Lagu lama berulang. Pemerintah bermaksud mengimpor beras sebanyak 500 ribu ton untuk 2007. Entah mengapa, pemerintah yang selalu ambigu mengambil keputusan dalam banyak hal (seperti polemik PP No. 37/2006), tetapi bergeming untuk masalah impor beras kendati banyak protes.
Uniknya, banyak daerah mengatakan stok beras cukup, bahkan berlebih. Tak kurang Menteri Pertanian Anton Apriantono pun mengatakan bahwa stok komoditi itu cukup. Lalu, dimana letak masalahnya?
Kita kesulitan menganalisis karena statistik beras tak transparan. Contohnya, Menteri Perdagangan Mari Pangestu di televisi mengatakan bahwa stok beras cukup, namun untuk mengantisipasi kemarau, diperlukan impor. Ketika ditanyakan berapa sebenarnya stok beras Badan Urusan Logistik (BULOG), ia tak mau menjawab. Kita bertanya, mengapa harus disembunyikan?
Untuk mengupas masalah beras, dapat digunakan pendekatan teoretis. Pertama, sebagai bahan pokok, beras memiliki permintaan yang inelastis terhadap perubahan harga. Artinya, naik/turun-nya harga berpengaruh relatif sangat kecil terhadap perubahan permintaan. Hal itu karena orang tak akan secara signifikan menambah atau mengurangi konsumsinya, kendati harga berfluktuasi. Berdasarkan pertimbangan itu, maka sudah selayaknya beras tak diserahkan pada mekanisme pasar, melainkan diatur (administered) oleh pemerintah guna stabilisasi supply, harga beli, distribusi, dan tentunya harga jual, agar tak memiskinkan petani.
Sayangnya, reformasi struktural resep International Monetary Fund (IMF) justru bertentangan dengan pertimbangan teori ekonomi di atas. Dengan alasan korupsi yang berurat berakar di BULOG, maka beras diserahkan pada mekanisme pasar. Padahal, sifat permintaan beras yang inelastis sangat rawan spekulasi. Akibatnya, kendali harga tak lagi pada pemerintah, melainkan di tangan para pemburu rente.
Kedua, dari sisi penawaran. Seperti telah disinggung, hal ini sulit dianalisis karena ketiadaan statistik beras yang dapat diandalkan. Namun, berpegang pada pernyataan-pernyataan banyak daerah seperti diatas, saya meragukan bahwa kita mengalami kesulitan pada sisi penawaran. Bila pun ada, hal itu bersifat musiman. Artinya, bila kita mengalami kekeringan yang panjang, atau musim hujan yang berlebihan, maka mungkin saja terjadi masalah. Akan tetapi, hal ini sesungguhnya tak memerlukan solusi jenius. Cukup kembalikan peran stabilisasi BULOG melalui kebijakan Buffer Stok Policy (menyimpan stok saat panen raya, dan melepasnya saat kekeringan), maka masalah dapat dipecahkan.
Solusi lainnya adalah peningkatan produktifitas petani dengan intensifikasi pertanian dan peningkatan insentif petani. Intensifikasi ditempuh dengan riset bibit-bibit padi unggulan sehingga tiap panen raya dapat dihasilkan produksi yang lebih besar. Langkah dan inisiatif sebagian pihak di Kabupaten Tobasa, misalnya, dengan menanam bibit padi Pandan Wangi sehingga meningkatkan produksi, merupakan hal yang sangat patut ditiru dan dikembangkan di daerah-daerah lain.
Ketiga, dari sisi permintaan. Makanan pokok penduduk kepulauan Indonesia sesungguhnya beragam. Penduduk di Jawa dan Sumatera, memang umumnya mengkonsumsi beras. Akan tetapi, penduduk di timur Indonesia sejak lama bermakanan pokok sagu, dan di belahan tengah Nusantara cenderung memilih jagung. Sayangnya, keanekaragaman itu dihilangkan pada 1980-an oleh rejim Orde Baru dengan ‘beras-isasi’ makanan pokok. Akibatnya, beras menjadi satu-satunya makanan pokok hampir seluruh penduduk Indonesia.
Pemecahan terhadap hal itu bersifat jangka menengah-panjang, yaitu rediversifikasi pangan. Masyarakat harus diperkenalkan dengan berbagai jenis makanan yang layak dan dapat dijadikan bahan pokok, seperti jagung, gandum dan lain sebagainya. Dengan diversifikasi itu, diharapkan permintaan beras dapat lebih elastis sehingga spekulasi harga pun dapat diminimalkan.
Masih banyak cara lain yang dapat ditempuh, khususnya dalam meningkatkan insentif petani melalui micro-financing, stabilitas harga pupuk, pertanian kolektif, dan lain-lain. Tak perlu seorang jenius, melainkan komitmen dan kesungguhan untuk kedaulatan pangan. Impor bukan solusi, kecuali bila motifnya mencari keuntungan dari carut-marutnya pasar beras saat ini.
Martin Manurung