Ilustrasi: Jonpey
Judul: Kepunahan dan Kapitalisme: Sebuah sejarah yang Radikal (terjemahan)
Penulis: Ashley Dawson
Penerjemah: Ciptaningrat Larastiti
Penerbit: Penerbit Independen (PIN)
Tahun: Juni, 2022
DAHULU bumi menjadi rumah bagi spesies-spesies raksasa, mamalia unik, marmot berbulu, tumbuhan, dan segala biodiversitas. Namun semua lenyap dalam gelombang kepunahan massal yang terjadi secara periodik dan akhirnya menjadi dongeng prasejarah. Saat ini gelombang kepunahan itu masih terus berlanjut dan mengintai kita serta makhluk hidup lain. Laporan PBB mengonfirmasi bahwa sebanyak 1 juta spesies dinyatakan telah punah. Elizabeth Kolbert menyebut ini sebagai the sixth extinction, era kepunahan, penyusutan keragaman biodiversitas, yang bahkan berjalan lebih kolosal sejak kepunahan ke-5. Para peneliti sepakat bahwa tingkat kepunahan spesies jauh lebih tinggi sekarang dibanding sebelum manusia ada.
Banyak ilmuwan apolitis menjelaskan sebagian besar kepunahan disebabkan oleh bencana ekologis yang bersifat evolutif, misalnya asteroid atau meteor dalam kasus kepunahan massal ke-5 yang akhirnya menyapu dinosaurus. Namun benarkah kepunahan yang terus berlanjut ini masih bagian dari evolusi ekologis yang alami, ataukah sesuatu yang lebih kompleks dan bersifat human-made? Ini adalah pertanyaan inti yang perlu dijawab dalam diskursus tentang kepunahan di era modern.
Buku yang ditulis oleh Ashley Dawson, Kepunahan dan Kapitalisme: Sebuah sejarah yang Radikal (diterjemahkan dari Extinction: A Radical History, 2016), memberikan wawasan lain terhadap isu ini. Menurutnya, semakin buruknya kondisi planet kita tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi-politik saat ini, kapitalisme. Dengan pendekatan kritis terhadap ekonomi global dan sistem produksi, Dawson menunjukkan bahwa sistem ini tidak hanya mengarah pada eksploitasi manusia dan alam, tetapi juga berkontribusi pada kepunahan massal yang semakin intensif.
Melalui buku ini, Dawson mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang bagaimana kapitalisme, meskipun sering dipromosikan sebagai pendorong inovasi dan kemajuan, menyimpan kontradiksi mendalam yang membuatnya tidak mampu memberikan solusi nyata terhadap krisis ekologis. Dawson mengusulkan perlunya perubahan fundamental dalam cara kita memandang ekonomi dan alam—perubahan yang lebih radikal daripada yang bisa ditawarkan oleh kapitalisme hijau atau solusi pasar lain. Dengan analisis tajam dan argumentasi kuat, buku ini membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut tentang alternatif-alternatif yang lebih berkelanjutan dan adil, serta bagaimana kita dapat mengatasi krisis ekologis yang sudah berada di ambang mata.
Buku Dawson singkatnya mengurai dengan lugas dan gamblang trajektori kepunahan yang tengah berlangsung. Dengan pendekatan kritis, buku ini merekognisi pembacaan tentang kepunahan, siapa yang paling bertanggung jawab, dan solusi untuk keluar dari krisis.
Antroposen dan modernitas: Dimulainya gelombang kepunahan keenam
Bagi sebagian orang, krisis ekologis adalah kenyataan yang tidak terhindarkan. Perubahan ini merupakan proses alamiah yang menuntut penyesuaian. Oleh karena itu, sudah selayaknya makhluk hidup beradaptasi, ujar mereka. Pandangan “netral” ini kemudian melahirkan moralitas baru yang mengajarkan bahwa kita semua harus bertanggung jawab dan mengambil peran, berkorban demi keluar dari keadaan yang mencekik.
Pandangan ini ahistoris dan menutupi kenyataan bahwa kerusakan ekologis sebenarnya adalah hasil dari sistem ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan akumulasi sumber daya tak berkesudahan yang digerakkan oleh segelintir orang saja. Dunia saat ini enggan mengakui kenyataan tersebut dan lebih memilih bersembunyi di balik narasi “kebaikan bersama”. Untungnya uraian sejarah yang disajikan oleh Dawson membuka wawasan tentang kenyataan yang tersembunyi di balik narasi besar politik-ekologis yang dibangun oleh rezim lingkungan hidup tersebut.
Kepunahan yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari antroposentrisme, yang cirinya corak produksi kapitalisme. Istilah “antroposen” sendiri diperkenalkan oleh Paul J. Crutzen (hlm. 20) pada tahun 2000 dalam sebuah pertemuan tahunan organisasi ahli ilmu alam. Antroposen memahami bahwa ada aktivitas manusia berperan sentral dalam memengaruhi bumi, yang pada gilirannya menandai awal dari zaman atau epos geologis baru.
Proses ini berawal sejak akhir abad ke-18, ketika Revolusi Industri menyebabkan produksi emisi karbon dalam skala besar. Meski begitu, perdebatan tentang kapan persisnya antroposentrisme muncul masih berlanjut sebagai wacana dialektis.
Sementara gagasan bahwa manusia sebagai pusat akarnya dapat ditelusuri pada ide modernitas dan perkembangan sains, lebih lama dari praktiknya sendiri. Tokoh seperti Francis Bacon membangun legitimasi dengan basis pengetahuan ilmiah tentang alam melalui dualisme objektif, memisahkan manusia dan alam secara biner. Bacon, bersama ilmuwan lain seperti René Descartes dan Isaac Newton, mendorong intervensi hukum matematika dalam memahami alam dan menciptakan relasi baru yang mekanistik.
Ide ini diyakini menandai lahirnya era antroposentrisme yang terus memengaruhi pola pikir dan kebijakan lingkungan hidup hingga kini: terbentuknya kategorisasi yang memisahkan secara tegas manusia dari alam dan menciptakan jarak antara keduanya secara ontologis yang sebelumnya tidak terbayangkan. Pandangan ini membentuk dasar eksploitatif yang mengilhami perkembangan modernitas dan revolusi industri, serta mendorong penjarahan sumber daya alam oleh bangsa Eropa. Gagasan ini dalam perkembangannya memperkuat dominasi dan legitimasi manusia atas alam.
Sebuah pleidoi: Apakah semua manusia bertanggung jawab?
Kepunahan ke-6, menurut Dawson, perlu dipahami secara kritis. Maksudnya, hal itu tidak bisa dipisahkan dari kritik terhadap kapitalisme dan puncak perkembangannya, yaitu imperialisme.
Salah satu argumen utama Dawson adalah bahwa kapitalisme, dengan asas pertumbuhan yang tak terbatas dan keinginan untuk terus berkembang—baik dalam bentuk ekspansi pasar, akumulasi modal, maupun eksploitasi sumber daya alam—selalu bertentangan dengan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan ekologis. Konsep growth yang tiada henti ini, menurut Dawson, memperburuk kerusakan ekologis karena ia mendasarkan diri pada pemanfaatan tanpa batas sumber–sumber daya.
Kapitalisme sendiri muncul ketika manusia menata diri dengan dasar pembagian kelas pemilik dan non-pemilik alat produksi serta moral penumpukan kekayaan pribadi. Doktrin ini menghidupkan ambisi untuk memperkaya diri tanpa batas, mendorong individu-individu pemilik modal berlaku tamak tidak hanya terhadap sesama manusia tetapi juga spesies lain dan alam. Sebagai corak produksi dan sistem sosial, kapitalisme memang merombak relasi antar-individu, kelompok, dan alam menjadi transaksi komoditas demi mencapai keuntungan. Ini yang oleh Marx disebut sebagai metabolic rift: bagaimana kapitalisme merusak sirkulasi alami dalam pertukaran material antara manusia dan alam melalui relasi produksi yang mengejar nilai lebih.
Untuk terus mengejar pertumbuhan yang tak terbatas dan mereproduksi kekayaan, kapitalisme memerlukan ekspansi sebagai prasyarat yang menopang keberlanjutan dan kestabilan sistemnya. Kenyataan ini menghasilkan periode sejarah yang kita sebut dengan kolonialisme dan imperialisme, digerakkan oleh kapitalisme Eropa. Ekspedisi Christopher Columbus yang monumental merupakan cerminan dari hasrat dan ambisi untuk menemukan tanah, wilayah, dan sumber daya baru yang dapat dieksploitasi untuk memperluas dan meningkatkan kekayaan.
Ekspansi penduduk Eropa dan pembangunan kapitalisme inilah yang kemudian menyebabkan ekosida dan kepunahan yang semakin signifikan serta meluas. Perburuan binatang untuk komoditas dan perluasan lahan untuk kepentingan perkebunan monokultur menjadi sendi utama yang menggerakkan kapitalisme hingga mencapai tahap tertingginya saat ini. Genosida dan perbudakan rasial juga merupakan implikasi dari fenomena ini, seperti yang tercatat dalam sejarah Amerika dan Australia.
Dawson menegaskan bahwa penyebab utama di balik kehancuran ekologis ini adalah kapitalisme menempatkan keuntungan di atas kelangsungan hidup spesies dan keberlanjutan lingkungan, dengan pertumbuhan sebagai kompas moral yang dominan. Meskipun pandangan ini tidak baru, dia menyajikannya dengan analisis yang tajam. Dawson menolak gagasan bahwa krisis kepunahan hanyalah akibat dari praktik buruk individu atau perusahaan tertentu. Sebaliknya, ia melihatnya sebagai konsekuensi sistemik dari cara kapitalisme mengeksploitasi alam demi pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas, tanpa memperhitungkan dampak jangka panjangnya.
Dawson menghubungkan tema besar bukunya, kepunahan, dengan sejarah panjang kolonialisme, imperialisme, dan ekspansi industri. Dia menempatkan kepunahan dalam konteks sejarah panjang penjajahan Eropa dan eksploitasi sumber daya alam di seluruh dunia. Selama berabad-abad, proyek kolonialisme dan imperialisme tidak hanya menundukkan manusia, tetapi juga secara agresif mengeruk sumber daya alam, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati karena tak dapat dipulihkan.
Dawson menegaskan bahwa krisis ekologi yang kita hadapi saat ini bukanlah fenomena baru, meskipun intensitas dan skalanya telah meningkat secara signifikan seiring dengan globalisasi kapitalisme, yang mendorong krisis ekologis ke titik kritis. Sayangnya berbagai upaya dan solusi yang diajukan untuk mengatasi krisis belum juga efektif, sebab yang muncul adalah keyakinan absurd bahwa kapitalisme bisa mereformasi dirinya untuk mengatasi kepunahan. Pada kenyataannya, eksploitasi dan pertumbuhan tak terbatas adalah syarat utama, “nyawa dan napas hidup” bagi kelangsungan kapitalisme itu sendiri.
Dawson menyoroti bagaimana kapitalisme hijau, yang berusaha menawarkan solusi berbasis pasar terhadap masalah lingkungan, sebenarnya kontradiktif. Konsep ini, meskipun mengklaim sebagai solusi terhadap krisis ekologis, justru memperlihatkan ketidakmampuan untuk menciptakan perubahan struktural yang sesungguhnya. Dengan ilusi–ilusi ekologis, kapitalisme hijau sering kali hanya mengubah cara eksploitasi alam tanpa mengurangi skala atau intensitasnya—sebuah praktik yang pada akhirnya mempertahankan atau bahkan memperburuk ketimpangan lingkungan juga sosial.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Ekososialisme dan gerakan anti-kepunahan
Masalah ekologi yang terus berkembang dewasa ini memang dapat dilihat dari berbagai perspektif, namun untuk menemukan solusi yang efektif dan mendedahkan akar permasalahan secara struktural, perlu pemahaman yang objektif dan berbasis pada fakta. Hal ini juga menuntut pertanyaan penting mengenai apakah manusia secara kolektif bertanggung jawab atas kerusakan ekologis yang terjadi atau hanya sebagian saja. Aktivis lingkungan Naomi Klein, tidak ragu untuk menyalahkan ekonomi kapitalisme sebagai penyebab utama kerusakan ekologis, terutama dalam hal darurat lingkungan. Dia kemudian menawarkan solusi melalui konsep Green New Deal (GNP), yang mengilhami wacana ekonomi hijau.
Bahwa kapitalisme sebagai penyebab utama krisis kepunahan juga diutarakan Dawson. Dia kemudian menyatakan berbagai upaya untuk menangani krisis kepunahan sering kali gagal menjawab masalah secara sistemik. Salah satu aspek kritik Dawson terhadap konservasi arus utama adalah bahwa pendekatan modern sering kali tidak cukup berani dalam menghadapi ancaman nyata terhadap keanekaragaman hayati. Dawson mengkritik proyek-proyek konservasi yang terlalu terfokus pada penyelamatan spesies tertentu melalui tindakan yang terisolasi tanpa menyentuh akar permasalahan, yakni sistem kapitalisme itu sendiri. Lebih jauh, pendekatan konservasi ini sering kali menjadi alat untuk menciptakan kategori-kategori tertentu tentang siapa yang berhak mengelola wilayah konservasi tanpa memperhitungkan hak-hak masyarakat adat yang kerap dikecualikan dari proses tersebut.
Gagasan konservasi ala neoliberalisme saat ini lebih berfokus pada penanganan gejala kepunahan, seperti perlindungan satwa atau zona konservasi, tetapi tidak berani menyasar penyebab fundamental dari kehancuran ekologis ini. Banyak inisiatif atau respons terhadap krisis ekologis sering didanai oleh aktor-aktor yang justru merupakan pelaku utama perusakan lingkungan. Perusahaan besar yang berkontribusi pada perubahan iklim dan hilangnya habitat sering kali menggunakan konservasi sebagai cara untuk memperbaiki citra publik mereka—praktik yang dikenal sebagai greenwashing. Contoh yang jelas adalah bagaimana Amerika, yang hanya mewakili 5% dari populasi dunia, melepaskan 25% emisi karbon global tetapi enggan untuk bertanggung jawab secara menyeluruh atas kerusakan yang terjadi.
Gagasan politik hijau yang sering diusung sebagai agenda global, menurut Dawson, adalah strategi rezim kapitalisme untuk menciptakan ruang bisnis baru dan mengomodifikasi krisis ekologis ini, agar produksi kapitalistik tetap berjalan. Ini adalah bentuk transformasi kapitalisme yang berusaha beradaptasi dan bersiasat, yang dalam bahasa Dawson disebut sebagai green capitalism atau biocapitalism.
Pendekatan radikal Dawson menekankan bahwa konservasi dan krisis lingkungan tidak dapat diselesaikan tanpa memutus rantai eksploitatif yang mengikat kapitalisme dengan kerusakan lingkungan. Dengan kata lain, upaya konservasi yang tidak mempertanyakan atau menghadapi kapitalisme hanya akan berakhir dengan kegagalan, karena mereka tidak menyentuh akar masalah yang sesungguhnya. Urgensi untuk keluar dari krisis ini sangat penting, dan Dawson berpendapat bahwa solusi tidak dapat ditemukan dengan hanya menyerukan perubahan perilaku individu atau penerapan teknologi hijau. Sebaliknya, solusi sejati hanya dapat dicapai dengan membongkar sistem kapitalisme itu sendiri, yang selama ini menjadi penyebab utama kehancuran ekologi.
Dawson mengadvokasi ekososialisme sebagai jalan keluar dari krisis ini. Ekososialisme, menurut Dawson, menggabungkan perjuangan sosialisme untuk keadilan ekonomi dengan kesadaran ekologi yang mendalam. Ini mencakup upaya untuk menghentikan pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas (degrowth) dan menuntut pengalihan kekuasaan dari korporasi dan elite ekonomi kepada rakyat, untuk membangun sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip keberlanjutan ekologis dan solidaritas sosial. Dawson menekankan pentingnya perlawanan kolektif dan perubahan struktural, serta menolak ide-ide individualistis mengenai tanggung jawab lingkungan yang sering muncul dalam wacana arus utama. Dengan demikian, solusi terhadap krisis ekologis harus bersifat radikal dan sistemik, mengubah struktur sosial dan ekonomi yang mendasari kerusakan planet ini.
Namun, gagasan tentang ekososialisme tentu tidak lepas dari kritik. Beberapa orang mungkin mempertanyakan kepraktisan perubahan sistemik yang begitu besar dalam konteks politik dan ekonomi global yang sangat kompleks. Apakah mungkin, dalam waktu singkat, meyakinkan masyarakat global untuk beralih ke ekososialisme, terutama di tengah dominasi kapitalisme neoliberal? Selain itu, bagaimana transisi ini dapat diterapkan di negara-negara berkembang yang masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi, termasuk Indonesia?
Abdillah Akbar adalah mahasiswa Antropologi Universitas Gadjah Mada.