Buruk Rupa Rimpang Dibelah

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: rs21/Frans Ari Prasetyo


Diakui atau tidak, gerakan rimpang telah menjadi cermin gerakan sosial kita. Bukan hanya gelombang aksi parlemen jalanan merebak di berbagai kota, pun semakin banyak analisis untuk memahaminya sejak riset gerakan sosial masyarakat sipil menyusul kajian komparatif Rhizome vs Regime yang terbit dua tahun sebelumnya.

Setidaknya ada 4 pembacaan terhadap gerakan dengan taktik yang bersifat rizomatik atau merimpang akhir-akhir ini. Pertama, yang menganggapnya sebagai fenomena baru yang berbeda dengan model gerakan sosial yang dimotori oleh kekuatan yang terlembaga atau terstruktur secara hierakis. Bukan lagi perjuangan kelas untuk mengubah struktur kuasa yang eksploitatif, juga jauh dari kecenderungan mobilisasi oleh NGO yang lebih bertendensi kasuistik dan sektoral.

Pandangan kedua menolak anggapan tentang adanya kebaruan konsepsi di sana. Gerakan rimpang lebih dinilai sebagai varian terhadap atau kelanjutan dari model gerakan oposisi sepanjang Indonesia modern. Dus, nature dari kekuatan gerakan sosial kita selama ini bersifat merimpang, yang satu sama lain tidak terikat secara struktural, namun bisa terhubung—meskipun lebih banyak terpisah-pisah oleh ragam medan perlawanan.

Ketiga, tulisan yang lebih mementingkan posisinya sebagai ruang bertransformasi di kalangan aktivis muda. Pandangan ini melihat bahwa taktik rizomatik merupakan jawaban atas keringnya wadah perlawanan yang seturut dengan karakteristik kaum muda. Hanya saja, ia perlu dikanalisasi lebih jauh ke dalam politik perebutan kekuasaan.

Terakhir, tulisan yang tidak percaya pada efikasi inovasi ini dalam pengertian antipati terhadap sumbangan gerakan rimpang dalam semesta perubahan. Justru gerakan rimpang dan pendukung ideologis maupun logistiknya dianggap sebagai legitimator bagi beroperasinya skema penundukan negara ke dalam aktor masyarakat sipil.

Meskipun berbagai tulisan tersebut punya kadar kebenarannya masing-masing, saya menangkap loncatan perspektif dalam melakukan pembacaan. Tulisan demi tulisan membayangkan sosok negara yang serba daya di hadapan gerakan baru anak muda. Analisis pun dialamatkan pada efektif-tidaknya daya pukul gerakan ini vis-a-vis rezim yang bercorak oligarkis. Akhirnya, berdatanganlah daftar kegagalan ketimbang melihat potensi dan keberhasilannya.

Hemat saya, di mana adilnya bila gerakan rimpang dibedah secara mikroskopik, namun membaca rezim secara makroskopik. Yang muncul pastilah defisit gerakan rimpang ketika diisolasi dari luasnya spektrum gerakan. Kita patut bertanya, apa yang sebenarnya (tidak) dilakukan oleh elemen gerakan lain sehingga anak muda harus terpanggil untuk bekerja secara rimpang? Untuk memahami gerakan rimpang, seyogyanya kita tidak hanya mengunakan perspektif politik, tapi juga historis dan komparatif.


Dari social non-movement ke mobilisasi

Masyarakat pada dasarnya tidak pernah diam dari melakukan perlawanan. Hanya tidak selalu manifes dalam skala besar ataupun mampu mengubah struktur kuasa. Perlawanan lebih banyak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terus-menerus di ranah sosial yang oleh Asef Bayat dikategorikan sebagai social non-movement. Tidak memerlukan ideologi dan struktur gerakan, aksi resistensi jenis ini efektif membuat warga merebut tubuh, ruang, dan layanan publik untuk kepentingan mereka sendiri.

Dalam kasus di Timur Tengah yang mengalami gelombang Arab Spring satu setengah dekade lalu, social non-movement dalam bentuk perempuan melawan pemaksaan hijab, orang miskin mencatu listrik, hingga anak muda mengokupasi area terlarang untuk olahraga dan rekreasional lainnya menjadi perjuangan sehari-hari. Bukan hanya akumulasi dan keluasan perlawanan semacam ini tidak dapat dibendung, juga menjadi tabungan konstituen yang dengan mobilisasi via internet lantas mampu teradikalisasi guna menumbangkan rezim-rezim otoriter di sana.

Fenomena social non-movement bukanlah pengalaman eksklusif di Timur Tengah, justru sangat kental di masyarakat Asia Tenggara, menurut analisis etnografis James Scott. Akan tetapi, sejauh pengalaman Indonesia selalu ada muara perlawanan yang muncul untuk memberi letupan terhadap tirani.

Di masa Orde Baru melalui apa yang disebut oleh Arief Budiman dan Olle Tornquist sebagai gerakan koreksi dan gerakan konfrontasi, para aktivis, tokoh masyarakat sipil hingga warga akar-rumput melakukan aksi melawan negara. Dari Gerakan Mahasiswa menggugat di Jakarta pada tahun 1970, atau 4 tahun setelah Soeharto berkuasa, hingga Gerakan Golput dan Peristiwa Malari, aktor sipil ingin mengoreksi jalannya pemerintahan yang dipenuhi kroni kapitalistik dan korup. Asumsinya, sang Presiden masih dipercaya, namun kebijakannya dianggap bermasalah akibat orang-orang licik dan tamak di sekitarnya.

Akan tetapi, model gerakan berubah menjadi konfrontatif tidak sampai 10 tahun kemudian setelah represi dan pemenjaraan dilakukan terhadap oposisi. Sejak Bandung meluncurkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa, gerakan tidak lagi percaya pemerintah bisa dikoreksi sehingga pemimpin rezimnya yang harus digantikan. Perlawanan yang terus terjadi di nasional dan daerah lalu dicap sebagai musuh negara setelah disorot dengan kacamata ideologi pembangunanisme. Gerakan perlawanan Kedung Ombo, petani Nipah, dan buruh Medan, hingga aksi perlawanan atas pengambilalihan PDI dari tangan Megawati dan pembredelan media Majalah Tempo dkk divonis sama dengan ancaman bagi stabilitas nasional.

Terlepas dari gagal-tidaknya perlawanan mereka, nilai strategis dari penjuangan aktor demokrasi ini ada pada perannya sebagai fondasi dan prasyarat bagi mobilisasi massa hingga jelang Reformasi. Di tengah keterbatasan berita, mahasiswa melanjutkan estafet gerakan dengan menginformasikan kepada publik betapa represifnya kuasa pembangunanisme dan krisis moneter tidak akan membuat kekuasaan yang korup bergeming, kecuali ada gerakan besar menuntut Reformasi.

Jika Arab Spring dibangun dari social non-movement dengan perantaraan internet, maka Reformasi dibangun di atas kombinasi social non-movement dan pengalaman panjang pengorganisasian dengan muara gerakan Reformasi yang digerakkan mahasiswa. Di titik ini gerakan massa menjadi ujung dari trayek perlawanan untuk menumbangkan tirani.


Dari mobilisasi sosial ke kontestasi politik

Menekankan perspektif politik dalam menilai gerakan rimpang dengan sendirinya membangun harapan berlebih terhadapnya, yang bisa jadi tidak dapat dipenuhi oleh, gerakan rimpang. Gerakan rimpang lebih merupakan upaya menegakkan political correctness atau resistensi politik daripada upaya perebutan kekuasaan. Kekuatan gerakan rimpang pada kemampuannya melampaui social non-movement seperti dijelaskan di atas, namun pada saat yang sama menyuburkan budaya berlawan (counter-culture) yang mengandung unsur persistensi dan ketangguhan gerakan social non-movement.

Karakteristik gerakan rimpang demikian, bila terus berkembang dan meluas, akan menjadi barikade sosial dalam memperjuangkan nasib warga. Dengan cara yang sama, ia juga dapat menyumbang kepada gerakan yang lebih terstruktur dan terlembaga mana kala ada platform politik dan agenda perjuangan yang seturut dengan kehendaknya. Gerakan rimpang berpotensi—meski tidak selalu harus—menjadi kekuatan yang berfaedah bagi pemenangan elektoral.

Jika saat Reformasi, gerakan mahasiswa yang diikuti aksi massa merupakan puncak crescendo pengorganisasian, namun tidak bertransformasi menjadi gerakan politik kepartaian, maka trayek perjuangan politik mestinya lebih subur di masa pasca Reformasi. Kita tidak lagi berada di titik nol pengorganisasian politik, karena gerakan rimpang telah tersedia. Adalah tugas gerakan politik yang dimungkinkan oleh struktur kesempatan yang ada untuk menganalisasinya ke dalam perjuangan merebut kekuasaan.

Namun, transformasi dari kekuatan mobilisasi sosial ke kontestasi politik bukan otomatis. Jangan pernah mengandaikan gerakan rimpang lebih membutuhkan kendaraan politik. Sebab gerakan model baru ini telah menjalankan taktik berlawannya sendiri. Sebaliknya, partai politik dan aktor demokrasi progresiflah yang seharusnya berkepentingan untuk menjangkau mereka.

Upaya ini tentunya tidak mudah jika hal-hal mendasar, seperti cara komunikasi, garis api perjuangan, serta pemahaman tentang kultur pop dan kondisi post-truth tidak cukup dijajaki. Padahal kemajuan bersama tidak akan tercipta di ruang-ruang rapat dan akademik, tapi di tempat berlatih bersama dalam forum belajar, aksi, ngopi, piknik, dan berkesenian.


Signifikansi gerakan rimpang

Dalam perspektif komparatif, kita beruntung bahwa di tengah absennya kekuatan politik progresif dan lemahnya perlawanan kelas (buruh), gerakan bercorak rimpang hadir mengisi kekosongan. Gerakan rimpang tumbuh dalam arena masyarakat sipil yang terlalu lama didominasi oleh rutinisasi dengan kerja-kerja program teknokratik ala NGO dan beban-beban administratif dari donor.

Dalam spektrum gerakan sosial yang mestinya diisi oleh buruh berbagai varian, aktivis prodemokrasi yang berorganisasi maupun tidak, hingga kaum terpelajar dan mahasiswa, gerakan rimpang menegaskan jika bukti perjuangan tetaplah pelaksanaan kata-kata. Kehadirannya menandakan rusaknya tatanan bernegara dan bermasyarakat sehingga menjadi kelompok yang terpanggil, betapapun singkat siklusnya, namun tidak mudah ditumpas karena imunitas yang inheren terpasang (built-in) dalam model rimpang itu sendiri.

Selain itu, gerakan rimpang merupakan alternatif bagi, sekaligus koreksi terhadap, bagaimana gerakan berbasis kelas dan NGO mengalami involusi dan penuh masalah pada diri sendiri. Ia menjadi antitesis terhadap gerakan yang tidak mampu menciptakan demokratisasi sejawat dan menegakkan standar nilai yang mereka perjuangkan ke dalam, justru pada saat pengelolaan gerakan yang terstruktur dan terlembaga sepenuhnya berada dalam kontrol mereka.

Gerakan rimpang memang bukan solusi satu-satunya bagi Reformasi yang dibajak oligarki. Dan, kalaupun ingin menyebut kegagalan solusi yang ia tawarkan, maka lebih baik itu disandingkan pada ketiadaan peran yang efektif dari model gerakan lainnya. Di mana kekuatan kelas pekerja yang digadang-gadang dapat melampaui metode perlawanan nir-kekerasan berintensitas rendah yang menjadi biang gagalnya perjuangan? Apa hasil dari pencanggihan regulasi dan kerjasama dengan kaum reformer di dalam ruang-ruang kebijakan agar membendung kemunduran demokrasi? Kita semua sudah tahu jawabannya.

Tanpa pembangkangan sipil yang dapat mengganggu mata rantai produksi dan konsumsi dalam situasi yang cenderung dinormalisasi ini, gerakan apapun pastilah tidak mampu mendatangkan dilema bagi penguasa untuk bersedia memenuhi tuntutan perubahan. Terlepas itu semua, model gerakan rimpang telah menyediakan tema-tema dan momen-momen aksi yang terus merawat kesadaran dan menjaga suhu perlawanan tetap hangat.


Menuju ruang baru politik

Dalam lanskap ekosistem yang tidak menganut logika zero-sum game, kemajuan gerakan rimpang tidak mengurangi ruang kreasi bagi aktivis NGO dan politik berbasis kelas. Justru dibutuhkan langkah konkret dari mereka yang melakukan pengoganisasian basis dan perjuangan elektoral untuk menyokong gerakan rimpang yang jadi garda terdepan perlawanan dan, bila sanggup, menyediakan (baca: merekrut) mereka dengan repertoar perjuangan yang menantang berikutnya.

Namun, di sinilah titik kritis konsolidasi, saat ada kemungkinan bagi berbagai elemen gerakan yang berbeda corak dan komposisi untuk bertemu dalam front perjuangan baru. Karena itu, alih-alih mempersoalkan kekurangan gerakan rimpang, lebih baik kita memikirkan cara-cara untuk memastikan agar muara dari segala model gerakan justru menjadi gerakan politik transformatif.


Ilham B Saenong adalah Penggiat di Humanis untuk Kebebasan Sipil di Era Digital.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.