Liberalisme Demagog Ulil  

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Viva


MARI kita jujur: artikel Ulil Abshar Abdalla berjudul “Ketahanan Politik Kita”  adalah brosur stabilitas politik rezim yang ditulis dengan buruk. Artikel yang terbit di Kompas (28/8) ini adalah daftar klise dan platitude tentang perlunya menjauhi “puritanisme”, tentang demokrasi sebagai “the only game in town”. Ia sama sekali tidak menjawab substansi tulisan Djayadi Hanan (”Ketahanan Demokrasi”) di harian yang sama (21/8) yang niatnya ia respons.

Saran Ulil untuk mengurangi ”dosis demokrasi” adalah sebuah memo yang mewajarkan penjinakan politik—barangkali juga sebuah ”Overture 28 Agustus” untuk menyambut gas air mata, kendaraan taktis, dan peluru pada hari-hari berikutnya.

Baiklah. Mengingat rekam jejak Ulil sebagai salah satu intelektual Muslim liberal terdepan, mari kita takar pendapat Ulil dengan cara-cara liberal. Artikel Hanan berangkat dari laporan-laporan tentang kondisi demokrasi di Indonesia (”partially free” menurut Freedom House; ”flawed” menurut EIU, dst.). Lalu ia  menunjukkan sumber ketahanan pada komitmen publik dan sebagian elite, meski keduanya menurun sejak 2019-2021. Inti mekanismenya jelas: demokrasi bisa bertahan bila ada protes yang luas, lintas sektor, bertahan lama dan mendapat dukungan dari elite oposisi. Ketahanan demokrasi dalam artikel Hanan adalah kapasitas korektif warga, bukan gincu stabilitas. Dan ia, tulis Hanan, ”harus berbentuk gerakan sosial.”

Indeks-indeks demokrasi yang dikutip Hanan sudah tentu bisa dikritik karena potensi bias, model seleksi data, metodologi, dan lain sebagainya—suatu kewajaran dalam proses ilmiah. Tapi rupanya bukan itu yang disinggung Ulil. Ia memang menerima fakta kemunduran tetapi mengalihkannya menjadi perkara ”ketahanan politik” yang parameternya pun tidak ia tunjukkan. Ulil bahkan merelativisir penurunan kualitas demokrasi sekadar sebagai “dinamika”. Syarat operasional ketahanan demokrasi yang dipaparkan Hanan (koalisi gerakan sosial lintas-sektor dan dukungan elite oposisi) tidak ia tanggapi. Sebagai gantinya, Ulil menawarkan “modifikasi” bahkan “mengurangi dosis” demokrasi atas nama “ketahanan politik”.

Definisi Ulil tentang ketahanan politik adalah ”kemampuan masyarakat kita untuk menjaga keberadaan negara ini sebagai sebuah ’rumah politik,’ dengan segala gempuran tantangan yang datang bertubi-tubi selama ini.” Dimensi penting dalam ketahanan politik, bagi Ulil, ”adalah kehendak kuat dalam masyarakat untuk hidup di bawah naungan satu negara bernama Indonesia.”

Dengan pijakan obskurantis itu pula ia imenggeser topik utama, yakni hak dan akuntabilitas, ke keberlangsungan negara. Buntut dari opini bersayap ini tidak main-main. ”Kehendak kuat” mengandaikan sebuah kehendak nasional yang tunggal, yang juga tidak mensyaratkan keberlangsungan demokrasi dalam proses pemeliharaannya. Maka, selama negara utuh maka ia dianggap sehat, sekalipun hak-hak warganegara dipersempit, protes dibatasi, dan rakyat dibikin babak belur. Tiap pembangkangan akan dibaca sebagai kurangnya “kehendak” untuk hidup bersama, bukan sebagai sinyal gagalnya kebijakan publik.

Begini. Ketahanan demokrasi itu punya indikator-indikator konkret, bukan sekadar perasaan ’kohesif’. Coba lihat: Apakah kasus-kasus kriminalisasi terhadap para pengkritik menurun? Apa kontrol aparat terhadap kebebasan berkumpul dan berpendapat offline dan online berkurang? Seberapa besar ruang yang dimiliki oposisi parlemen dan non-parlemen untuk mendorong koreksi atas kebijakan? Kita bisa berdebat panjang tentang apa saja indikator yang perlu dimasukkan ke dalam indeks demokrasi. Tapi “modifikasi” dan “mengurangi dosis” demokrasi? Ulil bahkan tak berani menyebut sebesar apa dosis itu bisa dikurangi; dan yang lebih penting: siapa yang berhak ”memodifikasi” dan menentukan dosis demokrasi. Walhasil, ia sekadar meletakkan beban moderasi di bahu rakyat. Rakyat diminta menahan diri atas nama keutuhan “rumah politik”, sementara aparat negara dan legislator (yang menurut Ulil hidup dalam ”bubble politik”, lagi-lagi truisme) dibiarkan berperilaku melampaui batas.  

Ulil kemudian mengutip Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia (2000) karya Robert W. Hefner untuk menyimpulkan bahwa karakteristik masyarakat kepulauan Indonesia yang “poliarkis” menjadikan demokrasi sistem yang secara alamiah paling cocok. Literatur ini diusung sebagai semacam ninabobo di zaman Prabowo sehingga pembaca tak perlu gusar akan kemunduran demokrasi yang telah berlangsung lama. Ada beberapa kesesatan di sini. Dalam teks Hefner, apa yang disebut Ulil sebagai ”poliarkis” adalah ”plurisentris”: karakteristik kehidupan sosial dalam sebaran pusat-pusat kuasa di kepulauan Nusantara yang menampik sentralisasi  (hlm. 14-15).

“… the striking feature of political organization in the early modern archipelago is that it was organized around a ‘pluricentric’ pattern of mercantile city-states, inland agrarian kingdoms, and tribal hinterlands… neither the courts nor religious scholars… exercised monopolistic control.”

Diksi “plurisentris” dalam Civil Islam menjelaskan struktur soso-historis beberapa abad silam, sama sekali bukan tentang jaminan prosedur demokratis. Berkebalikan dengan Ulil, Hefner bahkan memperingatkan bahwa karakteristik kebudayaan tersebut (“horizontalism”) tidak menjamin kewargaan demokratis sehingga pagar-pagar institusional mutlak dibutuhkan: negara yang membuka partisipasi publik dan lembaga peradilan dan organ-organ independen masyarakat yang mengawasi dan mengintervensi pelanggaran prosedur. Ulil, singkatnya, tengah merancukan tipologi masyarakat dengan tipologi rezim. Namun yang lebih fatal lagi, ketika menyebutnya “poliarki,” Ulil tengah menyelundupkan suatu makna normatif seolah syarat-syarat suatu rezim demokratis (kontestasi, partisipasi, hak sipil) sudah terpenuhi dalam karakteristik masyarakat kepulauan Indonesia berabad lalu.

Tapi mari sedikit berbaik sangka. Ulil mungkin merancukan Robert Hefner dengan Robert yang lain, yakni Robert Dahl, penulis buku Polyarchy (1971). Sayangnya, jika yang ia maksud betul-betul poliarki ala Dahl, argumen Ulil justru akan makin tersungkur tanpa menyisakan sedikit pun tanda-tanda keselamatan jasmani-rohani. Pasalnya, kriteria Dahl lebih luas dan terperinci: tuntutan kontestasi publik dan perluasan partisipasi dengan delapan jaminan institusional (kebebasan berorganisasi dan berekspresi, ketersediaan sumber-sumber informasi alternatif, kompetisi elektoral yang efektif, hak pilih universal, dst.).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Sialnya lagi, buku Dahl, seorang teoretikus liberal, sama sekali tak mengandung permusuhan eksplisit terhadap “puritanisme” dan hal-ihwal sejenisnya—sebuah adjektif yang dilekatkan Ulil kepada siapapun yang mengkhawatirkan penurunan kualitas demokrasi prosedural dan jaminan atas kebebasan sipil di Indonesia.  Label “puritanisme” ini tak bisa dianggap enteng. Nampaknya, dalam semesta liberalisme gaya Ulil, anti-“Puritanisme” sudah menjadi elemen primer yang haram hukumnya dipertanyakan—tak berbeda dari cap “antisemit” yang dilayangkan Israel ke para pengkritiknya. “Puritanisme” ini pun akhirnya sejalan dengan stempel “wahabi” yang ia sematkan kepada para aktivis yang cemas akan ugal-ugalannya kebijakan lingkungan pemerintah Indonesia dalam kasus tambang di Raja Ampat.

Exibit A: Cuitan Ulil pada 9 Juni:

“Peduli lingkungan, oke. Menjadi wahabi lingkungan jangan. Harus dibedakan antara peduli lingkungan dg menjadi “wahabi lingkungan” yg hanya menggaungkan “wokisme dan alarmisme global” dlm bidang lingkungan. Berbahaya!”

Tak lama setelah itu Ulil menjelaskan cuitannya dalam sebuah talkshow di KompasTV: Sedang terjadi kebangkitan politik kanan di negara-negara Barat” karena Barat “paling agresif menerapkan kebijakan untuk menangkal climate change.”

Argumen ini mengacaukan sebab-akibat: bangkitnya populisme di Eropa Barat dan Amerika Serikat terutama dipicu oleh guncangan harga energi dan inflasi, dampak ekonomi akibat deindustrialisasi serta kesenjangan pendapatan. Suara-suara kritis publik—yang tidak selalu kanan atau kiri—muncul karena rancangan kebijakan iklim yang ada justru membebani kaum miskin tanpa kompensasi dan jalur realokasi kerja yang jelas, bukan karena “wokisme”.

Kaum professional middle class liberal di negeri-negeri Barat memang gemar mensterilkan isu-isu lingkungan, menyulapnya menjadi barang jinak yang serba berbau teknis agar tak perlu mengkonfrontir isu-isu struktural. Sementara kaum populis kanan dan neofasis punya kepentingan untuk memadamkan segala pembicaraan tentang lingkungan karena toh mereka didanai konglomerat migas. Ulil kelihatannya mengambil jalur sinkretis: 15 persen liberal dan 85 persen populis kanan.* Preskripsi politiknya terdengar seperti common sense (“harus toleran”, “jangan ekstrem”), namun sesungguhnya bisa menjerumuskan khalayak ke dalam marabahaya. Dengan logika yang sama, orang bisa mengatakan: “Untuk menangkal fasisme, jadilah setengah fasis atau fasis seutuhnya.”

Beberapa jenis pemikiran kritis yang digeneralisir Ulil sebagai “wokisme” memang punya problem serius di tataran epistemik berkat penyalahgunaan jargon-jargon sains. Alan Sokal dan Jean Bricmont menyebutnya “fashionable nonsense“. Masalah dari pendapat Ulil? Tidak fashionable dan tidak make sense.

Pernyataan Ulil lainnya: “Lingkungan penting, tapi caranya harus proporsional.” Baiklah, mari kita bicara cara-cara proporsional. Untuk membenarkan eksploitasi alam gaya lama, Ulil mengambil contoh Tiongkok yang konsumsi batu baranya melonjak beberapa tahun belakangan ini. Di sini Ulil sama sekali tidak keliru. International Energy Agency mencatat permintaan batu bara Tiongkok mencapai rekor pada 2024 (sekitar 4,9 miliar ton, naik 1,5% dari 2023). Impor batu bara Tiongkok juga memecahkan rekor nyaris 543 juta ton pada 2024.

Namun, fakta yang ia comot itu bukan gambaran utuh. Yang tidak Ulil katakan: Tiongkok secara masif mengkampanyekan energi terbarukan dengan total kapasitas mencapai sekitar 277 GW tenaga surya dan 80 GW angin. Tiongkok juga mendorong kapasitas energi surya kumulatif hingga 886,7 GW. Dampaknya terlihat pada Mei 2024 ketika pasokan listrik dari batu bara menyentuh rekor terendah (53%) sementara energi bersih mencapai 44%.

Adakah contoh yang lebih proporsional dari Republik Rakyat Tiongkok? Mungkin saja ada. Tapi adakah pernyataan lanjutan Ulil tentang “cara proporsional” yang ia ungkit di awal? Nein. Zero. Nada. Jawaban Ulil mencerminkan sisa-sisa intelektualisme di kalangan elite pengambil kebijakan di Indonesia hari ini: latah mengutip satu-dua kebijakan Tiongkok tapi enggan menyinggung syarat-syarat historisnya. Sebabnya jelas: ikut jalan Peking berarti kehilangan tanah, jabatan, pendapatan, status, bahkan nyawa seperti yang dialami banyak pejabat Tiongkok dari 1966 hingga 1976.

Tak heran, alih-alih menuntaskan pembicaraan tentang kebijakan energi di Tiongkok, Ulil pun kabur ke dunia tafsir lantas menciptakan label nonsense—dan lagi-lagi tidak fashionable—semacam “wahabi lingkungan”. Tak ada desain kebijakan dan distribusi beban/manfaat transisi energi di sini. Seolah-olah urusan iklim adalah semata-mata perkara akidah, bukan data, regulasi, dan hak-hak rakyat. Seakan-akan perkara hidup-mati lingkungan bisa dibikin relatif, disejajarkan dengan selera ibadah orang per orang, umat per umat.

Kembali ke topik kita tentang kemerosotan demokrasi, dengan retorik tafsir ‘toleran’ yang sama Ulil cuma berpesan: jangan puritan.

“Puritanisme semacam ini justru menambah masalah. Yang saya maksud dengan pernyataan ini ialah: kita mesti mengakui adanya kelemahan-kelemahan intrinsik dalam demokrasi. Kelemahan ini tidak bisa disembuhkan kecuali dengan melakukan sejumlah “modifikasi” atas demokrasi agar ia sesuai dengan kenyataan-kenyataan sosial kita.”

Para pejabat Orde Baru menjual “Demokrasi Pancasila” sebagai antitesis demokrasi non-Pancasila yang dianggap riuh, rusuh, rumit. ‘Demokrasi’ jenis ini adalah sekadar varian dari tema luas eksepsionalisme. Dasarnya kira-kira begini: Masyarakat Indonesia konon adalah “the chosen people” dengan seperangkat nilai dari leluhur yang tak pernah luntur dan itu membuat demokrasi liberal maupun demokrasi rakyat tak pernah relevan.

Para otokrat Asia punya nama lain untuk “Demokrasi Pancasila” yakni “Asian Values.” Kaum reaksioner Jerman juga punya teori yang kelak mengilhami lahirnya Nazi, yaitu Sonderweg, bahwa bangsa Jerman semestinya mengikuti “hasrat otentiknya” sendiri untuk menjadi modern. Tak perlu tengok industrialisasi Inggris (yang membatasi privilese aristokrat), liberalisme Prancis (yang memenggal kelas ningrat), dan sosialisme Soviet (yang menghabisi kelas aristokrat dan borjuis). Dan kita tahu, argumen-argumen kekhususan semacam ini bermuara pada satu hal: jaga tatanan dan ketertiban demi kepentingan penguasa dan kelas yang berkuasa; dilarang protes karena protes dan oposisi bukan Budaya Kita.

Kini sebagian intelektual publik—termasuk Ulil—mengulang lagu lama itu dengan racikan baru. “Kenyataan sosial” diungkit sebagai dalih untuk merelativisir hak, mengecilkan protes, dan membonsai kapasitas korektif rakyat. Yang berubah hanya nama, namun mekanismenya identik: kekhususan situasional ditonjolkan untuk menanggapi kritik (atau membungkamnya), pembangkangan dipatologiskan, dan penjinakan politik dikemas sebagai “ketahanan politik.”

Sungguh terang jika liberalisme ekonomi sulit harmonis dengan massa—jika memang “massa” adalah entitas yang ditakutkan Ulil, sang liberal teladan—karena ia lahir dari kepentingan materiil kelas borjuasi. Liberalisme politik pun tak melulu cocok, meski konturnya lebih kompleks: ia muncul dari keprihatinan segelintir intelektual borjuis yang memerlukan dukungan massa untuk menjebol benteng feodalisme, kemudian menertibkan dan menundukkan massa begitu kemenangan dicapai. Namun, pada momen-momen kritisnya—sebut saja fase kedua Revolusi Prancis (1792-1794), respons gerakan buruh terhadap krisis-krisis kapitalisme di Barat pada peralihan ke abad ke-20, Amerika era New Deal, dan lain sebagainya—justru mobilisasi massa (tak jarang dengan bendera merah) yang sukses menyelamatkan nilai-nilai dasar liberalisme.

Berkat massa pula cita-cita emansipasi, kebebasan individu, serta hak-hak politik dan ekonomi menjadi sesuatu yang bermakna dan milik semua orang—tak sekedar ayat-ayat pemanis dalam konstitusi yang lebih sering dikencingi pemodal dan penguasa. Liberalisme politik punya utang nyawa yang terlampau besar kepada massa yang kerap dicitrakan urakan; kepada sosialisme dan berbagai bendera “puritan” lain yang membuat Ulil bergidik. Adalah massa—dengan segala kesabaran dan kekerasan melawan negara dan kelas berkuasa—yang telah berjasa memberadabkan liberalisme.

Liberalisme anti-puritan Ulil? Nol metrik. 1001 wishful thinking. 100% jinak. Pure demagogy.***


*Oh iya, saya mencoba bermurah hati: Angka 15 persen itu saya comot dari masa lalunya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.