengan alam, tetapi juga pada kegagalan institusional dalam melindungi kepentingan umum.

Karena itu, kerusakan ekologis kerap terjadi tanpa adanya institusi yang sungguh-sungguh melindungi kepentingan umum. Dalam sistem yang digerakkan oleh kepentingan privat dan akumulasi modal, negara sering gagal mengelola sumber daya alam sebelum bencana terjadi. Situasi ini kerap dijelaskan melalui konsep tragedy of the commons, yakni eksploitasi berlebihan atas sumber daya publik demi keuntungan pribadi. Namun persoalannya bukan pada kepemilikan bersama itu sendiri, melainkan pada kenyataan bahwa dalam kapitalisme, kekayaan publik dibiarkan tak terlindungi dan justru dirampas oleh kepentingan privat (Magdoff & Foster, 2018).

Kondisi akan berbeda jika sumber daya dikelola oleh komunitas yang berkepentingan langsung dengan keberlanjutan hidup mereka. Kepemilikan bersama mendorong orientasi jangka panjang dan kesejahteraan kolektif. Sebaliknya, korporasi tunduk pada logika persaingan tanpa batas dengan tujuan tunggal memaksimalkan keuntungan jangka pendek, lalu meninggalkan kerusakan ekologis. Padahal, semua sumber daya memiliki batas, termasuk yang disebut “terbarukan”. Ketika eksploitasi melampaui kemampuan pemulihan, terjadilah kelebihan beban ekologis (overshoot).

Dengan demikian, masyarakat risiko bukan sekadar akibat modernitas, melainkan hasil perpaduan rasionalitas instrumental, determinisme teknologi, dan logika akumulasi kapitalisme. Keseluruhannya membentuk konfigurasi sistemik yang menjadikan risiko sebagai bagian tak terpisahkan dari cara kerja sistem yang timpang.

Namun, risiko ekologis tidak dialami secara merata. Seperti halnya kekayaan, risiko juga didistribusikan secara timpang mengikuti garis kelas sosial.


Distribusi Risiko: Bencana Ekologis Memukul Kaum Miskin

Ulrich Beck menjelaskan bahwa distribusi risiko mengikuti pola kelas sosial yang terbalik dari distribusi kekayaan: kekayaan terakumulasi di atas, sementara risiko menumpuk di bawah. Kemiskinan menarik berbagai risiko, sementara kekayaan,dalam bentuk pendapatan, kekuasaan, dan pendidikan,dapat membeli rasa aman (Beck, 1992).

Bencana ekologis di Sumatera menunjukkan bagaimana aktivitas ekonomi kelas atas,seperti industrialisasi hutan, perkebunan monokultur, dan eksploitasi kayu,menghasilkan keuntungan finansial bagi segelintir pihak, sementara biaya ekologis dan sosialnya dibebankan kepada masyarakat kecil yang hidup di sekitar hutan, sungai, lereng bukit, dan wilayah rawan bencana.

Pemilik modal dan korporasi besar menyadari risiko ekologis yang timbul dari aktivitas mereka, tetapi memiliki kemampuan finansial untuk menghindarinya: membangun rumah di wilayah aman, mengakses teknologi mitigasi, memanfaatkan transportasi cepat, dan memindahkan aset kapan saja. Bagi mereka, risiko hanyalah variabel ekonomi yang dapat dihitung. Kekayaan, dalam istilah Beck, dapat “membeli keselamatan”.

Sebaliknya, masyarakat miskin tidak memiliki pilihan geografis maupun ekonomi. Mereka tinggal di zona rawan karena terdesak oleh struktur ekonomi-politik yang meminggirkan akses terhadap tanah dan ruang aman. Ketika hujan ekstrem datang, merekalah yang pertama dan paling keras menerima dampaknya. Kondisi rumah yang rapuh, minimnya informasi, dan keterbatasan sumber daya untuk evakuasi memperparah risiko. Kelompok rentan,lansia, perempuan, dan anak-anak,menghadapi ancaman paling besar, baik fisik maupun sosial.

Risiko ekologis dengan demikian berfungsi sebagai mekanisme reproduksi ketimpangan sosial: keuntungan bergerak ke atas, sementara risiko didorong ke bawah. Pola pemindahan risiko ke kelas bawah ini bukanlah fenomena baru. Sejak awal kapitalisme industri, para pemikir kritis telah mengamati kecenderungan sistem ini untuk mengorbankan lingkungan dan masyarakat demi keuntungan jangka pendek.

Kutipan Engels tentang kehancuran ekologis akibat pengejaran laba jangka pendek tetap relevan dengan konteks Sumatera hari ini.

Seraya para kapitalis secara individual terlibat dalam produksi dan perdagangan demi laba cepat, hanya hasil yang paling dekat, paling segera, yang perlu dipikirkan. Selama si manufaktur atau pedagang menjual komoditas yang dibuat atau dibelinya sesuai laba yang diharapkan, dia pun puas dan tidak memusingkan diri dengan apa yang terjadi sesudahnya pada komoditas atau pembelinya. Hal yang sama juga ber laku terhadap dampak dari aksi serupa terhadap alam. Apa peduli nya tuan-tuan kebun Spanyol di Kuba, yang membakar hutan di lereng gunung dan mendapatkan dari abunya pupuk yang cukup untuk satu generasi tanaman kopi dengan laba sangat tinggi—apa peduli mereka jika hujan lebat daerah tropis akan membasuh lapisan-atas tanah yang tak terlindungi, dan hanya menyisakan bebatuan gersang! Dalam hubungan dengan alam, sebagaimana dengan masyarakat, modus produksi terkini hanya peduli dengan hasil cepat yang paling terlihat; lalu tampak terkejut ketika dampak terjauh dari tindakan-tindakan yang diarahkan untuk itu ternyata berbeda, sebagian besar karakternya bertentangan.

Apa yang dilakukan pemilik modal di sektor perkebunan, tambang, dan kehutanan persis seperti yang digambarkan Engels lebih dari satu abad lalu. Apa yang dahulu merupakan kecenderungan lokal kini menjelma menjadi krisis global.

Dalam kapitalisme kontemporer, dorongan pertumbuhan tanpa batas berlangsung justru ketika kapasitas alam semakin menurun. Tekanan terhadap sumber daya tidak hanya mendekati, tetapi telah melampaui batas ekologis. Hutan kehilangan kemampuan memulihkan diri, tanah kehilangan daya resap, dan siklus ekologis terfragmentasi.

Dengan demikian, bencana ekologis di Sumatera tidak dapat dipisahkan dari cara kerja sistem ekonomi-politik yang menormalisasi risiko dan mengalihkan bebannya kepada mereka yang paling tidak berdaya.

Kerusakan ekologis yang meluas bukanlah kecelakaan alam, melainkan hasil logis dari sistem yang menjadikan alam sebagai komoditas dan menyingkirkan keselamatan publik. Ketika risiko ekologis meningkat, masyarakat miskin menjadi pihak yang paling tidak mampu menghindar, sekaligus paling tidak memiliki suara untuk mengubah struktur yang menindas mereka.


Daftar Pustaka

Adorno, Theodor W & Max Horkheimer. 1972. Dialectic of Enlightenment. New York.

Beck, Ulrich. (1992). Risk Society: Toward a New Modernity. London: Sage Publications

Ekberg, M. (2007). “The parameters of the risk society: A review and exploration.” Current sociology55(3), 343-366.

Frederick Engels, “The Part Played by Labour in the Transformation from Ape to Man,” dalam Karl Marx dan Frederick Engels, Collected Works (New York: International Publishers, 1975), vol. 25: hlm. 463.

Hardiman, F. Budi. (2009). Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius.

https://simontini.id/id/status-deforestasi-indonesia-2024#deforestasi2024.

Magdoff, F., & Foster, J. B. (2018). Lingkungan hidup dan kapitalisme. Marjin Kiri.

Mumford, L. (1955) Technics and Civilization. London: Routledge.

Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Posmodern . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Winner, L. (1977) Autonomous Technology. Cambridge, MA: MIT Press.


Pandu Irawan Riyanto adalah alumnus Magister Sosiologi UGM.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.