Ilustrasi: Jonpey
Setelah beberapa bulan membahas krisis COVID-19 dan Gerakan Black Lives Matter, kali ini saya baru berkesempatan untuk memberikan tanggapan atas analisis yang sangat apik dari Hendra Manggopa. Alangkah bahagianya ketika mengetahui bahwa tulisan saya dibaca dan ditanggapi oleh salah satu intelektual libertarian kanan Indonesia yang ahli dalam tradisi pemikiran Mazhab Austria.
Dalam tulisan di website Suara Kebebasan yang berjudul Jalan Buntu Materialisme Historis, Hendra Manggopa mengupas cara berpikir khas Marxian yaitu materialisme historis. Selain itu, dia juga meringkas soal bagaimana masyarakat kapitalisme dijelaskan lewat Das Kapital Volume I (1867) oleh Marx. Rangkuman apik ini bersepakat dengan analisis libertarian kanan Djohan Rady, Marxisme: Narasi Ideologis yang Tak Faktual bahwa menurutnya Marxisme adalah narasi ideologis ketimbang kajian sosial ilmiah yang mempunyai basis material dan empiris. Klaim inilah yang kiranya menarik untuk dibahas.
Mengingat konsep-konsep kunci Marxis seperti basis, superstruktur, corak produksi beserta tenaga produksi dan relasi produksinya telah dibahas di karya-karya Marxis sebelum Das Kapital, contohnya dalam karya Marx dan Engels yang berjudul The German Ideology (1845) dan A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), maka saya pikir untuk diskusi kali ini kita cukup fokus ke konsep-konsep tersebut. Kali ini, saya akan mengajak Hendra dan para pembaca untuk meninjau kembali apa yang dimaksud dengan materialisme historis. Bukan sekedar dari teori, namun dari fakta dan bukti.
Hal pertama yang mesti diluruskan adalah bahwa corak produksi atau cara pengorganisiran dan pengelolaan sumber alam untuk melangsungkan kehidupan manusia sesungguhnya tidak hanya terdapat pada fase kapitalisme. Corak produksi dalam bentuknya yang partikular selalu hadir dalam tiap fase perkembangan masyarakat kelas. Fakta keras dari adanya proses tersebut bahkan terbukti setua spesies Homo sapiens itu sendiri. Jika tidak, bagaimana caranya spesies kita dapat bertahan sampai detik tulisan ini diketik? Manusia hanya dapat bertahan hidup dengan melakukan aktivitas produksi, yang coraknya berbeda di tiap fase historis perkembangan manusia.
Tak seperti kebanyakan primata dan bahkan hewan lainnya, yang dapat segera langsung berjalan dan beraktivitas setelah mbrojol, manusia, dalam kerentanan setelah dilahirkan, harus dirawat dalam buaian sang induk, diberi asupan makan minum secara cukup, dan dirawat serta dibesarkan dengan nilai-nilai yang ada dalam kelompoknya. Ini berkaitan dengan poin kedua kita, yaitu fakta bahwa kehidupan manusia bahkan dalam bentuknya yang paling elementer, sejak ia menghirup napas pertama ketika dilahirkan hingga napas terakhirnya sebelum kematian, tak mungkin lepas dari relasinya dengan manusia lain atau kelompoknya. Sebagian besar masyarakat, dari yang sederhana hingga yang paling kompleks, memberikan nilai sosial istimewa momen kelahiran dan kematian. Anda dapat menyaksikan sendiri Masyarakat Jawa dengan Upacara Brokohan dan Masyarakat Bali dengan Jatakarma, atau Rambu Solok di Masyarakat Toraja dan Saur Matua oleh Masyarakat Batak Toba.
Manusia masuk ke dalam berbagai relasi yang ada dalam kelompoknya, salah satunya yaitu relasi (sosial) produksi. Ini membawa kita kepada poin ketiga diskuski kita, bahwa dalam mempertahankan diri dari kerasnya lingkungan, untuk makan manusia terpaksa mengakali dan mengintervensi alam dengan bekerja sama membagi tugas dan peran diantara sesamanya. Namun, hanya alamlah yang dapat menyediakannya, sehingga lewat upaya trial and error dari proses intervensi tersebut manusia mampu mengakali alam dan mengumpulkan sumberdaya untuk bertahan hidup. Akibatnya muncullah pertanian, domestikasi hewan, teknik membuat pakaian, teknik membuat bangunan, dan berbagai aktivitas produksi yang ‘mengintervensi’ proses-proses fisis, biologis, dan kimiawi di alam. Hingga hari ini dengan pembagian kerja yang makin spesifik ia dapat memproduksi jutaan ton beras, ribuan chicken nugget, lusinan jeans, dan ratusan rumah KPR.
Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Marx dan Engels, setiap masa dalam sejarah, umat manusia memiliki beragam cara memproduksi kebutuhan hidupnya. Mereka menjelaskan beberapa konsep corak produksi yang pernah ada seperti tribal, asiatik, antik, feudal, dan kapitalisme. Soal masyarakat mana dan dalam tahap rentang waktu mana yang mengadopsi corak produksi tertentu, kita dapat membuka kembali buku-buku sejarah dan antropologi. Namun, perlu kita ingat bahwa tak ada keseragaman kisah peralihan dari satu corak produksi ke yang lain. Bukti terdekatnya sementara orang-orang Rimba, Mentawai, Dani, Asmat dan Korowai masih mengadopsi cara hidup yang diwarisi para nenek moyang, di Jakarta orang-orang sibuk menabur industri dan menuai uang.
Marx menambahkan bahwa ada dua kekhasan utama dalam setiap corak produksi, yaitu adanya relasi produksi dan kekuatan produksi. Relasi produksi dijelaskan sebagai hubungan antar kategori sosial kelas dalam rangka produksi kebutuhan hidup yang ada di dalam corak produksi suatu masyarakat. Dalam masyarakat kapitalis relasi produksi tersusun atas hubungan antara kategori sosial kelas kapitalis dengan proletariat, antara mereka yang hidup lewat penguasaan sarana produksi dan mereka yang hidup dari menjual tenaga kerjanya yaitu lewat relasi upahan. Sedangkan dalam masyarakat bercorak produksi feodal hanya ada relasi perhambaan antara tuan tanah dengan petani hamba sahaya, antara mereka yang mendapatkan wewenang menguasai lahan yang luas dan mereka yang mengolah serta memanen hasil lahan.
Sedangkan kekuatan produksi lebih meliputi tenaga kerja manusia dan alat-alat produksi yang mendorong kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup pada suatu masa yang beragam dalam sejarah manusia. Misalnya para budak di Masyarakat Yunani dan Romawi sejak sebelum masehi, para petani hamba sahaya di Eropa abad pertengahan dan juga para buruh semenjak Revolusi Industri. Selain itu ada pula faktor kekuatan produksi yang tersusun dari serangkaian peralatan dan teknologi. Seperti penggunaan roda dan hewan pengangkat beban pada masyarakat Asia Kecil yang tak ditemukan dalam masyarakat Mesoamerika. Lalu penguasaan lahan di nusantara sebelum era kolonial yang berbeda dengan sistem feodal di Eropa. Atau, alat tenun tradisional yang perlahan didominasi alat tenun bukan mesin dan akhirnya dikalahkan lagi oleh ketenaran alat tenun mesin.
Corak produksi atau ekonomi inilah yang menurut Marx dan Engels merupakan basis penopang dari keseluruhan struktur bangunan masyarakat. Sementara ideologi, hukum, kesenian, agama, beserta aparatusnya membentuk bagian superstruktur masyarakat. Inilah salah satu aspek ontologis dari Marxisme, yaitu, meminjam istilah dari Martin Suryajaya, naturalisme non-reduksionis bahwa realitas ekonomi merupakan prakondisi material absolut bagi adanya realitas superstruktur, sementara realitas superstruktur merupakan prakondisi material relatif bagi adanya realitas ekonomi. Walhasil, superstruktur dapat mengubah realitas ekonomi dalam batas-batas tertentu yang dimungkinkan realitas ekonomi.
Sebagai contoh, corak produksi kapitalisme yang tumbuh subur di Indonesia membutuhkan akumulasi kapital tak henti untuk menopang struktur masyarakatnya. Namun prosesnya ternyata tersendat akibat undang-undang yang kurang sejalan. Sehingga mendorong DPR beserta segenap elemen pemerintahan menggandeng para pengusaha menyusun Omnibus Law RUU Ciptaker–yang cilaka–untuk melapangkan jalan dan menjaga keberlangsungan tatanan. Melalui RUU ini, sesungguhnya semua manusia dirugikan mengingat diabaikannya AMDAL dalam RUU tersebut akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi. Membiarkan kerusakan lingkungan hidup artinya membiarkan ditiupnya sangkakala kepunahan Homo sapiens. Inilah salah contoh proses timbal balik yang terjadi dalam struktur masyarakat dan bukti nyata dari terujinya cara berpikir materialisme historis dalam menyeimbangkan ekosistem.
Materialisme historis berangkat dari yang nyata dan material, bukan imajinasi dan ide belaka. Anda bisa saja mengajak semua orang untuk hidup seminggu hanya mengkonsumsi Vitamin D dari matahari atau dengan sekedar membayangkan nasi goreng dan es teh manis. Peradaban umat manusia bukan dibangun dari sekedar imajinasi dan gagasan kebijaksanaan, namun dari perut yang mesti terlebih dahulu terisi. Tentu beserta unjuk kekuatan dan penaklukan. Sejarah bukanlah sekedar soal kehidupan nama-nama besar, namun soal siapa yang menyiapkan prasyarat mendasar kehidupan mereka sehingga namanya menjadi besar. Contoh lainnya, untuk membangun piramida Khufu dan Kukulkan, Tembok Besar Tiongkok dan Hadrian, atau Kuil Athena Parthenon dan Angkor Wat, dibutuhkan penunjang hidup yang utama yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah besar, selain juga penindasan terkoordinir satu kelas terhadap yang lainnya dan tentunya drama perpolitikan.
Marx dan Engels menambahkan bahwa dalam tahap tertentu perkembangan setiap corak produksi akan muncul konflik antara relasi dengan kekuatan produksinya. Ini disebabkan oleh relasi produksi yang membelenggu kekuatan produksi yang ada, yang semakin bertambah. Dari sanalah muncul gejolak-gejolak yang dinamakan dengan revolusi. Contohnya, pemberontakan budak Spartacus terhadap Republik Roma, revolusi kaum borjuis di Amerika dan Prancis di abad ke-18, hingga revolusi kelas pekerja di Russia awal abad ke-20. Serentetan peristiwa ini muncul karena adanya proses dialektika tak henti, konflik antara relasi dan kekuatan produksi, dari tiap fase dan bentuk masyarakat. Meski gejolak ini seringnya berjubah identitas atau agama dan terkadang tidak nampak secara ‘kasat mata,’ persoalan nyatanya secara mendasar adalah selalu soal apa dan siapa yang mengendalikan sumber ekonomi dan untuk kepentingan siapa proses pengendalian dan dominasi tersebut dilakukan. Dalam bentuk masyarakat kita, tak pelak lagi konflik itu telah, sedang, dan akan terjadi, antara mereka yang menguasai alat-alat produksi dengan mereka yang hanya menyambung nyawa dengan menjual tenaga kerjanya tiap hari.
Seperti itulah singkatnya materialisme historis yang sejauh ini sama sekali tak terlihat bagai jalan buntu. Justru lewat cara berpikir ini kita mendapatkan terang untuk menembus kabut kegamangan. Barangkali hanya mereka yang belum pernah membaca Kartun Riwayat Peradaban karangan Larry Gonick sajalah yang bisa menyimpulkan materialisme historis sebagai jalan buntu. Oleh karena materialisme dialektis dan historis telah banyak dibuktikan, sehingga kritik atasnya sebaiknya disampaikan lewat bukti bukan hanya sekedar filosofi.
Akhir kata, Marxisme bukanlah soal kemaksiatan yang dilakukan kapitalis, narasi etis, kepercayaan, apalagi soal wahyu seperti yang diklaim Hendra Manggopa. Justru Marxisme bicara soal cara kerja kehidupan kita hari ini. Suatu kenyataan yang mungkin tidak terlihat atau bahkan enggan dilihat oleh sebagian besar libertarian kanan. Kenyataannya, bentuk masyarakat kita saat ini tidaklah muncul dari bimsalabim dan tidaklah ajeg sampai Isa Al-Masih datang untuk kedua kalinya. Kapitalisme bukanlah satu hal yang natural, terberi, dan kodrati – masyarakat kapitalis adalah suatu hasil dari proses-proses historis dalam konteks perkembangan masyarakat berkerlas. Masyarakat kita ini hanya merupakan salah satu fase dari sejarah yang kapan saja dapat segera berlalu. Sulit kiranya berbincang soal hal yang objektif jika masih nyaman dalam pemikiran subjektif. Berat pula tampaknya bicara soal kebebasan apabila masih berat menerima kenyataan-kenyataan sosial. Lagipula, apa sih artinya kebebasan kalau cacing di perut setiap hari masih koploan?***