Ilustrasi: TVR/Kompas.com
SERING KALI, “belajar dari masa lalu agar tidak mengulangi kesalahan di masa depan” menjadi kredo klasik sekaligus salah satu jawaban paling sederhana jika seseorang bertanya mengapa kita masih harus tetap mempelajari sejarah. Saya kira jawaban ini masih terus relevan sampai kapan pun, dan dalam situasi apa pun, termasuk dalam konteks menjadi warga negara. Meski bukan satu-satunya, sumber belajar sejarah yang paling mudah dijangkau adalah buku sejarah nasional yang produksinya biasanya disponsori negara. Dalam konteks Indonesia, setidaknya telah dua kali negara memproduksi buku sejarah nasional, yakni Sejarah Nasional Indonesia (terbit pada 1975, dieditori Sartono Kartodirdjo, Nugroho Notosusanto, dan Marwati Djoened Poesponegoro) dan Indonesia dalam Arus Sejarah (terbit pada 2012, dieditori Taufik Abdullah dan A. B. Lapian).
Setelah berlalu selama 13 tahun, pada permulaan 2025 lalu buku sejarah nasional yang terbaru mulai disusun ulang dengan melibatkan 100-an sejarawan maupun arkeolog dari berbagai perguruan tinggi, dengan tiga editor utama yakni Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanuddin. Sayangnya, proyek penulisan sejarah nasional yang digagas oleh Kementerian Kebudayaan tersebut seperti tidak memberikan kebaruan yang substantif serta masih terjebak pada cara pandang usang yang telah banyak menuai kritik dan sanggahan akademik. Tulisan ini menelaah setidaknya dua dari sepuluh jilid yang rencananya akan diluncurkan secara resmi pada 10 November mendatang, atau tepat pada Hari Pahlawan (sebelumnya direncanakan terbit hari ini, pada Hari Kemerdekaan). Berdasarkan draf kerangka tulisan yang dibagikan dalam diskusi publik di Universitas Indonesia, Depok (25 Juli 2025) dan Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin (28 Juli 2025), masih begitu banyak hal yang dalam penilaian saya menggelitik. Alih-alih menghadirkan pembaruan seperti yang disampaikan oleh editor umum buku tersebut, pada draf tersebut justru masih bertaburan banyak sekali masalah yang hampir tidak berubah dari sejak Sejarah Nasional Indonesia.
Artikel ini tidak masuk ke dalam perdebatan yang lebih mendasar, misalnya terkait sejauh mana penting dan perlunya sebuah negara menulis sejarah nasional. Atau bagaimana sebaiknya sejarah nasional suatu negara ditulis dan untuk kepentingan apa dan siapa penulisan tersebut dilakukan. Oleh karena proyek penulisan ini telah berjalan, maka artikel ini berusaha untuk memberikan kritik terkait hal-hal substansial dan penting yang masih luput dan bermasalah, yang justru masih belum beranjak dari problem pada dua buku sejarah nasional sebelumnya yang oleh tim penulis sekarang ingin diperbaiki atau lengkapi.
Penggunaan Terminologi
Salah satu periode paling menentukan dalam sejarah Indonesia merdeka adalah 1965, tahun ketika kehidupan politik dan sosial negara mengalami titik balik sekaligus restart orientasi dan arah dengan terjadinya Gerakan 30 September (G30S). Sekelompok tentara yang tergabung dalam Pasukan Tjakrabirawa (sekarang Pasukan Pengaman Presiden/Paspampres) menculik dan kemudian membunuh jenderal-jenderal Angkatan Darat, yang dalam dugaan mereka akan melakukan kudeta. Di bawah komando Letkol Untung, mereka mengklaim melakukan aksi tersebut guna menyelamatkan kedudukan Presiden Sukarno.
Angkatan Darat di bawah komando Letjen Soeharto segera menuding Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang. Penangkapan besar-besaran terhadap para pimpinan dan anggota PKI terjadi tak lama setelah itu, termasuk anggota maupun simpatisan organisasi masyarakat yang dianggap berafiliasi dengan partai tersebut. Sejak Oktober 1965 hingga sepanjang 1966, perburuan terhadap mereka yang dianggap bagian dari pemberontak terus dilakukan dengan masif di seluruh Indonesia, dengan konsentrasi di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatra Utara.
Keyakinan bahwa PKI berperan sebagai dalang utama sekaligus satu-satunya ini melekat erat dan menjadi ingatan kolektif masyarakat Indonesia sepanjang Orde Baru, dan bahkan hingga Reformasi. Soeharto terus melanggengkan kekuasaannya di atas dalih menjaga kemurnian Pancasila dari rongrongan ideologi lain yang dianggap tidak sejalan (baik komunisme dan kemudian islamisme). Pemerintah Orde Baru melekatkan dan mematrikan ingatan ini menggunakan berbagai medium: monumen, museum, diorama, sastra, film, sampai, ya, buku-buku sejarah.
Namun, narasi ini tentu saja telah usang karena riset-riset terbaru baik dari para sarjana sejarah dalam negeri maupun luar negeri menemukan kesimpulan berbeda dan justru menunjukkan fakta sebaliknya. Terdapat begitu banyak hal problematik, tidak sinkron, dan penuh fabrikasi dalam narasi mengenai G30S, yang kemudian berujung pada kesimpulan bahwa tidak ada bukti kuat bahwa PKI dari pusat sampai daerah adalah dalang di balik peristiwa tersebut. Setidaknya, mereka bukanlah satu-satunya pihak yang terlibat dalam aksi penculikan dan pembunuhan mengingat pasukan yang melakukan gerakan terdiri dari banyak sekali elemen, terutama militer itu sendiri. John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal menunjukkan dengan jelas berbagai kejanggalan, keanehan, dan kesemrawutan dari jalannya aksi sepanjang 30 September malam hingga 1 Oktober 1965 sore hari. Secara ringkas, riset itu menunjukkan bahwa pasukan yang melakukan aksi penculikan dan pembunuhan tidak pernah mengumumkan penggulingan kekuasaan Sukarno, mengganti Pancasila dengan ideologi lain, maupun mewakili kelompok komunis/PKI untuk mengambil alih kekuasaan negara.
Secara umum, di era Reformasi, berbagai macam manipulasi Orde Baru mendapatkan tantangan serius lewat riset sejarah yang ketat secara metode serta berpegang erat pada sumber-sumber primer sezaman. Usaha untuk meneliti, menelusuri, dan memahami kembali G30S amat masif. Riset-riset akademik-ilmiah sejarah dalam bentuk disertasi, tesis, dan artikel muncul seperti jamur di musim hujan. Semuanya memiliki benang merah meninjau serta mengkritisi narasi tunggal Orde Baru yang mengambinghitamkan PKI sebagai dalang tunggal. Pembunuhan massal, penahanan dan pemenjaraan, serta kerja paksa dan perbudakan terhadap para tahanan politik (tapol) selama belasan tahun, yang semuanya dilakukan tanpa pengadilan maupun pembuktian atas kesalahan, juga telah banyak diteliti. Bahkan banyak juga korban itu sendiri yang menulis pengalaman mereka.
Beberapa nama akademisi yang ada dalam arus tersebut adalah: Asvi Warman Adam, Benedict Anderson, Baskara T. Wardaya, Geoffrey Robinson, Grace Leksana, Hermawan Sulistyo, Jess Melvin, John Roosa, Katharine Mc Gregor, Robert Cribb, Ruth T. McVey, Saskia Wieringa, Siddharth Chandra, Vannessa Hearman, hingga Vincent Bevins. Semua karya mereka memberikan kebaruan sekaligus penjelasan yang didasarkan pada sumber-sumber primer dan sezaman. Kesaksian para korban pemenjaraan, penyiksaan, perbudakan, hingga stigmatisasi juga amat melimpah. Mereka menghimpun diri dalam berbagai komunitas seperti YPKP 65 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966), Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru), hingga Pagupon (Paguyuban Minggu Pon) yang sebagian besar telah menghasilkan karya yang dapat diteliti untuk mengungkap lebih jauh bagaimana kekerasan dan kejahatan negara terjadi.
Akhirnya, disimpulkan bahwa penggunaan diksi “G30S/PKI” (dengan berbagai varian penulisan seperti “G.30.S/PKI” dan “G-30-S/PKI”) bermasalah karena melenceng jauh dari apa yang sesungguhnya terjadi, selain hanya dalih bagi Soeharto dan Angkatan Darat untuk menghancurkan lawan politik yang memang telah menjadi kompetitor utama mereka sejak awal Republik berdiri.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Dengan latar belakang semua penelitian sejarah terkini, tentu aneh dan mengherankan sekali jika buku sejarah nasional yang sedang disusun ini, terutama dalam Jilid 8 Bab 8, menggunakan kembali istilah problematik tersebut. Bab 8 adalah penutup dari jilid yang mengambil rentang waktu 1950 hingga 1965 atau yang dikenal sebagai periode pemerintahan Sukarno. Apa yang dihadirkan oleh penulis pada bab tersebut nyaris tanpa kemajuan dalam segi cara berpikir maupun sudut pandang, kecuali penambahan sub-bab mengenai visum et repertum dari jenazah tujuh jenderal dan satu perwira yang dibunuh pada 1 Oktober 1965 dini hari tersebut. Menjadi lucu dan menggelikan ketika terdapat bagian yang memberikan tawaran berbagai sudut pandang, namun terminologi “G.30.S/PKI”-lah yang dipakai sepanjang bab maupun jilid tersebut. Jadi, buku yang sedang disusun ini diklaim berusaha menawarkan kebaruan sekaligus memperbaiki dan melengkapi buku sebelumnya, namun dalam praktiknya nyaris tidak berkembang. Kerangka ini hampir persis dengan Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 7 Bab 20, yang menariknya menggunakan diksi “G30S” saja tanpa embel-embel “/PKI”. Terminologi yang sama juga dipakai sejak bagian Pengantar kemudian berlanjut pada Jilid 8, 9, 10.
Semua ini dengan jelas menunjukkan bahwa penulis, baik secara individu maupun tim, termasuk editor jilid maupun editor umum, tidak benar-benar mengikuti perkembangan historiografi maupun riset-riset mutakhir, baik itu penelitian mengenai peristiwa itu sendiri maupun dampak ikutannya seperti penahanan dan pembunuhan massal. Semakin konyol karena dalam Pengantar yang ditulis oleh editor umum, jelas dinyatakan bahwa salah satu kebaruan buku ini katanya terletak pada data-data baru dari riset-riset sejarah sepanjang dua dekade terakhir. Isi buku dalam tiga jilid tersebut faktanya masih menggunakan sudut pandang dan cara berpikir ala Orde Baru yang sudah tumbang 27 tahun silam.
Selain terminologi usang karena mengandung bias dan penyematan tidak tepat, pada bagian penutup Jilid 8 juga ada satu paragraf yang terasa sekali seperti stereotipe khas Orde Baru: “Ditambah lagi dengan keberadaan PKI, yang jelas jelas tidak sesuai dan bahkan bertentangan dengan jiwa bangsa – Ketuhanan yang masa esa- sehingga menimbulkan gejolak yang luar biasa di kalangan masyarakat.” (hlm. 17, jilid 8). Stigma khas Orde Baru yang melekatkan PKI/komunis sama dengan ateis masih terus hidup dalam benak penulis maupun editor buku ini. Hal ini menjadi persoalan besar karena pada akhirnya pelabelan ini jadi license to kill pada pembantaian 1965-1966. Tidak hanya itu, diskriminasi yang terjadi para anggota maupun simpatisan PKI beserta keluarga dan anak-cucunya sepanjang puluhan tahun juga bersumber dari pelabelan yang bermasalah ini.
Pembunuhan Massal dan Persoalan Tahanan Politik
Kritik terhadap penggunaan terminologi yang problematik itu tidak hanya karena hal tersebut semata menyalahi kaidah keilmuan sejarah. Akibat yang ditimbulkan dari penggunaan istilah yang tidak tepat tersebut membawa dampak turunan, dalam hal ini pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang luar biasa besar pada periode dimulainya kekuasaan Orde Baru. Pelabelan terhadap PKI yang dituduh sebagai dalang, dengan penyematan nama partai tersebut pada aksi G30S 1965 membawa dampak yang begitu meluas. Terjadi diskriminasi, penangkapan, pemenjaraan, penyiksaan, perbudakan, sampai pembunuhan secara massal yang terjadi terhadap warga negara Indonesia yang dianggap sebagai bagian dari partai dalam serangkaian operasi antikomunis yang terjadi begitu masif sepanjang 1965-1966.
Puluhan hingga ratusan ribu orang ditangkap dan kemudian dipenjara, menjadi tapol dengan durasi penahanan bervariasi mulai dari bulanan sampai puluhan tahun, tanpa pernah dibuktikan apa kesalahan yang mereka lakukan sehingga harus mendekam dalam tahanan. Tidak hanya ditahan, para tapol tersebut juga mengalami serangkaian siksaan fisik dan pelecahan, baik dalam proses interogasi maupun selama mereka ditahan. Selain ditahan dalam penjara pada umumnya, Orde Baru kemudian membuang sekitar 12.000 orang tapol ke Pulau Buru, Maluku. Di sana, selain menjadi tahanan pulau, mereka juga dipaksa untuk membuka lahan pertanian. Di bawah todongan senjata dan tendangan sepatu lars tentara, mereka dipekerjakan secara paksa dan tanpa upah untuk memproduksi hasil pertanian dan hutan. Meski dapat memperoleh hasil yang melimpah, kehidupan mereka amat suram, sebagiannya mengalami siksaan fisik maupun psikis. Kamp konsentrasi yang dibuka pada 1969 ini akhirnya ditutup pada 1979 seiring merebaknya protes dari organisasi kemanusiaan internasional. Serangkaian tindakan perbudakan dan pembentukan kamp konsentrasi ini tidak disebut sama sekali dalam rancangan buku sejarah nasional yang baru tersebut.
Di atas semuanya itu, yang paling fatal tentu saja adalah pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan dalam proses penangkapan, pemenjaraan, maupun kerja paksa yang dialami oleh puluhan hingga ratusan ribu orang, warga negara Indonesia, yang karena dianggap sebagai anggota PKI maka berhak diperlakukan demikian. Puluhan sampai ratusan ribu orang menjadi korban jiwa, dibunuh dengan berbagai metode, dengan pelaku yang berasal dari pihak militer maupun sipil yang telah dibekingi oleh kekuatan bersenjata negara. Sebagian besar dari mereka dibunuh dan dibuang begitu saja, selebihnya dimakamkan secara anonim di berbagai kuburan massal yang tersebar di seantero Jawa, Bali, hingga Sumatera.
Hanya saja, seperti halnya serangkaian kekerasan maupun tindakan perbudakan dan pembuatan kamp konsentrasi seperti disebutkan di atas, pembunuhan massal yang terjadi sepanjang 1965-1966 terhadap orang-orang komunis maupun yang dituduh sebagai komunis ini juga tidak terdapat dalam draf buku sejarah nasional Indonesia terbaru yang akan diterbitkan tahun ini. Pada bagian jilid kedelapan yang mencakup periode Sukarno (1950-1965) maupun jilid sembilan yang menyajikan sejarah Orde Baru (1966-1998), nyaris tidak disebutkan sama sekali mengenai peristiwa yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat sekaligus kejahatan negara terhadap warganya sendiri tersebut.
Padahal, jika tim penulis maupun para editor mau untuk sedikit lebih update dengan perkembangan riset dan penulisan sejarah terkini, literatur yang membahas mengenai hal tersebut tidak kurang banyaknya. Riset yang dilakukan oleh sejarawan dalam dan luar negeri mengenai hal ini amat berlimpah. Kesaksian, memoar, maupun catatan dari para penyintas juga tidak kurang banyaknya terbit dan bermunculan pasca 1998. Usaha untuk mendokumentasikan ingatan, situs, artefak yang berkaitan dengan kekerasan sepanjang pergantian kekuasaan tersebut nyaris lengkap, termasuk tempat-tempat yang pernah menjadi lokasi penahanan, penyiksaan, sampai kuburan massal yang tersebar di Jawa, Sumatera, hingga Bali. Artinya, lagi-lagi menjadi sebuah ironi ketika proyek penulisan yang digadang-gadang menawarkan kebaruan secara data, metodologi, dan sudut pandang ini masih terus menerus mereproduksi apa yang dituliskan dalam dua buku sejarah nasional sebelumnya.
Menjadi sesuatu yang janggal bahwa tindakan extra judicial killing yang memakan korban jiwa dalam jumlah yang amat besar tersebut, bahkan menjadi sebuah peristiwa nasional karena terdapat di berbagai tempat di Indonesia, justru tidak masuk menjadi salah satu pembahasan, entah bab tersendiri atau sekadar sub-bab, dalam buku sejarah nasional terbaru ini. Peristiwa kekerasan yang begitu masif terjadi sepanjang tahun-tahun pergantian kekuasaan dan berdirinya Orde Baru tersebut justru luput atau bahkan diabaikan sama sekali dalam penulisan buku ini, yang notabene berjarak 27 tahun dari tumbangnya kekuasaan Orde Baru.
Refleksi
Berbagai macam problem yang terdapat setidaknya pada dua dari sepuluh jilid buku ini menunjukkan bahwa justru pada bagian yang penting dan menentukan dalam sejarah Indonesia merdeka, berbagai macam permasalahan secara metodologis maupun paradigma masih bertaburan. Tentu bukannya tidak ada sama sekali kemajuan yang dihadirkan. Sebagai misal pembahasan mengenai Konfrensi Asia Afrika (KAA), Ganefo, dan beberapa hal lain menunjukkan usaha tim penulis untuk sedapat mungkin menghadirkan historiografi nasional yang lebih adil dan komprehensif. Hanya saja sayangnya berbagai peristiwa kekerasan dan segenap problem yang bersumber dari negara seperti masih malu-malu untuk dihadirkan secara utuh, setidaknya sebagai sebuah pengakuan pertanggungjawaban terhadap kesalahan di masa lalu. Cukup sulit menemukan kebaruan yang benar-benar dapat menghadirkan suatu pelajaran berharga bagi masa depan Indonesia, jika memang sejarah diposisikan sebagai salah satu bahan pembelajaran untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu serta membangun masa depan yang lebih baik.
Tampak seperti ada keengganan dari tim penulis maupun editor untuk dapat menghadirkan dengan lebih jujur dan gamblang berbagai macam peristiwa kekerasan masa lalu yang dapat disebut lekat dalam sejarah Indonesia pasca merdeka. Misalnya saja, pembunuhan terhadap Munir Said Thalib, aktivis HAM yang meninggal dunia dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam pada 2004 juga tidak tercantum dalam jilid kesepuluh sebagai bab penutup buku ini. Melihat metode, skala, dan intensitas pembunuhan melalui racun yang ditaburkan dalam makanan atau minuman Munir selama dalam penerbangan ini, menunjukkan bahwa terjadi upaya pembungkaman terhadap mereka yang bersuara kritis bagi penegakan nilai-nilai kemanusiaan di negara ini. Termasuk pula dalam hal ini kekerasan dalam skala yang masif dan massal yang terjadi pada 1998 seperti penculikan aktivis, penghilangan paksa, serta pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa juga masih malu-malu untuk diakui dan dihadirkan.
Jika melihat awal mula penulisan hingga tenggat untuk penerbitan, kemungkinan besar buku ini dikerjakan dengan cukup terburu-buru. Sebagai pembanding, Sejarah Nasional Indonesia ditetapkan tim penulis dan editornya pada 1970 dan hasilnya muncul lima tahun kemudian setelah melalu rangkaian riset yang mendalam. Begitu pula dengan Indonesia dalam Arus Sejarah yang butuh waktu sekitar satu dekade dalam proses penulisan untuk dapat diterbitkan ke publik pada 2012 silam. Tapi tentu ini bukan alasan apabila tim penulis sejak awal sudah yakin bahwa dalam rentang kurang dari setahun, penulisan buku baru ini akan dapat selesai dengan baik. Hanya saja, kemauan untuk dapat lebih jujur dan berani dalam menghadirkan narasi dan peristiwa yang selama ini enggan diakui oleh negara, menjadi tantangan serius bagi mereka yang terlibat dalam proyek ini.
Meski tidak mesti menjadi rujukan satu-satunya, buku produksi pemerintahlah yang umumnya akan digunakan sebagai standar dalam penyusunan kurikulum bagi mata pelajaran sejarah di sekolah. Apabila buku yang dijadikan acuan tidak menghadirkan kebaruan, maka sia-sialah berbagai tawaran yang telah diajukan oleh para editor buku tersebut. Pada akhirnya, kejujuran para sejarawan yang terlibat dalam buku ini mendapatkan tantangan serius, apakah berani untuk jujur dengan menghadirkan kesalahan negara di masa lalu agar tidak terulang kembali di masa mendatang, atau hanya sekadar mengulang-ulang narasi usang ketika sejarah hadir hanya menjadi alat legitimasi dan pembenar kekuasaan.
Willy Alfarius, staf pengajar di Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.