Ilustrasi: Ilustruth
DI TENGAH situasi publik yang masih dikejutkan oleh pemilik akun anonim Kaskus Fufufafa, beredar sebuah video lama. Dalam video itu, Gibran Rakabuming Raka mengaku tidak gemar membaca buku dan tumbuh dalam keluarga yang memang tidak punya kegemaran itu. Ini tentu sesuatu yang ironis. Negeri ini sedang gawat dan membutuhkan gagasan-gagasan canggih untuk berkembang. Hanya pemimpin dengan intelektualitas memadai sanggup melahirkannya, tetapi justru mendapati seonggok pemimpin yang jauh dari tradisi paling dasar intelektualisme itu.
Melalui tulisannya yang terbit di Jawa Pos, Wapresku Tak Baca Buku, Okky Madasari menyatakan hal yang sama: sudah menjadi common sense bahwa pemimpin harus pintar. Jika bodoh, jangan mencalonkan diri. Waswas diri! Okky kemudian membuktikan kedangkalan Gibran dengan merujuk pada komentar-komentar aku Fufufafa yang rasis, seksis, body shaming, dan homofobik.
“Celetukan dan perkataan-perkataan Gibran melalui akun Fufufafa tersebut merefleksikan seseorang yang rendah moral dan rendah intelektualitas paralel dengan pengakuannya yang tidak suka membaca,” tulis Okky. Selanjutnya, Okky menjelaskan kriteria bagaimana pemimpin itu seharusnya dengan menyitir Plato tentang philosopher-king; atau jika tidak bisa memiliki kriteria philosopher-king, paling tidak mendekati. Tulisannya ditutup dengan pertanyaan retoris mengenai apa yang akan dikenang dari Prabowo jika bersanding Gibran memimpin negeri ini.
Bagi saya, tulisan Okky tak lebih dari gerutu normatif-moralis yang nirguna. Maksud dari nirguna ialah tanpa membaca tulisannya semua orang tahu bahwa kriteria pemimpin harus intelektual dan berintegritas. Itu semacam aksioma politik. Sama halnya mengatakan bahwa orang yang masuk surga merupakan orang baik; orang itu bukanlah orang baik; maka orang itu tidak masuk surga. Buang-buang waktu saja! Oleh karena itu, saya tidak akan menggunakan pendekatan normatif-moralis untuk keributan soal Fufufafa ini.
Alih-alih membicarakan apakah orang macam Gibran layak jadi wakil presiden, saya akan beranjak pada persoalan yang material dan fundamental: Mungkinkah intelektual menang dalam pemilu kita?
Sistem Politik Kita
Sistem politik kita adalah demokrasi dan pemilu adalah representasi utama dari demokrasi. Dengan demikian, setidaknya, asalkan tiap beberapa tahun sekali kita tetap melaksanakan pemilu, maka selama itu pula demokrasi hadir. Namun, sialnya, demokrasi tidak bisa memastikan intelektual atau bijak bestari menjadi pemimpin, bahkan dimungkinkan abadi kalah. Sementara itu, penyiar daring (streamer) gim, naravlog makanan, aktor, musisi, atau pengusaha tambang yang hanya ingin menambah kekayaan dimungkinkan menang pemilu melalui demokrasi.
Hal itu terjadi sebab terdapat paradoks dalam demokrasi. Individu diasumsikan sebagai makhluk rasional. Dalam pemilu, individu akan memilih calon pemimpin berkompetensi menggunakan pertimbangan rasionalnya sehingga tercipta keadilan sosial. Fakta berkata lain: paling tidak menurut banyak penelusuran psikologi dan neurosains, individu bukan makhluk rasional, tetapi irasional. Contoh sederhananya adalah referensi pakaian, makanan, dan banyak hal lain dalam keseharian kita rata-rata merupakan pilihan spontan yang disarankan oleh figur dan promosi media sosial.
Irasionalitas inilah yang membuat kita memilih calon presiden, misal, karena gemoy, anak muda, atau terkenal belaka; atau memilih A ketimbang B dan C karena merakyat atau alasan populis lainnya, namun tanpa pernah memeriksa apakah A lebih populis dari B dan C memang fakta. Apakah, jangan-jangan, di antara A, B, dan C tidak ada yang berniat sungguh mengabdi pada masyarakat? banyak lagi bentuk pemeriksaan rasional lainnya. Tidak heran jika hasil survei Litbang Kompas (15/02/2024) menunjukkan pasangan calon 02 mendapat perolehan suara kaum berpendidikan tinggi 41,7%, sedangkan dua calon lain, 01 mendapat 34,3% dan 03 12,6%.
Untuk mendulang suara pemilih irasional, satu-satunya yang perlu dilakukan calon ialah menjadi semenarik mungkin, atau kasarnya, “lakukan apa pun yang menarik simpati!” Hal-hal berbau simpati lumrahnya jauh dari intelektualisme. Misal, kampanye Jokowi yang masuk gorong-gorong untuk meraih suara populis atau kampanye Prabowo melalui joget dan citra gemoy untuk meraih suara anak muda. Yang mengarus utama: bagi-bagi sembako, pakaian, dan uang. Hal-hal macam ini selalu berhasil.
Pada pemilu kemarin, 01 menggunakan kampanye semacam dialog terbuka antara pasangan calon dan penonton. Ini sangat bersifat intelektual dan model seperti ini sepatutnya ditiru oleh pasangan lain di pemilu ke depan. Di sisi lain, 02 tetap menggunakan model yang sudah mainstream, seperti konser musik di mana pasangan calon hanya memekikkan jargon-jargon dan para pendengar menyambutnya meriah. Hasilnya, seperti disinggung di atas, kaum berpendidikan tinggi memberikan banyak suaranya untuk 02 ketimbang 01.
Pilar Pemilu Kita
Pilar pemilu kita adalah partai politik. Jika kita mengharapkan calon pemimpin intelektual, kita harus bertanya beberapa hal pada partai-partai politik kita. Ideologi macam apa yang diusung mereka? Apakah mereka memang punya kepedulian soal intelektualisme dalam politik? Dalam sejarahnya, partai politik kita terbagi menjadi tiga aliran ideologi: nasionalis, islamis, dan komunis—belakangan tersisa nasionalis dan islamis. Namun, hari ini praktis tak ada partai berideologi. Semuanya menjadi oportunis, tak perlu berpegang pada ideologi apa pun asal mendapatkan kursi.
Sekadar contoh, PKB yang merupakan koalisi 01 bersama PKS dan NasDem di pemilu lalu, vis a vis Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang beranggotakan sepuluh partai pendukung 02, setelah hasil pemilu memenangkan pasangan 02. Cak Imin sendiri tanpa ragu segera menyatakan bergabung KIM untuk mendukung program makan siang gratis 02. Paling terkini, Partai Buruh yang bahkan tidak mengagendakan kepentingan kelas pekerja dan memilih tidak berkoalisi dengan semua pasangan calon karena dianggap tidak ada yang memihak kepentingan kelas pekerja, akhirnya juga bergabung KIM.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Partai politik yang oportunis tidak pernah punya kepedulian soal intelektualisme. Syarat memperoleh dukungan mereka ialah tingginya probabilitas kemenangan. Partai akhirnya memilih pesohor, seperti pada kasus Gerindra mengusung seorang pelawak, Marshel Widianto, untuk pilkada di Tangeran Selatan, tetapi urung tiba-tiba karena banyak sambutan buruk dari publik sehingga memperkecil probabilitas. Selain, pesohor mereka juga sering menggaet pengusaha yang ingin memperkaya diri untuk menempati jabatan tertentu dalam partai. Pengusaha membantu pendanaan partai agar bisa bertumbuh lebih besar. Ini jelas menguntungkan pengusaha itu sendiri.
Kita tahu sekarang setengah dari 500-an anggota legislatif berlatar pengusaha. Dengan jumlah sebanyak ini, undang-undang mudah dibelokkan untuk menguntungkan bisnis mereka. Pengesahan UU Cipta Kerja adalah contoh. Undang-undan ini disahkan secara tergesa-gesa dan pasal-pasal yang menguntungkan pengusaha: penghapusan batas kerja kontrak, peningkatan jam lembur pada sektor tertentu, penghapusan cuti khusus bagi perempuan (haid, hamil, dan rawat anak), penentuan upah minimum tanpa mengacu pada inflasi, dan lain-lain. Jelas semua ini membuat pengusaha bungah untuk menghisap lebih banyak lagi daya hidup kelas pekerja.
Meskipun sebelumnya disinggung bahwa partai politik merupakan pilar pemilu, ini tidak berarti menutup sepenuhnya kesempatan mencalonkan diri secara independen. Hal ini mungkin dilakukan, tetapi tentu saja sangat ribet. Calon independen harus memiliki sebaran dukungan lebih dari 50% jumlah daerah, mendapatkan jumlah dukungan 6,5% sampai 10% (bervariasi tergantung jumlah penduduk dalam satu daerah), dan lain-lain. Mengusung calon dari partai sendiri juga tidak kalah ribet, karena harus memenuhi ambang batas dukungan legislatif 20%, jika tidak sempat memperoleh 25% di pemilu sebelumnya.
Tidak Mungkin (!)
Berlandaskan uraian di atas, jawaban dari pertanyaan pokok kita adalah: tidak mungkin! Pertama, demokrasi dari individu irasional kerap menjatuhkan pilihan politik pada calon yang sekadar menarik secara gestur, jargon, atau “hadiah” yang diberikan sebelum pemilu. Yang pandai menarik simpati niscaya menang, tak peduli begitu dangkal dan terbelakang pikirannya. Kedua, semua partai politik kita telah membeo pada pragmatisme, hanya peduli menang. Karena itu mereka lebih suka menggandeng pesohor atau pengusaha daripada intelektual, karena probabilitas kemenangannya lebih tinggi.
Akhirnya, jika Anda enggan memiliki wakil presiden yang tak gemar baca buku, itu adalah keengganan yang baik dan hak Anda merawat keengganan itu selama mungkin. Namun, selama tatanan politik tak berubah, sampai kapan pun Anda tidak akan punya presiden atau wakil presiden seorang intelektual, yang gemar baca buku dan kalau menjawab pertanyaan wartawan tidak lagi, “Ya, tidak tahu. Jangan tangan saya,” dan ha-ho-ha-ho lain.
Faris Ahmad Toyyib adalah mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada