Problematika di Balik Revitalisasi Danau Rawa Pening

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: ANTARA FOTO/Aji Styawan/foc.


DANAU Rawa Pening, yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sedang tidak baik-baik saja. Ini bukan hanya soal danau itu sendiri, tapi juga manusia-manusia yang menggantungkan hidup padanya. Saat ini para warga sedang memperjuangkan hak yang hendak dirampas atas nama revitalisasi.  

Artikel ini tidak jauh berbeda dengan kajian ilmiah/kertas advokasi berjudul “Mempertahankan Rawa Pening” yang disusun oleh tim Amnesty International Chapter UNNES (Amnesty UNNES), terdiri dari saya sendiri, Syahwal, Nabil Gunawan, dan Hasan Kurnia Hoetomo. Kertas advokasi itu sendiri telah didiseminasikan ke publik, dengan mengundang masyarakat umum, warga, praktisi, dan akademisi.


Danau Rawa Pening yang Sedang Sakit

Rawa Pening berada di cekungan terendah di lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran yang terbentuk akibat pergeseran lempeng bumi pada zaman pleistosen. Hal ini membuatnya menjadi penampungan air alami dari aliran air gunung-gunung tersebut. Ia mencakup empat kecamatan: Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Meskipun dangkal, Rawa Pening menjadi sumber Sungai Tuntang (Rahmawati et al., 2023). 

Pada mulanya Danau Rawa Pening memiliki segudang manfaat, termasuk sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA), destinasi wisata, dan pengendali banjir (Abimanyu, 2016). Sementara warga setempat memanfaatkannya untuk mencari dan membudidayakan ikan—dikenal dengan “keramba jaring apung” atau “keramba” saja. Sementara eceng gondok yang banyak sampai-sampai menutupi danau dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan. Mereka juga menanam padi di lahan sekitar danau. 

Namun lama kelamaan danau ini kehilangan manfaatnya. Rawa Pening senantiasa menyusut setiap tahunnya. Penyebab utama sedimentasi disebut-sebut adalah limbah dari ternak dan keramba ikan. Danau masuk dalam kondisi “sakit kronis”; danau mengalami degradasi yang sangat parah.

Karena sedang “sakit”, pemerintah kemudian coba memberikan “pengobatan”. Ini tidak hanya diterapkan di Danau Rawa Pening, tapi juga danau–danau lain yang kondisinya serupa. Upaya penyembuhan ini sudah dicanangkan setidaknya sejak 2009, ketika diadakan Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) I di Bali. Pada KNDI I inilah Danau Rawa Pening resmi ditetapkan sebagai salah satu dari 15 Danau Prioritas Nasional (DPN) yang bakal dipulihkan karena tingkat sedimentasi yang tinggi. Di antara seluruh danau tersebut, Rawa Pening-lah yang luasnya paling kecil. Meski demikian, ia tetap termasuk dalam wilayah strategis Jratunseluna, yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Jateng. 

KNDI II di Semarang pada 2011 kemudian meluncurkan program Gerakan Penyelamatan Danau (Germadan). Rawa Pening-lah yang menjadi model percontohan bagi proyek ini. Di acara itu pula disusun dokumen Grand Design Penyelamatan Danau Indonesia. Setelah itu upaya-upaya untuk mengatasi sedimentasi dan pencemaran terus dilakukan baik oleh pusat dan daerah.


Danau Prioritas Nasional yang Problematik

Pada era Presiden Joko Widodo, tepatnya sejak 2015, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan beberapa kementerian lain sepakat membentuk Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA), yang di dalamnya termasuk revitalisasi 15 danau kritis. Kemudian, pada 2020, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri PUPR No. 365/KPTS/M/2020 yang khusus mengatur revitalisasi Rawa Pening. Peraturan tersebut mencakup penetapan patok sempadan (tanda batas) di beberapa kecamatan dan desa sekitar danau. 

Peraturan lain yang terkait keluar setahun kemudian, 22 Juni 2021, yaitu Peraturan Presiden No 60/2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional (DPN). Di sana disebutkan bahwa program ini adalah “upaya untuk mengendalikan kerusakan, menjaga, memulihkan, dan mengembalikan kondisi serta fungsi badan air danau, daerah tangkapan air, dan sempadan danau sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.” 

Namun, realitasnya, upaya penyelamatan DPN dalam bentuk revitalisasi justru mengandung segudang problematika. Salah satunya adalah, tidak seluruh warga yang terdampak dilibatkan. Mereka sering kali merasa tidak diakomodasi baik dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Kurangnya sosialisasi dan partisipasi menyebabkan masyarakat merasa terpinggirkan.

Hal ini tidak sesuai dengan UU 25/2004 yang mengamanatkan pembangunan nasional semestinya bersifat partisipatif. Ini juga menunjukkan bahwa warga hanya dianggap sebagai objek, bukan subjek revitalisasi. 

Salah satu contoh tidak adanya sosialisasi yang jelas adalah penempatan patok di lahan-lahan milik warga yang berada di sekitar danau. Masyarakat belum sepenuhnya memahami tujuan dan dampak dari pemasangan patok tersebut. Pemasangan patok sempadan sendiri dasarnya adalah Kepmen PUPR No. 365/KPTS/M/2020. Meskipun hingga saat ini belum ada lahan warga yang secara resmi diambil alih untuk kepentingan revitalisasi, banyak patok batas sempadan yang sudah dipasang di tempat mereka. 

Semua ini menimbulkan ketidakpastian dan stres, bahkan gangguan kesehatan mental. Menurut kesaksian warga, “Karena adanya patok ini membuat warga jadi stres, dan bahkan ada salah satu warga yang dibawa ke rumah sakit jiwa.”


Potensi Pelanggaran HAM

Tak sekadar masalah sosialisasi, revitalisasi Danau Rawa Pening telah menimbulkan masalah signifikan bagi masyarakat lokal.

Penggunaan alat berat dalam pengendalian sedimentasi dan pembersihan eceng gondok telah merusak lahan pertanian di sekitar danau. Hal ini menyebabkan perubahan pola aliran air, sehingga mengancam mata pencarian nelayan serta petani. Lokasi lahan pertanian yang berada di sekitar danau menjadikan mereka sangat rentan terhadap dampak proyek ini. 

Tak hanya itu, berdasarkan hasil wawancara kami kepada warga, diketahui permukaan danau mengalami kenaikan (elevasi) dari 462,3 MDPL menjadi 463,32 MDPL. Hal ini menyebabkan 200 hektare lahan pertanian produktif warga terendam, menghentikan aktivitas bercocok tanam yang menjadi sumber penghidupan utama. 

Revitalisasi danau yang mengakibatkan relokasi atau perubahan penggunaan lahan ini membuat banyak warga khawatir kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Banyak dari mereka memang bergantung pada lingkungan sekitar untuk mencari nafkah, misalnya dengan bertani dan menangkap ikan. Singkatnya, penggunaan alat berat serta penertiban keramba jaring apung turut menambah beban ekonomi warga.

Selain itu, perluasan kawasan danau yang tumpang tindih dengan tanah milik warga berstatus sertifikat hak milik (SHM) menciptakan ketidakpastian hukum. Hal ini terkait dengan patok-patok yang telah disinggung sebelumnya. Ketidakjelasan mengenai fungsi dan dampak patok ini memperkuat kekhawatiran warga terhadap potensi kehilangan akses terhadap lahan pertanian mereka, yang merupakan sumber utama penghidupan. Ini dikhawatirkan menjadi kasus pengambilalihan lahan tanpa kompensasi yang adil.  

Bahkan, menurut kesaksian warga, ada di antara mereka yang diintimidasi oleh aparat TNI dan Polri. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan Konstitusi dan instrumen HAM internasional, yang mengamanatkan untuk mencegah adanya tindakan-tindakan represif dan intimidatif. 

Jelas bahwa semua ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak milik atas tanah, hak atas penghidupan yang layak, dan hak-hak lainnya. Padahal semua diatur dalam Konstitusi dan instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) HAM semestinya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warga Rawa Pening, bukan sebaliknya. 

Warga sebenarnya tidak menolak revitalisasi, “Karena tujuannya ingin menyembuhkan danau yang sedang sakit,” kata salah satu dari mereka. “Tetapi yang kami tolak keras adalah perluasan (akibat proyek revitalisasi) yang bisa berimplikasi buruk pada lahan kami.” 

Saat ini mereka terus berjuang untuk mempertahankan hak melalui pelbagai upaya, meskipun tantangan tetap ada karena kebijakan yang masih bersifat top-down. Salah satu tuntutan dari masyarakat adalah pemerintah mengupayakan elevasi danau turun dan memberikan kompensasi atas kerugian ekonomi yang telah mereka alami. 

Meskipun proyek revitalisasi bertujuan untuk memulihkan ekosistem danau, dampaknya yang signifikan terhadap lahan, mata pencaharian, dan hak-hak warga membuat pemerintah harus meninjau kembali kebijakan tersebut. Solusi yang lebih adil dan transparan harus ditemukan untuk menghindari konflik yang lebih besar. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Apa yang terjadi dalam revitalisasi Danau Rawa Pening ini sama seperti revitalisasi danau lain, salah satunya Danau Tempe di Sulawesi Selatan, yang juga dilakukan oleh Kementerian PUPR. Danau Tempe mengalami pendangkalan akibat sedimentasi, pertumbuhan eceng gondok yang tak terkendali, dan okupasi lahan. Revitalisasi termasuk pengerukan sedimen seluas 8,58 juta meter persegi (yang kemudian digunakan untuk membuat pulau buatan sebagai objek wisata), pemancangan bambu, pembersihan rutin eceng gondok, serta pemasangan geokomposit dan geosintetis. Harapannya dengan itu kapasitas tampungan air dapat ditingkatkan dan ekosistem perikanan dipertahankan (Said, 2021). 

Meskipun bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan dan memenuhi kebutuhan air, revitalisasi ini tidak diterima semua masyarakat. Program ini juga menimbulkan kontroversi karena manfaatnya tidak dirasakan merata. Sebagian orang, terutama nelayan skala kecil dan petani, menolak program ini karena mengancam mata pencaharian mereka. Revitalisasi membuat mereka kehilangan lahan pertanian dan populasi ikan di danau jadi berkurang. 


Penutup

Revitalisasi Danau Rawa Pening yang semestinya membawa manfaat justru telah menimbulkan masalah baru yang serius bagi masyarakat setempat. Pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan yang digunakan dan memastikan keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. 

Upaya pemulihan ekosistem danau mesti sejalan dengan perlindungan hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas penghidupan yang layak dan hak atas tanah. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan partisipatif, revitalisasi bisa mencapai tujuan yang diharapkan tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal. 

Sebagai bagian dari komitmen untuk menegakkan hak asasi manusia, pemerintah mesti mengutamakan dialog dan kerja sama dengan masyarakat Rawa Pening, serta memberikan kompensasi yang adil dan solusi alternatif bagi mereka yang terdampak. Dengan cara ini, proyek revitalisasi dapat berhasil dan membawa kesejahteraan yang berkelanjutan bagi semua pihak.


Daftar Pustaka

Abimanyu, K., Banowati, E., & Aji, A. (2016). Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Alam Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang. Geo Image. 

Rahmawati et al. (2023). Kajian Aspek Sejarah, Sosial Masyarakat, Ekonomi, dan Ekologi Danau Rawapening.” Center for Open Science. http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/b6j7k

Said, M. (2021). Asimetri Kekuasaan: Paradoks Manajemen Kolaborasi Pengelolaan Danau Tempe Sulawesi Selatan. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management), 11(2): 241–49. https://doi.org/10.29244/jpsl.11.2.241-249.


Raihan Muhammad, Direktur Eksekutif Amnesty International UNNES

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.