Ilustrasi: Illustruth
DI BANGKU SEKOLAH, kita diajarkan untuk bersikap kritis meski tetap saja tidak boleh melebihi batas, menyeleweng dari norma-norma sosial atau bahkan sekadar mempertanyakan sudut pandang guru. “Hormatilah yang lebih tua,” kata mereka.
Suatu ketika saya pernah menghadiri kuliah umum tentang sistem pendidikan di Indonesia, yang salah satu pembicaranya adalah seorang pejabat tinggi di Kementerian Pendidikan. Saya kemudian bertanya, apakah negara bisa menyediakan pendidikan gratis untuk sekolah tinggi langsung dari pajak rakyat. “Itu mustahil dan itu ide radikal,” jawabnya.
Kawan-kawan saya dari lembaga-lembaga think tank dan penelitian terkemuka juga diminta untuk tidak koar-koar soal posisi mereka terkait isu-isu kontroversial dari dalam negeri karena dapat memengaruhi kualitas kerja. Ini sama saja seperti diperintah oleh institusi masing-masing untuk bungkam. “Lebih baik tetap non-partisan,” demikian saran mereka.
Tampaknya, perintah atau arahan di tingkat bawah di negara ini sudah melampaui hak universal untuk bebas mengekspresikan hak-hak sipil dan politik yang kita miliki. Kita memuja-muja peningkatan kebebasan dan kemajuan demokratisasi di kampus-kampus, tapi kita juga sering kali membatasi diri untuk melawan struktur yang membatasi kebebasan tersebut.
Hanya beberapa hari sebelum pemilu, film dokumenter kontroversial Dirty Vote menyebar luas di media sosial. Film ini kemudian memicu kemarahan banyak orang karena menjabarkan berbagai indikasi kecurangan pemilu, yang sudah terjadi jauh sebelum hari pencoblosan. Tetapi, selain mengutuk pemerintahan Joko Widodo atas penyelewengan kekuasaan, nepotisme, dan korupsi yang mereka lakukan, masyarakat tidak tahu cara menyalurkan rasa frustasi mereka dari sekadar respons emosional atas keadilan menjadi tindakan politik. Mereka lebih berharap bahwa pemungutan suara tanggal 14 Februari akan menghasilkan perubahan sosial yang positif.
Sayangnya, kemajuan sosial itu tidak hanya datang dari kotak suara. Berapa banyak pemilu yang sudah diselenggarakan? Dan hasilnya? Puluhan tahun setelah merdeka, pemerintahan semakin memburuk dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin terus melebar. Ini kenyataan pahit dan menjadi pola di negara-negara Selatan. Bahkan juru selamat yang diurapi dihidupkan kembali tetap tidak akan memberikan solusi pada abad ke-21 ini.
Menonjolnya fokus pada pemilu sebagai sarana utama partisipasi demokratis berakar pada dangkalnya perspektif demokrasi, yang berakibat dangkalnya kemampuan berpikir kritis di kalangan masyarakat.
Sebelum pemilu, kita telah melihat bagaimana anti-intelektualisme berdampak sangat signifikan terhadap penanganan pandemi. Hal ini tidak hanya terlihat dari sikap skeptis masyarakat terhadap para profesional dan pakar, namun juga sikap mereka yang lebih menyukai penjelasan sederhana dibandingkan yang lebih rumit, sehingga berujung pada penyebaran informasi yang salah atau bahkan teori konspirasi.
Manifestasi dari anti-intelektualisme dalam peristiwa-peristiwa penting baru-baru ini menunjukkan melemahnya demokrasi, yang berarti penekanan pada populisme dibandingkan kebijakan dan maraknya berita palsu dan hoaks, terutama di Indonesia hari ini.
Kalangan akademik mungkin menyerukan pemilihan umum yang adil dan akuntabel, tapi upaya ini sia-sia jika kita tidak mengubah tatanan masyarakat Indonesia, yang masih didominasi kecenderungan anti-intelektualisme–sebuah masyarakat yang menghindari pertanyaan-pertanyaan kritis, misalnya pembantaian massal tahun 1965 dan segala hal tentang agama. Mayoritas masyarakat Indonesia sepertinya terlalu alergi untuk membicarakan hal ini.
Fenomena ini pada dasarnya berakar dari bercokolnya elite di kekuasaan. Ketika memegang posisi-posisi penting dalam negara, mereka mungkin akan mempertahankan kondisi sosial-politik yang menyuburkan anti-intelektualisme dan rendahnya pemikiran. Ini bukan cuma untuk kelangsungan hidup, tapi demi memajukan kepentingan elite dan anti-rakyat milik mereka sendiri.
Sayangnya, para akademisi mungkin tidak terlalu menyadari bahwa mereka membantu para elite dalam mempertahankan karakter utama masyarakat sebagai kelompok yang patuh dan rentan. Mereka mungkin menerbitkan penelitian hebat tentang kemunduran demokrasi di negara-negara Selatan dan besoknya mereka menindas mahasiswa yang berbicara menentang universitas hanya dengan alasan bahwa itu akan merusak reputasi institusi–dengan demikian melemahkan kebebasan akademik.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Jadi, apa yang harus dilakukan akademisi untuk menanamkan kesadaran politik dan mendorong nilai-nilai progresif?
Pertama, mulailah membentuk organisasi atau serikat di antara para profesor dan meneliti. Ini pada akhirnya bakal menumbuhkan solidaritas. Pekerja kampus hanya dapat menciptakan perubahan positif lewat kekuatan kolektif.
Di bawah serikat ini, mereka sendiri akan mendukung revisi kurikulum yang mengintegrasikan pelajaran yang berfokus pada kesadaran politik dan isu-isu keadilan sosial (saya bahkan bertanya-tanya kenapa sejarah Indonesia tidak diajarkan sebagai mata kuliah wajib di tingkat perguruan tinggi).
Kedua, mendorong pelajar untuk berpartisipasi dalam perhimpunan, tapi bukan terbatas pada kegiatan amal atau kerja sukarela. Berikan insentif yang lebih kepada pelajar yang terlibat dalam advokasi dan aktivisme. Pandanglah mereka sebagai katalisator transformasi sosial yang positif ketimbang memberikan sanksi dan menandai mereka di ruang kelas karena ikut demo dan kampanye politik.
Terakhir, memahami bahwa kurang terintegrasinya pendekatan interseksional dalam sistem pendidikan berkontribusi terhadap terbatasnya pemahaman terhadap status quo. Tanpa menyadari keterhubungan antara penindasan (oppression) dan privilese berdasarkan kelas sosial, gender, ras, dan identitas lainnya, kita tidak akan pernah bisa menentang narasi dominan dan menumbuhkan empati bahkan pada tingkat paling dasar sekalipun. Rasa keterhubungan adalah kunci untuk memberdayakan generasi muda untuk terlibat secara kritis dengan dunia di sekitar mereka. Terkadang, kita hanya butuh hubungan antarmanusia untuk berkomitmen pada prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas bersama.
Para akademisi tentu memiliki banyak kontribusi positif terhadap masyarakat melalui penelitian dan pendidikan. Namun, kita tidak dapat menyangkal fakta bahwa mereka yang disebut kaum intelektual telah gagal menerapkan pendekatan pedagogi kritis, yang mungkin memiliki implikasi lebih luas melebihi hasil pemilu.
Selain itu, keengganan mereka untuk memulai perubahan sistematis mungkin disebabkan oleh kebiasaan menganut praktik dan norma-norma yang sudah ada, dan mungkin ragu untuk melakukan advokasi perubahan karena menganggap itu sebagai risiko yang dapat merusak karier.
“Menyalahkan” mungkin adalah kata yang kasar, namun semua orang yang berada di institusi pendidikan juga harus dimintai–jika ini istilah yang tepat–pertanggungjawaban.
Magello Fenis adalah orang Filipina lulusan MA Ilmu Politik di Universitas Islam Internasional Indonesia, dengan fokus pada sejarah pascakolonial dan gerakan sosial di Indonesia dan Filipina.