BENCANA Tokyo beberapa hari belakangan ini, begitu menyita perhatian warga dunia. Gempa 8,9 skala richter yang berujung pada ledakan beberapa reaktor Nuklir Fukushima Daiichi, menambah teror yang dialami Jepang.
Di tanah air bencana dalam bentuk lain juga terjadi. Kantor JIL (Jaringan Islam Liberal) di Utan Kayu, mendapat kiriman paket yang setelah dibuka ternyata buku berisi bom. Bom meledak ketika berusaha dijinakkan dan mengakibatkan salah satu anggota polisi kehilangan tangan kirinya. Bom buku lalu menjadi modus operandi kelompok tertentu beberapa hari ini. Teror semacam ini sungguh memprihatinkan, terutama di tengah perjuangan mengusung pluralitas dan toleransi atas berbagai perbedaan. Di sisi lain, kelompok garis keras menganggap perjuangan semacam ini sebagai sebuah ancaman.
Terlepas dari itu semua, informasi yang tersebar di masyarakat membuat mereka tak lagi merasa aman. Tidak ada pihak ahli yang betul-betul meluruskan apa yang sebenarnya terjadi sehingga resiko aktual dan dramatisasi kejadian pun tercampur aduk. Berbagai pertanyaan muncul. Mengapa kita tidak bisa memprediksikan bom yang akan meledak? Kurang apakah persiapan kita tentang hal ini ?
Insiden Utan Kayu menunjukkan kita pada satu hal, yaitu kurangnya kita akan pengetahuan dan informasi tentang lingkungan yang kita tinggali. Terlepas dari begitu canggihnya alat-alat deteksi dan pengetahuan yang kita miliki tentang aksi teroris ini, kita tidak sepenuhnya bisa memahami dan menjelaskan runut masalah dari aksi dan bencana tersebut.
Insiden ini menunjukan kepada kita begitu rentannya kita akan bahaya. Yang sudah terjadi tentu saja tidak lagi bisa dihindari, tapi penelusuran-penelusuran sebab akibat tentu saja harus dijalankan. Dalam wacana bahaya dan aktivitas bahaya seperti teroris, Cutter (2003) melihat bahwa ilmu pengetahuan memiliki keterbatasan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Kemampuan manusia yang terbatas membuat masyarakat mengalami kebingungan mengenai resiko bahaya yang akan terjadi: yang mana yang harus dipercaya dan yang mana yang harus diatasi? Dalam konteks Indonesia, informasi hoax saja mampu mengubah opini masyarakat. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Secara logika, kita berpikir bahwa apa yang kita lakukan adalah berdasarkan dorongan kepentingan pribadi dan secara sadar mempertimbangkan baik buruknya konsekuensi yang akan terjadi atas tindakan yang kita ambil (Jaeger et al.2001). Berdasarkan logika seperti ini, kita tidak cukup bisa menjelaskan bagaimana aksi teroris yang dilakukan individu/kelompok tertentu yang kita pikir sangat tidak rasional. Namun, kalau kita lihat lagi, pertimbangan logika pada umumnya betul-betul didorong atas pertimbangan subyektif seseorang dan bersifat begitu relatif, sehingga penting bagi kita untuk melihat konteks berpikir si pelaku. Untuk kelompok yang percaya bahwa aksi teroris adalah hal yang biasa dilakukan, maka menyerang orang yang berbeda keyakinan dan pemahaman adalah hal yang wajar dan dianggap rasional. Sedangkan menurut kita, tindakan teroris itu adalah sesuatu yang di luar logika, tidak manusiawi dan benar-benar merugikan.
Terlepas dari konteks politik, agama dan kepentingan yang lain, harus diakui bahwa ada beberapa konflik yang terjadi antara dua sistem yang berbeda pada konteks aksi teroris kemarin. Pertama, dari sisi pelaku yang kita anggap irasional dan juga sisi kita sebagai yang memiliki pemahaman berbeda dengan mereka. Bila dirunut lebih jauh, ada konflik antara dua sistem yang –bila kita jujur- berasal dari dua kelompok elitis. Dua kelompok ini memiliki struktur nilai yang begitu berbeda satu sama lainnya, dengan target/audiens kaum muslim kebanyakan.
Dari sini, ada hal menarik yang patut dicermati. Sejauh pengamatan saya, pesan dan komunikasi kelompok wahabisme dan talibanisme yang intoleran dan tidak masuk akal ini, umumnya menggunakan komunikasi dan pesan-pesan yang mudah dipahami oleh mayoritas umat Islam. Isu-isu provokatif seperti anti-amerika; menyalahkan kemiskinan dan masalah yang terjadi sebagai umpan yang pas untuk merekrut mereka yang tidak memiliki akses pada sistem ekonomi dan sosial politik yang setara dengan yang lain. Sikap elitisme mereka diselubungkan. Di sisi lain, kebanyakan mereka yang menyuarakan sikap toleran, perdamaian dan keindahan akan perbedaan tidak terdengar luas karena menggunakan sikap yang justru elitis dan rumit, sehingga masyarakat tidak dapat memahaminya. Pesan tidak sampai. Tidak banyak usaha untuk membangun komunikasi yang lebih mudah dan ramah pada rakyat kecil. Elemen elitis, sangat amerika dan kaum berpendidikan inilah yang justru menjadi poin-poin yang dipakai oleh kaum penganut talibanisme dan wahabisme. Aksi teroris kemarin adalah puncak dari kompleksitas kedua sistem tersebut. Dan lagi-lagi rakyat yang jadi targetnya.
Kedua, adanya komplikasi pemahahaman tentang sistem penjinakkan bom dengan sistem teknologi bom yang belum diketahui. Kita diingatkan pada gambar dua orang polisi yang begitu cermat dan tekun menjinakkan bom dengan satu anggota polisi yang dengan cermat memegang selang air dan satu anggota lain yang membuka buku halaman demi halaman tanpa alat-alat pengaman. Sudah barang tentu kita tidak bisa menyalahkan bapak polisi dengan usahanya yang maksimal dalam menjinakkan bom. Namun, menurut Peter Slovic (2002), dalam suasana krisis dan bahaya, ahli sekalipun masih memiliki pengetahuan yang terbatas ditambah lagi dengan tekanan bahaya yang mengancam, sehingga keputusan diambil sesuai dengan informasi yang tersedia. Seadanya.
Oleh sebab itu, Charles Perrow (1984) dalam Normal Accident: Living with high-risk technologies, tidak percaya dengan konsep kecelakaan. Baginya, yang ada adalah sebuah kompleksitas. Ia menawarkan sebuah teori penting tentang bencana, kecelakaan dan situasi krisis. Dia berpendapat bahwa sistem manusia, alam dan teknologi makin hari makin terkait satu sama lain sehingga mengharuskan kita untuk selalu berusaha memahami sebab akibat kegagalan sistem tersebut. Artinya, bencana atau situasi darurat yang disebabkan alam dan manusia adalah peningkatan dari kompleksitas tersebut. Bencana terjadi karena konflik-konflik. Konsep ini begitu penting untuk dijelajahi dan dipahami lebih jauh, karena artinya kerentanan yang kita miliki akan bencana adalah gabungan dari bahaya dan resiko. Karena resiko itu sendiri adalah kombinasi antara bahaya, kerentanan dan lokasi kita dimana bahaya itu terjadi. (Blaikie, 2004).
Tidak berlebihan bila disimpulkan, kita harus memandang insiden ini lewat kacamata yang lebih obyektif dan bukan dari sensasi yang diakibatkan. Dengan demikian, kita dapat melihat sebab akibatnya secara runut mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Perjuangan pluralitas dan toleransi akan perbedaan tidak bisa berhenti sampai di sini. Justru sebaliknya, semakin penting dan strategis. Hanya saja, kini dengan menggunakan pesan dengan bahasa yang mudah dan merakyat hingga pemahaman toleransi dan perdamaian bisa dapat tersebar, terpahami, terasakan dan terlaksanakan.***
Dorita Setiawan-Fathoni
Mahasiswa Doktoral di Columbia University, New York