Palestina, Genosida Bertahap Zionis, dan Upaya Dekolonisasi

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Ilustruth


SAAT Perang Gaza tahun 2008 hingga 2009, juga dikenal sebagai Operasi Cast Lead, warga Israel duduk santai di kursi di sebuah perbukitan dekat Yerusalem. Mereka bertepuk tangan setiap kali bom jatuh dan kegirangan ketika kota-kota jadi hangus. 15 tahun kemudian, persisnya sejak 07 Oktober 2023, Israel menyerang lagi Gaza tanpa jeda, dan disela-sela agresi, giliran Israel Defence Force (IDF) berpesta di tengah ribuan perempuan dan anak-anak yang mati. Tujuh bulan setelahnya, Rafah, benteng terakhir satu juta pengungsi, tak luput dari agresi najis militer Israel. Sejak Peristiwa Nakba 1948 hingga hari ini, di Palestina, kematian jadi barang lazim.

Pada 1984, dua tahun setelah invasi Israel ke Lebanon, Edward Said menulis artikel berjudul Permission to Narrate. Said meminta rakyat Palestina, juga orang-orang yang geram pada (neo)kolonialisme Israel, memperluas perjuangan ke dalam narasi sejarah. Said menuntut kita berjuang untuk memproduksi pengetahuan dan meluruskan sejarah yang bengkok. Beberapa pemikir seperti Ilan Pappe lantas berusaha mengungkap sejarah baru tentang Palestina, sebuah narasi yang berusaha membongkar klaim tak masuk akal Israel, misalnya tentang peristiwa sejarah Nakba 1948 dan citra Palestine Liberation Organization (PLO) juga Hamas sebagai organisasi teroris.

Melalui pendekatan yang ditawarkan Said, Ilan Pappe menyarankan beberapa “kamus” baru mengenai apa yang sebenarnya dilakukan oleh Israel terhadap Palestina, yakni pembersihan etnis, genosida bertahap, kolonialisme-pemukim, dan apartheid (Chomsky dan Pappe, 2024). Istilah-istilah ini menjadi konsep penting yang melampaui diskursus lama tentang Palestina. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi di Palestina? Dan, apa yang seharusnya dilakukan?


Muasal dan Persoalan Kolonialisme Pemukim: Dari Pembersihan Etnis ke Sistem Apartheid

Pada mulanya adalah Deklarasi Balfour pada 2 November 1917—sebulan setelah Bolshevik berhasil menduduki Istana Musim Dingin dan melengserkan Tsar. Deklarasi yang ditulis oleh Arthur Balfour kepada Lord Rothschild ini isinya mendukung pendirian “rumah nasional bagi kaum Yahudi” di Palestina. Namun proyek Homeland for the Jewish People ini mangkrak dua dekade karena Perang Dunia II pecah. Meski demikian, setelah Deklarasi Balfour, Palestina mulai menjadi target operasi penjajahan dan sah memasuki kalabendu.

Proyek Homeland for the Jewish People baru berlanjut setahun setelah Jerman menyerah tanpa syarat pada Mei 1945, persisnya ketika Ben-Gurion mengumumkan sebuah pertemuan pemimpin Zionis di hotel Parisian pada akhir Agustus 1946. Dalam pertemuan itu mereka sepakat mendirikan sebuah negara Yahudi. Seperti yang dikatakan Ben-Gurion sendiri, negara yang hendak dibangun harus terdiri dari 90 atau 80 persen kaum Yahudi (Pappe, 2007: 23-28). 

Pada 1948, sebagai hasil dari rencana di hotel Parisian, Palestina pun menjadi arsenal perang. Sebanyak 800 ribu rakyat Palestina jadi pengungsi, 531 desa hancur, dan lusinan kota runtuh. Desa dan kota yang hangus itu dijadikan taman kota, permukiman, dan kebun-kebun hijau. Pada 14 Mei 1948, Ben-Gurion akhirnya mendeklarasikan Israel, sebuah negara yang berdiri dengan bantuan Eropa, juga tegak dengan tumbal ribuan kematian. Kita mengenal rentetan malapetaka ini sebagai Nakba. 

Sejak Nakba, rencana pembersihan etnis sering kali disusun di Rumah Merah, markas besar federasi serikat pekerja tingkat nasional bernama Histadrut, yang berada di Tel-Aviv (selama perang digeser ke Hagana). Pertemuan-pertemuan ini, selain Ben-Gurion sendiri, juga dihadiri 12 petinggi baik dari militer, intel, dan para orientalis: Yigael Yadin, Moshe Dayan, Yigal Allon, Yitzhak Sadeh, Moshe Carmel, Yitzhak Rabin, Rehavam Zeevi, Isser Harel, Ezra Danin, Yehoshua Palmon, dan Eliyahu Sasson. Perkumpulan ini, secara ad-hoc, dibentuk dengan visi merancang perampasan tanah dan segala hak milik, termasuk sejarah dan nyawa rakyat Palestina (Chomsky dan Pappe, 2024: 5).

Dengan demikian, secara sederhana, persoalan yang dihadapi rakyat Palestina tidak lain adalah kolonialisme pemukim. 

Kolonialisme pemukim memiliki sejarah panjang. Amerika, Afrika Selatan, Australia, dan Selandia Baru merupakan contoh negara yang terbentuk ketika kulit putih membinasakan atau menyingkirkan penduduk lokal dan mendaku diri sebagai pemilik sah wilayah yang diduduki. Dari genosida terhadap warga lokal, negara mereka terbentuk dan berdaulat. Zionis Israel melakukan yang sama persis: mereka datang, mereka ingin tinggal, mereka merebut wilayah, dan pada akhirnya mendeklarasikan sebuah negara. 

Sepanjang proses itu, Zionis membinasakan sebanyak mungkin penduduk lokal. Hasrat kolonialisme pemukim Zionis menyebabkan satu hal yang sangat mengerikan: genosida dan/atau pembersihan etnis yang telah dimulai sejak awal. Jutaan orang disingkirkan dan ribuan desa serta lusinan kota remuk. Genosida dan/atau pembersihan etnis bertahap menjadi cetak biru yang mendarah daging dalam masyarakat Yahudi Israel, juga menjadi kebijakan politik mereka hingga hari ini. Seperti kata Ilan Pappe, Zionis bertujuan “…mendirikan negara Yahudi dengan mengambil alih sebanyak mungkin wilayah dan meninggalkan sedikit mungkin orang Palestina di dalamnya.” (Chomsky dan Pappe, 2024: 19). Dengan kata lain, ini adalah sebuah usaha membangun ruang dengan visi kemurnian etnis. Agar visi ini terwujud, misi dasarnya, mau tak mau, adalah kontrol langsung atau tak langsung terhadap seluruh wilayah Palestina.

Di sisi lain, karena desakan internasional dan asumsi perdamaian melalui solusi dua negara, Israel lebih “variatif” dalam melaksanakan operasi pembersihan etnis. Karena cara vulgar bisa menyebabkan protes dan melemahkan kekuatan politik di dunia internasional, mereka pun menciptakan diskriminasi etnis yang tujuannya agar lebih banyak rakyat Palestina keluar dari tanah airnya. Hal ini dilakukan dengan kontrol politik dan ekonomi rasis–yang hasilnya adalah Israel sebagai negara yang sangat apartheid.

Asumsi dasar Zionis adalah, apa guna negara Yahudi jika etnis Yahudi menjadi minoritas? Bukankah jalan terbaik, versi Zionis, adalah pengusiran, rasis, dan pembersihan etnis? Dengan pembersihan etnis ini, secara bertahap Israel akan sah menjadi sebuah negara dengan mayoritas masyarakat Yahudi. 

Lantas, mungkinkah Israel terbentuk tanpa Holocaust? Jika kita kembali ke Deklarasi Balfour, penjajahan Palestina dan berdirinya Israel akan terjadi dengan atau tanpa Holocaust. Meski demikian, Holocaust merupakan pemicu yang membuat zionisme mendapat gelombang dukungan besar-besaran dari komunitas Yahudi. Sebelum Holocaust, mayoritas Yahudi tak menerima zionisme, dan baru berubah pasca pembantaian najis dan anti-semit Nazi terhadap kaum Yahudi. Setelah Holocaust, gelombang eksodus Yahudi Eropa yang berusia antara 17-35 mulai menempati Palestina sebagai wilayah pendudukan (Grodzinsky, 2004: vii-ix). 

Zionisme—yang dicetus dan dipengaruhi oleh Theodor Herzl, seorang Zionis Kristen—sejak 1897 sudah berusaha untuk mendeklarasikan negara Yahudi sebagai sebuah amanat menjalankan perintah Alkitab: “Tuhan menjanjikan tanah itu kepada orang Yahudi.” Hal ini menjadi motivasi awal Zionis, dengan atau tanpa Holocaust, untuk merampok tanah Palestina.

Di titik ini, dalam beberapa hal, Zionis bersinggungan erat dengan ideologi Nazi. Seperti yang dikatakan Noam Chomsky: “Ada buku tahun 1935, karya Joachim Prinz, Wir Juden. Inilah seorang Zionis humanis yang mengatakan: ‘orang Yahudi harus menyadari dan bersimpati kepada Nazi yang memiliki ideologi yang sama dengan kita… jika bisa menjelaskan bahwa kita benar-benar berada di pihak yang sama, mereka akan berhenti mempersekusi kita.’” (Chomsky dan Pappe, 2024: 61). Dengan demikian, cetak-biru (blueprint) Zionis sejak berdiri hingga saat ini adalah imperialis dan kolonialis pemukim dengan visi kemurnian etnis. 

Demi hasrat mendirikan sebuah negara dengan mayoritas kaum Yahudi, rancangan pembersihan etnis dimulai secara bertahap sejak peristiwa Nakba pada Mei 1948 hingga peristiwa mutakhir penyerangan tenda pengungsi di Rafah pada Mei 2024. 

Hasrat kemurnian etnis membawa Israel menjadi negara yang melanggengkan genosida bertahap dan sistem apartheid. Pada tahun 2014, Israel membedakan, memisahkan, dan mendiskriminasi dengan terang benderang etnisitas, status agama, dan kebangsaan (Chomsky dan Pappe, 2024: 26-27). Hal itu menjadikan Israel, secara de facto, benar-benar sebuah negara apartheid. Mereka yang bukan beretnis Yahudi diperlakukan sebagai masyarakat nomor dua dan mengalami diskriminasi. Misalnya, di Tepi Barat, 450 ribu pemukim Israel menggunakan air bersih jauh lebih banyak daripada 2,3 juta masyarakat Palestina (Ravid, 2012). Di Tepi Barat yang terbagi menjadi wilayah A, B, dan C—dan kondisi di Gaza jauh lebih parah—masyarakat Palestina berada di ghetto yang pernah dirasakan kaum Yahudi di abad ke-16 hingga abad ke-20.


Solusi Satu Negara dan Upaya Dekolonisasi

Diskursus arus utama untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel adalah membagi wilayah untuk menjadi dua negara yang saling berdampingan. Usaha untuk menciptakan solusi dua negara telah berjalan sejak 1970-an, dimulai dari Konvensi Jenewa pada 1977, Konferensi Madrid 1991, Perjanjian Oslo 1993, Pertemuan Camp David 2000, dan Pertemuan Taba 2001. Tapi sekian pertemuan panjang tak membuat perang selesai dan Israel tetap menjalankan agresi militer. Sekian pertemuan gagal, sekian diplomasi bertemu jalan buntu, dan sekian perintah hukum internasional diabaikan. 

Efek samping dari paradigma solusi dua negara ini adalah mempertahankan okupasi Israel dan mengabaikan perjuangan untuk memerdekakan total Palestina—yang juga berarti solusi dua negara mengabaikan sejarah kolonialisme dan sistem apartheid Israel.

Hal mengerikan dari solusi dua negara adalah, seperti yang dikatakan Ilan Pappe, “Palestina hanya akan menerima apa pun yang bersedia diberikan Israel kepada mereka. Ini tidak ada hubungannya dengan perdamaian; ini upaya membuat penduduk asli Palestina, yang kehilangan tanah akibat Zionis menyerbu wilayahnya pada abad ke-19, menyerah dengan nyaman.” (Chomsky dan Pappe, 2024: 26-27) Dengan demikian, solusi dua negara adalah solusi semu, perdamaian makin jauh dari kata terwujud, dan kekerasan tak kunjung bertemu senjakala.

Kita harus menganggap solusi dua negara sudah ambruk dan tak memadai. Lama sekali warga Palestina di Tepi Barat terhina setiap hari di pos-pos pemeriksaan; ditangkap tanpa mediasi peradilan; kehilangan tanah agar pemukim Yahudi punya tempat; dan haram keluar dari desa atau kota karena terdapat tembok beton, yang sangat apartheid itu, mengelilingi rumah mereka. Mereka yang melanggar akan ditangkap, paling buruk bertemu maut. 

Andaikan dua negara berhasil terwujud, keadaan tersebut tak akan menyelesaikan masalah. Selama ini kita tahu bahwa Israel dan Palestina sudah selalu menjadi tetangga, tapi karena alasan keamanan negara Israel, Zionis tak akan sungkan melakukan kekerasan dan rasisme. 

Solusi dua negara sudah buntu. Kita harus mencari alternatif lain, yakni solusi satu negara

Tindakan awal adalah memikirkan kembali penyatuan Palestina dan Israel ke dalam satu negara, yakni negara Palestina. Sekali lagi, Palestina tetap menjadi negara yang disebut Palestina, dengan beragam perbedaan etnis di dalamnya. Sebuah negara di mana setiap insan bisa hidup setara dengan hak yang sama bagi semua. Di sini, di dalam solusi satu negara, tak akan terulang pengusiran, apartheid, dan tak ada visi membersihkan eksistensi Yahudi. Sebuah negara ketika tiga agama besar abrahamik, sebagai populasi utama, menjalankan negara Palestina—dengan seluruh sejarah panjang di dalamnya—secara damai dan demokratis. 

Untuk mewujudkan solusi satu negara ini, pertama-tama, kita harus melakukan dekolonisasi. Dengan asumsi dekolonisasi ini, kita tak akan terjebak untuk mengatakan PLO dan Hamas sebagai gerakan terorisme. Mereka bukan organisasi teroris, apalagi anti-semit, melainkan sebuah gerakan pembebasan wilayah Palestina. Dengan demikian, kita seharusnya melaksanakan dekolonisasi sebagai usaha repatriasi lahan dan memulihkan hak-hak rakyat Palestina. Organisasi perlawanan di Palestina bukan bertujuan meneror untuk menegakkan ideologi tertentu, melainkan upaya pembebasan tanah dan mengembalikan kedaulatan Palestina; sebuah upaya dekolonisasi.

Kita bisa belajar dari runtuhnya sistem apartheid di Afrika Selatan. Pada 21 Februari 1991, Frederik Willem de Klerk, presiden kulit putih terakhir Afrika Selatan, mengumumkan penghapusan tiga undang-undang apartheid: Land Act, undang-undang yang melarang Kulit Hitam punya wilayah di luar ketentuan undang-undang apartheid; Group Areas Act, undang-undang pemisahan tempat tinggal kulit putih dan kulit hitam; dan Population Registration Act, undang-undang yang mewajibkan kulit hitam mendaftar menurut suku. 

Runtuhnya sistem apartheid ini, kata Chomsky, secara substansial terjadi berkat Kuba; keberanian Fidel Castro. Kuba mengirim pasukan militer, yang sebagian besar kulit hitam, untuk melakukan pemberontakan lalu mematahkan mitos superman kulit putih. Ketika Nelson Mandela keluar dari jeruji besi, perkataan pertama yang keluar dari mulutnya adalah rasa terima kasih kepada masyarakat Kuba (Chomsky dan Pappe, 2024: 87). Dari kasus Afrika Selatan, kita mendapat ilham bahwa, selain perlawanan dari dalam, harus ada tekanan maupun dukungan internasional dalam mengupayakan dekolonisasi. 

Di titik ini, siapa “Kuba” bagi Palestina? Jawabannya adalah Afrika Selatan! Negara ini telah melakukan usaha menjadi “Kuba” bagi Palestina ketika mengajukan tuntutan ke Mahkamah Internasional pada 11 Januari 2024 atas genosida Israel. Ke depan, jika situasi jadi genting dan semuanya serba gawat, bukan tak mungkin jika Afrika Selatan menjadi sekutu paling loyal bagi pembebasan Palestina.

Selain upaya dekolonisasi, terdapat satu hal penting lain yang harus kita singgung: selama ini, ketika berbicara tentang Palestina, diskursus marxisme, setidaknya sosialisme, absen dan tak bergaung. Wacana yang berkembang tentang Palestina tak memproblematisasi ultra-neoliberalisme yang menjadi dasar Israel melakukan agresi militer. Terdapat fakta bahwa Israel menguasai Sungai Yordan dan Laut Mati demi alasan ekonomi dan politik liberal, dan hal ini telah menyebabkan kolonisasi dan sistem apartheid terhadap Palestina. Apa yang dilakukan Israel dengan kebijakan neoliberalnya ini mengingatkan kita pada perkataan Vladimir Lenin: “…imperialisme adalah tahap tertinggi dari kapitalisme” (Lenin, 1916).

Miskinnya wacana marxis dalam melihat kolonialisme pemukim Israel akan melemahkan analisis kita untuk melihat lebih jeli Perjanjian Oslo, pembentukan Palestine Authority (PA), dan tindakan kolonialisme yang didanai Uni Eropa dan Amerika sebagai proyek-proyek neoliberal. Misalnya, para elite ekonomi dunia begitu getol mendukung solusi dua negara karena akan membawa keuntungan ekonomi. Di sisi lain, jika pun suatu saat sistem apartheid Israel runtuh, kekosongan perspektif marxis akan mempertahankan ekonomi yang sarat dengan diskriminasi kelas maupun ras—persis yang terjadi di Afrika Selatan pasca rezim apartheid. Oleh karena itu, visi dekolonisasi harus dibarengi dengan misi-misi marxis sebagai proses pembebasan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Gaza dan Tepi Barat: Sebuah Logika Kamp

Jalur Gaza, dengan wilayah seluas 365 kilometer persegi dan populasi sekitar 1,8 juta orang, menjadi penjara terbesar abad ke-21. Gaza telah mengalami banyak hal, yang paling sering adalah gedung hangus, puluhan ribu kematian, jalan-jalan sepi, dan malam-malam yang disinari kilat ledakan. Di Gaza, hidup selalu dihantui rasa waswas. 

Tepi Barat, wilayah yang sedikit tenang dibanding Gaza, terbagi menjadi tiga wilayah sebagai hasil dari kesepakatan Perjanjian Oslo pada 1993. Wilayah A diatur oleh Otoritas Palestina; Wilayah B diatur oleh Otoritas Palestina dan Israel; dan yang terluas, mencakup 60 persen, Wilayah C, diatur oleh Israel dengan ratusan pemukim ilegal. 

Dua wilayah Palestina ini, yang terpisah secara geografis, dalam arti sesungguhnya telah menjadi kamp. Sebuah wilayah ketika keputusan tentang hidup setara dengan keputusan akan kematian. 

Di sini, kamp merujuk pada keadaan ketika manusia menjadi semata-mata entitas tanpa perlindungan hukum dan terpapar langsung kekerasan. Di dalam kamp, sembarang tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan, tidak mendapat konsekuensi hukum. Di dalam kamp orang-orang ditatap dengan penuh rasa curiga, mereka didiskriminasi, ditelantarkan, dan menjadi objek kekerasan yang telah terlembaga. 

Apa yang terjadi di kamp konsentrasi Nazi persis terjadi di Gaza dan Tepi Barat. Pada Februari 1933, Nazi mengeluarkan dekrit perlindungan rakyat dan negara dengan menangguhkan kebebasan individu. Hal tersebut terjewantah dalam Schutzhaft, sebuah institusi hukum Prusia yang memungkinkan aparat negara mengambil tindakan polisional dengan menahan individu terlepas dari ada atau tidaknya kejahatan (Sudibyo, 2019: 30). Di Gaza dan Tepi Barat pun sama. Seseorang bisa mengalami kekerasan atau kematian dengan atau tanpa kejahatan. 

Dengan demikian, rakyat Gaza dan Tepi Barat terlucuti hak-haknya sebagai manusia, dan dijadikan sebagai subjek di luar hukum. Konsekuensi dari logika kamp adalah, kekerasan di Gaza maupun di Tepi Barat tak akan mendapat balasan hukum dan tak bisa dianggap sebagai tindakan kejahatan. 

Kamp merupakan logika dasar dari pembersihan etnis yang dilakukan Israel dengan alasan keamanan nasional dan keadaan-darurat (state of emergency). Demi keamanan nasional dan keadaan darurat, Israel menangguhkan segala bentuk ketentuan hukum dan menempatkan Gaza, juga Tepi Barat, ke dalam logika kamp. Di Gaza dan Tepi Barat, sebagai konsekuensi logika kamp, perbuatan kekerasan bukanlah barang najis. 

***

Saya akan menutup tulisan ini dengan dua pernyataan. Pertama, karena sejarah kolonialisme Zionis terhadap Palestina terjadi ketika Eropa sedang mengalami transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi modern, dan para pemikir disibukkan dengan kondisi Eropa yang tak stabil, maka diskursus tentang kolonialisme dan imperialisme Zionis terhadap Palestina (1948) luput menjadi diskursus dominan dalam sejarah pemikiran Barat. Kedua, karena peristiwa biadab genosida Nazi kepada jutaan kaum Yahudi di Auschwitz-Birkenau, diskursus kolonialisme Zionis terpendam; peristiwa Holocaust seolah-olah jadi alat pembenaran untuk merampas tanah Palestina. 

Satu hal yang pasti, genosida yang dilakukan oleh mantan korban tetaplah sebuah genosida, dan merupakan dosa tak terampuni. Di titik ini, kita harus mencari jalan keluar agar korban tak jadi pelaku. Demikianlah, kita berharap agar Palestina merdeka total, juga berharap agar kekerasan dan kematian bukan barang yang gampang ditemui.


Referensi

Chomsky, Noam dan Ilan Pappe. 2024. On Palestine. Bandung: Mizan.

Grodzinsky, Yosef. 2004.  In the Shadow of the Holocaust: The Struggle Between Jews and Zionist in the Aftermath of World War II. Monroe: Common Courage Press.

Lenin, Vladimir. Imperialism, the Highest Stage of Capitalism, dikutip dari https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/imp-hsc/ch07.htm.

Pappe, Ilan. 2007. The Ethnic Cleansing of Palestine. Oxford: Oneworld Publications Ltd.

Ravid, Barak. “French Parliament Report Accuses Israel of Water ‘Apartheid’ in West Bank,” dikutip dari https://www.haaretz.com/2012-01-17/ty-article/french-parliament-report-accuses-israel-of-water-apartheid-in-west-bank/0000017f-ef2b-ddba-a37f-ef6f28c70000.

Sudibyo, Agus. 2019. Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giorgio Agamben. Tangerang: Marjin Kiri.


R. H. Authonul Muther adalah pengelola penerbitan Edisi Mori yang fokus pada buku filsafat, sains dan humaniora

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.