Ilustrasi diambil dari Anti-Tank Project.
SALAH satu fenomena yang mengemuka dengan majunya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai calon gubernur independen dalam proses pilkada DKI Jakarta, adalah munculnya sentimen anti partai di sebagian besar kalangan pendukung Ahok. Sikap anti partai ini, ditengarai muncul akibat kekecewaan Ahok dan #TemanAhok terhadap perilaku oligarki partai.
Ada beberapa alasan yang mencuat dari kekecewaan itu, tetapi tidak pernah jelas dan pasti alasan sebenarnya. Lebih banyak muncul sebagai desas-desus saja. Tetapi, secara umum, jika kita melihat kinerja partai-partai politik yang ada sekarang, wajar saja jika kekecewaan yang kemudian terakumulasi dalam sikap anti partai itu berkembang. Misalnya, tidak bisa disangkal bahwa partai-partai politik yang ada dikuasai oleh oligarki, baik oligarki yang berbasis keluarga, kekayaan ekonomi, maupun oleh elite keagamaan. Akibatnya, partai-partai ini lebih melayani kepentingan oligarki ketimbang kepentingan konstituennya. Dengan kata lain, partai hanya menjadi kendaraannya para oligarkh yang merupakan abdi dalem dari kapitalisme. Partai-partai ini juga tidak punya komitmen dan konsistensi yang tebal dalam memperjuangkan penegakkan hak-hak asasi manusia (HAM). Mereka baru akan teriak soal penegakkan HAM jika ada elite partainya yang terjerat hukum. Ditambah dengan perilaku korupsi yang mewabah di seluruh batang tubuh partai, membuat sikap anti partai ini semakin menjadi-jadi.
Tetapi, jika kita telisik lebih dalam maka sentimen anti partai ini berdampak buruk bagi pembangunan kekuatan rakyat pekerja yang tertindas. Para pendukung Ahok rupanya melihat partai sebagai alat untuk suksesi kepemimpinan belaka. “Kami orang-orang tidak berpartai siap mendukung calon independen untuk bertarung melawan calon yang diusung partai untuk memperebutkan jabatan publik.” Calon independen sebenarnya bukan hal yang bermasalah, tetapi di sini partai diposisikan untuk mendukung atau tidak mendukung kandidat independen yang diusungnya. Jika partai mendukung, maka partai disebut aspiratif. Jika partai tidak mendukung maka partai boleh ditinggalkan.
Pemahaman soal fungsi kepartaian sebagai sekadar wahana untuk suksesi kepemimpinan ini jelas-jelas mereduksi fungsi partai politik keseluruhan. Sebagai misal, posisi ini mengabaikan fungsi partai sebagai agregator kepentingan yang ada dalam masyarakat. Melalui fungsi ini, partai menjadi saluran dari kepentingan buruh, petani, kelas menengah, serta kepentingan berlandaskan identitas, dsb. Fungsi ini jelas tidak dimiliki oleh ormas atau LSM atau organisasi profesi yang hanya mewakili aspirasi sempit para anggotanya. Serikat buruh jelas hanya mewakili dan memperjuangkan kepentingan anggotanya, demikian juga serikat petani, asosiasi pengacara, dokter, bidan, dan wartawan. LSM lebih terbatas lagi, karena hanya memperjuangkan isu-isu tertentu tanpa harus memiliki keanggotaan tertentu.
Karena merupakan agregator kepentingan dalam masyarakat, maka partai juga merupakan wahana yang terbaik untuk proses pendidikan politik bagi penduduk sipil. Di sini, partai menjadi sekolah politik bagi anggotanya. Di dalam partai, para anggota tanpa kecuali belajar tentang teori-teori politik, belajar menyusun program yang sesuai kebutuhannya, serta belajar untuk memperjuangkan program tersebut untuk dimenangkan di tingkat partai. Itu sebabnya, di partai, seorang buruh atau petani atau nelayan, atau kaum miskin kota, sangat berpotensi untuk menjadi pemimpin partai, menjadi teoritikus sekaligus organiser. Hal-hal yang tidak mereka peroleh di sekolah formal atau organisasi-organisasi di luar partai. Pada titik ini, partai berfungsi sebagai kawah candradimuka untuk pembentukan kader-kader partai yang tangguh dalam berpolitik, militan dalam mengorganisir dan memobilisir massa, cerdas dalam menyusun dan memperjuangkan program, serta berdedikasi dalam membela kepentingan konstituennya.
Sikap anti partai, walaupun saat ini terdengar rasional dan progresif, dengan demikian memangkas saluran dan mesin politik bagi rakyat dalam memperjuangkan kepentingannya. Siapa yang akan memperjuangkan kepentingan rakyat pekerja dalam proses politik. Tanpa partai, kita akan menjawab: tidak ada. Sebab hanya rakyat pekerja yang paling tahu apa kebutuhannya dan karena itu paling berkepentingan untuk memperjuangkannya. Tanpa partai, maka rakyat pekerja tidak memiliki alat politik dimana mereka bisa berpolitik secara formal dan memiliki kesempatan untuk merebut kekuasaan politik. Tanpa partai, maka rakyat pekerja tidak akan pernah memiliki program dan kepemimpinan politik yang indendepen. Mereka akan selalu menitipkan kepentingannya pada partai-partai yang tidak bisa mereka kontrol.
Inilah yang kondisi yang dihadapi oleh rakyat pekerja saat ini. Warisan politik orde baru yang anti politik; yang memberangus partai politik yang berbasis rakyat pekerja; yang kemudian menggergaji tangan, kaki, dan kepala partai agar tidak memiliki hubungan yang erat dengan basis massanya, menyebabkan munculnya partai-partai yang dikuasai oleh oligarki. Partai-partai yang ada sekarang, memang mencantumkan program-program pro-rakyat pekerja dalam konstitusinya, tetapi itu semua hanya pajangan yang kemudian di taruh di pintu depan pada masa kampanye pemilu.
Selain itu, dengan semakin menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan formal, makin besarnya jumlah populasi yang bisa mengakses pendidikan formal, berkembang pesatnya organisasi-organisasi massa, profesi, dan LSM, plus tingkat perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, membuat saluran untuk kaderisasi dan produksi calon-calon pemimpin tidak lagi menjadi monopoli partai politik. Dalam beberapa tahun terakhir, kita bisa melihat bagaimana partai politik sulit melahirkan pemimpin yang kredibel dari dalam dirinya sendiri, sehingga itu mereka cenderung melirik dan kemudian merekrut figur-figur non-partai yang dianggap berprestasi dan kredibel. Lebih parah lagi, partai kemudian menjadikan figur-figur ini sebagai permen untuk meraih dukungan suara dalam pemilu.
Kenyataan yang mengenaskan inilah yang kemudian memberi pembenaran mengapa muncul dukungan kuat terhadap calon independen yang berlengketan dengan sikap anti partai. Mereka ingin memberi pelajaran kepada partai bahwa tugas utama partai adalah memperjuangkan kepentingan anggotanya, kepentingan konstituennya. Konsekuensinya, dukungan terhadap calon independen dan sikap anti partai merupakan sebentuk hukuman terhadap partai yang hanya mengabdi pada kepentingan oligarki itu.
Sayangnya, sikap ini merupakan jalan pintas yang keliru. Ini bukan jalan politiknya rakyat pekerja. Cara kita menghukum partai-partai yang ada saat ini, bukan dengan menyerukan sikap anti partai. Rakyat pekerja tidak boleh anti partai. Justru sebaliknya, rakyat pekerja harus membangun partainya sendiri yang independen dari kepentingan oligarki. Dengan berpartai maka rakyat pekerja memiliki saluran dan sarana untuk belajar berpolitik, belajar menyusun programnya sendiri, belajar memperjuangkan program-program tersebut, dan belajar memimpin dan dipimpin secara organisasional. Dengan berpartai maka rakyat pekerja tidak hanya melawan dan melawan, tetapi ketika kemenangan itu diraih maka ia memiliki tanggung jawab untuk memimpin dan merealisasikan ideal-ideal politiknya secara konkrit.***