Ilustrasi: Getty Images/Juni Kriswanto
YANG PALING MENGGELIKAN dalam politik Indonesia akhir-akhir ini barangkali adalah mendengar pernyataan-pernyataan membingungkan para elite, mulai dari demokrasi santun a la presiden Prabowo hingga pernyataan Puan Maharani, yang partainya tidak masuk kabinet Prabowo tetapi menyatakan dukungan penuh terhadap pemerintah melalui parlemen.
Keyakinan terhadap nilai-nilai politik macam itu konon berangkat dari budaya politik Indonesia yang tak mengenal perbedaan politik secara radikal. Mereka yakin, sejarah politik Indonesia dijalankan melalui politik “sopan-santun”, yaitu perbedaan ideologi dan kelas sosial harus dileburkan dalam tujuan yang belum terumuskan: “membangun bangsa”. Siapa saja yang menyangkal mantra politik ini, menurut mereka, adalah orang-orang yang tidak patriotik dan tidak cinta terhadap bangsa.
Singkatnya, apa yang ingin mereka katakan adalah budaya politik Indonesia tidak mengenal apa itu oposisi. Tulisan ini tidak ingin menjabarkan tentang pentingnya oposisi dalam konteks demokrasi liberal di Indonesia, melainkan menawarkan padangan alternatif bahwa ketiadaan oposisi dalam sistem politik formal hari ini adalah hasil historis dari proses persaingan ideologis yang pernah ada di Indonesia, dalam kaitannya dengan pengorganisasian kapitalisme.
Sejarah Politik Indonesia adalah Sejarah Oposisi
Jika kita mengartikan oposisi dalam konteks politik sebagai kekuatan yang secara diametral berbeda, tidak bisa disatukan, dan menjalankan politik pertentangan secara aktif, maka sejarah politik Indonesia adalah sejarah yang demikian. Pertentangan antara kekuatan sosial dan politik Indonesia di masa lalu justru adalah penggerak utama kemajuan.
Kita tidak perlu merunut satu persatu momen sejarah yang dimaksud. Cukup bagi kita untuk memahami bahwa persaingan, pertentangan, dan pertarungan ideologis adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik saat itu. Ketika kolonialisme dan imperialisme Hindia-Belanda direspons oleh kaum Bumiputera dengan latar belakang ideologis yang berbeda-beda, mereka tidak saja mengambil posisi yang saling berlawanan dengan pihak penjajah, bahkan menjadi pesaing, tak jarang dengan cara yang keras, di antara mereka sendiri.
Bentangan ideologi yang beragam itu, dari Islam, nasionalis, komunis, dan subkategori ideologi lainnya, mewakili semangat ideologis masing-masing, bergerak dan bertarung mencapai kekuasaan untuk merealisasikan cita-cita ideal yang mereka miliki, tanpa harus punya tendensi untuk meleburkan kekuatan-kekuatan ideologi tersebut ke dalam kekuasaan politik tunggal dan dengan kepentingan yang tunggal.
Pada Pemilu 1955, partai-partai menonjolkan keunggulan ideologinya masing-masing secara terang-terangan dengan sangat bersemangat dan damai. Mereka yang menang kemudian berhak menjalankan kekuasaan, dan mereka yang kalah secara keras menjadi penanding kekuasaan. Tidak ada yang berkeinginan untuk mengakomodasi seluruh kekuatan ideologis tersebut ke dalam pemerintahan. Pertarungan ideologis sangat kental di masa itu, sehingga kita tidak dapat mendengar cerita di mana partai islam yang konservatif dapat mendukung partai nasionalis.
Corak politik penuh persaingan ideologis itu terhenti ketika intervensi politik dalam bentuk operasi penumpasan komunis mulai dijalankan di Indonesia sebagai akibat dari Perang Dingin yang sedang berlangsung. Kapitalisme membutuhkan kekuatan politik yang dapat mendukung dan memastikan reproduksinya berjalan maksimal. Kapitalisme tidak ingin ada persaingan ideologis yang sangat ketat, apalagi terhadap mereka yang secara terang-terangan mengusung visi ideologis yang antikapitalis. Maka dalam tahap sejarah ini, perbedaan ideologis yang sebelumnya berjalan dengan kualitas perdebatan yang berkelas, berubah menjadi pemusnahan secara fisik terhadap lawan-lawan ideologis kapitalisme, dan sudah tentu, kekuatan komunis adalah objek utamanya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Setelah itu, oposisi dalam bentuk apapun tidak harus ada dan berkembang di Indonesia. Jenderal antikomunis bernama Soeharto muncul sebagai kekuatan politik tunggal setelah operasi penumpasan komunis sukses dilakukan melalui Metode Jakarta 1965-1966. Tidak ada lagi perbedaan ideologi sejak itu. Soeharto menyatakan dirinya sebagai representasi seluruh kekuatan sosial yang ada di masyarakat serta mengokohkan proyek depolitisasi massa. Realisasi atas proyek-proyek ideologis yang bertentangan dengan rezim tidak lagi dimungkinkan, dan masyarakat Indonesia harus menerima bahwa hanya ada satu cita-cita ideal yang harus dijalankan oleh bangsa Indonesia, yaitu melalui jalur kapitalisme, lebih tepatnya kapitalisme kroni.
Kapitalisme menjelma menjadi ideologi tunggal, meski rezim saat itu sering membungkusnya dengan Pancasila. Melawan kapitalisme artinya melawan Pancasila. Siapa pun yang bebal harus menerima dinginnya barak-barak di kamp konsentrasi a la Nazi di Pulau Buru. Kapitalisme keluar sebagai pemenang melalui pemberangusan ideologis dan para ideolog-ideolognya. Soeharto menjadi sosok individu yang organik, seolah mewakili segala hal, segala kepentingan, dan dengan demikian menjadi negara itu sendiri.
Anti-Oposisi Pasca Orde Baru
Memisahkan pengaruh kapitalisme dalam pembentukkan corak politik yang anti-oposisi adalah analisis yang ahistoris. Analisis dominan terhadap oposisi yang sudah sangat memuakkan untuk kita dengar adalah berangkat dari kalkulasi legal-formal dalam ketatanegaraan Indonesia. Seolah-olah keharusan untuk beroposisi adalah untuk memenuhi kriteria-kriteria demokrasi liberal, yang pada penerapannya selama ini, justru lebih bersifat iliberal. Dalam keyakinan standar demokrasi liberal, partai politik yang akan beroposisi dipercaya dapat berbeda secara radikal dengan partai penguasa pemenang pemilu dan menjalankan fungsi-fungsi kontrol terhadap pemerintah. Kenyataannya ini tidak terjadi. Lihat saja pernyataan Puan Maharani dan elite PDI-P lainnya, partai yang menyatakan diri tidak dalam pemerintahan, tetapi mengklaim akan mendukung pemerintah.
Indonesia pasca Orde Baru adalah bangsa yang secara politik mengalami fragmentasi intra-oligarki, tetapi kekuatan oligarki akan tetap menyatu di dalam kepentingan yang sama untuk mendukung akumulasi kapital. Mereka biasa mendukung kekuatan politik partai atau koalisi partai yang berbeda-beda. Namun, ketika kesempatan hadir memberikan manfaat ekonomi terhadap kepentingan reproduksi kapitalis, mereka akan bersatu tanpa celah. Persaingan di antara mereka saat pemilu dengan demikian hanya bersifat artifisial. Kekuatan yang kalah harus merapatkan diri ke dalam kekuatan yang menang jika posisinya ingin tetap aman dan terjaga.
Walaupun Orde Baru sudah dua dekade berlalu, tetapi oposisi dalam narasi dan praktik politik politisi Indonesia masih tak menjadi praktik politik yang khas Indonesia. Politik Indonesia adalah politik yang “sopan santun,” menjunjung keharmonisan antar elit agar dapat menjadi cerminan masyarakat untuk menerapkan hal yang sama. Nampaknya dalam situasi ini, sangat susah membayangkan Indonesia mengalami krisis politik, ketika elit dan partai politiknya yang kalah saat pemilu juga mengamini keyakinan yang serupa, yaitu oposisi bukan budaya Indonesia. Dengan demikian, untuk apa ketakutan terhadap ketidakharmonisan itu ditonjolkan ketika semua menyepakati doktrin yang absurd ini? Itu berarti, Prabowo sebagai presiden tidak perlu khawatir berlebih.
Anti-oposisi adalah konsekuensi logis yang muncul akibat hilangnya politik berbasis kelas di Indonesia. Momentum gerakan reformasi tidak diisi oleh kekuatan politik berbasis kelas yang kuat untuk memajukan agenda-agenda politik kelas. Ruang ini dimanfaatkan secara baik justru oleh kekuatan lama yang bermutasi sehingga mencitrakan diri sebagai sosok yang demokratis. Alhasil, tidak ada yang benar-benar mampu membedakan diri secara radikal dan terbuka secara terang-terangan mengemukakan pertentangan dan ketidaksesuaian. Semua kekuatan politik dominan hari ini adalah mereka yang meyakini bahwa kapitalisme adalah satu-satunya jalan untuk mendatangkan kemakmuran. Mereka yang berbeda akan diserang dengan narasi-narasi nasionalistik yang sempit.
Melampaui Populisme Gerakan Sosial
Ketiadaan oposisi berbasis kelas bukan berarti akhir dari nasib kelas pekerja di Indonesia, tetapi itu juga bukan berarti kita bertahan pada gerakan sosial yang tidak cukup kuat secara politik sehingga berakhir secara frustasi dan memilih seruan-seruan moral tidak berguna. Populisme gerakan sosial hanya terus-menerus mewacanakan elite melawan massa, tetapi tak betul-betul menerima pentingnya massa diorganisir secara politik dalam platform politik berbasis kelas sehingga menjadi kelas yang berkuasa.
Penyangkalan terhadap model politik yang demikian nyatanya berakhir pada sikap anti-politik dan anti-negara, yang justru adalah hal penting untuk diperebutkan guna merealisasikan proyek-proyek politik kelas yang selama ini tidak muncul. Politik berbasis kelas adalah oposisi yang sebenar-benarnya ketika partai-partai dominan mengalami impotensi permanen dan ketidakjelasan orientasi politiknya masing-masing, selain mencari posisi yang lebih menguntungkan untuk elit dan kelompoknya.
Taufik Poli adalah alumnus Ilmu Politik UNPI Manado