Ilustrasi: ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/aa
PADA 2020 lalu terjadi bentrokan dan pembakaran di dua kawasan pengolahan (smelter) nikel investasi Cina, yaitu di PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe Sulawesi dan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Maluku. Di dua bentrokan ini, masalah yang awalnya adalah isu perburuhan digeser menjadi isu rasisme–persis seperti apa yang terjadi di PT Gunbuster Nickel Industri (GNI) awal tahun ini.
Bentrokan seperti itu mungkin akan terus muncul khususnya di sektor tambang dan pengolahan nikel yang mempekerjakan puluhan ribu bahkan ratusan ribu buruh. Dengan konsentrasi orang sebanyak itu tentu tegangan selalu ada, apalagi yang diprovokasi manajemen sebagai upaya mengontrol pekerja.
Atas dasar itu semua, saya kira penting untuk mulai membahas tentang buruh Cina di Indonesia. Dari mulai bagaimana bisa bekerja di sini, kondisi kerjanya, dan apa respons mereka terhadap kondisi yang dihadapi. Dengan begitu kita bisa mengetahui derajat eksploitasi buruh di proyek investasi Cina–yang berkembang pesat semasa pemerintahan Joko Widodo–juga agar diskusi yang ada tidak terjatuh pada prasangka rasis.
Meningkatnya Buruh Cina Sejalan dengan Meningkatnya Investasi Mereka
Dalam dua dekade terakhir, investasi Cina menunjukkan karakter yang berbeda dengan investasi asing lain. Investasi Cina, baik untuk proyek infrastruktur, smelter, pertambangan, pembangkit listrik, dan lain-lain, membawa serta pekerja Cina dalam jumlah cukup signifikan, dan mereka bekerja di level yang sama dengan buruh Indonesia: buruh konstruksi, tukang las, sampai supir mobil truk. Sebagai pembanding, dalam membangun Moda Raya Terpadu (MRT) di Jakarta, investor Jepang hanya “mengekspor” sekitar 26 buruh, sementara buruh Indonesia yang dipekerjakan mencapai ribuan.
Pada 2019, jumlah buruh Cina di Indonesia mencapai 42.624 orang dari total 109.546 orang tenaga kerja asing (TKA). Angka ini sedikit turun di dua tahun puncak pandemi: Pada 2020, jumlah buruh Cina sebanyak 38.814 orang dari total 93.761 TKA, sementara pada 2021 sebanyak 37.711dari total 88.271 TKA. Tahun 2022 lalu jumlah buruh Cina naik mencapai 52.973 orang dari total 111.537 TKA.
Tentu tren naiknya penggunaan buruh Cina tidak hanya terjadi di Indonesia. Banyak negara kini menjadi tuan rumah bagi buruh migran Cina. Tren ini berjalan seiring dengan kebijakan opening-up dan melonjaknya investasi negara tersebut, terutama sejak proyek raksasa Belt and Road Initiative (BRI) diluncurkan.
Cina beralih dengan cepat dari negara penerima investasi asing terbanyak menjadi salah satu negara terbesar pengirim investasi ke luar negeri. Sejak 2012, Cina telah menggeser Amerika Serikat (AS) sebagai investor asing terbesar di Benua Afrika. Di beberapa negara Asia Tenggara, investasi Cina masuk dalam peringkat tiga besar.
Investasi Cina di berbagai negara, juga di Indonesia, kebanyakan adalah investasi greenfield atau investasi yang membuka situs produksi baru. Investasi Cina kebanyakan mulai dari awal: mendirikan pabrik dan menyerap lapangan kerja–baik buruh lokal maupun buruh asing. Beberapa investasi greenfield Cina adalah IMIP, IWIP, proyek kereta cepat, maupun proyek pembangkit listrik di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra.
Bekerja di Sektor Apa dan Bagaimana Mereka Datang?
Halegua dan Ban (2020) bilang bahwa hampir 40 persen buruh Cina di luar negeri bekerja di bagian konstruksi. Maksudnya, apa pun industri atau sektor yang menjadi sasaran investasi, sebagian besar dari mereka bekerja pada tahap pembangunan fisik sebuah proyek.
Berdasarkan observasi dan wawancara, memang buruh Cina di Indonesia sebagian besar bekerja konstruksi. Buruh-buruh Cina yang biasa dilaporkan oleh media massa datang berkelompok seperti ke Morowali, Konawe, dan Halmahera adalah buruh konstruksi. Mereka direkrut untuk membangun pabrik.
Kontrak pekerjaan konstruksi bersifat jangka pendek, minimal 6 bulan dan maksimal 2 tahun. Ketika kontrak selesai, sebagian besar buruh Cina pulang. Dengan konteks seperti ini, angka turnover (keluar masuk atau perputaran tenaga kerja) buruh Cina di Indonesia cukup tinggi. Banyak buruh Cina yang datang bekerja tapi juga tak sedikit yang pulang saat habis kontrak.
Ada beberapa alasan kenapa buruh Cina diterima bekerja di Indonesia dan dipekerjakan dengan level yang sama dengan buruh lokal. Pertama, pemerintah Indonesia memberikan argumen teknis bahwa tidak banyak buruh lokal yang punya keahlian dalam pekerjaan konstruksi skala besar. Ketika Indonesia menghadapi ledakan proyek infrastruktur yang investasinya kebanyakan dari Cina, buruh Cina-lah yang diandalkan.
Kedua, rantai produksi di pekerjaan konstruksi ini ditandai dengan praktik subkontrak yang berlapis. Bagi perusahaan Cina yang menang tender proyek, mereka akan merekrut perusahaan pemborong yang juga dari Cina, dan selanjutnya akan memprioritaskan merekrut buruh konstruksi Cina yang sudah terbiasa mengerjakan proyek-proyek besar yang tenggatnya terbatas. Dalam hal ini, jika sebuah proyek terlambat rampung, sama artinya dengan utang membengkak. Inilah yang ironisnya terjadi di proyek kereta cepat.
Ketiga, perekrutan buruh migran ini merupakan adopsi perusahaan Cina atas kebijakan pemerintah Cina. Pemerintah mendorong investor Cina di luar untuk merekrut buruh migran dari Cina daratan, dan dengan begitu Cina punya akses memperoleh mata uang asing, mengurangi tekanan pengangguran, dan mendukung ekspansi investasi skala global.
Umumnya, investasi Cina di Indonesia kehilangan akuntabilitas. Informasi ketenagakerjaan yang penting seperti berapa jumlah buruh Cina yang boleh direkrut, bekerja di posisi apa, berapa lama bekerja, dan bagaimana dokumennya disediakan, memang tertutup. Padahal informasi seperti ini berguna bagi perlindungan buruh. Namun demikian, seperti yang telah dijelaskan di atas, ada konteks tertentu yang memobilisasi atau memungkinkan banyak buruh Cina bekerja di Indonesia. Buruh Cina tidak akan datang jika tidak ada pasar kerja yang ditawarkan kepada mereka.
Sering kali, konteks yang ada tidak menguntungkan buruh Cina. Pasar kerja perekrutan buruh Cina ke luar negeri cukup brutal. Meski pemerintah Cina telah menerapkan syarat yang ketat dalam proses perekrutan, seperti agen outsourcing diwajibkan memiliki uang jaminan setara 500 ribu dolar AS dan mempekerjakan staf yang punya pengalaman hubungan kerja luar negeri yang bersih dari catatan kriminal, tetap saja banyak calon pekerja yang ditipu.
Dari sisi Indonesia, ada kecenderungan otoritas bekerja sama dengan perusahaan untuk melanggar hukum. Buruh Cina dipersilakan bekerja di Indonesia dengan visa turis. Pada banyak kasus, perusahaan bisa membantu buruh Cina memperbarui visa turis yang telah habis di Imigrasi agar bisa kembali bekerja.
Apa yang Dijanjikan dan Apa Didapatkan
Penelitian China Labor Watch, juga laporan Sixthone dan Project Multatuli, memaparkan kondisi kerja buruk yang dialami buruh Cina. Banyak dari mereka ditipu, terutama yang bekerja di smelter dan tambang investasi Cina seperti di IMIP dan di VDNI. Buruh dijanjikan bekerja dengan jam kerja normal, tapi yang mereka alami justru jam kerja panjang. Jika sakit dan meminta cuti, mereka didesak untuk cepat kembali. Produksi lebih diutamakan daripada keselamatan pekerja.
Kecelakaan kerja terjadi berulang. Trend Asia mencatat bahwa sejak 2016 hingga 2022, ada sekitar 68 kasus kecelakaan kerja di 15 smelter yang sebagian besar adalah investasi Cina. Kecelakaan kerja ini berupa kebakaran, ledakan di ruang produksi, ditabrak truk dan ekskavator, dan lain-lain. Dari kecelakaan kerja itu, 45 buruh meninggal–13 di antaranya buruh Cina.
Jumlah kematian karena kecelakaan kerja tersebut sebetulnya merupakan angka moderat. Kenyataannya bisa lebih banyak dari itu. Buruh-buruh Indonesia di IMIP bilang kecelakaan kerja nyaris terjadi setiap hari dan ambulans bolak-balik membunyikan sirine.
Masalah besar lain adalah upah sering ditahan tanpa kejelasan. Upah kurang dari yang dijanjikan. Terkait ini, sering muncul salah paham dari buruh Indonesia kepada buruh Cina. Memang benar bahwa buruh Cina dapat upah dua atau tiga kali lipat lebih banyak, tapi itu bisa dimaklumi dengan mempertimbangkan ongkos yang sudah dikeluarkan untuk bekerja di luar negeri. Kalau hanya mendapatkan upah yang sama dengan di Cina, mereka tidak akan mau bekerja di luar negeri.
Sebuah penelitian mencatat bahwa angka yang dibayar calon buruh migran amat besar. Satu orang buruh Cina yang ingin bekerja ke luar negeri paling sedikit membayar 5,000 dolar AS (57,5 juta rupiah untuk nilai tukar rata-rata di 2014) kepada agen ditambah deposit sekitar 3.000 dolar AS.
Ini serupa dengan buruh-buruh Indonesia yang dijanjikan dapat upah dua kali lipat untuk bekerja di Hong Kong atau negara-negara Arab, tapi sebelum berangkat membayar biaya perekrutan dan dokumentasi yang mahal.
Hukum Negara Diganti Hukum Enklave
Wayne Palmer (2021) menulis bahwa ada diskriminasi dalam kebijakan perlindungan buruh migran oleh pemerintah Indonesia. Di satu sisi mereka cukup aktif membuat kebijakan yang melindungi buruh migran di luar negeri, sementara di sisi lain tidak peduli soal perlindungan buruh migran warga negara asing yang bekerja di Indonesia.
Hanya ada satu peraturan mengenai buruh migran di Indonesia, yaitu Perpres TKA 2022. Namun regulasi ini hanya membahas hal teknis seperti aturan perekrutan, pembatasan penggunaan TKA, dan aturan imigrasi. Dari kacamata pemerintah, upaya penguatan perlindungan buruh itu tidak bagus untuk investasi.
Dalam konteks lemahnya perlindungan buruh migran, pembahasan Chen dan Liukkunen (2019) menarik disimak. Mereka meneliti dan melihat bagaimana tempat kerja yang merupakan proyek investasi Cina (khususnya di Afrika) dijalankan seperti enklave. Dalam enklave tempat kerja, norma, kebiasaan, dan hukum yang ada berjalan terpisah struktur hukum yang lebih luas (dalam hal ini hukum negara penerima investasi). Manajemen perusahaan yang membuat dan menegakan aturan di dalam enklave.
Enklave ada karena negara lemah atau memang sengaja melakukan tawar menawar otoritas hukum dan kekuasaan atas nama investasi.
Di perusahaan investasi Cina seperti IMIP dan IWIP, otoritas enklave sangat kuat mengatur buruh Cina daripada buruh lokal. Ini juga karena buruh Cina nyaris menghabiskan 24 jam waktunya (tinggal dan bekerja) di kawasan industri/proyek dan terpapar perintah manajemen terus-menerus. Pengendalian dan kontrol atas buruh Cina menjalar ke luar urusan pekerjaan. Mereka dihalangi untuk berinteraksi dan berbaur dengan buruh lokal di luar jam kerja. Paspor buruh ditahan dan diancam dilaporkan ke Imigrasi.
Seorang buruh Cina bercerita bahwa dalam sebuah perjalanan antarkota bersama rombongan buruh, salah satu temannya dibentak oleh penerjemah karena terlihat berbicara dengan orang lain. Orang lain ini juga dimarahi dan dilarang berbicara dengan rombongan buruh Cina.
Perbedaan bahasa tidak menjadi hambatan utama dalam berkomunikasi. Beberapa buruh Indonesia mengatakan mereka punya hubungan yang baik dengan buruh Cina. Mereka mengatasi komunikasi verbal dengan mengandalkan gerakan tangan dan tubuh. Sementara beberapa buruh Cina mencoba berbicara dengan buruh Indonesia menggunakan terjemahan suara Google.
Banyak buruh Cina tidak tahan dengan kondisi kerja di dalam enklave. Mereka meminta pulang namun perusahaan menolak membelikan tiket. Ada yang kabur ke Jakarta, meminta tolong Kedutaan Besar Cina tapi dicampakkan. Ada yang berani menyeberang tanpa dokumen ke Malaysia. Tujuan mereka cuma pulang ke kampung halaman. Beberapa dari mereka, karena tidak tahan dengan tekanan, stres dan bunuh diri.
Seorang buruh Cina yang bekerja di Morowali menulis pengalamannya, “….hari kerja melebihi 12 jam, dan ada banyak kasus kerja paksa, pemotongan upah secara sewenang-wenang, penyitaan paspor, pengurangan tunjangan, dll., yang sebenarnya melanggar hukum internasional atau hukum dalam negeri. (…) …suasana kerja di lokasi konstruksi saya tidak baik, dan tidak ada liburan dalam waktu yang lama, banyak orang terus bertahan dalam keadaan yang tidak tertanggungkan. (…) Dalam sekitar dua tahun terakhir, beberapa kematian pada akhirnya tidak dapat dijelaskan secara wajar.”
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Selemah-lemahnya Melawan
Meski hidup dan bekerja dalam kondisi yang buruk, ada beberapa peristiwa protes dan perlawanan dari buruh Cina langsung di tempat kerja.
Pada Juni 2021, sekelompok besar buruh Cina di PT Obsidian Stainless Steel (satu pemilik dengan PT GNI) di Konawe melayangkan protes karena upah mereka tidak dibayar. Satu bulan kemudian, buruh Cina juga protes hal yang sama karena tidak ada perubahan. Mereka hampir bentrok dengan aparat keamanan yang diperintah manajemen dan komandan untuk membubarkan protes.
Pada Maret 2022, 103 buruh Cina di smelter PT Central Omega Resources (COR) di Morowali Utara (30 kilometer dari PT GNI) menggelar protes karena status kerja tidak jelas dan terkatung-katung. Menurut buruh COR, nasib mereka sudah tidak jelas selama 5 bulan. Manajemen tidak mau memperbarui visa para buruh dan pergi begitu saja tanpa kejelasan. Dalam foto demo yang beredar, ada spanduk dengan tulisan bahasa Indonesia, “Kami mau pergi pulang PT COR Indonesia”.
Peristiwa mogok terakhir terjadi pada September 2022. Saat itu mogok dilakukan oleh 155 pekerja Cina di PT Ningbo Lygend, smelter yang berlokasi di Obi, Maluku Utara. Saat itu upah mereka selama 3 bulan tidak dibayarkan manajemen perusahaan subkontraktor. Para buruh memang tidak dipekerjakan langsung oleh Ningbo. Dalam negosiasi, manajemen bilang bahwa mereka tidak punya uang untuk bayar upah. Ini kemudian memicu buruh mogok dan menduduki kantor subkontraktor itu.
Ada pula kritik dan protes individual yang disampaikan di media sosial seperti WeChat atau Douyin (TikTok versi Cina). Tentu protes-protes berkelompok atau individual tersebut terjadi secara spontan, tidak seperti protes atau mogok terencana yang dijalankan serikat buruh.
Tidak semua protes dan mogok berhasil mencapai tuntutan. Dalam beberapa protes dan kritik individual, para buruh diserang balik. Beberapa disiksa lebih dulu oleh keamanan perusahaan baru kemudian dilaporkan ke polisi. Mereka ditahan polisi tanpa didampingi penerjemah dan pengacara.
Betapa pun lemah, protes dan mogok buruh Cina membuka kemungkinan solidaritas antar kelas buruh. Kondisi kerja yang mereka alami tidak jauh berbeda buruknya dengan yang dialami buruh lokal. Perlawanan-perlawanan spontan ini juga bisa menjadi semacam pintu masuk untuk buruh dan serikat kita mengenal, menawarkan bantuan, dan mengorgansir mereka untuk memulai perjuangan bersama yang sistematis.
Bagaimana rincian strateginya? Serikat buruh semestinya punya jawaban yang lebih tepat.
Jamin Subarkah adalah penulis isu perburuhan.