JADI begini. Mari kita sama sama sepakati definisi penjajahan. Setelah itu mari kita uji definisi tadi ke beberapa tanah dan pulau di luar Jawa. Ini penting, maksud saya, untuk bisa membuat kita, aku dan kamu menjadi tercerahkan. Jangan-jangan apa yang kita bilang nasionalisme, yang kita sebut kesatuan, sebenarnya adalah penjajahan dengan gincu yang terlalu.
Apakah penjajahan apabila masyarakat asli dibunuh, tanahnya direbut dengan cara curang, lalu dibiarkan miskin di tanah yang sejatinya kaya? Apakah penjajahan jika orang orang dari keluargamu, temanmu, sahabatmu, mati kelaparan di tanah yang kaya dan subur? Mengalami kekerasan karena menyuarakan pendapat dan pemikiran? Dipenjara belasan tahun karena mengibarkan selembar kain berlambang bintang kejora, sementara pembunuh aktivis HAM bisa divonis lebih ringan?
Apakah penjajahan jika tanahmu diduduki orang asing dari negeri yang jauh? Yang secara fisik berbeda denganmu, berbeda kebudayaan denganmu, berbeda nilai denganmu. Lantas orang-orang asing itu datang ke tanahmu, menyebutmu sebagai orang liar, orang barbar, yang perlu diselamatkan, perlu dididik, perlu diberi pakaian, perlu dicerahkan dan diberi nilai-nilai baru?
Mari kemudian kita uji definisi tadi pada Papua. Sebenarnya kita sedang berusaha menegakkan kedaulatan, menjajah atau sedang menyenangan ndoro tuan bernama Freeport? Adakah definisi yang lebih degil, lebih sumbing dan lebih koyak dari nasionalisme yang dibangun dari pengorbanan orang-orang lain? Apakah kita sedang membebaskan Papua? Membebeaskan dari siapa? Lantas ketika sudah bebas, apa yang kita lakukan?
Nah ini sekali lagi kita berandai-andai. Jika kamu orang Papua, yang telah hidup harmonis bersama alam, tidak mengambil terlalu banyak, tidak serakah mengambil kebutuhan. Lalu kamu diiminta menanam tanaman pangan, sebut saja MIFEE. Kamu dipaksa menanam tumbuhan perusak alam, hutanmu direbut, tanahmu dipaksa dijual, lalu kamu diminta menanam padi, kebutuhan pangan yang sama sekali asing untukmu.
Lalu kamu yang dulunya bisa hidup tanpa uang. Bergantung pada alam, bersinergi bersama alam, dipaksa menjual tanah. Diberi uang, dipaksa membeli makanan, dipaksa membeli pakaian, dipaksa menggunakan kebutuhan-kebutuhan yang tidak kamu butuhkan. Kemudian saat uang itu habis, kamu tidak tahu harus bagaimana, karena sebelumnya kamu tak mengenal konsep uang. Tapi kamu dipaksa mengenal uang karena kamu adalah masyarakat barbar yang perlu dimodernkan.
Orang-orang asing itu lantas mengambil kekayaan tanahmu. Isi tanahmu, tanaman di atasnya, dan seluruh keanekaragaman hayati yang hidup di atasnya. Apakah kita sepakat ini adalah penjajahan? Apakah kita sepakat ini adalah penindasan? Apakah kita sepakat ini adalah satu bentuk perampokan sistematis?
Orang orang asing itu membunuh ibumu, pamanmu, ayahmu, adikmu, anak-anakmu, istrimu dan teman-temanmu. Kamu yang marah, protes dan memberontak kemudian dituduh sebagai separatis. Dituduh sebagai kelompok pengacau keamanan, sebagai orang yang hendak berkhianat, hendak makar, hendak mengganggu kedaulatan.
Tapi siapa sebenarnya yang berkhianat dan makar? Orang-orang asing yang datang ke tanahmu lantas mengklaim bahwa tanah yang kau diami turun temurun, tanah yang telah diwariskan dari bapakmu, bapak dari bapakmu dan bapak mereka sebelumnya diklaim menjadi milik negara—negara dari tanah yang jauh. Atau kamu yang dipaksa diam, ketika keluargamu dibunuh tanpa bisa menuntut keadilan?
Kekayaan tanahmu diambil, diperebutkan oleh orang orang di negeri yang jauh. Mereka bertindak, berpikir dan bertingkah seolah olah kekayaan alam tanahmu adalah milik nenek moyang mereka. Kekayaan tanahmu ‘digunakan untuk kepentingan bangsa,’ yang hanya berkutat di ibukota negeri dari tanah yang jauh. Sementara anak-anakmu, keluargamu, ayah dan ibumu dibiarkan mati ditembaki peluru aparat penegak kedaulatan bangsa.
Kini sekali lagi posisikan dirimu sebagai orang Papua. Lalu kamu mendengar, menonton berita dan membaca berita. Presiden Jokowi marah. Marah karena sebagai simbol negara namanya dicatut untuk negosiasi dengan Freeport. Bayangkan perasaanmu. Tanahmu yang kaya itu, yang seharusnya membuatmu kaya, malah dilego oleh orang lain bukan untuk kepentinganmu. Sementara hampir tiap minggu di tanahmu Papua, satu orang mati karena kekerasan. Sebenarnya yang lebih berhak marah siapa? Kamu atau presiden Jokowi?
Jokowi marah karena apa? Karena namanya dicatut untuk kepentingan pribadi? Memangnya dia tidak bisa marah karena rakyatnya, orang Papua, ditembak mati, dibunuh perlahan-lahan dan dihabisi identitas kulturalnya? Apa alasan Jokowi marah? Karena dia simbol negara? Apa simbol negara lebih mulia dari nyawa anak-anak papua yang mati ditembus peluru? Siapa pelakunya? Kasus Paniai telah mencapai setahun, sudahkah keadilan datang kepada mama-mama Papua yang anaknya mati terbunuh? Jokowi marah karena apa?
Bayangkan kamu adalah orang Papua. Ketika kamu berusaha menunjukkan identitas kebudayaanmu, kamu ditangkap, dianggap subversif karena merayakan dirimu sebagai orang Papua. Lantas ketika kau meminta keadilan, kamu dibilang separatis, pelaku makar, pengkhianat negara dan sebagainya dan sebagainya. Jadi bagaimana? apakah kita sepakati ini sebagai penjajahan? Apakah kita sepakati ini sebagai penindasan? Atau memang kesatuan itu harga mati, kematian orang-orang yang bukan suku dan ras kalian?
Mengapa Jokowi marah? Kenapa baru sekarang ia marah? Kenapa Jokowi tidak marah ketika bayi-bayi di Papua meninggal secara misterus? Kenapa Jokowi tidak marah ketika penanganan kasus penyakit misterius ini membunuh demikian banyak bayi? Kenapa Jokowi marah karena namanya dicatut? Apakah namanya lebih baik daripada nyawa bayi bayi itu? Logika macam apa yang bisa dibenarkan untuk menerima kemarahan Jokowi?
Barangkali benar. Jokowi tak lebih dari petugas. Petugas negara yang berprofesi sebagai Presiden.***