Boys.. Do You Like Grass? No!
Do You Like LSD? No!
Do You Like Morfine? No!
Do You Like Sex? Yes!-Shake Me: AKA-
DALAM keyakinan saya, musik sedari mula ya memang diciptakan untuk senang-senang, kegembiraan, happy-happy. Fakta bahwa Betharia Sonata, Deddy Dores dan para biduan dangdut pada beberapa lagu mereka menemukan kegembiraan pada airmata dan perpisahan dengan kekasih, mungkin sebuah fenomena yang enggak perlu anda serius-serius amat dianalisis. Mungkin lebih tepat jika anda menilainya sebagai sebuah curhat pribadi yang intim dan sarana pelepasan emosi bagi orang yang memiliki keprihatinan mendalam atas masa lalunya sendiri.
Menemukan kesenangan dalam rangkaian kesedihan masa lalu bukan suatu hal yang mustahil kan? Misalnya sebagai contoh kongkrit, entah benar entah tidak, seorang kawan yang mulai menikmati klaim dan bully sekitar mengenai statusnya yang masih lajang di usia jelang kpala tigapernah mengatakan: ‘Anak muda bengal seperti saya belum tepat rasanya untuk menikah, Bung. Punya pasangan itu tanggungjawabnya banyak, mulai dari memberi nafkah hingga kewajiban bermain bersama anak. Sedangkan kalau punya mantan, tugas saya cukup ‘mengenang’ saja.
Mengerikan memang, tapi toh nyata. Selain itu jangan pula disikapi secara begitu sinis juga tentang ‘senang-senang’ tadi. Kalau tidak salah, orang-orang yang mempelajari filsafat Hedonisme dari Cyrenaics, Epikureanisme, dan Utilitarianisme bisa membuat distingsi sangat variatif mengenai ‘senang-senang’, dari yang paling permukaan hingga yang paling filosofis dan bermakna sangat humanis.
Kembali lagi ke musik, mungkin karena musik itu memang memiliki banyak aspek senang-senang yang dalam format tertentu bisa jadi tidak terlalu positif-positif amat bila dilihat dari sudut pandang kesadaran mental, maka para ulama sering mendefinisikan musik secara agak peyoratif. Sebagian besar karena mereka beranggapan bahwa musik cenderung ‘melalaikan dan condong kepada keharaman.’
Terkait klaim ini, seorang ustadz Hadrami di Lampung yang dulunya sempat menjadi deklarator sebuah partai keagamaan pernah memberi kuliah perdana Bimbingan Baca Quran (BBQ) di Masjid Birohmah Unila. Dalam kesempatan tersebut, ia mengkritik keras keluarga yang di rumahnya tidak pernah kedengaran membaca Quran dan disebutnya secara dramatis hanya memperdengarkan musik ‘jedam… jedum’. Oleh karena itulah ia memberi konklusi bahwa ‘bagi seorang muslim,’ katanya dengan suara agak terengah-engah, ‘sarana pelampiasan berkesenian itu hanyalah melalui rebana yang memang dicontohkan nabi, dan selain itu…. ya melalui Nasyid.’
Kami yang saat itu masih mahasiswa baru tercekat mendengar fatwa tersebut. Namun untungnya, hanya berselang 30 detik sejak fatwa beliau itu, ia melanjutkan dengan suara agak rendah: ‘… dan yah bolehlah dengar lagu Iwan Fals. Karena saya sendiri suka Iwan Fals.’ Tentu saja kami yang keburu gembira, karena setidaknya kaset Iwan Fals tidak perlu dibuang untuk menghindari siksa Gehena yang membara karena mendengarkan musik, tidak berani bertanya lebih lanjut mengenai nilai kualitatif apa yang dibutuhkan sehingga musisi lain bisa memperoleh pengecualian serupa dari seorang Ustadz. Apapun itu, Alhamdulillah kawan!
Kalau mau jujur sebetulnya sih bukan hanya kaum agamawan yang sedikit keki dengan musik, seorang kawan kuliah yang tampaknya sangat kiri pernah mengajukan pertanyaan yang agak retoris tentang kemungkinan ‘boleh’ atau ‘tidak bolehnya’ musik metal dimainkan di Indonesia kelak jika ‘revolusi kita menang.’ Tentu saja beberapa kawan lain yang kesadaran ideologisnya tampak sama kirinya dengan sang penanya menjawab tegas ‘Fuck Seni Untuk Seni !!’
Bahwa si pengecam pada akhirnya menjadi pegawai negeri Dinas Pariwisata dan besar kemungkinan saat ini sedang asyik mendengarkan radio dangdut, adalah hal lain lagi yang berbeda. Kita anggap saja ia bagian dari fenomena.
Masih tentang’Musik dan ‘Kelalaian Mental’, di tengah agitasinya terhadap Nekolim, Bung Karno pernah mengaku alergi dengan musik ‘ngak-ngik-ngok’ yang membuat anak muda di zamannya lalai terhadap tuntutan revolusi. Dengan nada marah ia pun mengkritik anaknya sendiri, Guruh Soekarno, karena menyukai irama ‘ngak-ngik-ngok’ yang menyimpang dari prinsip ‘Berkepribadian secara sosial-budaya.’ Tapi bagaimanapun juga, sebagaimana si Ustadz Hadrami, selalu ada pengecualian buat selera pemberi fatwa, terutama bila kita mengingat bahwa Bung Karno sendiri bukan seorang yang anti-musik dan segala tetek bengek ‘ngak-ngik-ngok’ peradaban yang disebutnya secara berangasan sebagai ‘kolonial.’ Ia adalah penggemar segala jenis musik barat dan rutin menggelar dansa-dansi terutama menari lenso di istana, sekalipun mungkin tidak diiringi Koes Bersaudara yang dipenjarakannya karena , lagi-lagi menurut si Bung, termasuk pengusung musik ngak-ngik-ngok.
Industrialisasi musik memang menghasilkan ‘Logika Rumah Bordil’ yang serupa dengan segala jenis tuntutan industri apapun dan dimanapun sepanjang sejarah: ‘servis semakin meningkat seiring peningkatan jumlah bayaran.’ Selama kompatibel dengan tuntutan pasar, dipandu oleh tangan-tangan terampil pemilik modal, selera serendah apapun kelak bisa menjadi kelaziman publik. Karena itulah banyak juga alasan mengapa sang ustadz dan Bung Karno cukup galau. Pada tahun 70-an, lagu AKA ‘Shake Me’ menjadi kontroversi karena liriknya yang keterlaluan di jamannya. Namun saat ini, siapapun yang berkesempatan mendengarkan lagu-lagu tarling pantura, akan mendapati lirik yang jauh lebih vulgar dengan segala asosiasi fisik yang jauh lebih rendah. Yang menarik, sekalipun dalam segala hal AKA mempelopori aksi panggung liar anti-kemapanan, dan dalam begitu banyak aspek bermusiknya akan membuat Bung Karno darah tinggi, mereka tetap merasa perlu untuk menerbitkan album Qasidah tersendiri.
Bisa jadi itu merupakan manifestasi kesadaran diri yang makin matang, tapi bisa jadi juga bagian dari kesadaran finansial yang makin memuncak, serupa Peterpan, Ungu, Nidji, Afgan, maupun Andra and The Backbone pada 40 tahun kemudian yang mendadak bikin album religi. Dalam hal ini, sensasi gila-gilaan dan kebertuhanan sebetulnya adalah bagian yang sama dari satu Industri. Dan dalam semua situasi itu, baik pergeseran persepsi moral menjadi lebih permisif dari sebelumnya atau sensitifitas moral yang menjadi tumpul karena persepsi yang baur dan tidak lagi bisa mengenali nilai-nilai dengan standar mutu yang lebih tinggi, terjadi dalam transisi yang sangat halus dan begitu sulit untuk dibendung.
Bagaimanapun, ekspresi adalah klaim subjektif personal yang tidak bisa selesai hanya dengan regulasi. Dalam bingkai yang kita miliki sekarang, bila sang Ustadz Hadrami di atas memberi pengecualian fatwa haramnya memainkan musik dengan Lagu Iwan Fals dan Bung Karno membuat izin khusus lenso sebagai bentuk peradaban yang tidak ngak-ngik-ngok, maka berbekal logika itulah 200 juta orang indonesia juga sebetulnya bisa merasa berhak untuk membuat pengecualian.
Itulah adalah konsekuensi dari bingkai yang kita punya sebagai landasan publik dan bila anda tidak menyukai bingkai tersebut, Anda bisa memilih teman-teman sang Ustadz Hadrami yang mencita-citakan pemerintah agamawan ala Khilafah darimanapun agamanya. Lain dari itu, silahkan memilih teman-teman Bung Karno yang menginginkan Demokrasi Terpimpin sesekuler apapun bentuk ideologinya. Keduanya akan memberi Anda batasan dan juga izin, sejauh kecenderungan dan mood sang pemimpin juga memberi izin. Keduanya akan sama kapitalistiknya, bedanya yang satu akan memakai wajah Syariah yang satu memakai wajah Demokrasi Terpimpin. Kadang-kadang saya bertanya-tanya, bila si Habib Hadrami yang menang, apakah ekspresi personal yang akan diakomodir oleh rantai kapitalisme yang disokongnya hanyalah segala jenis indsutri nasyid dan segala derivasinya? Atau jika Bung Karno tetap berkuasa, maka sirkuit kapital yang disokongnya adalah yang mengakomodir kecenderungannya?
Di saat yang sama, dari sisi Industri sebagai penyedia kebutuhan publik, mesin industri akan tetap mencari celahnya dan oleh karena itu segala bentuk izin serta larangan tersebut hanyalah kulit permukaan yang sangat sepele, karena secara substansi produksi dan siklus dari sirkuit kapital yang abstrak, musik juga adalah sebentuk produksi dari : M-C-M’ . Dari aspek inilah sebetulnya lagu Kijing Miring bisa jadi adalah sama profannya dengan ‘Afghanistan Land Of Jihad’-nya Cat Stevens.
Begitu hebatnya mesin industri bekerja membuat benang merah terkait hal apapun yang bisa menjadi kelaziman publik, marketable dan tentu saja sebagai produk ia bisa dikonvergensikan dengan apapun agar pas dengan persepsi publik. Bila musik metal ala Led Zepellin problematis dengan telinga Indonesia, maka kombinasikanlah dengan irama melayu, tambahkan dengan sedikit ramuan dakwah, dan muncullah … Rhoma Irama. Bila penyuka musik Underground keberatan dengan muatan problematis di musik underground—ateisme, sex bebas, alkohol dan narkoba, silahkan tambah sendiri dengan dakwah atau bahkan beberapa ideologi talibanisme, maka Anda akan mendapati Purgatory atau Ombat Tengkorak yang mempelopori One Finger Movement (saat ini Ombat adalah anggota Tim Pengacara Pembela Abu Bakar Ba’asyir).
Maka jika Anda termasuk orang yang suka mutlak-mutlakan, siapkan peluru epistemologi yang banyak dan tanpa batas ketika melihat orang yang memiliki skandal seks menyanyikan lagu religi; lagu dakwah tauhid dinyanyikan dengan vokal growl-scream dengan penonton yang ber-moshing ria dan head banging; atau musisi gangsta rap yang tiba-tiba terpesona perjuangan Abdullah Azzam dan tiba-tiba menjadi pelopor nasyid seluruh dunia. Apapun itu, ingatlah bahwa semuanya produk industri yang serius disuntikkan lewat bermacam-macam ideologi sebagai kulit muka, dinyanyikan bermacam-macam orang dengan 1001 latar belakang. Liberalisme ditunggangi untuk mendakwahi, atau sebaliknya agama yang ditunggangi akumulasi kapital..
Saya pribadi, pada prinsipnya ya silahkan saja, selama kita menyadari narasi dasarnya bahwa di luar konten yang mereka nyanyikan, sirkuit kapital adalah sirkuit kapital—dan itu tidak akan berubah hanya dengan menjadikan perwajahan Syaitan berubah bentuk menjadi perwajahan Malaikat. Bagian paling cerdas—dan destruktif—dari Kapitalisme sebetulnya adalah membuat Anda (merasa) tetap menjadi diri anda sendiri, dengan segala kebisaan ataupun justru ketidakbisaan, tidak peduli anda seorang ateis atau religius, taat atau bejat, kapitalisme bisa mengekspolitasi sama efektifnya atas nama Asia Carera ataupun Jihad Fisabilillah. Pendeknya, hanya Tuhan dan kemudian para kapitalis yang tidak peduli kepada rupamu, bedanya Tuhan hanya melihat amal ibadah, Kapitalisme hanya melihatmu sebagai bagian dari pasar. Selama pasar menginginkan, segala sesuatu bisa diadakan.
Dalam konteks kebudayaan, tidak ada yang bisa mengendalikan injeksi motivasi akumulasi laba kecuali kesadaran pribadi untuk tidak menjadi pribadi yang dikorbankan dihadapan kepentingan laba, entah bagaimanapun itu caranya..
Pada akhirnya ketika bentuk menjadi tidak lagi relevan, substansi mengambil peranan dan polanya seringkali selalu selaras dengan gerak alam serta tentu sejalan dengan hukum perubahan. Apa-apa yang dalam konteks sensasi anak muda relevan dilakukan, maka pada tahap selanjutnya perlu strategi hidup yang berbeda juga. Orang muda selalu menyukai sensasi dan hingar bingar ‘If It’s Too Loud, You’re Too Old’, pada titik yang lebih dewasa mungkin akan menjadi pengusaha. Dan ketika kedewasaan itu makin matang, mendekatkan diri pada Tuhan adalah pilihan berikutnya. Bila pada masa mudanya AKA meneriakkan: ‘Do You Like Sex?’ dan dijawab ‘Yes’, maka pada momen yang lebih dewasa mereka tidak perlu mencari sensasi sejauh itu. Mereka telah menjadi pengusaha dan selanjuitnya cukup matang untuk menjadi ustadz atau pendeta. Di masa muda membentuk band Jeruji, sedikit dewasa membuat Bakso Mang Tatoo, mungkin kedepannya kita bisa melihat Them Fuck menjadi ustadz ataupun ulama.
Namun demikian, yakinlah, tentu saja tidak semua gerak kapital adalah busuk dan tidak semua motif bertindak semua orang bisa disederhanakan menjadi kepentingan Akumulasi Kapital (toh, siapa pula yang bisa mengetahui motivasi keseluruhan?). Hanya saja, ketika melihat berbagai bentuk pada budaya populer apalagi pada musik, cobalah juga untuk melihat keteraturan dasarnya dan tidak perlu terlalu tegang melihat perwajahannya. Nikmatilah sejauh mana bisa dinikmati. Dengan begitu anda tidak harus kerapkali terguncang melihat kontradiksi kehidupan pribadi dengan pesan yang disampaikan, atau tergoncang melihat kegilaan sesaat ataupun kesalehan dibalik selembar jubah dan sorban, seperti ketika Anda melihat orang yang menggoda Anda melalui intro lagu ‘Shake Me’ adalah orang yang sama yang menyanyikan lagu ‘Rukun Islam’ pada kesempatan lain.
Anda juga tidak perlu syok melihat inkoherensi telanjang tentang bagaimana sebuah nilai moral diperjuangkan lewat sebuah lirik ‘135 Juta’ oleh Rhoma Irama saat menjadi propagandis Orde Baru, namun di momen yang lain ia mengatakan hal yang berbeda 180 derajat ketika menjadi propagandis Fauzi Bowo pada pilkada 2012 Jakarta lewat mimbar-mimbar jumat. Tentu saja anda tidak perlu juga tegang-tegang banget mencari tahu kenapa rocker seberbakat Deddy Dores pada masa muda hanya mengorbitkan lady rocker dengan dosis seperti Nike Ardila di masa selanjutnya. Karena di balik syair bergelora para musisi metal, di balik syair penuh cinta ilahi penyanyi nasyid, besar kemungkinan ada tagihan listrik, biaya anak sekolah dan harga beras yang sama jumlahnya, dan ini tentu harus lebih diselesaikan segera, secepatnya! Baik struktural maupun kultural kawan…
List Musik
- Shake Me: AKA
- Rukun Islam: AKA
- Lonteku: Iwan Fals
- Kijing Miring:Anonim
- 135 Juta: Rhoma Irama
- Topeng: Peter Pan
- This Is The New Shit: Marlyn Manson
- Afganistan Land Of Jihad: Cat Steven
- Puritan: Homicide
- Ya Thayba: Hadad Alwi