Foto: Reuters/Aljazeera
MEDIA sosial kini dipenuhi dengan gambar-gambar yang menampilkan semangat luar biasa penuh kegembiraan: warga Gaza yang kembali ke kota mereka yang porak-poranda untuk membangun kembali, merekonstruksi, dan memulihkan kehidupan. Saya terus terhanyut menyaksikan video anak-anak yang memeluk kucing mereka, perempuan dan laki-laki yang kembali menata batu bata di rumah yang hancur akibat bom, serta momen haru ketika sepasang kembar akhirnya kembali bersatu. Semua ini berlangsung di tengah apa yang disebut IOF (Israel Occupation Forces) sebagai “sentuhan akhir” dari dua tahun genosida mereka: ketika pasukan itu terpaksa mundur dari Gaza sambil membakar persediaan makanan, rumah, dan fasilitas penting seperti pabrik pengolahan air. Sebuah “pertunjukan kekejaman” terakhir mereka.
Gencatan senjata yang berlaku saat ini sarat dengan kesepakatan yang tidak sepenuhnya tulus dari pihak-pihak yang selama ini terlibat dalam konflik. Israel, dalam menyusun daftar tahanan Palestina yang akan dibebaskan sebagai bagian dari pertukaran sandera, secara sengaja mengecualikan sejumlah tokoh populer yang pembebasannya telah lama menjadi tuntutan Hamas. Mereka yang tidak tercantum antara lain Marwan Barghouti (tokoh berpengaruh yang kerap disebut sebagai “Mandela Palestina”), Ahmad Saadat (Sekretaris Jenderal Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina, kelompok berhaluan Marxis), Hassan Salameh (anggota Brigade Qassam dengan 48 hukuman seumur hidup—jumlah tertinggi ketiga di antara seluruh tahanan Palestina), dan Abbas al-Sayyed, salah satu pemimpin senior Hamas.
Di meja perundingan, Hamas dan Israel tampak berbicara tentang dua dunia yang sama sekali berbeda. Hamas menuntut gencatan senjata permanen dengan jaminan Amerika Serikat, sedangkan Israel bersikeras pada visi “Gaza tanpa senjata” dan pembubaran penuh Hamas. Dalam pidatonya yang disiarkan di televisi nasional, Netanyahu menegaskan, “Jika pembubaran Hamas dapat dilakukan dengan mudah—bagus. Jika tidak, kami akan menempuh jalan yang sulit.”[1] Sementara itu, Amerika Serikat memilih bungkam—mungkin Presiden masih menunggu rencana Riviera versi Jared Kushner dengan rantai hotel Leo DiCaprio untuk menyelamatkan situasi.
Dalam kondisi seperti ini, setiap orang Palestina—dan siapa pun yang sungguh peduli terhadap kebebasan mereka—paham bahwa gencatan senjata hanyalah jeda singkat yang rapuh. Faktanya, IOF masih menguasai lebih dari separuh wilayah Gaza. Walau pembunuhan massal kini tak lagi memenuhi tajuk utama media (sesuatu yang mungkin melegakan bagi media Barat), kekerasan sehari-hari tidak berhenti. Baik ada gencatan senjata maupun tidak, pemukim dan tentara Israel akan terus menindas, menyerang, dan membunuh warga Palestina. Karena itu, yang paling penting saat ini adalah meninjau ulang makna gencatan senjata dan memperkuat dialog kolektif tentang strategi gerakan Palestina global ke depan—gerakan yang telah menuntun perjuangan ini hingga titik ini.
Potret gencatan senjata di atas tanah yang dirampas
Meskipun proyek Zionis terus berlanjut, jeda saat ini telah memenangkan beberapa kemenangan jangka pendek:
- Israel telah menjadi pariah global.
- Tidak ada pemimpin Palestina yang diasingkan.
- Proyek Blair Witch—istilah brilian Mouin Rabbani untuk peran kepemimpinan mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair dalam otoritas sementara Gaza—sepertinya ditunda.[2]
- Bantuan mulai mengalir.
- Yang paling penting, warga Palestina akhirnya kembali ke rumah mereka di kota di mana merawat yang hidup tidak pernah bisa dihentikan, bahkan sejenak, untuk berduka atas yang meninggal.
Meskipun kemenangan ini mungkin tampak monumental setelah dua tahun genosida yang disiarkan secara terbuka, aspek-aspek mengkhawatirkan dari kesepakatan gencatan senjata ini juga semakin jelas:
- Israel belum dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan perang yang diakui secara internasional.
- Tidak ada kekuatan Barat besar yang memutuskan hubungan keuangan dengan Israel atau memberlakukan sanksi.
- Rencana untuk kepulauan “Bantustans” di Palestina belum ditarik. Rencana mengerikan untuk Gaza sebagai resor pantai juga belum dibatalkan.
- Meskipun telah terjadi holocaust selama dua tahun, sebanyak 76 persen Yahudi Amerika Serikat masih memandang keberadaan Israel “sebagai hal yang vital bagi masa depan bangsa Yahudi” (meskipun banyak di antara mereka tetap kritis terhadap tindakan Israel di Gaza).[3] Ide bahwa Zionisme dan kolonialisme pemukim adalah satu-satunya solusi untuk (antisemitisme Eropa yang sangat nyata) terus berkembang.
Setelah kesepakatan ini dipertimbangkan, menjadi jelas bahwa tidak akan pernah ada gencatan senjata permanen di tanah yang dirampas. Bagi gerakan ini, “hak kembali” dan “tanah kembali” tetap menjadi tujuan kami.
Bergerak dari jeda menuju pembebasan
Izinkan saya memulai dengan menggambarkan gerakan sosial yang, menurut saya, telah memberi kita sejenak napas di tengah perjuangan panjang ini. Kita telah menyaksikan ledakan demonstrasi besar-besaran di berbagai penjuru dunia, gelombang pemberontakan mahasiswa di kampus-kampus, armada solidaritas (flotilla), pemogokan umum yang menggetarkan Italia, dan aksi-aksi buruh yang mungkin tidak begitu mencolok, tetapi sama pentingnya, yang terjadi di ruang-ruang kerja dan universitas.[4] Dan di atas semua itu—yang paling penting—adalah perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan di Gaza dan Tepi Barat. Semua tindakan ini, jika dilihat bersama, mewakili denyut ”gerakan” yang hidup di masa kini. Gerakan ini, dengan segala bentuk dan kekuatannya, perlu terus tumbuh, menyebar, dan diperkuat, agar kita benar-benar dapat bergerak dari sekadar jeda menuju pembebasan yang sesungguhnya.
Jika kita di kalangan kiri benar-benar serius ingin memperluas jangkauan perjuangan dan solidaritas kita, maka perdebatan pasti tak terelakkan. Akan selalu ada perbedaan pandangan tentang hal-hal yang tampak kecil: strategi mana yang paling efektif, dengan siapa kita sebaiknya bekerja sama, dan bagaimana menghadapi represi negara yang terus membayangi. Namun, perdebatan di antara sesama rekan seperjuangan justru merupakan tanda sehat dari gerakan kiri yang hidup dan dinamis. Sejak 7 Oktober, kita telah menyaksikan percakapan yang sungguh produktif di dalam gerakan—tentang peran kekerasan dalam perjuangan, makna dekolonisasi dan kedaulatan, serta keterkaitan antara kapitalisme dan kolonialisme. Dalam semangat itulah, Jacobin menerbitkan wawancara (https://jacobin.com/2025/10/palestine-gaza-solidarity-us-strategy) Eric Blanc bersama Hoda Mitwally dan Bashir Abu-Maneh—sebuah kontribusi berharga bagi perdebatan strategi di dalam gerakan.[5] Tulisan tersebut panjang dan mendalam, dan saya sangat menyarankan siapa pun yang peduli pada perjuangan ini untuk membacanya. Namun, di sini saya ingin menawarkan pandangan berbeda, bukan untuk menolak, tetapi untuk menantang dan memperkaya argumen mereka dari sudut pandang lain.
Artikel tersebut berangkat dari dua asumsi utama. Pertama, bahwa gerakan di Amerika Serikat ”telah gagal secara konsisten membangun koalisi yang luas dan inklusif, padahal kekuatan semacam itu dibutuhkan untuk memperluas pengaruh dan tekanan politiknya.”
Asumsi kedua, bahwa keterbatasan ini sebagian besar bersumber dari kecenderungan politik ultrakiri dalam kepemimpinan gerakan tersebut. Dua contoh yang mereka kutip adalah:
(a) bagaimana retorika yang berkembang di ruang-ruang ”kampus” sering kali terdengar provokatif dan mudah disalahartikan, sehingga menjadi hambatan dalam menarik simpati publik yang lebih luas dan mengajak lebih banyak orang terlibat dalam perjuangan untuk gencatan senjata serta penghentian investasi di Israel”;
(b) bahwa beberapa kelompok aktivis Palestina—yang bahkan diakui “telah memimpin sejumlah demonstrasi terbesar,” pada dasarnya adalah “aktivis kelas menengah” yang terlalu keras menolak keterlibatan pihak lain, termasuk Zionis liberal, di dalam gerakan solidaritas. Mereka berpendapat bahwa sikap eksklusif ini muncul karena kurangnya pemahaman terhadap dinamika politik kelas. Dari logika itulah, mereka menilai bahwa para aktivis ultrakiri sering kali melontarkan kritik tajam terhadap tokoh-tokoh seperti Alexandria Ocasio-Cortez, anggota DSA yang mendukung pendanaan sistem pertahanan Iron Dome, dan Jamal Bowman, yang menolak mengikuti keputusan DSA sendiri terkait dukungan terhadap gerakan BDS; dan akhirnya,
(c) artikel itu menekankan bahwa cara terbaik untuk memperluas gerakan adalah dengan “secara aktif terlibat dan berkomitmen” membangun “front persatuan,” baik di dalam maupun di luar struktur politik yang ada, demi mencapai gencatan senjata permanen. Namun, penulis artikel tersebut juga mengeluhkan bahwa “kiri aktivis AS” justru keliru menjadikan isu Iron Dome sebagai tolok ukur utama sikap politik, serta terlalu cepat mengambil posisi ideologis yang ingin memisahkan diri dari Partai Demokrat, baik sekarang maupun dalam waktu dekat.[6]
Dari pandangan-pandangan ini, tersimpan dua ilusi berbahaya yang menjadi dasar logika mereka—dua asumsi keliru yang, menurut saya, justru mempersempit arah gerakan.
(i) terdapat anggapan bahwa gerakan ini digerakkan bukan oleh kelas pekerja sejati, melainkan oleh para aktivis mahasiswa dari kalangan menengah; dan
(ii) hanya perjuangan yang terjadi di ranah produksi—di pabrik, di tempat kerja—yang dapat disebut sebagai “perjuangan kelas yang sesungguhnya”, dan bahwa perubahan sosial yang bersifat transformatif hanya bisa lahir dari ruang itu.
Saya pikir, saya dan rekan-rekan ini membaca Marx—dan mungkin juga membaca realitas sehari-hari—dengan cara yang sangat berbeda. Lihat saja Asia Selatan, kawasan yang saya kenal dengan baik: dalam satu tahun terakhir saja, tiga rezim di sana telah tumbang oleh gerakan yang dipimpin oleh mahasiswa.[7] Apakah kita kemudian harus menyalahkan para pemuda di Sri Lanka, Nepal, dan Bangladesh karena dianggap tidak cukup “Marxis”?
Tanpa sedikit pun bermaksud sarkastis, mari kita lihat fakta: antara Oktober 2023 dan Maret 2024, lebih dari satu juta orang di Amerika Serikat turun ke jalan untuk membela Palestina. Apakah kita sungguh percaya bahwa gelombang massa sebesar itu tidak memiliki orientasi kelas—bahwa mereka semua hanyalah “aktivis kampus kelas menengah” tanpa akar sosial? Kenyataannya, aksi-aksi ini telah mengguncang lanskap politik Amerika, dari ruang kuliah hingga jalan raya. Dan hasilnya bisa diukur: menurut survei Gallup pada Maret 2024, pandangan publik tentang tindakan Israel di Gaza mengalami pergeseran besar—dari mayoritas yang mendukung pada November 2023, menjadi mayoritas yang menolak hanya dalam waktu empat bulan.[8]
Gelombang pendudukan kampus oleh mahasiswa juga menghadapi represi brutal: lebih dari 3.200 orang ditangkap selama aksi-aksi tersebut.[9] Mahasiswa, dosen, dan staf dipukuli, dipecat, diusir dari kampus, bahkan ada yang dideportasi. Pihak administrasi universitas mengubah kampus menjadi medan perang, menghadapi mahasiswa tak bersenjata yang hanya menuntut hak konstitusional mereka untuk berunjuk rasa secara damai. Di beberapa kampus, penembak jitu ditempatkan di atap, sementara petugas bersenjata mengontrol setiap gerakan kami. Saya melihat sendiri bagaimana staf non-serikat, dosen paruh waktu, hingga pekerja toko buku kampus berdiri di sisi mahasiswa, membentuk barikade untuk melindungi mereka dari kekerasan polisi. Momen solidaritas ini menunjukkan bahwa gerakan kampus bukan sekadar protes mahasiswa, tetapi manifestasi luas dari perlawanan sosial lintas kelas. Lebih dari itu, gerakan perkemahan ini mendapat dukungan penuh dari Komite Nasional BDS Palestina (BNC), yang menegaskan bahwa aksi-aksi tersebut telah berhasil menarik perhatian dunia terhadap keterlibatan institusi akademik dalam genosida dan sistem apartheid Israel—sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam skala seperti ini.[10]
Saya tidak ragu untuk menyebut ini sebagai perjuangan kelas. Bukankah Anda juga?
Saya sepenuhnya sependapat dengan Hoda Mitwally dan Bashir Abu-Maneh bahwa hanya kelas pekerja di bawah sistem kapitalisme memiliki kekuatan nyata untuk menghentikan roda sistem itu sendiri. Cukup lihat apa yang terjadi di Italia untuk membuktikannya. Namun, sejarah modern berulang kali mengingatkan kita bahwa dinamika perjuangan kelas tidak pernah berjalan dalam garis lurus. Aksi kelas tidak selalu dimulai dari pabrik atau tempat kerja lalu menyebar keluar. Kadang, pemicu perubahan besar justru datang dari ruang-ruang yang tampak kecil dan tak terduga—dari sekelompok warga sipil yang sangat berani di atas perahu kecil, membawa beras dan susu bayi, namun cukup teguh untuk menantang kekuasaan sebuah imperium. Sekali lagi, lihatlah Italia.[11]
Saya juga sependapat dengan keduanya bahwa ini adalah momen penentu bagi gerakan solidaritas Palestina di Amerika Serikat. Beberapa bulan ke depan akan memperlihatkan apakah kita akan terus menempuh jalan lama—berusaha menenangkan Zionisme liberal dan “berkolaborasi” dengan pejabat Partai Demokrat di ranah elektoral mereka, sebuah strategi yang telah terbukti melumpuhkan sayap kiri di negeri ini. Atau, sebaliknya, apakah kita akan mengambil inspirasi dari rakyat Palestina, dari flotilla, dan dari para aktivis muda—kelas pekerja, imigran, serta mahasiswa—yang terus membangun gerakan jauh dari pengaruh toksik Zionisme liberal. Kita tentu bisa, sebagaimana disarankan para penulis, menyerukan agar dana publik dialihkan untuk layanan kesehatan, bukan untuk mendukung Israel, dalam forum-forum serikat pekerja—tanpa harus bersekutu dengan politisi seperti Brad Lander atau Adam Schiff. Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) tentu selalu diterima di ruang-ruang perjuangan kita: di perkemahan, dalam demonstrasi, dan aksi “pack the courts.” Namun, penerimaan itu tidak berarti kita harus menggunakan ruang publik untuk membela pembenaran AOC terhadap sistem pertahanan Iron Dome, sebuah posisi yang tidak bisa dibenarkan dalam semangat solidaritas sejati.[12]
Kesepakatan gencatan senjata versi Trump tampaknya merupakan upayanya untuk memulihkan kembali hubungan Amerika Serikat dengan kapitalisme Teluk, sekaligus menjinakkan ketegangan dengan Qatar, yang sempat marah akibat serangan udara Israel yang gegabah pada 9 September. Langkah ini juga mencerminkan ambisinya untuk menghidupkan kembali Perjanjian Abraham 2020, proyek diplomatik yang dulu menjadi simbol kejayaannya, guna menopang reputasinya yang mulai memudar. Lebih jauh lagi, Trump berharap memastikan arus modal dari negara-negara Teluk mengalir ke proyek-proyek pantai yang ia rancang di Gaza, menjadikannya bagian dari peta ekonomi pasca-konflik yang menguntungkan bagi kepentingan bisnisnya sendiri.[13]
Ada sesuatu yang menggetarkan sekaligus memilukan dalam kenyataan bahwa para tahanan Palestina dibawa pulang dengan bus dari Israel untuk bertemu kembali dengan keluarga mereka di tanah air yang dijajah. Bus—bukan pesawat atau kapal—menggambarkan betapa dekatnya jarak antara penjara dan rumah, antara tempat penyiksaan dan tempat asal mereka. Namun, jalan yang mereka lalui kini berlumuran darah lebih dari enam puluh tujuh ribu warga Palestina, termasuk setidaknya dua puluh ribu anak-anak. Setiap kilometer perjalanan itu adalah pengingat sunyi tentang kehidupan yang direnggut dan keluarga yang hancur, bahkan ketika dunia menyebut momen ini sebagai “pemulangan.”[14]
Bagi kita yang berada di luar Palestina, gencatan senjata bukanlah akhir, melainkan jeda singkat—sebuah celah waktu untuk memperkuat solidaritas dan memperbarui komitmen kita. Ini adalah kesempatan untuk mendukung kebangkitan rakyat Palestina yang tak pernah menyerah, menyuburkan kembali kebun zaitun mereka yang menjadi simbol keteguhan, dan menyambung suara para penyairnya yang terus melantunkan lagu kebebasan. ***
Kepustakaan
[1] Jason Burke, “Hamas will be disarmed, Netanyahu vows after ceasefire begins,” Guardian, October 10, 2025, https://www.theguardian.com/world/2025/oct/10/what-does-gaza-deal-hamas-mean-for-benjamin-netanyahu-future.
[2] Tweet by Mouin Rabbani (@MouinRabbani), X, October 10, 2025, 9:55 p.m., https://x.com/MouinRabbani/status/1976828875201028367; Richard Cowan, “Trump unsure whether Tony Blair would be accepted on Gaza peace board,” Reuters, October 13, 2025, https://www.reuters.com/world/europe/trump-unsure-whether-tony-blair-would-be-accepted-gaza-peace-board-2025-10-13/.
[3] Jerusalem Post Staff, “Majority of Jews think Israel committed war crimes, 40% say guilty of genocide in Gaza – poll,” Jerusalem Post, October 5, 2025, https://www.jpost.com/diaspora/article-869406.
[4] Sam Jones et al, “The Gaza effect: how a global pro-Palestine protest movement met repression and resistance,” Guardian, October 11, 2025, https://www.theguardian.com/world/2025/oct/11/the-gaza-effect-how-a-global-pro-palestine-protest-movement-met-repression-and-resistance.
[5] Eric Blanc, Bashir Abu-Manneh, and Hoda Mitwally, “Ultraleftism Can’t Free Palestine: An Interview with Bashir Abu-Manneh and Hoda Mitwally,” Jacobin, October 7, 2025, https://jacobin.com/2025/10/palestine-gaza-solidarity-us-strategy.
[6] Blanc, Abu-Manneh, and Mitwally, “Ultraleftism Can’t Free Palestine.”
[7] Yashraj Sharma, “Nepal, Bangladesh, Sir Lanka: Is South Asia fertile for Gen Z revolutions,” Al Jazeera, September 16, 2025, https://www.aljazeera.com/features/2025/9/16/sri-lanka-bangladesh-nepal-is-south-asia-fertile-for-gen-z-revolutions.
[8] Jeffrey M. Jones, “Majority in U.S. Now Disapprove of Israeli Action in Gaza,” Gallup, March 27, 2024, https://news.gallup.com/poll/642695/majority-disapprove-israeli-action-gaza.aspx.
[9] Associated Press, “Thousands were arrested at college students. For students the fallout was only the beginning,” NBC, August 2, 2024, https://www.nbcnews.com/news/us-news/thousands-arrested-college-protests-students-fallout-was-only-beginnin-rcna164807.
[10] BDS Movement, “Student Solidarity,” BDS, n.d., https://bdsmovement.net/student-solidarity, emphasis added.
[11] Laura Montanari, “Italy’s Second General Strike for Gaza Brought 2 Million Workers into the Streets,” Truthout, October 11, 2025, https://truthout.org/articles/italys-second-general-strike-for-gaza-brought-2m-workers-into-the-streets/; Leopoldo Tartaglia, “Millions of Italians Join General Strike for Gaza,” Labor Notes, October 9, 2025, https://www.labornotes.org/2025/10/millions-italians-join-general-strike-gaza.
[12] Blanc, Abu-Manneh, and Mitwally, “Ultraleftism Can’t Free Palestine.
[13] Kevin Liptak, “Trump’s Insistence produced a ceasefire in Gaza. Now he hopes it will end the way,” CNN, October 13, 2025, https://www.cnn.com/2025/10/13/politics/donald-trump-ceasefire-israel-gaza-war.
[14] Marium Ali, Alia Chugtai, and Muhammet Okur, “Two years of Israel’s genocide in Gaza: By the numbers,” Al Jazeera, October 7, 2025, https://www.aljazeera.com/news/2025/10/7/two-years-of-israels-genocide-in-gaza-by-the-numbers; “Gaza’s Missing Children: Over 20, 000 Children Estimated to be Lost, Disappeared, Detained, Buried Under Rubble Or in Mass Graves,” Save the Children, June 24, 2024, https://www.savethechildren.net/news/gazas-missing-children-over-20000-children-estimated-be-lost-disappeared-detained-buried-under.
Tithi Bhattacharya adalah editor Spectre. Dia menulis di sini secara pribadi, tidak mewakili pandangan organisasi atau lembaga mana pun. Artikel ini sebelumnya telah dimuat di jurnal Spectre (https://spectrejournal.com/there-are-no-ceasefires-on-stolen-land/). Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan dan membantu Pembangunan Gerakan Anti Imperialisme di Indonesia.




