Merebut Kerja Reproduksi: Jalan Revolusi dari Dapur, Meja Makan, hingga Bank Sentral

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Wikimedia


KELAS PEKERJA kita hidup dalam kondisi kerja yang rapuh, upah yang stagnan, dan beban hidup yang semakin berat akibat kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan modal daripada kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, pembacaan ulang atas sejarah perlawanan dan imajinasi tentang tatanan baru menjadi penting, bukan sekadar untuk mengenang, melainkan juga untuk memperkaya strategi perjuangan yang relevan bagi gerakan pekerja masa kini.Tulisan ini hendak menjadi pengantar untuk diskusi lebih luas: bagaimana kelas pekerja Indonesia dapat menemukan kembali kekuatannya, mengaitkan perjuangan sehari-hari dengan cita-cita perubahan sosial yang lebih besar, serta menegaskan perannya sebagai motor dalam perjuangan menuju masyarakat yang adil dan bermartabat.


Kerja Reproduktif sebagai Fondasi Kapitalisme

Jika kita masih memandang kerja semata-mata sebagai aktivitas produktif di pabrik, kantor, atau sawah, maka kita telah terjebak dalam dogma terbesar kapitalisme: bahwa nilai hanya lahir dari kerja produksi formal. Inilah ilusi besar yang justru memperkuat kekuasaan kapital atas kehidupan kita sehari-hari. Pandangan sempit ini menjauhkan kita dari pemahaman tentang bagaimana kapitalisme menggantungkan keberlangsungan sistemnya pada kerja-kerja yang tak kasatmata, tak dibayar, dan kerap dianggap “alami” dalam kehidupan rumah tangga. Ia menciptakan bayang-bayang seolah-olah produksi kapital hanya terjadi di ruang pabrik, padahal kehidupan sehari-hari kita adalah ladang nyata eksploitasi kapital yang lebih dalam dan luas.

Kerja dalam kapitalisme bukan semata-mata soal delapan jam kerja formal. Ia juga hadir dalam kehidupan sosial kita: dari memasak sarapan sebelum bekerja, merawat anak dan orang tua, mencuci pakaian, hingga mengatur belanja bulanan. Semua aktivitas ini tidak hanya memungkinkan pekerja untuk kembali bekerja keesokan harinya, tetapi juga membentuk ulang struktur sosial yang menopang relasi produksi kapitalisme itu sendiri. Di sinilah pentingnya memahami konsep kerja reproduktif, yaitu kerja yang mempertahankan dan mereproduksi tenaga kerja agar tetap bisa diperas kembali oleh kapital secara berkelanjutan.

Lise Vogel, dalam karyanya Marxism and the Oppression of Women, menegaskan bahwa kapitalisme modern bergantung pada kerja tak dibayar yang dilakukan terutama oleh perempuan di ranah rumah tangga. Tanpa kerja ini, kapital tidak akan pernah bisa melanggengkan siklus produksinya. Maka, kerja reproduktif bukan pelengkap atau pinggiran. Ia justru merupakan jantung tersembunyi dari kapitalisme itu sendiri, fondasi tak terlihat dari akumulasi kapital, sekaligus medan perang yang selama ini luput dari perhatian perjuangan kelas tradisional.

Kapitalisme hari ini bersifat totalitarian. Ia menembus batas ruang produksi formal dan hidup dalam setiap aspek hidup kita: konsumsi, relasi sosial, bahkan waktu luang. Seperti dikatakan Mario Tronti dalam Operai e Capitale, kapital selalu bergerak mendahului dan menyelubungi kerja, bahkan dalam ruang-ruang yang tampak tidak produktif. Ia menyusup ke dalam kebutuhan sehari-hari, hasrat, hingga cara kita memahami diri sendiri sebagai manusia. Karena itu, pembebasan tak bisa dicapai hanya dengan mengontrol alat produksi formal. Kita juga harus membongkar relasi sosial di mana kerja reproduktif dan afektif dipinggirkan serta diprivatisasi.

Jika demikian, maka melawan kapitalisme tak bisa lagi hanya berfokus pada pabrik atau upah. Kita harus mengorganisir ulang kerja reproduktif dan konsumsi kita, karena di situlah kapital menyembunyikan kekuatan akumulasinya. Ruang dapur, meja makan, kamar tidur, dan relasi keluarga bukanlah ruang netral. Semuanya adalah ladang utama penghisapan nilai. Mengorganisir ruang-ruang ini secara kolektif bukan hanya strategi efisiensi, melainkan langkah awal menuju revolusi sosial yang sesungguhnya.


Koperasi Konsumsi: Tata Kelola Politik Kelas Pekerja dari Dapur ke Komunitas

Bayangkan: alih-alih makan tiga kali sehari dengan biaya Rp15.000 per porsi (total Rp45.000/hari atau Rp1,35 juta/bulan), kita membentuk koperasi konsumsi. Jika koperasi ini memiliki 1.000 anggota, maka total dana kolektif yang dihimpun bisa mencapai Rp1,35 miliar per bulan. Dana sebesar itu selama ini mengalir ke kapitalis restoran, pedagang besar, dan rantai distribusi logistik korporasi. Namun, dalam model koperasi, kekuatan uang ini bisa diarahkan untuk membiayai sistem distribusi dan produksi yang dikontrol secara demokratis oleh para anggotanya sendiri.

Apa yang terjadi bila uang sebesar ini tidak lagi mengalir ke saku kapitalis, tetapi dikelola oleh koperasi yang dimiliki dan dikontrol secara setara? Ini bukan sekadar efisiensi atau penghematan. Ini adalah bentuk nyata dari pembajakan terhadap sirkuit kapitalisme. Ia memotong rantai akumulasi kapital dan mengarahkannya kembali ke kantong rakyat pekerja. Konsumsi, yang selama ini diposisikan sebagai kegiatan pasif dan individual, dalam koperasi berubah menjadi kerja sosial yang aktif dan terorganisir. Ia menjadi medan politik di mana rakyat tidak hanya membeli, tetapi juga menentukan arah produksi dan distribusi.

Model ini mencerminkan apa yang disebut Mariarosa Dalla Costa sebagai perluasan medan perjuangan kelas ke dalam kerja reproduktif dan konsumsi. Dalam pendekatan operaismo-feminis, koperasi konsumsi bukan sekadar organisasi ekonomi, melainkan alat politik untuk merebut kendali atas kehidupan sehari-hari. Ia melampaui logika serikat buruh konvensional yang berfokus pada upah, dan menegaskan bahwa pembebasan sejati dimulai dari bagaimana kita mengelola kebutuhan dasar secara kolektif.

Dengan membayar langganan makan melalui koperasi, tiap anggota pada dasarnya menanam saham dalam sistem produksi baru. Sistem ini menolak kepemilikan mayoritas oleh satu pihak karena setiap orang memiliki hak suara yang setara. Model ini sekaligus membangun solidaritas dan ketahanan komunitas terhadap gejolak pasar. Ketika krisis ekonomi atau inflasi melanda, koperasi tetap dapat menyediakan makanan dan kebutuhan pokok dengan harga stabil karena didukung oleh kekuatan kolektif, bukan mekanisme pasar.

Koperasi konsumsi, dengan demikian, bukan sekadar jawaban atas kemiskinan atau kelangkaan pangan. Ia adalah kendaraan untuk membangun kuasa politik dari bawah, dari dapur, meja makan, hingga komunitas. Ia membalik relasi kuasa antara produsen dan konsumen, antara kapital dan rakyat. Dalam koperasi, konsumsi menjadi bentuk partisipasi politik yang membangun struktur sosial alternatif.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Merebut Rantai Distribusi dan Produksi: Membangun Infrastruktur Ekonomi Tandingan

Setelah konsumsi, tahap selanjutnya adalah memotong rantai distribusi. Dengan dana kolektif dan keuntungan dari koperasi konsumsi, kita bisa membangun koperasi kurir, logistik, pengolahan pangan, hingga koperasi grosir. Dalam sistem logistik kapitalis, nilai sering kali diperas melalui berbagai lapisan perantara, mark-up harga, dan monopoli distribusi. Maka, ketika koperasi mampu menguasai distribusi, ia telah memangkas sebagian besar nilai kapitalis yang diperoleh lewat jalur logistik.

Langkah-langkah ini berarti kelas pekerja mulai mengakumulasi alat produksi. Caranya bukan dengan membeli saham di bursa, melainkan dengan membangun ulang masyarakat dari bawah. Dari dapur, warung, pasar, gudang, hingga lahan pertanian, koperasi dapat menciptakan ekosistem produksi yang saling menopang. Hal ini melahirkan kedaulatan ekonomi yang bertumpu pada kerja kolektif, bukan pada akumulasi individu. Dalam jangka panjang, koperasi dapat merancang jalur produksi dari hulu ke hilir yang sepenuhnya bebas dari kontrol kapital.

Namun, membangun infrastruktur ekonomi tandingan membutuhkan kesiapan teknis, logistik, dan manajerial. Seperti dikatakan Friedrich Engels dalam Anti-Dühring, penghapusan kapitalisme tanpa pengelolaan sosial yang terorganisir hanya akan menimbulkan kekacauan baru. Karena itu, koperasi produksi dan distribusi harus berdiri di atas prinsip transparansi, demokrasi ekonomi, dan akuntabilitas kolektif. Ia harus menjadi sekolah kolektif untuk mengelola masyarakat baru.

Distribusi dan produksi yang dikendalikan koperasi juga membuka peluang untuk membebaskan waktu. Waktu yang selama ini dihabiskan dalam kerja upahan dan konsumsi individual dapat diubah menjadi waktu kolektif: memasak bersama, mengurus logistik komunitas, belajar teknik produksi, atau membangun jaringan antar-koperasi. Inilah bentuk pengorganisiran ulang kehidupan sehari-hari yang memampukan revolusi berjalan dalam langkah-langkah kecil namun konsisten.

Pada titik ini, koperasi tidak lagi sekadar organisasi ekonomi. Ia telah menjadi embrio masyarakat pascakapitalis, yaitu masyarakat yang dibangun dari kerja bersama, distribusi adil, dan solidaritas sebagai prinsip utama.


Finansialisasi ala Kelas Pekerja: Bank Sentral Kelas Pekerja

Tahap terakhir dari strategi ini adalah pertarungan di level finansial. Uang hari ini, sebagaimana dikritik oleh Nancy Holmstrom dan Heidi Hartmann, tak lagi mencerminkan kerja, melainkan mencerminkan kuasa. Ia bisa dimiliki bahkan oleh mereka yang tidak bekerja, selama mereka punya akses terhadap sistem keuangan global. Maka, koperasi besar perlu mulai membangun sistem keuangan alternatif: bank koperasi, sistem kas internal, dan akhirnya mata uang lokal atau complementary currency.

Sistem ini bukan mimpi. Berbagai komunitas di Amerika Latin dan Eropa telah mempraktikkannya dalam bentuk LETS (Local Exchange Trading Systems) atau mata uang komunitas seperti Bristol Pound dan Sardex. Dengan sistem ini, komunitas bisa melindungi diri dari inflasi, mengatur ulang harga berdasarkan nilai kerja nyata, dan membangun sistem tukar yang tak bergantung pada kapital finansial global. Mata uang komunitas bukan sekadar alat tukar, melainkan instrumen politik untuk mendemokratisasikan nilai.

Bank sentral koperasi dapat menjadi lembaga yang mendistribusikan pinjaman mikro untuk anggota, mendanai investasi produktif, dan menstabilkan harga kebutuhan pokok. Ia juga bisa menjadi pusat informasi ekonomi alternatif yang mengukur kesejahteraan bukan dari pertumbuhan GDP, melainkan dari kesehatan komunitas, ketersediaan pangan, dan kualitas relasi sosial. Dengan cara ini, koperasi tidak hanya melawan sistem finansial global, tetapi juga mendefinisikan ulang apa yang dimaksud dengan “nilai” dan “kekayaan.”

Ketika konsumsi, distribusi, produksi, dan keuangan telah terorganisir dalam kerangka koperasi, maka kita sedang membangun sebuah tentara sosial yang mampu hidup di luar kapitalisme. Kapital tidak lagi bisa menjangkau kita. Kita pun tak lagi rentan terhadap krisis global buatan IMF atau fluktuasi harga pangan internasional, karena nilai hidup kita berakar dari kerja nyata, bukan dari fiksi pasar.


Revolusi sebagai Kerja-Kerja Kecil yang Konsisten

Revolusi bukanlah satu malam. Ia bukan soal mengambil alih gedung-gedung negara dalam euforia sesaat. Ia dibangun dari kerja-kerja kecil yang sering diremehkan: memasak, mengatur dapur, mengantar logistik, mendistribusikan makanan, mencatat pengeluaran, dan menyiapkan koperasi untuk ekspansi. Dari situlah kelas pekerja mengatur ulang tatanan, bukan dengan slogan, melainkan dengan infrastruktur kehidupan alternatif yang kolektif, setara, dan tahan banting.

Seperti diajarkan operaismo, kelas pekerja tidak harus menunggu kapital berubah. Justru kapital yang selama ini terus-menerus bereaksi terhadap komposisi teknis dan politik kelas pekerja. Maka, mari kita paksakan kapital untuk bereaksi terhadap kita, bukan sebaliknya. Dengan membangun masyarakat alternatif hari ini, kita sedang menciptakan masa depan yang tak tunduk pada logika kapital.

Dalam setiap dapur kolektif, koperasi pangan, logistik komunitas, dan bank koperasi, kita sedang melatih diri untuk memerintah tanpa negara kapitalis. Kita sedang membentuk kelas pekerja bukan sebagai korban, melainkan sebagai pemimpin masyarakat baru. Revolusi tidak harus jargonis. Ia bisa berjalan dalam keheningan, dalam kerja-kerja sederhana yang terus-menerus direproduksi dan menjadi kekuatan kolektif yang setara dalam menentang kapitalisme.

Dan dari dapur itu, dari meja makan yang dikelilingi solidaritas, dari logistik yang dikirim atas dasar kebutuhan dan bukan laba, dari kas kolektif yang menolak riba—di situlah tatanan baru mulai bertunas.


Referensi

Dalla Costa, Mariarosa, and Selma James. The Power of Women and the Subversion of the Community. Bristol: Falling Wall Press, 1972.

Engels, Friedrich. Anti-Dühring. 1877. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1877/anti-duhring/.

Holmstrom, Nancy, and Heidi Hartmann. “The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a More Progressive Union.” Capital & Class 3, no. 2 (1976): 1–33. https://doi.org/10.1177/030981687600300102.

Sardex.net. Sardex Complementary Currency. https://www.sardex.net/.

Tronti, Mario. Operai e Capitale. Torino: Einaudi, 1966. [English edition: Workers and Capital. London: Verso Books, 2019.]

Vogel, Lise. Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory. New York: Monthly Review Press, 1983.

Wikipedia. “Local Exchange Trading System.” https://en.wikipedia.org/wiki/Local_exchange_trading_system


Zidan Faizi adalah Staf Departemen Media & Propaganda, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) dan Ketua Umum Suara Muda Kelas Pekerja, Partai Buruh.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.