Ilustrasi: Getty Images
MARINIR AS menyerbu Pantai Scheveningen, Belanda. Segerombolan tentara keluar dari kapal. Tepat di atas mereka, helikopter Black Hawk mengumumkan sesuatu dalam bahasa lokal yang patah-patah.
Warga setempat kaget tapi tidak panik. Dutchies being Dutchies—ketentraman adalah nilai luhur kebangsaan. Seorang pesepeda berhenti, menghela napas, bergumam, “Moet dat nou?”—“Ngapain dah?”
Mau apa marinir-marinir ini? Membebaskan sandera? Mencegah ancaman nuklir? Rupanya bukan. “Blijf kalm, mensen! We komen alleen onze oorlogsmisdadigers ophalen!”—“Tenang saudara-saudara, kami cuma ingin membebaskan penjahat perang!”
Marinir-marinir yang masih menunggak bayar student loan ini ingin membebaskan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant. Keduanya ditahan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) ketika sedang plesiran di kawasan bordil Amsterdam. (Saya paham ini tidak masuk akal—tapi terima sajalah mengingat ini film kelas B dan setelah 7 Oktober kita tahu ada banyak pandir di Israel).
Film jelek. Tapi dalam skenario terburuk, ia bisa menelurkan banyak sekuel.
Mari kita kembali ke Dunia Nyata bersama Hague Invasion Act, sebuah undang-undang betulan yang memungkinan Washington membombardir Belanda jika ICC nekat mengadili warga AS atas kejahatan perang. Bayangkan tingkat kepercayaan diri para legislator zaman Bush Jr. sehingga bisa mengarang undang-undang macam ini. Seolah-olah mereka bangun pagi dan langsung ingat: “Oh, blandis-blandis tengil ini dulu nyaris mati kelaparan kalau saja Marshall Plan kita stop. Masih untung bekas jajahannya bisa digencet sampai bayarin utang perang mereka sampai 19 tahun lalu.”
Absurditas tidak berhenti di situ. Pekan ini, Kanselir Olaf Scholz menyatakan bakal menolak mengeksekusi surat perintah ICC jika Netanyahu dan Gallant mendarat di Jerman—negara yang praktis menulis Buku Pedoman Moralitas Eropa sebelum mengobrak-abriknya 86 tahun silam.
Begitulah Jerman, tanah kelahiran para filsuf, pakar mesin, dan aturan-aturan parkir njelimet yang catatan kakinya bahkan punya catatan kaki. Sebuah negara yang setelah Holocaust memoles slogan Nie wieder—“Jangan Lagi”—menjadi semacam ideologi nasional. Sekarang? Ya masih “Jangan Lagi”—kecuali ada hubungannya dengan urusan sumber daya alam dan perdagangan senjata.
Masih dari sekitaran pantai Scheveningen, berdirilah Penjara ICC—sebuah fasilitas yang sangat nyaman. Para terdakwa kejahatan perang tidak meringkuk di dalam sel, melainkan di kamar yang cukup luas dengan kasur empuk, meja, kamar mandi, dan jendela yang memungkinkan sinar matahari masuk. Mereka punya akses ke perpustakaan, gym, dan dapur. Bayangkan satu co-living space yang penghuninya bukan tech bro tapi para pensiunan jenderal.
Di luar tembok penjara, tak terhitung migran yang harus kucing-kucingan dengan aparat Belanda setelah lolos dari mulut buaya di negeri sendiri. Belum lagi keluarga-keluarga miskin yang harus menunggu puluhan tahun supaya dapat tinggal di social housing. Namun di sini, di penjara ICC, para pelaku kejahatan perang dijatah makan tiga kali sehari, boleh membaca War and Peace atau bahkan merilis album (ehem). Bayangkan, di tengah krisis perumahan Belanda sejak 1970an, seorang lulusan Amsterdam yang nyaris jadi gembel melihat foto-foto Penjara Scheveningen dan berseloroh ke temannya, ”Bruh, kalau tempatnya kayak gini, kenapa nggak dari dulu aja kita jadi penjahat perang?”
Kecuali untuk Afrika dan Putin, demikian ancaman seorang pejabat senior kepada Bos ICC Karim Khan, hukum internasional nampaknya bukan hukum tulen. Ia sekadar saran tentang perlunya menjaga sopan santun.
Di tahun 2024 ini kita masih hidup seperti di zaman bankir-bankir Italia yang mengongkosi perang di sana-sini. Krisis geopolitik adalah rezeki nomplok dan stimulus Q3. Kita masih hidup bersama Paman Sam, imperium yang jelas-jelas menua tapi ogah pensiun. Ekonominya memang tak sepenuhnya bergantung pada sektor pertahanan—yang lebih mirip doping dalam perlombaan pasar. Pengeluaran pertahanan hanya 3% dari PDB. Tapi seandainya besok industri senjata bangkrut, dampaknya akan terasa. Negara-negara bagian seperti Virginia, Texas, dan California akan jadi kota setengah sekarat. Dan tahun depan, orang-orang Amerika yang cuma mau lihat peta ketika Washington mengumumkan perang itu pasti akan bertanya-tanya: “Eh, memangnya di sana pernah ada industri senjata?”
Industri ini bukan cuma soal misil dan tank, tapi juga soal citra. Bom-bom yang dijatuhkan di Gaza, misalnya, adalah panggung untuk pamer dominasi. Tipikal kelakuan artis lawas sudah lewat masanya lalu tiba-tiba muncul di berita karena tertangkap saat pesta narkoba. Ya, malu-maluin sih, tapi setidaknya dunia harus tahu kalau mereka masih ada.
Masalahnya industri pertahanan terlanjur jadi pengaman kapitalisme. Perusahaan seperti Raytheon dan Lockheed Martin tak cuma bikin senjata; mereka juga investasi besar di banyak bisnis, termasuk teknologi, terutama AI.
Sialnya, dilihat dari dampaknya, bisnis-bisnis ini ”too big too fail.” Jika terancam bangkrut, pemerintah akan secepatnya mem-bail out. Sekarang coba bayangkan: industri senjata kolaps dalam semalam. Apa ekonomi AS runtuh? Ya tidak sih, tapi pasti ada rusuh-rusuh. Tentara akan kesulitan cari suku cadang. Kota-kota yang bergantung pada kontrak-kontrak pertahanan dari Pentagon akan jadi kota hantu, dan Wall Street, well, krisis. Silicon Valley mungkin akan terus bikin aplikasi kencan, sementara bank-bank akan merilis produk keuangan baru bernama ”sekuritas berbasis misil.” Hidup di Paman Sam akan terus berjalan—bedanya: bom lebih sedikit, pengangguran lebih banyak.
Mungkin industri senjata tetap eksis bukan karena ekonomi mustahil hidup tanpanya, tetapi karena lebih gampang bikin bom ketimbang bangun industri yang super super padat karya. Mereka hanya butuh sedikit pekerja dengan keterampilan hi-tech. Dengan ledakan geopolitik di mana-mana, uang pun berputar lebih cepat di sektor ini—belum lagi yang kecipratan.
Pada suatu hari di Den Haag, seorang jaksa membaca berita tentang surat penahanan ICC yang diabaikan negeri jiran, tentang serangan-serangan dari Tel Aviv yang terus ditolerir. Dia menghela napas, mengaduk kopi, dan mengenang saran-saran lama bekas koleganya yang kini tajir melintir setelah banting setir jadi agen properti.***
Bagus Anwar adalah Pemerhati Sosial Politik