Ilustrasi: Getty Images
Negeri Belanda telah mengambil langkah-langkah penting untuk berdamai dengan masa lampau kolonialnya. Karena itu akan merupakan langkah yang tepat sekali seandainya kemudian Sukarno juga memperoleh pengakuan seperti yang sudah merupakan haknya.
Ahad 17 Agustus 2025 ini, Indonesia merayakan 80 tahun kemerdekaannya. Almarhum bapakku adalah salah satu pendiri negara itu, sedangkan almarhum suamiku adalah seorang Belanda. Dia dan aku sering membahas hubungan Indonesia dengan Belanda, dan sepenuhnya dia dukung upayaku untuk lebih memahami masa lampau kolonial bersama kami. Sepanjang bahtera pernikahan kami, aku menjadi sadar bahwa dalam sejarah bersama kedua negara masih terlalu banyak fakta yang tidak diketahui orang.
Di Belanda, setahuku dapat muncul semacam keragu-raguan untuk merenungi lenyapnya wilayah jajahan yang sempat begitu penting bagi jati diri nasionalnya. Walau demikian aku terkejut juga melihat besarnya ketidaktahuan kalangan muda Belanda masa kini ¾ terutama karena dalam bidang ekonomi, andil Indonesia pernah begitu besar dalam perekonomian Belanda. Sekedar perbandingan: sepertinya kawula muda Inggris hanya samar-samar tahu adanya India atau bahwa negeri itu pernah merupakan jajahan.
Bahkan jika Britania dan Belanda termasuk dalam negara-negara yang paling membanggakan masa lampau kolonialnya, maka aku yakin bahwa nama Mahatma Gandhi walau lamat-lamat tetap diketahui oleh sebagian besar orang Inggris. Sekarang di Inggris terdapat pelbagai patung perunggu Gandhi, termasuk patung yang begitu monumental di Parliament Square di London, tidak jauh dari patung Winston Churchill. Di kalangan generasi muda Belanda, nama bapakku tak dikenal, sedangkan bagi generasi tua hanya tersisa kenangan pahit. Sudah terlalu lama bapak dihitamkan dengan pelbagai alasan yang salah.
Aku kehilangan bapak ketika baru mencapai tiga tahun. Peninggalannya begitu kompleks: pahlawan nasional, yang oleh kalangan tertentu dicap komunis, sedangkan oleh kalangan lain dituding kaki tangan. Keduanya kutolak mentah-mentah.
Selama perjuangan kemerdekaan, pemerintah Belanda yang mencari-cari dukungan Amerika, melancarkan propaganda anti bapak, mereka cap bapak sebagai kaki tangan pendudukan Jepang dan juga sebagai komunis. Karena aku besar di Prancis, maka istilah “collaborateur” (kaki tangan) mempunyai makna tercela. Ketika tentara pendudukan Jepang masuk Indonesia pada 1942, penguasa kolonial lari terbirit-birit, dan kami dibiarkan saja menjadi mangsa Jepang. Inilah halaman gelap sejarah, tetapi seperti kata ibuku kepada David Van Reybrouck, penulis Belgia pengarang buku Revolusi: “Ini sebenarnya mudah saja: orang Belanda memenjarakan Sukarno, sedangkan orang Jepang membebaskannya.”
Selama Perang Dingin, dekade 1950an, Presiden Amerika Dwight Eisenhower melancarkan kampanye anti komunis, dipimpin oleh kakak-beradik Dulles: John Forster Dulles, menjabat menteri luar negeri, dan Allen Dulles, direktur dinas rahasia CIA. Oleh Eisenhower pendirian politik netral dianggap tidak bermoral. Banyak kepala negara-negara Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang semula berjuang melawan kolonialisme, mendadak sontak harus berhadap-hadapan dengan imperialisme Amerika. Para pemimpin nasionalis yang berjuang meraih kemerdekaan dan berpolitik tidak memihak disingkirkan dengan alasan menganut komunisme. Nyatanya, negara-negara baru ini berupaya tidak melayani kepentingan Amerika, melainkan gampang saja: berupaya melindungi kepentingan nasional mereka sendiri-sendiri.
Aku baru belajar kenal siapa bapak sesungguhnya setelah berbicara dengan rekan-rekan seperjuangannya, dengan teman-temannya dan lewat keluarga kami, dan tentunya melalui buku sejarah. Maka kudapati bahwa pemerintah Belanda menggunakan Mashallplan (bantuan Amerika) untuk membiayai kehadiran tentaranya di Indonesia antara 1945 dan 1949, dalam upaya mematahkan kemerdekaan kami orang Indonesia. Aku juga tahu bahwa pemerintah Indonesia harus membayar ganti rugi kepada orang Belanda bagi “kekalahan mereka”, termasuk biaya perang ¾ dengan kata lain: biaya membunuh rakyat sendiri. Pada Konperensi Meja Bundar di Den Haag 1949, utusan Amerika Merle Cochran memihak Belanda dan menuntut Republik muda harus membayar 4,3 milyar gulden untuk melunasi hutang pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sekarang jumlah sebanyak itu mencapai 25 milyar euro.
Menurutku fakta-fakta seperti ini tidak diketahui mayoritas orang Indonesia. Sayang. Setelah pengambilalihan kekuasaan oleh rezim Orde Baru pada 1967, sejarah mereka tulis kembali supaya cocok dengan selera penguasa baru itu. Perjuangan kemerdekaan penuh heroisme setelah 350 tahun penjajahan Belanda malah diragukan. Maklum, bagaimana lagi orang harus membenarkan penahanan seorang bapak bangsa? Dia dikurung dalam tahanan rumah, tidak diberi perawatan walau sakit keras dan dilarang bertemu keluarga.
Sekarang bapak kembali dihormati di Indonesia, pemerintah telah memulihkan nama baiknya. Di depan Tweede Kamer (Majelis Rendah), Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menegaskan bahwa Belanda mengakui 17 Agustus 1945 “secara keseluruhan dan tanpa syarat” sebagai hari kemerdekaan Indonesia. Raja Willem-Alexander, atas nama negara, telah meminta maaf kepada rakyat Indonesia atas “kekerasan ekstrem” yang berlangsung selama perang kemerdekaan.
Pada 2022 dan 2023 Rijksmuseum yaitu museum nasional Belanda dan Nieuwe Kerk menyelenggarakan pameran tentang Indonesia. Aku sambut gembira upaya ini: mereka buka pintu bagi pembicaraan yang memilukan tapi penting tentang sejarah bersama ini.
Beberapa tahu silam, pemerintah kota Amsterdam berencana memberi nama jalan-jalan di IJburg, bilangan baru di Amsterdam timur dengan nama orang-orang yang berjuang bagi kemerdekaan di bekas jajahan Belanda: Indonesia, Suriname dan Antila Belanda. Tetapi lembaga penelitian KITLV, waktu itu dipimpin oleh Gert Oostindie, tampaknya hanya sudi memberi hormat kepada para pejuang yang pernah menetap di Belanda. Kriteria seperti ini bersifat semena-mena dan juga tidak diterapkan secara konsekuen: tampaknya itu diterapkan untuk menghalang-halangi jangan sampai nama bapak tercantum dalam daftar nama itu.
Selama zaman penjajahan, bapak tidak dapat bertandang ke Belanda. Setelah kemerdekaan dia tidak pernah sekali pun diundang datang ke Belanda. Bahkan sampai sekarang dia tetap seperti tamu yang tidak diharapkan datang. Sepanjang hidupnya ditentukan oleh satu negara Eropa yang tidak dapat dikunjunginya ¾dia menjalani, melawan dan memenangi kekuasaan Belanda¾ tapi 80 tahun setelah kemerdekaan tetap saja dia dicurigai.
Walau begitu Indonesia yang dimerdekakannya adalah negara terbesar keempat di dunia, demokrasi terbesar ketiga dalam sejarah, negeri dengan warga Muslim terbanyak sedunia, bangsa majemuk yang bangga, dan negara pertama setelah Perang Dunia Kedua yang menyatakan kemerdekaan.
Pada KTT legendaris Asia-Afrika di Bandung April 1955, bapak mengundang para pejuang kemerdekaan lain untuk menjadikan perjuangan Indonesia sebagai suri teladan. Dia beberkan bagaimana sebuah wilayah jajahan bisa menjadi negara merdeka. Dalam dekade-dekade sesudah itu model ini diikuti secara aktif oleh banyak negara lain. Bapak diterima dari New York sampai Moskow dan Peking sebagai pemimpin dunia yang berhasil membangkitkan gerakan dekolonisasi di seluruh dunia. Di banyak ibu kota, dari Mesir, Maroko, Pakistan dan Kamboja nama bapak digunakan sebagai nama jalan. Bandar udara tersibuk ketiga Asia Tenggara menyandang namanya. Tapi di Belanda? Nama bapak tak dapat ditemukan di mana-mana.
Padahal orang Belanda punya tradisi berani menyesuaikan toponim (nama orang yang dijadikan nama jalan, gedung, wilayah dst). Jikalau Pretoriusplein dan Louis Bothaplein di Amsterdam yang menyandang nama-nama kolonis kulit putih Afrika Selatan, kemudian diganti menjadi nama-nama para aktivis anti apartheid seperti Steve Biroplein dan Albert Luthulistraat; seperti jembatan Paul Krugerbrug di Utrecht yang ganti nama menjadi jembatan Sowetobrug; demikian pula puluhan nama Nelson Mandela untuk jalan, jalan besar, taman, dan jembatan di seantero Belanda, maka mengapa Coentunnel (Jan Pieterzoon Coen, pendiri Batavia dan pelaku genosida Banda) tidak diganti dengan nama lain yang lebih universal? Sekarang di Amsterdam terdapat sekitar 70 jalan yang merujuk pada pulau-pulau atau kota-kota Indonesia, tapi hanya terdapat delapan nama orang Indonesia. Rasanya tidak adil. Di bilangan Lombok, di kota Utrecht (Belanda tengah) terdapat jalan-jalan yang dinamai wilayah-wilayah Indonesia dan para “pahlawan” kolonial Belanda ¾termasuk banyak pembunuh keji¾ tapi tidak satu pun nama orang Indonesia. Seolah-olah Indonesia masih merupakan wilayah Belanda. Bukan itu yang diperjuangkan oleh bapak.
Sekali lagi ingin kutekankan: bapak tidak berjuang melawan rakyat Belanda, melainkan melawan sistem kolonial. Ini akan tetap merupakan revolusi yang tidak juga tuntas sejauh pemerintah Belanda tidak sepenuhnya berdamai dengan sejarahnya sendiri dan tidak mengambil langkah-langkah untuk mengakui bapak bangsa kami sebagai salah satu pejuang kemerdekaan terpenting abad ke XX. Indonesia harus memperoleh tempat yang layak baginya dalam ruang publik Belanda, dalam kurikulum sekolah Belanda, ingatan kolektif orang Belanda dan kesadaran dunia.
*) Versi awal dalam bahasa Belanda terbit pada harian Amsterdam NRC Handelsblad edisi 16 Agustus 2025. Diterjemahkan atas izin penulis oleh Joss Wibisono.