Ilustrasi: Istimewa
Kondisi Sekarang
ANAK MUDA berusia delapan belas hingga dua puluh lima tahun kerap terlihat di balik pagar kampus. Setiap pekan, mereka memenuhi kantin, taman, atau ruang kelas yang masih terbuka untuk diskusi. Namun, dalam kenyataan sosial, kelompok ini hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan angkatan muda yang ada. Di luar kampus, jumlah yang lebih besar tidak menempuh jalur perguruan tinggi. Ada yang langsung masuk ke pabrik atau sektor jasa dengan kontrak pendek, ada pula yang bertahan di pasar kecil, menjadi ojek daring, atau tetap bekerja sebagai petani di desa. Dengan kata lain, status “mahasiswa” bukan gambaran umum pemuda hari ini, melainkan cerminan satu kelompok sosial yang lebih sempit.
Meski jumlahnya terbatas, status mahasiswa masih dibayangkan sebagai jalan mobilitas sosial. Bagi banyak keluarga, anak yang berhasil duduk di bangku kuliah dianggap telah menapaki jalan menuju pekerjaan yang lebih layak. Gelar sarjana diyakini membuka pintu pada pendapatan yang lebih baik, meski kenyataan sering kali jauh berbeda. Lapangan kerja yang tersedia tidak mampu menyerap seluruh lulusan. Tahun demi tahun, kampus menghasilkan ribuan sarjana baru, sementara pasar tenaga kerja tetap kaku dan tak berkembang secepat itu.
Apa yang kita temukan di sini menunjukkan adanya perubahan mendasar dalam fungsi pendidikan tinggi. Institusi ini tidak lagi berfungsi sebagai ruang pengembangan intelektual yang bebas. Sistem SKS, kurikulum, dan tata kelola kampus lebih diarahkan pada kepatuhan terhadap birokrasi ketimbang kebebasan mencari ilmu. Gelar sarjana diperlakukan sebagai komoditas yang dijual kepada keluarga dengan janji masa depan yang lebih baik. Mahasiswa dididik bukan untuk mengembangkan daya kritis, melainkan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Akibatnya, universitas beroperasi layaknya pabrik. Ia mencetak tenaga kerja “terampil” dalam jumlah berlebihan, sehingga keberlimpahan lulusan justru menurunkan posisi tawar mereka di hadapan perusahaan. Di pasar kerja, kelebihan sarjana hanya berarti turunnya upah rata-rata dan makin sempitnya ruang tawar-menawar bagi lulusan baru. Ironisnya, mahasiswa masih kerap ditampilkan sebagai simbol optimisme, “harapan bangsa”, padahal kehidupan mereka sejak awal diarahkan agar tunduk pada logika kapitalisme. Mereka tidak diperlakukan sebagai subjek pembaru, melainkan sebagai cadangan tenaga kerja murah yang disiapkan untuk menopang tatanan yang ada.
Pendidikan Tinggi Berorientasi Pasar
Perubahan besar dalam pendidikan tinggi tidak terlepas dari kebijakan sejak awal abad ke-21 yang memberi ruang luas bagi swasta untuk mengelola perguruan tinggi. Dengan dasar regulasi itu, kampus tumbuh bak jamur di musim hujan, menawarkan beragam program studi dengan biaya yang bervariasi. Persaingan antar kampus semakin ketat, tetapi yang diperebutkan bukan gagasan atau keilmuan, melainkan pasar mahasiswa baru. Pendidikan tinggi kian tampil terang sebagai sebuah industri.
Bertambahnya jumlah perguruan tinggi berarti bertambah pula jumlah lulusan setiap tahun. Namun pekerjaan yang benar-benar membutuhkan keahlian khusus jumlahnya jauh lebih kecil daripada pekerjaan umum yang tidak menuntut keterampilan tinggi. Akibatnya, banyak sarjana akhirnya menerima pekerjaan yang tidak sejalan dengan bidangnya, atau bahkan tetap menganggur. Surplus sarjana menurunkan daya tawar tenaga kerja terdidik. Perusahaan dapat dengan mudah menekan upah karena selalu ada cadangan sarjana lain yang bersedia menerima syarat kerja lebih murah.
Lembaga pendidikan tinggi tidak pernah menyesuaikan diri dengan kebutuhan riil masyarakat. Mereka terus menerima mahasiswa baru tanpa mempertimbangkan kapasitas penyerapan dunia kerja, sebab tujuan utamanya bukan membangun tenaga ahli, melainkan menjual “akses” pendidikan itu sendiri.
Pada akhirnya, semboyan moral seperti “mencerdaskan kehidupan bangsa” tinggal bungkus belaka. Dalam kenyataan, ia berarti ikut menurunkan harga buruh terampil di pasar tenaga kerja. Universitas yang seharusnya menjadi ruang lahirnya pengetahuan dan kebebasan intelektual justru berperan aktif dalam melanggengkan tatanan kapitalisme. Dengan dalih pendidikan, mereka mengelola mekanisme pasar khusus, menjual mimpi mobilitas sosial dan menyerahkan hasilnya sebagai pasokan buruh murah.
“Kaum Muda” (Pemoeda)
Kalangan muda hari ini kerap disanjung sebagai “generasi emas”, “bonus demografi”, atau “usia produktif” yang konon menjadi penentu masa depan bangsa. Namun jika ditelusuri, sanjungan itu berhenti pada hitungan angka. Mereka disebut muda semata karena lahir di tahun-tahun tertentu, karena usia mereka di bawah tiga puluh, atau karena dianggap masih segar untuk mengisi pasar kerja.
Padahal, dalam sejarah kita, istilah “pemoeda” pernah bermakna sangat berbeda. Onghokham, dalam pembacaannya terhadap Benedict Anderson (Revolusi Pemoeda), mencatat bahwa Belanda menyebut para pejuang 1945 dengan sebutan itu dan memberi cap “kurang ajar” kepada mereka. Yang dimaksud “kurang ajar” tentu bukan soal usia muda, melainkan keberanian mereka membawa ide yang mengganggu ketertiban kolonial. “Pemoeda” menjadi tanda dari sesuatu yang belum diakui matang, tetapi justru karena itu mampu melahirkan lompatan.
Dalam setiap tatanan sosial, ide selalu terbagi menjadi dua, yang mempertahankan status quo dan yang menentangnya. Ide-ide status quo selalu curiga pada gagasan yang dianggap berbahaya bagi kelangsungan kekuasaannya. Hari ini, mereka yang disebut “anak muda” hanyalah kategori usia. Sedang “pemoeda”, dalam pengertian historis, adalah mereka yang menghadirkan ide-ide baru yang mengancam kesinambungan tatanan lama. Justru karena dianggap “belum matang”, mereka mampu melahirkan lompatan sosial, ide merdeka yang mustahil diizinkan oleh mereka yang menghendaki ketertiban kolonial.
“Muda” hari ini—terutama di lingkup mahasiswa—telah dibatasi ruang geraknya. Ia dijadikan konsumen institusi pendidikan berorientasi pasar, kemudian tenaga kerja “terampil” yang dijadikan murah karena kelebihan pasokan sarjana, serta simbol demografi yang dirayakan tetapi jarang diberi peran politik. Maka “muda” telah direduksi dan dipasung dalam kerangka kebutuhan kapitalisme itu sendiri.
Kontrasnya terasa jelas. “Muda” kini adalah kategori demografis yang aman, dihitung, dirayakan, tetapi dijinakkan. Sementara “pemoeda” pada masa revolusi tidak pernah aman bagi penguasa. Ia menyalakan ide merdeka dan menolak tunduk pada ukuran kematangan versi penjajah.
Maka ketika kita menoleh pada kondisi sekarang—kampus yang diperdagangkan, pasar kerja yang sesak, desa yang tetap didera persoalan agraria—pertanyaannya bukan lagi soal angka. Apakah “muda” yang kini disandera tatanan kapitalisme masih menyimpan kemungkinan untuk menjelma kembali sebagai “pemoeda”? Apakah di balik kehidupan sehari-hari yang sempit, masih ada keberanian untuk menjadi “kurang ajar” seperti pada 1945?
“Pemoeda” dahulu dianggap “kurang ajar” karena berani melampaui kematangan kolonial. Di situlah perbedaannya. “Pemoeda” bukan sekadar kategori usia, melainkan keberanian membawa ide yang menantang status quo.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Sebagaimana pada 1945, ide-ide itu tidak datang dari kematangan yang ditentukan penguasa, juga tidak lahir dari kepatuhan pada aturan yang menundukkan. Ide-ide itu lahir dari keberanian melampaui, dari keberanian untuk tidak tunduk. Inilah yang memungkinkan “muda” bertransformasi menjadi “pemoeda”.
Kategori “muda” yang kini dipasung pasar selalu menyimpan kemungkinan untuk melampaui pasungan itu sendiri. Ia bisa menjadi sekadar “usia produktif” yang dihitung demografi dan industri, tetapi juga bisa menolak takdir itu, menuntut kemungkinan lain, dan melahirkan gagasan yang mengguncang tatanan. Transformasi ini tidak datang dengan sendirinya. “Muda” hanya akan menjadi “pemoeda” sejauh ia menolak diperhitungkan hanya sebagai angka atau tenaga kerja murah.
Mahasiswa yang hidup dalam ritme kuliah dan pasar kerja hanya bisa melampaui dirinya jika menolak dibatasi oleh kampus sebagai ruang konsumsi ilmu semata. Mereka mesti belajar kembali dari realitas buruh dan tani yang menanggung beban paling telanjang dari sistem kapitalisme. Buruh muda, yang berhadapan dengan mesin, target, dan upah murah, adalah cermin masa depan mahasiswa jika tunduk pada logika pasar tenaga kerja. Sedang tani muda, yang hidup dari tanah atau tercerabut darinya, mengingatkan bahwa persoalan agraria tetap menjadi nadi ketertundukan sosial hari ini.
Dalam perjumpaan itulah yang “muda” bisa melampaui posisinya yang tercerai-berai. “Pemoeda” bukan label satu lapisan sosial, melainkan kesadaran bersama yang tumbuh ketika ide-ide baru bertemu dengan kenyataan keras rakyat. Seperti 1945, gagasan kemerdekaan bukan monopoli satu golongan, melainkan arus keberanian bersama.
Maka pertanyaannya kini, apakah “muda” hari ini akan terus dikerangkeng sebagai tenaga kerja murah dan angka statistik, atau sanggup menjelma kembali sebagai “pemoeda”?
Gejolak 25–30 Agustus 2025
Gejolak 25–30 Agustus 2025 membuka celah bagi pembacaan ulang tentang posisi “muda” dalam tatanan sosial-politik kontemporer. Di situ tampak jelas bagaimana kategori yang sebelumnya direduksi menjadi sekadar angka demografis—“usia produktif”, “bonus demografi”—mendadak bergerak menjadi subjek politik yang menggugat. Sekali lagi, kita menyaksikan kalangan pelajar, terutama mahasiswa dan siswa STM, tampil berlawan.
Dalam kerangka filosofis, peristiwa ini menunjukkan dialektika antara apa yang diidealkan negara-kapital sebagai stabilitas dan apa yang muncul sebagai ekses, retakan, atau sesuatu yang tak dapat dijinakkan.
Pertama, dengan kerangka Marxian, kategori “muda” hari ini berada di jantung kontradiksi struktural. Di satu sisi, mereka diharapkan menjadi tenaga kerja murah yang menopang akumulasi kapital. Di sisi lain, surplus tenaga kerja justru melahirkan kekecewaan, frustrasi, dan radikalisasi. Kapitalisme dengan sendirinya menumbuhkan benih perlawanan dari dalam tubuh “muda”. Gejolak Agustus adalah contoh aktual dari kontradiksi itu. Para pelajar, buruh muda, dan lapisan marjinal yang semula diposisikan pasif berubah menjadi aktor aktif yang menolak nasib yang dipaksakan.
Kedua, dengan kacamata Gramscian, negara membungkus “muda” dalam hegemoni ideologis melalui pendidikan, media, dan slogan pembangunan. Namun, seperti yang tampak dalam setiap gejolak historis, hegemoni tak pernah total. Pada saat ketidakpuasan menumpuk, ia membelok menjadi krisis legitimasi dan membuka ruang bagi hegemonisasi alternatif. “Pemoeda”, dalam pengertian historis, selalu lahir ketika tatanan lama gagal menjawab aspirasi dan keberanian “kurang ajar” menjadi satu-satunya jalan.
Ketiga, dari sisi eksistensial, transformasi “muda” menjadi “pemoeda” adalah proses melampaui keterpasungan. “Muda” dalam bingkai kapitalisme hanyalah usia biologis yang diukur dan dipetakan demi kepentingan pasar tenaga kerja. Tetapi ketika ia menolak sekadar dihitung, ia memasuki ranah praksis politis yang eksistensial—menegaskan dirinya sebagai subjek yang mampu menolak, mencipta, dan mengguncang.
Jika menoleh ke sejarah, kita melihat bahwa kategori “pemoeda” selalu lahir dalam momen krisis tatanan. Pada 1945, “pemoeda” muncul bukan karena semangat muda semata, melainkan karena keberanian melampaui kemapanan yang ditopang kolonialisme dan feodalisme. “Kurang ajar” dalam makna historisnya adalah penolakan untuk menunggu kematangan versi penjajah, sebuah lompatan menuju ide kemerdekaan yang tak kompatibel dengan tertib kolonial.
Tahun 1966 menghadirkan babak lain yang lebih rumit. Jika pada 1945 “pemoeda” tampil melawan kolonialisme, maka pada 1966 ia direbut oleh kepentingan politik yang lebih besar. Energi pemuda dijadikan motor penggulingan satu rezim, tetapi segera direduksi menjadi basis legitimasi Orde Baru. Peristiwa ini menunjukkan bahwa progres yang dibawa “pemoeda” tidak selalu menghasilkan lompatan maju. Ia dapat dikooptasi, diperalat, dan dipasung kembali oleh tatanan baru.
Ketika pengalaman 1998 dibaca dalam garis panjang sejarah itu, kita menemukan kesinambungan dialektis. Krisis moneter dan keruntuhan ekonomi berpadu dengan demonstrasi mahasiswa yang menyulut protes massal. Penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 menjadi pemicu yang mempercepat kejatuhan rezim Suharto. Peristiwa ini tidak sekadar ledakan emosi, melainkan ujian terhadap batas legitimasi kelas penguasa. Hubungan kausal antara penembakan, kerusuhan Mei, dan mundurnya presiden menegaskan bahwa kekuasaan tumbang ketika kekerasan negara kehilangan dasar moral dan materialnya.
Dibaca secara dialektis, 1998 memperlihatkan pola berulang. Struktur ekonomi-politik melahirkan akumulasi ketidakpuasan—pengangguran, inflasi, neoliberalisasi pendidikan—yang menjadi bahan bakar emosional. Lalu muncul agen kolektif yang mampu mengartikulasikan kemarahan menjadi tuntutan politik. Keberanian massa pada 1998 tidak lepas dari momentum material yang terakumulasi. Namun keberhasilan menjatuhkan rezim tidak otomatis menjamin transformasi sosial yang mendasar. Kemenangan tanpa organisasi kelas yang kuat cepat berubah menjadi kekosongan politik yang diisi kembali oleh faksi kekuatan kapital lain.
Pengalaman 1966 mempertegas bahaya kooptasi. Masa itu menunjukkan betapa energi pemuda dapat diarahkan oleh faksi militer dan elit politik sehingga tujuan awal gerakan berubah total menjadi legitimasi rezim otoriter. Kekerasan struktural 1965–1966 menjadi pengingat bahwa mobilisasi tanpa basis kelas dan kontrol sosial mudah berubah menjadi alat pembersihan politik. Pelajaran yang harus diambil ialah bahwa transformasi sosial menuntut mekanisme kolektif yang mencegah alat perjuangan dijadikan alat penguasaan oleh kekuatan lain.
Karena itu, ketika membaca gejolak Agustus 2025, kita perlu menempatkannya dalam garis panjang dialektika itu. Pertanyaannya, apakah momentum ini akan berlanjut seperti 1945 yang menciptakan babak baru, atau seperti 1966 yang segera dijinakkan, atau seperti 1998 yang berujung pada lahirnya rezim kapital baru dalam bingkai Reformasi.
Melihat ke depan, pelajaran dari momen-momen terdahulu tidak bisa dilepaskan. Agar tidak jatuh pada jebakan 1966 atau stagnasi pasca-1998, gerakan “muda” hari ini harus menegaskan akar kelasnya. Ia mesti menyambungkan diri dengan buruh, tani, dan lapisan rakyat pekerja, bukan dengan fraksi politik yang ingin menunggangi. Tanpa akar itu, gejolak yang lahir dari frustrasi akan kembali dikooptasi dan dijadikan legitimasi baru bagi kekuasaan yang menindas.
Dari tiga momen sejarah itu kita dapat merumuskan satu sintesis yang lebih tajam. Ada tiga dimensi yang harus disatukan dalam setiap upaya mengubah “muda” menjadi “pemoeda” yang produktif secara revolusioner. Pertama, dimensi struktural, yakni pembacaan terhadap kondisi material dan kontradiksi kapital. Kedua, dimensi ideologis, yakni perlawanan terhadap hegemoni melalui produksi budaya, narasi tandingan, dan pendidikan politik. Ketiga, dimensi subjektif, yakni pembangunan keberanian kolektif dan kapasitas deliberatif agar tindakan massa tidak padam dalam spontanitas tanpa arah.
Keberhasilan praksis ditentukan oleh keselarasan antara ketiganya. Tanpa analisis material, kerja ideologis, dan pembentukan subjek kolektif, mobilisasi hanya akan menguap atau dikooptasi. Karena itu, peninjauan praksis ke depan tidak boleh berhenti pada resep ritual atau taktik insidental.
Akhirnya, beberapa arah programatik dapat diajukan. Pertama, organisasi yang berakar ganda antara inti kader dan wadah massa terbuka. Kedua, perumusan tuntutan transisional yang mengikat kepentingan material lintas lapisan. Ketiga, politik ingatan dan kebenaran untuk memastikan sejarah tidak dilupakan. Keempat, pendidikan politik organik yang tumbuh dari pengalaman rakyat. Kelima, perlindungan terhadap kooptasi melalui kemandirian finansial dan akuntabilitas internal. Keenam, produksi budaya dan seni politik yang membentuk atmosfer hegemoni tandingan. Ketujuh, kerja lintas sektor yang nyata di pabrik, sawah, kampung, dan kampus.
Miftahulrahman Bahas adalah Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Nasional.




