Jika Solusi Feminis Liberal Benar, Maka Kekerasan Seksual Sudah Lama Lenyap

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Connecticut College


Jika benar reformasi hukum akan berfungsi efektif sebagaimana yang sering dikampanyekan oleh para akademisi liberal, maka wabah kekerasan seksual telah lama berakhir. 

PENDEKATAN feminisme liberal mendominasi agenda dan program institusi global, khususnya terkait dengan kampanye seputar isu kesetaraan, sejak pertengahan abad ke-20. National Organization of Women (NOW), organisasi perempuan terbesar di Amerika Serikat, misalnya, menegaskan tujuan organisasi adalah menggelar aksi-aksi konkrit untuk menghilangkan hambatan akses kesempatan dan kebebasan bagi perempuan, serta persamaan hak di hadapan hukum. Contoh lain, UN Women, institusi yang jaring kerja samanya bersama pemerintah dan masyarakat sipil (termasuk LSM) paling luas secara global, juga memfokuskan kampanye pada kesetaraan misalnya lewat “Generation Equaity” dan “HeForShe”. Kampanye lain dari feminis liberal yang patut dicatat karena populer adalah “lean-in”, yang intinya memotivasi perempuan untuk terlibat sebagai pimpinan di korporasi. 

Dalam konteks gerakan ini, isu kekerasan seksual adalah salah satu aspek yang juga diperhatikan. Menurut mereka ini adalah faktor signifikan yang menghalangi partisipasi dan kepemimpinan perempuan di ruang publik. Solusi yang ditonjolkan untuk mengatasinya berkutat seputar reformasi hukum, perbaikan mekanisme pelaporan, dan dukungan terhadap penyintas di samping cara klasik seperti peningkatan representasi perempuan dan menyerukan pentingnya inklusivitas institusional. 

Logika yang bekerja di balik tawaran itu adalah, dengan adanya peningkatan partisipasi perempuan termasuk di institusi penegakan hukum, maka kebijakan yang terbentuk akan mampu mengakomodasi kepentingan mereka secara menyeluruh, dan dengan demikian kekerasan berbasis gender akan dapat teratasi. Dengan inklusivitas di sektor hukum, politik, dan birokrasi—institusi-institusi yang selama ini didominasi oleh laki-laki—perubahan akan muncul dari dalam. Dengan adanya reformasi hukum yang berkeadilan gender, mereka percaya akses perempuan terhadap keadilan kian luas dan kebijakan hukum yang berpihak kepada korban semakin jamak. 

Sayangnya itu hanya utopia politik yang mengidealisasi hukum, negara, dan pasar sebagai sarana netral dalam memperjuangkan pembebasan perempuan. Ini adalah kenaifan feminisme meritokrasi dan emansipasi semu yang dengan sengaja mengabaikan ketimpangan struktural antarperempuan, dan dengan demikian gagal pula menggugat struktur kekuasaan dan produksi yang mendasari kekerasan berbasis gender. 

Gerakan feminisme yang mulai merebak sejak abad ke-19, tidak dapat dimungkiri, telah menjadi motor kemenangan perempuan. Reformasi hukum telah memperluas hak mereka untuk memilih, juga mengakses pendidikan, terlibat sebagai angkatan kerja, dan memperoleh perlindungan hukum dari segala bentuk diskriminasi di ruang publik dan domestik—semua pencapaian yang tentu saja tidak terbayangkan pada abad-abad sebelumnya. Akan tetapi, jika benar reformasi liberal atas hukum dan representasi di ruang publik merupakan solusi utama, maka tentu akar persoalan kekerasan seksual berbasis gender telah lama terselesaikan. Jika reformasi politik dan institusi serta inklusivitas dalam kerangka demokrasi liberal efektif dalam menyelesaikan akar penyebab, maka sekarang kita tidak mungkin menyaksikan peningkatan angka kekerasan seksual di berbagai konteks. Singkatnya, strategi dan solusi yang selalu diagungkan oleh para teoretikus liberal menunjukan keterbatasan nyata karena kegagalannya dalam menantang kondisi struktural dan sistemik yang mereproduksi kekerasan berbasis gender. 

Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan pada 2019 mencapai 431.471 kasus, meningkat 6% dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun tren kekerasan terhadap perempuan sempat menurun 12% pada 2022, angkanya meningkat kembali pada 2023, mencapai 401.975 kasus. Pada masa pandemi 2020–2021, kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) meningkat hingga 300 % dengan 659 kasus hingga Oktober 2020. Data terbaru Kemen PPPA menunjukkan 1.272 kasus KSBE pada 2023—kategori terbanyak dari semua jenis jenis kekerasan seksual. Di antara total kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2023, kekerasan seksual menempati urutan kedua dengan persentase sebesar 34,8%. Pada tahun 2024 tercatat kenaikan tren sebesar 10%, mencapai 445.502 kasus. Kasus kekerasan seksual pada 2024 meningkat lebih dari 50% dibanding tahun sebelumnya. Sebanyak 74% korban kekerasan seksual pada 2023-2024 adalah anak perempuan. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN 2021–2024): 26 % perempuan usia 15–64 mengalami kekerasan fisik atau seksual. Lebih dari 90 % kasus pemerkosaan tidak dilaporkan karena korban takut disalahkan. Hanya 105.475 kasus kekerasan (dari 401.975 di 2023) yang ditangani polisi—menunjukkan gap besar dalam penanganan hukum. 

Angka-angka di atas tentu saja tidak bisa dipahami sekadar sebagai statistik. Ia adalah perwakilan dari realitas yang selalu harus mengandalkan dan menghasilkan ketimpangan struktural untuk memastikan kelangsungan sistem sosial itu sendiri. Yang terpampang adalah masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan sekadar reformasi hukum, representasi di ruang publik, dan atau inklusivitas institusional. Lebih dari itu, persoalan kekerasan seksual terhadap perempuan menyentuh struktur  yang lebih dalam.  

Artikel ini menantang pendekatan feminis liberal yang cenderung mengandalkan solusi hukum dengan masuk ke dalam kerangka teoretis reproduksi sosial dan bentuk hukum berbasis komoditas—untuk menganalisis akar yang memungkinkan kekerasan seksual tetap ada. Artikel ini akan menjabarkan bahwa alih-alih dipahami sebagai penyimpangan hukum atau kurangnya representasi, kekerasan seksual perlu dianalisis dalam kerangka fenomena yang dihasilkan dan dipertahankan oleh hubungan sosial yang menjadi dasar pembentukan hukum. Logika dasarnya adalah bahwa instrumen hukum bukan kekuatan netral, namun alat depolitisasi kekerasan dengan mereduksinya menjadi patologi individual, dan dengan demikian mengaburkan perannya dalam mereproduksi ketimpangan kelas dan gender. Analisis menggunakan pendekatan reproduksi sosial yang memandang kekerasan seksual sebagai fenomena struktural alih-alih penyimpangan moral individu atau kegagalan kultural. 

Apa yang dimaksud fenomena struktural di sini adalah bahwa kekerasan seksual merupakan konsekuensi yang dihasilkan, dan sekaligus dipertahankan, untuk melayani penegakan sistem pembagian kerja berbasis gender melalui dikotomi publik dan domestik serta produktif dan reproduktif. Dengan demikian, kekerasan seksual dapat dipahami sebagai bentuk penundukan terhadap perempuan dalam rangka meneruskan dan mempertahankan posisi subordinasinya, mengamankan reproduksi tenaga kerja di bawah kondisi yang eksploitatif, dan memastikan keberlanjutan institusi yang mengandalkan fenomena-fenomena tersebut untuk bertahan.


Bentuk Hukum Berbasis Komoditas dan Konsep Konsensus

Di Indonesia, kerangka hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual telah mengalami proses reformasi yang cukup signifikan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Instrumen hukum ini secara eksplisit memperluas bentuk-bentuk kekerasan seksual dan menempatkan kesepakatan atau persetujuan (consent) sebagai unsur utama. Aturan ini mengindikasikan terobosan baru atas ruang lingkup kekerasan seksual di dalam KUHP yang cenderung mempersempit definisi kekerasan seksual pada paksaan fisik (penetrasi penis ke dalam vagina) tanpa mempertimbangkan kompleksitas pengalaman korban sehingga mempersulit akses keadilan baginya. 

Sebelumnya, pada 2004, pemerintah telah mengundangkan aturan hukum tentang kekerasan dalam rumah tangga melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004. Kekerasan domestik yang sebelumnya diperlakukan sebagai isu privat dan interpersonal menjadi tindak pidana dalam kerangka pelanggaran hak asasi manusia di bawah yurisdiksi negara yang memerlukan intervensi hukum dan sosial. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) juga kian memperluas ranah dan bentuk kekerasan dengan memasukkan aturan tentang kekerasan seksual berbasis elektronik. 

Tidak dapat dimungkiri bahwa perluasan aturan hukum tentang kekerasan seksual merupakan pencapaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Instrumen-instrumen hukum tersebut tentu bisa jadi langkah awal yang progresif dalam merespons tuntutan keadilan yang telah lama disuarakan.

Akan tetapi, itu jauh dari dari solusi strategis yang menyentuh akar persoalan utama atas kekerasan seksual. Hal ini karena reformasi yudisial di bawah kerangka liberal cenderung mengindividualisasi kejahatan sehingga mengarahkan penyelesaian melalui pengakuan formal terhadap konsep “persetujuan” atau “kesepakatan” yang kemudian dijadikan sebagai standar hukum utama dalam menilai ada atau tidaknya kekerasan seksual. Konsep hukum persetujuan didefinisikan sebagai kesepakatan transaksional yang tercapai antarindividu yang, oleh hukum, diasumsikan bersifat rasional, otonom, dan bebas. Aspek-aspek ini mencerminkan logika pertukaran komoditas di dalam masyarakat kapitalis yang mengabstraksi hubungan di masyarakat ke dalam bentuk kontrak antara individu yang secara formal setara. Dalam kerangka analisis ini, bentuk hukum merupakan refleksi sekaligus mereproduksi bentuk komoditas yang menjadi ciri khas hukum di bawah kapitalisme. Hal ini berarti bahwa instrumen hukum, yang mungkin mengatur dan/atau melarang tindakan tertentu, bersandar pada kerangka abstraksi dari realitas sosial dan material yang memberikan landasan bagi kemungkinan untuk memberikan persetujuan yang bermakna. Realitas tersebut mencakup kondisi struktural ketimpangan kelas dan bentuk-bentuk subordinasi yang menentukan dominasi ekonomi dan relasi kuasa, sehingga membentuk pengalaman ekonomi politik yang tidak setara di bawah sistem kapitalisme. 

Dalam konteks kekerasan seksual, definisi legalistik konsep “persetujuan” sering merepresentasikan sekedar ekspresi formal yang individual sehingga gagal atau bahkan mengabaikan aspek relasi kekuasaan, ketergantungan ekonomi, dan penyingkiran sosial yang menjadi landasan bagi seseorang dalam menentukan pilihan. Pengabaian semacam ini sekaligus menjadi bukti konkret keterbatasan pendekatan hukum liberal yang berfungsi secara khas dalam kerangka asumsi kesetaraan formal individual ala kapitalisme untuk mengaburkan ketidaksetaraan substantif yang mencerminkan kondisi material relasi sosial masyarakat. Kekerasan seksual semestinya dipahami dalam kerangka abstraksi hukum semacam ini. Sayangnya kekerasan seksual sering kali didepolitisasi dari dinamika kekuasaan sistemik yang menjadi akar dari tindakan tersebut.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Reproduksi Sosial dan Ketimpangan Berbasis Gender

Konsep bentuk hukum berbasis komoditas menjelaskan relasi hukum yang menjadi bentuk abstraksi spesifik dari bentuk komoditas di bawah kapitalisme. Penjelasan ini secara memadai memberikan pencerahan tentang kenapa dan bagaimana hukum di bawah kapitalisme akan selalu gagal menyelesaikan akar kekerasan seksual—sekali lagi, karena cenderung mendepolitisasi dan mengindividualisasi kekerasan seksual. 

Bergerak lebih jauh dari penjelasan abstraksi hukum berbasis komoditas yang mengabaikan ketimpangan substantif yang mengakar secara inheren dalam relasi sosial masyarakat, teori reproduksi sosial menawarkan kerangka berpikir yang lebih luas atas kondisi struktural yang memberikan peluang bagi kekerasan seksual untuk bertahan. Pendekatan ini memungkinkan analisis lebih mendalam tentang kekerasan seksual yang mengakar pada kondisi material yang terus mereproduksi eksploitasi berbasis kelas, hierarki gender, dan tatanan sosial yang dibutuhkan bagi kelangsungan fungsi kapitalisme. 

Berdasarkan pendekatan reproduksi sosial, terdapat tiga gagasan utama untuk memahami hubungan kausal reproduksi kekerasan seksual di dalam masyarakat kapitalis. Pertama yaitu landasan material, yang berkaitan dengan kekerasan seksual sebagai situs pengawasan pembagian kerja reproduksi berbasis gender. Kapitalisme selalu bergantung pada dikotomi kerja produktif dan reproduktif untuk melanggengkan eksternalisasi biaya reproduksi. Pekerjaan reproduksi sosial, mempertahankan dan mereproduksi kehidupan manusia sehari-hari dan intergenerasi, secara sistematis dipandang sebagai pekerjaan yang tidak signifikan sehingga diabaikan nilainya dan tidak dihargai secara layak. Beban reproduksi sosial ini secara disproporsional dipikul oleh perempuan kelas pekerja yang tereksklusi secara rasial, menunjukan bagaimana kerja pemeliharaan dan perawatan, baik yang tidak berbayar (pekerjaan rumah tangga) dan berupah rendah (pekerja domestik, kerja pengasuhan berbayar, dlsb), berkelindan secara politis dengan relasi sosial asimetris yang menopang sistem pada posisi awal. Karena adanya devaluasi terhadap kerja reproduktif yang secara disproporsional dibebankan pada perempuan, maka pengabaian terhadap otonomi perempuan, termasuk secara seksual, akan lebih mudah untuk menemukan landasan pembenaran. Kondisi ini menormalisasi kontrol atas tubuh dan tenaga kerja perempuan, memberikan landasan bagi subordinasi posisi perempuan untuk terus bertahan, menciptakan kerentanan pada perempuan kelas pekerja khususnya yang tereksklusi secara rasial sehingga menjadi sasaran utama kekerasan seksual akibat keterbatasan akses perlindungan dan posisi tawar. 

Kedua, landasan relasi sosial. Hal ini berkaitan dengan relasi kuasa hierarkis yang dinormalisasi di dalam hubungan sosial masyarakat. Pandangan utama dari penjelasan ini adalah bahwa relasi sosial di bawah kapitalisme terbentuk secara tidak setara berlandaskan pada posisi kelas, gender, dan ras. Hal ini memberikan justifikasi atas reproduksi sistem dominasi dengan relasi kuasa yang tidak seimbang sebagai akibat dari kondisi struktural yang memungkinkan ketimpangan tersebut bertahan dan beregenerasi sejak awal mula. Eksploitasi kapitalisme membutuhkan dan mengandalkan ketimpangan relasi kuasa, termasuk relasi kuasa seksual untuk mempertahankan sistem dominasi yang subordinatif.  Di bawah sistem yang menekankan produksi berbasis profit, alienasi menciptakan ketidakberdayaan dan kepasrahan terhadap fragmentasi diri dari produksi, serta sistem hierarki yang diterima apa adanya. Perempuan yang selalu diasosiasikan ke dalam kewajiban kerja reproduktif selalu dilekatkan dengan peran berstatus rendah, menormalisasi dominasi terhadapnya, dan menjadikannya lebih rentan terhadap eksploitasi seksual—sebagai pengalaman traumatis yang melumpuhkan daya untuk menekankan kepatuhan. Ketidakseimbangan kekuasaan tersebut, yang dinormalisasi oleh lembaga dan praktik sehari-hari, menciptakan kondisi material dan sosial yang memungkinkan kekerasan seksual terjadi dan bertahan. 

Ketiga, landasan ideologis. Hal ini berkaitan dengan ideologi seksisme yang selalu menggambarkan perempuan sebagai sosok yang secara alamiah berjiwa pengasuh, pasif, dan permisif. Ini berfungsi menormalisasi ketidaksetaraan berbasis gender sebab memproyeksikan perempuan sebagai sasaran penundukan yang wajar. Penggambaran perempuan sebagai objek subjugasi yang pengalah dan lemah memberikan legitimasi praktik dominasi dan kontrol terhadap mereka. Ideologi ini juga mengarah pada hak seksual yang menekankan tubuh perempuan sebagai situs simbolik untuk mempertahankan legitimasi atas batas otoritas moral dan politik kekuasaan. Dengan berlandaskan pada tatanan ideologis semacam ini, serangan seksual menemukaan pembenaran dan pemakluman: sebagai wujud pendisiplinan, penertiban, dan pengawasan terhadap norma gender dan stigma yang dipaksakan kepada perempuan. Pada tahap lebih lanjut, ideologi semacam ini, yang membenarkan dominasi dan kontrol, membantu mempertahankan tatanan sosial untuk kelanjutan ketimpangan sosial yang menjadi tatanan dasar bagi kelangsungan reproduksi sistem kapitalisme yang eksploitatif dan subordinatif. 


Penutup

Kerangka hukum liberal yang cenderung memperlakukan kekerasan seksual sebagai pelanggaran persetujuan individu adalah upaya untuk mengisolasi persoalan ketimpangan berbasis gender dari kondisi struktural yang menciptakan, menormalisasi, dan melanggengkannya sejak awal. Rekonstruksi definisi konsep “persetujuan” memang bisa dipandang sebagai kemajuan reformasi hukum pada tahap tertentu. Akan tetapi, reformasi hukum sama sekali tidak membantu dalam menghadapi hubungan berkelindan atas kuasa asimetris berbasis gender dan kelas karena sesungguhnya hukum beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang telah timpang, yang menyebabkan aturan hukum alih-alih menyentuh akar struktural justru hanya sampai pada capaian prosedural pengaturan yang bersifat formal. Di sisi lain, kerangka analisis reproduksi sosial menawarkan sudut pandang yang komprehensif untuk memahami kekerasan seksual sebagai suatu kejahatan yang berakar secara struktural pada sistem yang memungkinkan relasi eksploitasi dan opresi untuk bertahan, alih-alih berhenti pada pemahaman tentang penyimpangan moral individual. 

Tulisan ini menawarkan tiga landasan utama untuk memahami hubungan kausal kekerasan seksual dan kondisi struktural sistem, meliputi landasan material, landasan relasi sosial, dan landasan ideologis. Dalam hal ini, kekerasan seksual berfungsi untuk mereproduksi dan mempertahankan sistem eksploitasi kelas dan hierarki gender yang tidak setara dengan menormalisasi kontrol dan dominasi. Dengan demikian, solusi bagi kekerasan seksual semestinya melampaui pendekatan individual atas kejahatan, namun secara holistik mengeksaminasi akar struktural yang mendasari reproduksi kerangka hukum, serta relasi sosial eksploitatif yang melegitimasi hubungan dominasi dan hierarkis, yaitu relasi sosial yang mengakar pada prinsip dan nilai-nilai di bawah kapitalisme. 


Referensi

Bhattacharya, T. (2017). Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Oppression. Pluto Press.

Bhattacharya, T., Fraser, N., & Federici, S. (2019). Feminism for the 99%: A Manifesto. Verso Books.

Bloodworth, S. (1990). Reproduction, Patriarchy, and Class: Women and the Subversion of Socialism. In S. B. Michele Barrett (Ed.), Women and Socialism (pp. 109–130). Routledge.

Bloodworth, Sandra. (2015). The Roots of Sexual Violence.

Federici, S. (2004). Caliban and the Witch: Women, the Body and Primitive Accumulation. Autonomedia.

Federici, S. (2012). Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle. PM Press.

Fraser, N. (2020). The Old is Dying and the New Cannot Be Born: From Progressive Neoliberalism to Trump and Beyond. Verso Books.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA). (2023). Laporan Tahunan 2023: Statistik Kekerasan terhadap Perempuan. Diakses dari https://kemenpppa.go.id

Komnas Perempuan. (2019). Catatan Tahunan 2019: Lembaga Negara dan Kebijakan Publik dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Perempuan. Diakses dari https://komnasperempuan.go.id

Komnas Perempuan. (2023). Siaran Pers: Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia. Diakses dari https://komnasperempuan.go.id

Marx, Karl & Friedrich Engels. The German Ideology, Part I: “Feuerbach: Opposition of the Materialist and Idealist Outlook

Pashukanis, Evgeny. (2017). General Theory of Law and Marxism. Routledge.

Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN). (2021–2024). Laporan SPHPN 2021–2024: Data Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia. Diakses dari https://indonesia.unfpa.org

Trenowerth, Samantha. (2015). Fury: Women Write About Sex, Power and Violence. Hardie Grant Books.


Linda Sudiono adalah kandidat doktor di Universität Münster dan dosen Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.