ADA, sekurang-kurangnya, dua hal yang bikin pelawak ini istimewa. Pertama, ia berasal dari tanah Betawi. Kita tahu, tanah ini jarang sekali memproduksi tokoh-tokoh sekaliber nasional. Kebanyakan tokoh-tokohnya, terkenal tidak lebih dari batas kampung masing-masing.
Produksi orang jago, yakni jago intelektual, ekonomi, politik, hukum, dsb—dari tanah ini sangat jarang. Kecuali jago bacot, pantun dan berebut warisan, tanah Betawi melempem dibandingkan tanah-tanah yang lain.
Memang sih, tanah ini pernah melahirkan orang-orang macam Mahbub Djunaidi atau Ridwan Saidi. Mahbub terkenal dan dikagumi berbagai kalangan, juga diberi julukan ‘Pendekar Pena’. Ia piawai dalam menulis sambil berkelakar. ‘Jurnalisme-humor’, kata orang-orang. Bahkan saking piawainya berhumor, kala kelompok NU dan PKI bersitegang tahun-tahun 60an, ia santai saja berkelakar dengan menyebut perbedaan keduanya hanya ‘yang satu ahlussunnah wal jamaah, satunya lagi ahlusstalin wal lenin’. Orang-orang tertawa.
Tapi itu dulu. Tak ada regenerasi. Mahbub wafat tahun 1996. Seketika itu juga tanah Betawi absen melahirkan jago-jago sekaliber nasional.
Memang sih, masih ada Ridwan Saidi yang suka diminta bicara di forum-forum nasional itu. Tapi, dibanding tokoh-tokoh lain dari tanah yang juga lain, Ridwan hanya seperti ‘oplet tua’ di tengah-tengah hamparan BMW yang kemilau. Kalah beken dengan tokoh-tokoh dari Jawa, Sunda, Sumatera, dll.
Memang sih, tanah ini punya organisasi macam FBR, BMB, Kembang Latar, FKMB, dan masih banyak lagi. Tapi apa signifikansinya dalam memproduksi jago-jago intelektual, ekonomi, dll? Saya lihat tidak ada, selain sibuk memenuhi ’ember rejeki’ lewat pintu-pintu kekuasaan.
Maka itu, Haji Bolot adalah sosok pelawak istimewa. Walau tak bisa dipungkiri, di samping ia, ada sosok Malih, pelawak Betawi yang juga terkenal. Atau Haji Bokir almarhum, yang terkenal lewat radio-radio lenong tahun 80an. Namun begitu, dua nama yang terakhir tidak seperti Bolot. Pelawak bernama asli Muhammad Sulaiman ini punya gaya melawak yang khas. Dan ini keistimewaannya yang kedua.
Anda boleh cari referensi pelawak dari ujung Sungai Elba sampai ujung Sungai Yan Tze, berkeliling dari teater Broadway di Inggris sampai Hollywood di Amerika, namun pelawak yang bisa melucu dengan berlagak budeg, hanya Bolot orangnya. Tiap pertunjukan lenong atau acara talkshow di televisi ‘masa kini’, budeg seperti sudah melekat dengan diri Bolot. Tiap ia naik ke atas panggung, kepala penonton sudah penuh dengan rasa penasaran: ‘kelakuan budeg’ macam apa yang akan ia perbuat. Dan selalu, setiap show, ia bikin penonton tertawa cekikikan karena tingkah lakunya.
Namun begitu, keistimewaan budegnya bukan hanya terletak pada tertawaan penonton atau keriuhan di atas panggung. Lebih dari itu, kebudegan Bolot punya muatan kritik sosial yang cukup dalam. Ia menampilkan satu jenis manusia yang tak nyambung bila diajak ngobrol hal-hal abstrak kecuali bicara uang, makanan dan perempuan. Cuma tiga hal itu yang cocok dengan telinga Bolot. Lebih dari itu, jawabannya ngalor ngidul kesana ke mari.
Jenis itulah yang, bagi saya, juga mewakili prototipe manusia abad ini. Merasa tidak nyambung bila diajak bicara tentang ide-ide besar, tentang filsafat hidup, tentang nilai, tentang ini itu yang tak ada kaitan langsung dengan kebutuhan perut dan di bawah perut. Tidak semenggah diajak diskusi soal sistem ekonomi maupun politik yang ruwetnya minta ampun, tapi ahli kalau bicara diskon harga iPhone terbaru atau bicara dedek-dedek gemes yang hendak dibribik.
Gaya lawaknya—bagi saya yang bukan seniman, budayawan atau apalah namanya itu—, cocok dengan gaya komedi satire. Komedi yang penuh sindiran tajam. Ia berlakon seolah-olah menjadi manusia menjengkelkan, membuat penonton tertawa gemes gregetan, tapi sebetulnya ia menyindir penonton. Ia menyindir keseluruhan ‘batang tubuh biografis’ dari tata pergaulan manusia masa kini. Pergaulan yang mengalami komodifikasi; yakni didasari untung-rugi ekonomis belaka.
Pergaulan yang distandarisasi oleh (hanya) uang semata. Menjadikan manusia, meminjam istilah Volosinov, sebagai “kumpulan benda-benda”. Fitrah manusia sebagai yang berjiwa dan berakal direduksi menjadi seonggok daging yang dilihat tak lebih dari kumpulan organisme biologis.
Untuk itu kritik sosial dalam gaya melawak Bolot sebetulnya sangat relevan bagi struktur sosial manusia hari ini. Suka atau tidak, kebudegan Bolot menghajar setiap nurani penonton, siapapun itu; menembus sekat-sekat status sosial, tak peduli orang kecil atau orang besar; kritiknya mengarah kepada mereka-mereka yang tengah mengalami komodifikasi. Dan itu jarang dilakukan komedian kita, apalagi hari ini–apalagi dari tanah Betawi.
Selain itu, nama Haji Bolot patut dideretkan dengan pelawak sekelas Rowan Atkinson (Mr. Bean), Jim Parsons (berperan sebagai Sheldon Cooper dalam sekuel Big Bang Theory) atau Bill Hicks. Mengapa? Sebab gaya lawaknya punya ‘komitmen sosial’ yang tinggi atau, meminjam istilah yang sempat ngepop pada polemik kebudayaan beberapa dekade lalu, “realisme sosial”; yakni gaya seni yang terpaut, lahir, dan ditujukan oleh dan untuk rakyat.
Bukan gaya lawak murahan, yang asal pakai bedak, ceplok telor, siram-siraman air, hina menghina fisik, atau ngorek-ngorek urusan pribadi untuk dijadikan bahan tertawaan. Itu lebih mirip candaan. Tak punya nilai apa-apa bagi penontonnya. Tak mendidik. Lebih mirip eksploitasi komedi demi duit dan popularitas semata.
Ini juga yang jadi keprihatinan Bolot. Dalam salah satu acara talkshow di televisi ia mengatakan, “Dunia komedi harus mendidik. Komedi berbeda dengan candaan, sebab komedi adalah membuat orang tertawa apa adanya. Ikhlas. Kalau candaan, mengungkit-ungkit masalah pribadi untuk jadi bahan tertawaan”. Dan itu adalah alarm bagi kita tentang situasi komedi hari ini yang demikian rusak dan absurd tak keruan.
Sudah semestinya, kita sebagai bagian peradaban yang – katanya – doyan humor dan mendapuk humor sebagai bagian dari nilai kebudayaan kita yang toleran dan inklusif, melakukan otokritik terhadap produk komedi kita sendiri. Sebab ini bukan cuma soal bebas ‘becanda’ dan ketawa cekikikan. Lebih dari itu, ini soal bagaimana kita menggali dan menyusun makna bagi kehidupan kita, khususnya dalam dunia komedi kita yang punya akar historio-kultural yang panjang. Yang belakangan sempat ditiban dan dibuat bias oleh raksasa ‘industri komedi’ yang eksploitatif. Yang tak berpijak pada nilai luhur kemanusiaan, melainkan pemaksimalan laba belaka.
Dan Haji Bolot telah melakukan itu.***