SEJAK SAYA mulai belajar sejarah Indonesia di University of Sydney tahun 1969, saya selalu diajari para dosen bahwa Sukarno adalah seorang permersatu. Bahkan mereka, baik dosen Australia, Indonesia atau Belanda, cukup banyak yang menyebut Sukarno – dengan nada minor – gandrung persatuan. Dalam bulan Juni 2011 lalu – dengan banyak spanduk yang menyatakan ini bulan Sukarno – masalah persatuan, apalagi dalam menghadapi ‘asing,’ suka disebut-sebut lagi.
Baik sebagai seorang akademisi yang ‘Indonesianis’ maupun sebagai warga dunia yang berkewajiban berideologi, saya menyatakan sebelumnya bahwa saya termasuk seorang yang sangat menghargai kepemimpinan Sukarno serta pikirannya, meskipun saya juga berpendapat dia bukan manusia sempurna: pernah juga melakukan kekeliruan dan kadang-kadang analisa yang salah. Sebagai seorang yang menilai peranan Sukarno secara umum sangat positif, saya mau menekankan bahwa gambaran atau stereotipe Sukarno sebagai seorang pemersatu adalah keliru total. Sukarno bukan pemersatu bangsa, dia adalah seorang yang membelah bangsa dan negeri Indonesia.
Apakah ini celaan atau sebuah kritikan? Tidak, ini sebuah pujian. Ijinkan saya menjelaskan pendapat itu.
Kalau kita buka buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ jilid I artikel pertama, kita akan temukan artikel ‘Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.’ Artikel itu dimuat di Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926. Salah satu artikel paling terkenal dari Sukarno itu, mengambil sebuah peranan awal dalam kampanye propaganda Sukarno yang kemudian sering dianggap sebagai artikel yang mengusung gagasan persatuan. Tetapi pandangan seperti itu adalah pandangan yang dangkal, kalau tak boleh disebut sebagai pandangan yang sangat menyesatkan. Tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya adalah tulisan pembelahan, bukan penyatuan.
Adalah sangat penting, saya kira, untuk kita bisa menangkap dinamika pembelahan di dalam tulisan Sukarno itu. Karena dinamika pembelahan tersebut menjadi dinamika yang dipertahankan Sukarno sampai seterusnya, sampai tahun 1968 ketika dia dikalahkan oleh Soeharto. Dan basis pembelahannya itu juga merupakan basis keberhasilannya sebagai seorang pemimpin anti-kolonialisme yang memperjuangakan Indonesia Merdeka.
Jadi pertanyaannya ialah: pembelahannya antara siapa dengan siapa? Kalau kita membaca tulisannya itu, Sukarno cukup panjang lebar menjelaskan sebuah argumentasi yang dialamatkan pada masing-masing kaum nasionalis, kaum Islam dan kaum Marxis, bahwa mereka semua harus memilih. Harus memilih! Itu memang tantangan yang selalu akan dilemparkan oleh pemimpin yang serius. Masing-masing umat ketiga aliran dihadapkan dengan pilihan yang akan membelah aliran itu masing-masing, serta juga sekaligus membelah bangsa. Coba kita membaca beberapa kata-kata dari tulisan tersebut.
Kepada kaum nasionalis: ‘Nasionalis jang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis – Nasionalis sematjam itu menundjukkan ketiadaan jang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnja roda-politik dunia dan riwajat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, djuga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri atjap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanja jang Marxistis tadi.’
Kepada kaum Islam: ‘Hendaklah kaum Islam jang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakannya itu, sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya djerit dan tangis rakjat Indonesia jang makin lama makin sempat kehidupannja, makin lama makin pahit rumah tangganya.’
‘Untuk Islamis sedjati, maka dengan lekas sahadja teranglah baginja, bahwa tak layak dia memusuhi faham Marxisme jang melawan peraturan meerwardenja [nilai lebih], sebab dia tak lupa, bahwa Islam sejati djuga memerangi peraturan itu: ia tak lupa Islam yang sejati melarang keras memakan riba dan memungut bunga.’
Kepada kaum Marxis: ‘Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbenturan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan jang, sebagaimana sudah kita uraikan di atas, dengan seterang-terangnja bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi pergerakan jang, sebagaimana kita uraikan di atas jang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga jalah seterang-terangja jalah anti-meerwaarde.’
Setiap aliran – yang semuanya setuju Indonesia Merdeka – dihadapkan dengan pilihan: bersatu atau tidak. Memang, Sukarno membelah demi sebuah persatuan – tetapi bukan asal bersatu. Ada basis persatuannya yang diperjuangkannya. Setiap orang yang memperjuangkan sebuah basis persatuan yang jelas akan mengakibatkan pembelahan, karena orang harus memilih. Dan basis persatuan yang diperjuangkan dalam tulisan ini bukan hanya Indonesia Merdeka, tetapi analisa terhadap dan sikap anti-kapitalis. Dalam tulisannya, dia panjang lebar menguraikan persamaan di antara riba dan bunga dalam Islam dan nilai lebih dalam Marxisme serta juga menjelaskan bahwa hukum kapitalisme akan kebutuhan cari nilai lebih sebanyak-banyaknya juga adalah motor meluasnya kolonialisme, yang dilawan oleh semua mereka yang berideologi nasionalis. Ini kelihatan dari kutipan-kutipan di atas, tetapi silahkan membaca dan merenungkannya sendiri.
Sebenarnya elemen-elemen bangsa Indonesia (yang pada waktu itu sedang dalam proses) sudah sejak awal terbelah dalam soal sikap terhadap kapitalisme. Sarekat Islam juga terbelah ketika gerakannya menghadapi pilihan: kapital (modal) itu halal atau haram, atau hanya modal asing (kolonialis) yang haram.
Dalam sebuah tulisan berjudul ‘Kapitalisme Bangsa Sendiri’ lain Sukarno juga menekankan:
‘…. kita bukan sahaja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus juga menentang kapitalisme bangsa sendiri.’
Ada juga aktivis Marxis di luar Indonesia (mungkin juga di dalam) yang mempermasalahkan tulisan ini. Karena Sukarno, meskipun juga menekankan harus ada perlawanan terhadap kapitalisme, perlawanan antar kelas seharusnya tidak menjadi ‘prioritas’ selama Indonesia Merdeka belum tercapai. Tetapi sudah jelas juga dari tulisan ini bahwa dengan menyatakan bahwa Indonesia Merdeka adalah prioritas tidak ada pelunturan sedikit pun dengan tekanannya pada diteruskannya propaganda anti-kapitalis.
Bukan hanya itu. Dalam analisanya, Sukarno menggarisbawahi bahwa hanya rakyat jelata (bahasa dia “Kang Marhaen”) Indonesia bisa menjadi kekuatan yang memerdekakan dirinya dan bukan kaum kapitalis dalam negeri.
Pembelahan pro dan anti-kapitalis, pro dan anti eksploitasi selalu hadir. Begitu juga pembelahan antara kaum “kooperasi” dengan kolonialisme dan kemudian dengan neo-kolonialisme dan non-ko. Pilihannya hanya dua: di sini atau di sana. Pada zaman 1960an, panggung politik terbelah menjadi NASAKOM palsu dan NASAKOM sejati. Basis persatuannya sama: melawan nekolim mengharuskan juga melawan kapitalisme bangsa sendiri.
Yang menarik ialah bahwa ini juga merupakan pembelahan bangsa: karena yang pro-kapitalis, baik zaman dulu maupun zaman sekarang adalah bagian dari bangsa (nation) Indonesia. Pemilik-pemilik konglomerat saat ini yang sekaya-kayanya serta mereka-mereka yang menyetujui dengan sadar secara ideologis strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang kapitalis (yaitu bersandar pada sektor swasta baik dalam negeri maupun internasional) adalah bagian dari bangsa Indonesia. Begitu juga dua sayap Sarekat Islam dulu, maupun nasionalis-nasionalis, Marxis-Marxis ataupun orang Islam yang tak bisa bersatu bersandar pada basis persatuan Indonesia Merdeka yang melawan lapitalisme. Di sinilah letak kelemahan nasionalisme sebagai sebuah ideologi, apalagi di zaman pasca kolonial.
Nasionalisme berseru buat semua elemen bangsa bersatu karena kepentingannya sama. Tetapi ini tidak benar secara faktual. Justru jarang sekali elemen-elemen sebuah bangsa mempunyai kepentingan yang sama. Yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya. Semua punya kepentingan yang saling berlawanan, padahal masih satu bangsa.
Dalam bulan Sukarno ini memang sangat berguna membaca dan mempelajari tulisan Sukarno. Salah satu pelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya seorang pemimpin pembebasan bangsa berani memperjuangkan sebuah basis persatuan yang jelas, biar pun itu merupakan sebuah pembelahan. Kelihatan sekali pada kurun tahun 1965-1968, Indonesia terbelah menjadi pro dan kontra Sukarno, pro dan kontra Sosialisme ala Indonesia. Sukarno kalah total. Sosialisme ala Indonesia kalah total. ***
Max Lane, pengajar di University of Sydney, Australia
Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Majalah Historia Online. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.