KITA TENTU TAK BISA LUPA, beberapa tahun belakangan, membicarakan perasaan pribadi kita secara publik atau membuka masalah-masalah privat di ruang publik merupakan hal yang janggal secara sosial. Kita akan merasa malu kalau orang lain tahu urusan pribadi kita. Namun, pada era media baru hari ini, kita melihat gambaran yang sama sekali berbeda. Media sosial kini penuh sesak dengan konten kehidupan privat, dari gambar menu makan siang, ekspresi kejengkelan, mengasihani diri, doa dan harapan personal, makian vulgar, komentar nyeleneh yang bertele-tele, sampai informasi yang maha penting seperti punggung yang gatal tapi tak bisa digaruk. Kita tak butuh berusaha terlalu banyak untuk mendapatkan ekspresi-ekspresi macam ini di media sosial. Konten privat yang remeh macam ini semakin lama semakin menjadi.
Spesies konten privat yang akan kita diskusikan dalam tulisan ini adalah konten yang memiliki efek dramatis. Satu hal yang perlu dicatat, bukan konten privat per se yang akan menjadi fokus diskusi kita, melainkan hanya sejauh konten privat tersebut di-post secara publik oleh semacam subjek berdasarkan cerita personal subjek itu—drama kehidupan pribadi. Memiliki kehidupan dramatis adalah satu hal, namun membuatnya menjadi publik adalah hal yang berbeda dan menarik untuk ditinjau lebih jauh. Semua orang suka drama—cerita personal, kemalangan, kebahagiaan, kesedihan, romansa, dan erotika. Orang juga suka berbagi cerita-cerita ini dengan orang-orang terdekatnya. Tapi menceritakan hal-hal seperti ini seenaknya, di depan publik, tanpa tahu persis siapa yang mendengarnya—ini fenomena baru dalam sejarah.
Artikel ini berusaha menyusun pemahaman awal mengenai fenomena baru ini dengan melihat pengguna media sosial Facebook dan Twitter. Tujuan umum tulisan ini adalah untuk menyejarahkan fenomena “publikasi privasi” dalam bentang darat media baru. Menyejarahkan yang kami maksud di sini adalah upaya untuk mensituasikan kemunculan fenomena ini dalam konteks sosial yang lebih luas, untuk kemudian menyarikan implikasi sosialnya. Secara spesifik, kami akan mensituasikan fenomena tersebut dalam kapitalisme neoliberal, terutama dalam bagaimana ia menciptakan semacam subjektivitas yang berguna untuk menguatkan dan mengasingkan sistem dalam kehidupan sehari-hari dan, dalam pembahasan kita, dalam kapitalisme komunikatif kita hari ini. Pembaca juga mesti menyadari bahwa diskusi kita bukan hanya untuk mendeskripsikan situasi, namun yang lebih penting juga untuk menyudi kemungkinan-kemungkinan mengubahnya.
Dengan ambisi ini, diskusi kita akan dibagi dalam empat bagian. Pertama, dengan mengamati dinamika dalam kedua media tersebut untuk kemudian mencari tahu subjek macam apa yang didefinisikan oleh aktivitas dramatis di dalamnya. Aktivitas ini akan disebut sebagai dramatisasi. Teori hasrat dan sublimasi Jacques Lacan akan digunakan sebagai lensa yang darinya konsep dramatisasi dikembangkan lebih jauh. Melalui teori tersebut, dramatisasi dilihat sebagai sebuah moda berhasrat yang spesifik dalam era media baru kita. Dalam bagian kedua, artikel ini akan memperluas hipotesis genealogi Michel Foucault tentang noliberalisme bahwa dramatisasi adalah konsekuensi lebih jauh dari demokrasi kapitalis-neoliberal (DKN). Gagasan “privatisasi” menjadi salah satu fokus dalam memahami aktivitas homo economicus neoliberal. Bagian ketiga mencoba melihat dramatisasi sebagai sesuatu yang menyerupai kerja, yang dilakukan dengan sesuatu yang menyerupai tenaga kerja, menghasilkan sesuatu yang menyerupai nilai, dibayar dengan sesuatu yang menyerupai upah, dan dengan demikian membentuk sesuatu yang menyerupai kelas baru: kelas dramatis. Dengan menempatkan diskusi ini dalam palingan afektif dari teori sosial, akan tampak bahwa kelas dramatis ini dipenuhsesaki oleh manusia yang kapasitas afektifnya direnggut oleh Modal melalui konstelasi teknologi media baru yang demikian kompleks. Kelas dramatis tidak memiliki otonomi afeksi, ia hanya memiliki kebebasan afeksi artifisial di dalam arus media baru yang di bangun oleh algoritma yang demikian ruwet. Kami, sebagai penulis, berharap bagian terakhir tulisan ini menyediakan penutup yang berguna dalam pembahasan implikasi tesis tersebut, serta kemungkinan baru dalam mengarahkan kapasitas afektif kita melalui bangunan media baru untuk membawakan babak pamungkas dalam drama sistem kapitalis-neoliberal.
Drama, Dramatisasi, dan Subjek Dramatis
SEBELUM berlayar dalam diskusi teoretik yang abstrak, kami ingin pembaca menyicipi hidangan yang akan kami teorikan. Contoh acak dari Twitter, seorang “selebtweet” @radityadika pernah bercuit,
“Kucing gue kasian deh, makin tua makin susah dapet pacar soalnya dia udah kapok dikecewain terus”
Kalau ada orang dari tahun 1950an berpelancong dalam mesin waktu ke hari ini dan membaca twit ini, ia pasti mengira kucing @radityadika adalah kucing yang sangat penting, kucing istimewa, atau memiliki kualitas tertentu yang layak diperhatikan publlik. Orang itu pasti bakal keliyengan ketika berusaha memahami kata-kata berikut dengan terlampau serius: “Susah dapet pacar? Dikecewain terus? Kucing? Kampre…”
Contoh acak lain dari teman Facebook kita (yang tidak serta-merta berarti benar-benar teman kita),
“Semalam mimpi naik angkot bareng AyenJKT48 dari Tokyo ke Yokohama buat event hensek. Supirnya cw cakep yang mirip Sakura Mana <3.”
Kita tentu tahu lelucon garing membosankan yang jamak diketahui orang Indonesia, ketika seseorang bercerita (terkadang sangat panjang) hal yang tak punya relevansi dengan orang yang diajaknya bercerita, lalu ditanya, “Siapa?” yang kemudian dijawab dengan, “Gue” (kalau cerita itu tentang dirinya), lalu ditimpali dengan sangit, “Siapa yang tanya!?”
Tek-tok ini barangkali bisa dipakai untuk menanggapi post Facebook di atas—publik tidak peduli mimpi basah apa yang dimiliki kawan kita itu. Tapi tetap saja, kita tidak bisa menolak post tersebut untuk tampil di laman Facebook kita sejak mulanya. Kabar baiknya, post semacam itu sering kali datang dengan gambar!
Sudah cukup kita mengumbar contoh publikasi privasi yang memiliki konten dramatis. Lalu, makhluk macam apakah drama itu? Apa yang membuat sebuah drama menjadi drama? Apabila kita lihat teks kanon sosiologi Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, kita bisa bilang bahwa sebuah subjek melakukan drama dalam panggung utama sosial sebagai strategi untuk mendapatkan ekspektasi, norma, dan nilai yang tertanam dalam masyarakat. Pendekatan dramaturgi Goffman menunjukkan bahwa identitas adalah sebuah peran yang dijalankan subjek dalam konteks spasio-temporal yang spesifik. Identitas, dengan demikian, dilihat sebagai sesuatu yang cair, tergantung pada konteks interaksi sosial. Ada identitas asli subjek yang bersembunyi di belakang layar, selalu terpendam (atau teredam) dari mata publik. Polah subjek yang tersembunyi ini tentunya berbeda dari apa yang ia perankan di tengah panggung. Yang dimainkan subjek di panggung sosial adalah “drama”.
Dari bidang kajian drama, kita memahami bahwa tujuan drama adalah menyampaikan cerita pada sekumpulan audiens. Penyampaian ini dilakukan dengan melakukan semacam karakter dramatik, melalui plot yang berjalan menuju akhir tertentu.
“Tujuan sebuah drama adalah membuat audiens mempersepsikan apa yang secara intuitif disebut sebagai sebuah ‘cerita’ dengan menampilkan tindakan-tindakan beberapa karakter (dalam konflik); tindakan-tindakan yang diatur dalam sebuah plot; plot itu bergerak menuju satu tujuan. Nosi tentang tujuan, karakter (juga disebut dramatis personae) dan plot, yang bisa ditelusuri dalam berbagai literatur tentang analisis drama, adalah tiga komponen dari jenjang pengarahan dalam [analisis drama].”[1]
Namun, apa yang membuat audiens mau duduk dan menonton drama? Pemain drama mesti selalu sadar bahwa drama mereka hanya akan mendapat audiens sejauh drama itu menarik buat audiens. Kalau tidak, mereka hanya akan bermain untuk bangku-bangku kosong. Pemain drama, dengan demikian, mesti bisa membuat dan memainkan sebuah cerita yang cukup kuat sedemikian rupa untuk menenggelamkan penonton dalam cerita. Dengan kata lain, drama mesti punya kemampuan mengundang penonton untuk menemukan diri mereka sendiri dalam drama itu. Inilah alasan pemain drama yang baik sangat lihai dalam mengubah cerita personal menjadi cerita yang relevan bagi publik. “Penyair dan dramatis, sangat jauh dari pengkhayal yang terpencil, adalah pembangun dan pencipta kedalaman manusia serta interior manusia baru yang berhubungan dengan semesta,” tulis William Lynch.[2] Semakin kuat drama menarik penonton, semakin luas pula pengaruh cerita tersebut dalam kehidupan sosial.
Namun demikian, apabila kita melihatnya dari perspektif psikoanalitik yang disediakan oleh Jaqcues Lacan, persoalannya menjadi lebih rumit. Logika dramatisasi memiliki kecocokan sempurna dengan nosi “sublimasi” Lacan yang ia bahas dalam Seminar 7: Etika Psikoanalisis. Sublimasi, menurutnya mengikuti Freud, adalah sebuah moda berhasrat spesifik yang berjalan dengan mengalihkan dorongan libidinal personal kepada objek atau ekspresi yang bernilai secara sosial. Sublimasi “menciptakan nilai-nilai yang dikenal secara sosial.”[3] Mekanisme inilah yang bermain ketika, misalnya, seorang subjek menghibur dirinya sendiri bahwa pembunuhan-pembunuhan yang akan ia lakukan adalah pembelaan agama yang bisa dijustifikasi. Pengakuan sosial memainkan peran penting dalam teori kedua psikoanalis tersebut. Namun buat Lacan, berbeda dari Freud, pengalihan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan objek yang dihasrati, melainkan status objek yang dihasrati.[4]Dengan sublimasi, objek yang dihasrati akan dinaikkan derajatnya menjadi “melampaui-yang-ditandai” (beyond-the-signified),[5]yaitu menjadi objek sublim. Tanyakan saja sembarang partisipan naif gerakan Earth Hour, mereka akan bilang bahwa tindakan mematikan listrik untuk satu jam (objek yang dihasrati) sebagai sebuah pertolongan besar bagi ibu bumi (objek sublim) yang lindap (tapi tolong kasihani mereka dengan tidak bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi secara logis).
Sebagai sublimasi, dramatisasi dengan demikian adalah tindakan memanggungkan cerita personal dengan membalutnya dalam nilai-nilai yang diterima secara sosial sedemikian rupa sehingga bisa menarik perhatian liyan. Subjek yang melakukan tindakan dramatisasi ini adalah apa yang kita sebut sebagai subjek dramatis. Dramatisasi terdiri atas gerakan memfiksikan plot atau cerita, membubuhinya dengan konten yang relevan secara sosial, dan mempertunjukkannya secara publik. Subjek mengambil peran, suatu posisi, di dalam plot yang sudah menjadi fiksi tersebut. Dengan demikian, dramatisasi adalah juga suatu bentuk aktif subjektifikasi, dalam arti seorang subjek dramatis membuat usaha artistik (menciptakan dekorasi fiktif, menggubah alur cerita, membuat peran, mencari kalimat-kalimat yang rancak, dst.) untuk menjadi sebuah persona, ego yang diidealkan. Meski demikian, tujuan dramatisasi bukan sekadar menjadi subjek atau persona yang dihasrati. Sebagaimana subjektifikasi pada umumnya, objek yang paling dihasrati oleh subjek saat melakukan dramatisasi adalah apa yang ia harap akan dapatkan dengan, dan hanya dengan, mengenakan suatu persona. Dengan kata lain, subjek mengambil kesenangan dengan menjadi medan perhatian. Hal ini mengemuka dengan gamblang dalam bentang media baru kita. Ketika kita mengutip satu larik dari buku tebal Karl Marx, misalnya, sering kali yang kita hasrati bukanlah implikasi dari kata-kata Marx, melainkan bagaimana orang melihat kita ketika kita mengutip kata-kata Marx.
Dengan demikian, dalam kosmologi dramaturgi Goffman, seorang subjek memberi pertunjukan yang baik di panggung bukan hanya karena ia mesti berpura-pura menyerahkan diri pada sekumpulan norma yang diterima secara sosial. Lebih daripada itu, seorang subjek hanya bisa memperoleh identitas dengan mempertunjukkan peran sosial itu. Namun kita tak boleh terkecoh; tujuan utamanya bukanlah identitas ini, melainkan hasrat narsistik untuk dikenal, diterima, dan bahkan dicintai ketika subjek tersebut memakai sebuah identitas, sebuah peran sosial. Hal ini menantang asumsi lama kita bahwa, entah bagaimana caranya, sebuah subjek dramaturgi masih menyimpan identitas autentiknya di gelapnya belakang panggung, sambil memakai topeng peran sosial yang spesifik di terang panggung sosial. Tidak. Subjek justru hanya bisa memiliki identitas di atas panggung. Di belakang topeng sosial yang ia kenakan, di belakang panggung, hanya ada kosong.
Tentu, secara de facto, seorang subjek telah memiliki segepok identitas (ras, agama, ideologi, dst.) sebelum menjalankan sebuah peran sosial. Namun, untuk memastikan, sebuah identitas diperoleh hanya dalam panggung utama sosial, hanya disematkan oleh liyan. Tanpa liyan, tak akan ada identitas. Hanya dalam hubungannya dengan liyanlah subjek bisa memperoleh identitas. Apabila hal ini dipenuhi, kita bisa meninjau segepok identitas yang dimiliki subjek sebelum ia menjalankan peran sosial, dan bertanya: apakah segepok identitas ini ada begitu saja di sana sebelum subjek memainkan sebuah peran di panggung sosial? Kita tidak perlu bertanya dua kali untuk menjawab “tidak”. Identitas diperoleh ketika subjek memasuki relasi spasio-temporal (baca: panggung) dengan liyan. “Liyan” ini tidak mesti manusia; ia bisa juga ide, benda-benda, bahasa, imaji, dst.—semua yang merupakan exterior subjek. Seorang Jawa bisa saja menjadi Jawa ketika ia memasuki relasi dengan sekumpulan manusia, berbagi sekumpulan praktik sosial, dan membalut diri mereka dalam sebuah narasi tentang bangsa. Hal yang serupa terjadi di antara perokok, yang hanya menjadi perokok ketika ia masuk dalam relasi dengan lintingan tembakau bernama rokok.[6] Di luar relasi-relasi ini, subjek adalah entitas yang tak bisa dikenali, sebuah kekosongan. Namun, kekosongan yang menghasrati identitas (Yosie mendiskusikan topik ini secara mendalam dalam Asal-Usul Kedaulatan).
Implikasi lain dari hal ini berhubungan dengan status liyan dalam proses dramatisasi. Liyan, dalam kasus kita, mengejawantah dalam figur penonton. Siapakah mereka? Apakah mereka sekadar orang-orang yang menonton pertunjukan dramatik? Tidak. Apabila kita meremehkan peran penonton sebagai “mereka yang menonton”, kita tidak hanya gagal mengenali status perhatian penonton sebagai objek hasrat subjek, namun juga meninggalkan fakta bahwa penonton sebenarnya tidak perlu ada sama sekali! Subjek mendramatisasikan pertunjukan dengan mengambil peran tertentu sama sekali bukan karena ia menghargai peran bodoh itu. Sebaliknya, subjek mau memerankan peran tertentu hanya karena ia berharap akan ditonton penonton. Penonton diharapkan untuk menonton, inilah yang dihasrati subjek dramatis. Memang, “menonton” bisa diterjemahkan dalam kosakata Facebook dan Twitter sebagai “like”, “reply”, “comments”, “retweet”, “favorite”, “share”, dst.
Namun kemudian apa maksud dari pernyataan bahwa penonton tidak mesti ada? Kita bisa mengambil contoh demam panggung. Ketika seseorang berlatih drama, ia akan melakukannya berkali-kali tanpa penonton sungguhan, namun dengan keseriusan tinggi seolah-olah bangku penonton penuh sesak. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa penonton drama menyerupai apa yang Lacan sebut sebagai subjek yang dibayangkan.[7] Penonton ada dalam fantasi dan menjadi kondisi fundamental yang darinya pertunjukan dramatik menjadi bermakna. Tanpa fantasi tentang penonton ini, tidak akan ada drama sama sekali. Namun bukan hanya keberadaan penonton yang difantasikan, predikat penonton itu sendiri juga hasil fantasi. “Tontonan” dari penonton hanyalah andaian subjek ketika ia mempertunjukkan dramanya. Sudah jelas bahwa penonton adalah subjek andaian yang diandaikan menonton subjek dramatis.
Kami berharap penjelasan tentang dramatisasi dalam sudut pandang sublimasi psikoanalitik Lacanian ini cukup untuk mempersenjatai pembaca dalam memahami sarkasme yang kami temukan di internet ini: “Kami dinasehati orangtua kami untuk tidak bicara pada orang asing. Sekarang, dengan Twitter, kami bahkan bicara dengan orang yang kami sendiri tidak yakin apakah dia benar ada atau tidak”. Yang baik—kalau ada yang baik—dari hal ini adalah bahwa Twitter mengajari kita untuk menjadi optimistik: teruslah ngetwit bahkan kalau kita tidak tahu apakah benar ada orang yang membacanya. Atau membalasnya. Atau me-retweet-nya.
Dari Demokratisasi hingga Dramatisasi
BEBERAPA dari kita mungkin bertanya, apa urusannya demokratisasi dengan dramatisasi? Dramatisasi bisa jadi konsekuensi lebih lanjut, kalau bukan ekses, dari demokrasi neoliberal. Dalam bagian ini, kita tidak akan mendaku bahwa dua fenomena tersebut memiliki hubungan penyebaban langsung. Kita akan menaruh dugaan bahwa demokratisasi dan dramatisasi adalah dua peristiwa terpisah yang bertubrukan dalam lingkungan media baru kita hari ini. Kami akan mengelaborasikan bagaimana demokrasi neoliberal lanjut, dengan janji tentang kebebasan, partisipasi, serta homo economicus neoliberal yang ia butuhkan, punya andil besar dalam membentuk kemungkinan subjek dramatis—yang mempertunjukkan dramatisasi, karena dramatisasi adalah tindakan—untuk ada sejak mulanya. Bagian ini akan mengelaborasikan dramatisasi sebagai tindakan yang didukung oleh munculnya subjek dramatis dalam demokrasi neoliberal.
Untuk bisa sampai pada klaim tersebut, kita mesti mulai dari asumsi dasar bahwa kapitalisme neoliberal bukan hanya mengurusi produksi aktivitas ekonomi. Pengaruhnya menjalar lebih jauh dalam produksi relasi sosial—tentang rasionalitas, subjektivitas, bahkan gaya hidup. Dengan demikian, logika pasar akan mengemuka dalam masyarakat itu sendiri. Rekonstruksi sosial tentang kedirian ini—atau sebagian dari kita menyebutnya moda kepemerintahan baru[8] (suatu sikap atau mentalitas)— menciptakan kondisi sosial untuk mendukung produksi ekonomi dalam konteks neoliberal yang di dalamnya manusia diatur, mengatur dirinya sendiri, serta mengontrol satu sama lain.[9] Dalam The Birth of Biopolitics, Michel Foucault menyebut tipe subjektivitas ini sebagai homo economicus neoliberal. Untuk memahami hal ini lebih lanjut, kami akan mengelaborasikan apa itu homo economicus neoliberal secara singkat.
Homo economicus adalah istilah yang menempatkan manusia sebagai subjek ekonomi, membuat pertukaran sebagai dasar matriks sosial. Subjektivitas inilah yang dimiliki oleh liberalisme klasik maupun neoliberal. Liberalisme klasik menekankan nosi pertukaran dalam aktivitas manusia; karena seseorang bisa menukarkan barangnya begitu saja dan membiarkan pasar berjalan dengan sendirinya. Kebijakan laissez-faire yang mensyaratkan negara tidak mengintervensi “tangan gaib” pasar punya hubungan langsung dengan logika liberalisme klasik. Yang membedakannya dari neoliberalisme ada pada nosi tentang kompetisi.
Pergeseran ini terjadi karena, sementara pertukaran dianggap alamiah dalam liberalisme klasik, kaum neoliberal abad ke-20 memandang kompetisi sebagai relasi artifisial yang harus dipelihara, untuk menguatkan pasar dari ancaman monopoli dan intervensi negara dalam bentuk apa pun. Yang dimaksud Foucault sebagai homo economicus “neo”-liberal adalah pergeseran subjektivitas yang tak lagi menempatkan pertukaran sebagai dasar (base), melainkan kompetisi, dari subjek ekonomi neoliberal. Homo economicus neoliberal dengan demikian adalah suatu jenis subjektivitas yang bersedia dan secara otomatis menopang logika pasar neoliberalisme melalui pengaturan-diri tanpa campur tangan negara, karena logika pasar itu sendiri telah terinternalisasi sebagai identitas mereka. Subjek-subjek ini rela bertindak seperti itu karena, jika dipikir secara rasional, akan sangat merugikan bahkan mustahil untuk berpaling dari konsep hak dan kebebasan individu yang dihadirkan dalam logika pasar neoliberalisme. Kondisi kebebasan bagi subjek-subjek tersebut untuk menjalankan logika pasar adalah ihwal yang selama ini dipelihara oleh negara, yakni demokrasi.
Secara umum, demokrasi dipahami—atau direduksi besar-besaran—sebagai partisipasi dan kebebasan individu. Namun definisi lainnya tentang demokrasi—terutama yang dirumuskan oleh Friedrich A. Hayek—berbunyi “demokrasi pada dasarnya adalah sebuah alat, perangkat utilitarian untuk menjaga kedamaian diri serta kebebasan individu.”[10]Homo economicus neoliberal yang melekat pada logika pasar akan berpikir bahwa kondisi yang dihadirkan oleh demokrasi adalah baik—bahkan benar secara moral: Kenapa sih gagasan partisipasi individu dan kebebasan harus ditolak? Orang kan bebas berekspresi, berpartisipasi, menjadi bagian dari dunia ini. Hak Asasi Manusia pun dijaga.
Masalahnya, ketika cara berpikir seperti ini diterima sebagai kewajaran, di situlah neoliberalisme mencengkeram diri kita.
Sejujurnya, yang dipertaruhkan di sini bukan hanya dimensi moral dari permasalahan di atas, bukan hanya soal “baik atau buruk”. Yang juga dipertaruhkan ketika orang sepakat bahwa konsep otonomi yang dihadirkan dalam kebebasan ini adalah sekadar kebebasan untuk memilih. Namun persis di sinilah homo economicus neoliberal menginternalisasi logika pasar. Artinya, homo economicus adalah mahluk rasional yang menimbang untung-rugi untuk jangka waktu ke depan, semacam investasi saja—mirip seorang wirausahawan yang merdeka dan sepenuhnya berhak memanfaatkan (atau dalam istilah yang lebih tepat, menginvestasikan) kapitalnya. Orang mungkin akan bertanya: kapital apa yang mereka punya? Jawabannya: diri mereka sendirilah yang menjadi kapital—kapital manusia (human capital). Lebih tepatnya, yang menjadi kapital manusia adalah “sumber daya immateriil” dalam diri (“immaterial resources” of the self) yang bersifat afektif dan kognitif.[11] Dalam cakrawala kapital manusia, hidup akan dipandang sebagai karir, sebagai investasi kehidupan yang berlaku sepanjang hayat.
Lebih sederhananya, homo economicus neoliberal sebagai sebuah subjek dalam demokrasi, dikondisikan supaya bersikap mandiri dan agentif supaya mampu mengatur dirinya sendiri, baik sebagai kapital sekaligus sebagai tata cara investor. Yang menarik adalah apa pun yang dilakukan subjek ini: ketika ia mengonsumsi, ia juga memproduksi, ia memerintah sekaligus diperintah, mengonsumsi sembari memproduksi, ia kapitalis sekaligus proletariat. Ini akan lebih memaksa homo economicus neoliberal untuk sekadar bertindak—untuk mengonsumsi, berinvestasi, untuk aktif. Karena ketika mereka melakukan aktivitas-aktivitas ini, mereka sedang memproduksi dan memperoleh keuntungan kapital (diri). Hal ini memberikan mereka kesan partisipasi, kesan melakukan sesuatu, semacam pencapaian dan perasaan penting dalam lingkungan yang demokratis. Sebuah “fantasi partisipasi,” kira-kira demikian yang akan dikatakan Jodi Dean.[12]
Perspektif ini memungkinkan seluruh aktivitas—bahkan yang kelihatannya tidak produktif—untuk diteoretisasikan sebagai corak investasi kapital.[13] Itulah sebabnya Foucault mengatakan bahwa homo economicus neoliberal adalah wirausahawan atas dirinya sendiri.[14] Mereka cukup memilih secara rasional lalu bertindak seturut pilihannya itu—betapapun tindakan tersebut tak berkesan penting, sementara tindakan tersebut akan mengasilkan perolehan kapital yang akan kembali ke diri sang subjek.
Dalam sistem demokrasi neoliberal, manusia adalah individu yang otonom. Ia bebas memilih apa yang bisa dipelajari, bebas bicara di publik, bebas memilih mau berteman dengan siapa (dalam hal berjejaring sosial), bebas memilih pasangan menikah, dan bahkan bebas memilih makanan apa yang hendak disantap. Yang dilakukan hari ini adalah investasi untuk hari esok. Segala sesuatu dipikirkan sebagai upaya memaksimalkan investasi personal atas kapital manusia yang dimilikinya sendiri sehingga mampu bersaing dengan (kapital diri) orang lain. Individu dikondisikan dan didorong untuk aktif dalam pasar bebas seraya diminimalisir keterlibatannya di pemerintahan. “Kekuasaan untuk rakyat, sistem di mana rakyat mengatur diri mereka sendiri; demokrasi!” Mentalitas mandiri pada sistem ini membuat keaktifan—tentunya ini hak kita—menjadi suatu hal yang rasional. Pola pikir ini pun lantas membuat kita selalu berandai-andai: jika kita memilih untuk tidak aktif, kita akan rugi, akan kehilangan kesempatan yang sesungguhnya penting buat diri kita sendiri. Mengikuti mentalitas wirausahawan, homo economicus neoliberal yang dikendalikan oleh kompetisi akan selalu dihantui perasaan ditinggalkan orang lain yang juga terlibat dalam kompetisi tersebut. Homo economicus neoliberal dirongrong untuk selalu tampil: untuk berpartisipasi, menjadi agen pasar yang lebih agentif, bisa membuat keputusan, voluntaristik dan dinamis[15] oleh kehendak bebas mereka sendiri.
Jenis subjektivitas inilah yang akan terus aktif menyesuaikan diri dengan sistem. Tapi apa sebetulnya hubungan semua ini dengan dramatisasi?
Di sinilah semuanya saling terkait. Aktivitas baru bernama dramatisasi ini tercipta oleh demokratisasi –yang berperan sebagai kondisi yang memungkinkan partisipasi individu yang berbasis kebebasan untuk memilih—yang beriringan dengan jenis subjektivitas yang menghendaki peningkatan diri (self-improvement), partisipasi diri, investasi diri, dan pengaturan diri dalam fantasi partisipasi.
Bagian penting untuk digarisbawahi adalah, karena subjektivitas tersebut menganggap subjek sebagai individu otonom, di mana mereka mempertimbangkan segala sesuatu demi kepentingan pribadi mereka (setiap pilihan adalah investasi atas diri sendiri) maka mereka cenderung memprivatisasi segala hal—dalam artian, mereka menganggap segala sesuatu sebagai urusan pribadi. Privatisasi adalah aktivitas rasional homo economicus. Setiap pilihan dan setiap hal mereka anggap sebagai peluang; apapun yang mereka konsumsi dirasionalisasikan sebagai aktivitas—dengan kata lain, diprivatisasi. Mereka bisa menyaksikan bayangan diri mereka sendiri pada segala hal. Individualisasi yang kronis (untuk tidak menyebutnya narsistik) ini muncul saat para wirausahawan memprivatisasikan segala aspek kehidupan. Dramatisasi pada akhirnya adalah konsekuensi berlebihan dari aktivitas homo economicus neoliberal. Di sisi lain, potensi untuk mendramatisasi kehidupan pribadi mereka (karena kehidupan pribadi kapital dramatis) muncul beriringan dengan basis (base) homo economicus neoliberal.
Privatisasi segala hal, termasuk ruang-ruang publik, ada di jantung dramatisasi. Memahami tindakan dramatisasi adalah dengan menaruh segala hal dalam urusan personal, dan dengan demikian membuat nosi tentang agensi-diri dalam privatisasi menjadi variabel penting, ruang publik adalah situs yang dilihat sebagai gedung teater. Pada akhirnya, dengan logika neoliberalisme, pasar adalah situs untuk mengamalkan kebebasan ekspresi kita. Hal ini akan membuat ruang publik dipandang sebagai situs peluang untuk dimanfaatkan; situs-situs yang akan membantu merawat kedirian dalam kerangka investasi diri.
Subjektivitas semacam ini akan mendorong subjek dramatis untuk berpikir bahwa, dalam setiap aktivitas, mereka sedang menjadi bintang di bawah lampu sorot. Drama yang mereka buat dari sumber daya material mereka adalah hasil kerja dan investasi mereka. Ruang publik adalah sebuah teater di mana, seperti pasar, adalah situs untuk berkompetisi dengan individu-individu lain; dan ini termasuk media sosial. Keuntungan yang didapat termasuk perolehan-perolehan kultural dan non-moneter, sekaligus peningkatan dalam pendapatan dan pekerjaan, sementara ongkosnya biasanya tergantung terutama pada nilai waktu yang dihabiskan untuk investasi.[16] Ini artinya, perhatian, popularitas, simpati, atau sekadar respons saja (entah itu baik atau buruk) adalah hasil dari investasi drama semacam ini. Ini tergantung pada keuntungan apa yang diinginkan atau diharapkan untuk diraih dalam investasi dramatik, meskipun di sini kita bisa berargumen bahwa respons afektif adalah yang paling mencolok.
Kerja-drama: Melampaui Kerja Bebas
PADA bagian awal tulisan, kita telah mengelaborasi korelasi antara demokrasi dan media dalam menyediakan kondisi-kondisi untuk kemunculan subjektivitas tertentu, yakni subjek dramatis. Dalam pertaruhan kita, dramatisasi akhirnya bisa menjadi konsekuensi lebih jauh, jika bukan ekses, demokratisasi. Bukankah frase seperti “Silakan lihat-lihat, siapa tahu ada produk yang Anda suka di sini. Jika Anda tidak senang, Anda boleh pergi” yang sering terdengar di toko-toko dapat diparafrasekan menjadi, mutatis mutandis, “Jika Anda tidak suka postingan saya, Anda boleh mem-block/unshare/unfollow saya” telah menjadi “norma” yang umum dalam ranah media sosial kita? Artinya, apa yang dilakukan orang di sosial media, termasuk ketika ia sengaja mendramatisasi kisah-kisah pribadinya, sudah dikalkulasi secara sungguh-sungguh. Dalam bagian ini, kami akan menunjukkan bagaimana tindakan dramatisasi ini ditangkap dan ditransformasikan menjadi sejenis kerja dalam, menggunakan diagnosis Jodi Dean, kapitalisme komunikatif hari ini.[17] Kami berpendapat bahwa sebuah subjek dramatik bekerja untuk menghasilkan nilai dalam wilayah media baru yang kompleks, yang menjadikannya kerja, sehingga kita sebut “kerja dramatis”.
Media baru adalah sebuah fenomena yang mencurigakan. Kebangkitan media baru meningkatkan keterlibatan baru dengan isu-isu emosi dan afektivitas pada pertengahan dekade 1990-an. “Palingan afektif” dalam teori sosial, yang diantaranya diidentifikasi oleh Patricia Clough, menandai fokusnya di sekitar konsep kerja (dalam faktanya, jenis kerja yang berbeda) yang mulai populer bersamaan dengan dinamika media baru. Dari kerja afektif (Terranova, Hardt dan Negri), kerja emosional (Poynter), kerja immateriil, kerja bebas, kerja kreatif (Florida, Reich), kerja jejaring, kerja serabutan, dan seterusnya. Karena watak emosional yang melekat pada aspek “personal” manusia dalam kerja dramatis, kita akan membahasnya dalam kategori kerja afektif. Maka, bisa saja sah untuk mengatakan bahwa subjek dramatis, sebagai pekerja, mengerjakan kerja afektif, untuk memproduksi corak nilai afektif, yang mengkristal dalam corak produk yang afektif, demi menciptakan sebuah komoditas berupa efek afektif. Adalah corak nilai afektif ini yang juga diekspropriasi oleh kapital yang kemudian menjadikan pekerja dramatis sebagai proletariat yang kehilangan otonominya atas produksi afektif. Kita menyebutnya afektariat (affectariat).
Karena memiliki kedekatan dengan konsep psyche, kerja dramatis harus diperiksa dalam kaitannya dengan istilah-istilah yang sejenis seperti afek, emosi, perasaan, dan pikiran. Kami bersikeras bahwa psyche dan afek memiliki sinonimi, namun harus dibedakan dari emosi, perasan, dan pikiran. Lebih jauh, afek mesti juga meliputi tubuh dan pikiran. Baruch Spinoza, filsuf Belanda era Pencerahan, mengemukakan bahwa afek harus berada pada dua aspek yang otonom namun paralel; kekuatan pikiran untuk berpikir dan kekuatan tubuh untuk bertindak. Satu hal yang pasti, afek itu sendiri berbeda dari emosi; ia adalah tegangan yang tak terdamaikan antara tindakan dan gairah (passion) pikiran—tegangan antara kuasa untuk mempengaruhi sikap (to affect) dan untuk dipengaruhi (to be affected). Afek bersifat aktif; afek memungkinkan tegangan ini; sebuah relasi kuasa dimainkan dalam tegangan ini. Afeksi (affection) akan merujuk pada sentimen emosional dan perasaan dalam pikiran, sementara tubuh akan dipahami dalam kapasitas afektif.[18] Antonio Negri (terlalu) menyederhanakan konsep Spinoza tentang afek sebagai “kuasa untuk bertindak”.[19] Kerja dramatis yang memiliki dimensi afektif ini pun akan dianalisis secara mendalam dalam konteks aspek emosional dan materialnya pada media baru yang kekinian (postingan Facebook dan cuitan di Twitter).
Kerja dramatis dalam kapitalisme komunikatif pun bergerak menuju keadaan yang mengkhawatirkan. Sebagaimana kebanyakan pekerja afektif, kerja dramatis nampaknya dikondisikan sebagai kerja yang gembira dan bebas. Konsep-konsep kerja afektif dan emosional sering kali digunakan untuk memahami corak-corak khusus investasi, valorisasi, dan eksploitasi terhadap subjektivitas pekerja ini. Tiziana Terranova adalah salah seorang penulis yang mengidentifikasi watak emosional dan bergairah dalam kerja-kerja media baru—ia menggambarkan “kerja bebas di Internet” sebagai sesuatu yang terberi dan menyenangkan.[20]
“Namun demikian, pekerja bebas tidak melulu pekerja yang tereksploitasi. Dalam komunitas-komunitas maya awal, kita diberitahu, kerja benar-benar bebas: kerja-kerja membangun komunitas tidak diganjar oleh keuntungan finansial (maka dari itu,”bebas”, tak dibayar), namun kerja yang demikian pun juga dengan sukarela kebobolan dalam pertukaran yang diselenggarakan untuk kesenangan komunikasi dan pertukaran (sehingga ia “bebas”, nikmat, tidak dipaksakan).”[21]
Apa yang Terranova tekankan pada apa yang dia maksud sebagai kerja “bebas” adalah nilai uang yang bersumber darinya—berbeda dari “bebas” dalam artian otonom, seperti dalam pengertian yang sedang kita bangun saat ini. Benar bahwa kerja-kerja ini senang mendramatisasi ruang publik sebagai cara untuk menunaikan kebebasan mereka dan mengungkapkan kapabilitas afektif mereka untuk memenuhi hasrat narsistik mereka (sebagaimana yang telah dielaborasi bagian pertama). Kerja ini mengharapkan sejenis respons afektif dari siapa pun yang membacanya. Hal ini membuat pekerja dramatis terasa lebih daripada sekadar pekerja bebas sebagaimana yang dipikirkan Terranova. Kerja bebas ini berfokus pada fakta bahwa kerja yang legitim dengan jam kerja yang tak terhitung ini tidak dibayar, apa yang senang mereka lakukan telah dieksploitasi.[22] Namun kami peduli dengan apa yang diekspropriasi modal dari kerja dramatis ini melalui kompleksitas teknologi media baru, yaitu otonomi afektif manusia.
Mari kita lakukan sebuah simulasi sederhana tentang bagaimana kapabilitas afektif manusia dapat divalorisasi ke dalam nilai kapital untuk membuktikan klaim kami. Pada 16 Juni, Dahlan Iskan, dikenal sebagai mantan menteri BUMN, membuat serangkaian cuitan di Twitter yang mempertunjukkan dramatisasi.
(1) skrg jam 22.00 di bndara Charlotte. Mestinya 19.40 terbang ke Milwaukee tp delay n delay. Akhirnya diumumkan pswt dibatalkan. Yg menarik>2
(3) Ptugas counter hanya 3 org. Melayani penumpang satu pesawat. Semua antre tertib. Tidak ada yg ngomel2 atau coba2 mengerubungi counter.>4
(4) Sy dpt antrean paling blakang. Blm tahu jam brp sampai di depan. Kalau bisa, akan pindah tujuan Chicago, lalu jalan darat ke Madison.>5
(5) Bsk pagi hrs tinjau penemuan baru sistem fusi plasma utk produksi neutron tanpa reaktor nuklir. Dulu diramalkan baru bs terjadi 2050.>6
(6) Siang td di Washington DC, kerjasama dg BUMN sdh ditandatangani. Sambil antre gini mencoba twitt lg ternyata pikiran bisa lbh santai (.)
Rangkaian cuitan ini berfokus pada sosok “saya”, sehingga sifatnya personal, untuk tidak menyebut bahwa ia mengungkapkan kebutuhan bagi siapa pun yang melihat dan mengikuti linimasanya akan memiliki semacam ketertarikan untuk mengetahui jadwalnya dan apa yang sedang ia lakukan. Ia mensublimasi saat-saat privatnya dan mengubahnya menjadi informasi yang sekiranya berharga yang penting bagi kita ketahui (lihat pada cuitan terakhir di mana ia mengungkapkan hal-hal privat bersamaan dengan yang publik tentang kerjasama kemitraan pemerintah yang sukses). Maka dari itu, ia sedang melaksanakan kerja afektifnya untuk memprivatisasi ruang publik yang disediakan Twitter. Dan betul, kita akan berargumen bahwa cuitan-cuitan ini adalah kerja hanya karena orangnya ngetwit—mereka menciptakan nilai; suatu corak nilai yang bukan uang.[23]
Pekerja dramatis melakukan kerja yang menghasilkan nilai mereka yang diekstrak dari kapabilitas afektifnya; semisal, menuturkan perasaan pribadi tentang mengapa dan bagaimana orang berpikir bahwa orang yang ia cintai adalah orang yang terbaik di dunia (dan sebaliknya), hari macam apa yang dialami seseorang, apa yang ia sedang lakukan, rencana masa depan, cita-cita, dan lain sebagainya. Pekerja dramatis ini, dalam hambatan-hambatan panggung media—katakanlah Twitter—harus mematerialkan kapabilitas afektif mereka untuk memproduki serangkaian cuitan. Inilah sebabnya Dahlan Iskan harus menyiarkan apa yang ia ingin ungkapkan melalui kapabilitas afektifnya ke dalam 140 karakter dan mungkin dengan tagar. Dalam algoritma yang kompleks, apa yang ia lakukan kemudian menghasilkan nilai untuk Twitter Inc. lewat komodifikasi cuitan-cuitan ke dalam produk yang dikapitalisasi untuk keuntungan moneter Twitter. Sampel dari apa yang dilakukan algoritma ini adalah mengubah afeksi-yang-beralih-menjadi cuitan ini ke dalam “firehose” atau data publik yang menganalisis tren konsumen, isu dan riwayat tagar.[24] Ini menjadi sebuah fitur distingtif (atau keunggulan komparatif) provider—dalam hal ini adalah Twitter. Namun tentunya, tanpa tagar pun adalah mungkin untuk menghasilkan dan mengkomodifikasikan informasi berdasarkan kata kunci. Hal ini tidak berarti bahwa peran dramatis yang dimainkan Dahlan Iskan—nilai sosialnya, sebagaimana yang disebutkan dalam bagian pertama—juga dirampas oleh Twitter, dalam arti, identitasnya direduksi sebagai sebuah akun yang bersanding dengan jutaan akun Twitter lainnya dan diakumulasikan bersama sebagai jumlah yang bernilai untuk merepresentasikan sebuah situs pasar potensial bagi perusahaan iklan. Ini mensimulasikan bagaimana nilai diproduksi oleh pekerja dramatis dan bagaimana nilai ini diekstrak, diakumulasi, dan dikomodifikasikan untuk memprodukssi keuntungan moneter yang tidak kembali pada si pekerja; eksploitasi nilai afektif.
Kemudian, aktivitas kerja ini menciptakan (dan diharapkan untuk menciptakan) efek-efek afektif. Bentuknya mungkin saja efek iklan afektif, misalnya, yang “mendukung” atau setidaknya menviralkan isu, perilaku, opini, cerita tertentu,dan seterusnya; ini artinya, adalah mungkin untuk memiliki materi kampanye atau corak iklan yang voluntaristik (misalnya iklan layanan masyarakat—ed). Apa yang membuat pekerja dramatis menjadi pekerja bebas dan bahagia kemudian bermunculan adalah karena corak “upah” yang (ingin) mereka dapatkan tidak berupa uang, tetapi dalam bentuk efek-efek afektif yang mereka inginkan. Mereka memahami bahwa kebebasan mereka sendirilah yang mendorong mereka untuk berekspresi di ruang publik; adalah kapabilitas personal dan afektif mereka sendiri sebagai manusia yang disokong untuk berekspresi di media sosial (menyusun cuitan baru yang menyambutmu untuk mengetik “what’s happening” dan memposting status baru di Facebook tentang “apa yang Anda pikirkan”). Serangkaian cuitan ini diharapkan akan memicu efek-efek afektif; mungkin emosi yang menyejukkan hari, perasaan iri, pengetahuan yang informatif, bahkan kebencian (meski hanya dibicarakan, itu pun sudah cukup) yang akan diterima sebagai “upah” yang diinginkan dari kerja si buruh dramatis harus disiarkan dan direduksi ke dalam ikon seperti retweet, favourites, shared, commented, likes—tergantung platform medianya, namun tetap saja algoritma yang kompleks itu bisa mentransfer, membuatnya jadi bernilai, dan mengkomodifikasi kapabilitas afektif si pekerja dramatis.
Dengan demikian, para pekerja dramatis ini pun adalah afektariat (affectariat), yang otonomi afeksinya telah digembosi, dirampas oleh Kapital melalui perangkat lunak dengan platform yang penuh algoritma, untuk kemudian dijual. Afektariat ini diupah, tidak dengan uang, tetapi dengan corak nilai afektif—kesenangan yang memberi asupan pada hasrat narsistik mereka yang terinvestasi dalam dramatisasi. Dan ya, mereka kehilangan otonomi afeksi mereka dalam artian bahwa mereka bebas mengekspresikan dan mematerialkan kapabilitas afektifnya, namun hanya dalam batas-batas platform media. Maka, kelas dramatis ini tidak memiliki otonomi afek; ia hanya memiliki kebebasan artifisial afek yang berada di dalam sirkuit yang dibangun oleh algoritma kompleks media baru. Di sinilah afektariat sebagai sekelompok orang yang otonominya telah dirampas menjelma sebagai kelas yang akan kita sebut sebagai kelas dramatis. Konsep otonomi ini berbeda dari otonomi kapitalisme neoliberal yang bertautan dengan kebebasan individu, dengan kebebasan untuk memilih—untuk memilih dalam pilihan-pilihan yang sudah diatur, yang memungkinkan Negara melangsungkan kekuasaannya dengan memerintah dari jauh. Hal ini, meskipun membuat kita tidak pernah benar-benar bebas; justru membuka kemungkinan untuk melakukan yang sebaliknya—untuk menjadi sesuatu yang melampaui aktor-aktor dan pengarang-pengarang drama diri sendiri, tidak membiarkan kapabilitas afektifnya dirampas. Apa yang dipertaruhkan cukup mendesak: yaitu otonomi afektif dan/atau kapasitas kita akan produksi afektif (affective production) yang notabene adalah senjata utama kita untuk memerangi perampasan konstan kapitalisme neoliberal atas setiap aspek kehidupan, dan untuk membentuk sebuah dunia alternatif yang bebas dari perampasan kapitalis dan kendali kuasa neoliberal. []
Tulisan ini dipresentasikan di Simposium Internasional “The Ambivalence of New Media in Post-Suharto Indonesia: Propaganda, Resistance, Empowerment,” Pusat Kasian Antropologi dan Labsosio Universitas Indonesia, serta Goethe-University Frankfurt, Depok, 24 Februari.
Priska Sabrina Luvita adalah Peneliti Koperasi Riset Purusha. Surel: psluvita@purusharc.org.
Hizkia Yosie Polimpung adalah Peneliti Koperasi Riset Purusha; editor jurnal IndoProgress. Surel: yosieprodigy@gmail.com.
Daftar Pustaka
Athanasiou, A., P. Hantzaroula, and K. Yannakopoulos, “Towards a New Epistemology: The “Affective Turn””, Historein/Ιστορείν vol.8, nefeli publishing (2011), konten bisa diunduh di http://www.nnet.gr/historein/historeinfiles/histvolumes/hist08/historein8-intro.pdf
Becker, G. S., “Nobel Lecture: The Economic Way of Looking at Life.” (Nobel Foundation, 1993).
Binkley, Sam, “The Perilous Freedoms of Consumption: Toward a Theory of the Conduct of Consumer Conduct,” Journal for Cultural Research, 10, 4 (October 2006).
Clough, Patricia T. & Jean Halley, eds., The Affective Turn: Theorizing the Social (Duke University Press, 2007)
Damiano, Rossana, Vincenzo Lombardo, & Antonio Pizzo, “Formal Encoding of Drama Ontology,” in G. Subsol, ed., Virtual Storytelling: Using Virtual Reality Technologies for Storytelling (Springer, 2005).
Dean, Jodi, Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of Drive (Polity Press, 2010).
Dean, Jodi, Democracy and Other Neoliberal Fantasies: Communicative Capitalism and Left Politics (Duke Univ. Press, 2009).
Dilts, Andrew, “From ‘entrepreneur of the self’ to ‘care of the self’: Neoliberal Governmentality and Foucault’s Ethics,” Foucault Studies, 6, 2010.
Foucault, Michel, The Birth of Biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978-1979, diterj. Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2008).
Hayek, Friedrich, The Road to Serfdom (London, 1944).
Kennedy, Helen, “Going the Extra Mile: Emotional and Commercial Imperatives in New Media Work”, The International Journal of Research into New Media Technologies, 15, 2 (2009).
Lacan, Jacques, Fundamental Concepts of Psychoanalysis (Penguin Books, 1987).
Lacan, Jacques, Seminar VII: The Ethics of Psychoanalysis (Routledge, 1992).
Lazzarato, Maurizio, “Neoliberalism in Action: Inequality, Insecurity and the Reconstitution Seminar XI: Four of the Social”, Theory Culture Society, 26, (2009).
Lynch, William F., “The Drama of the Mind: An Ontology of the Imagination,” Notre Dame English Journal, 13, 1 (Fall, 1980).
Negri, Antonio, “Value and Affect,” trans. M. Hardt, boundary 2, 26,. 2 (Summer, 1999).
Read, Jason, “A Genealogy of Homo-Economicus: Neoliberalism and the Production of Subjectivity”, Foucault Studies, No 6, (February 2009).
Terranova, Tiziana, “Free labour: producing culture for the digital economy,” Social Text, 10, 2 (2000).
Terranova, Tiziana, Network Culture: Politics for the Information Age (England: Pluto Press, 2004).
Zizek, Slavoj, The Sublime Object of Ideology (Verso, 1989).
[1] Rossana Damiano, Vincenzo Lombardo, Antonio Pizzo, “Formal Encoding of Drama Ontology,” dalam G. Subsol, ed., Virtual Storytelling: Using Virtual Reality Technologies for Storytelling (Springer, 2005), hal. 98, cetak miring dalam terbitan asli.
[2] William F. Lynch, “The Drama of the Mind: An Ontology of the Imagination,” Notre Dame English Journal, 13,
1 (Fall, 1980), hal. 28
[3] Jacques Lacan, Seminar VII: The Ethics of Psychoanalysis (Routledge, 1992), hal. 107.
[4]Idem., hal. 112.
[5]Idem., hal. 125. Lihat juga Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology (Verso, 1989)
[6] Hal ini mengingatkan perbincangan tentang individuasi dalam pemikiran Gilbert Simondon dan Gilles Deleuze, serta pembentukan subjek secara diskursif-pratis dalam karya-karya Michel Foucault dan Giorgio Agamben.
[7] Jacques Lacan, Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis (Penguin Books, 1987), hal. 232.
[8] Jason Read, “A Genealogy of Homo-Economicus: Neoliberalism and the Production of Subjectivity”, Foucault
Studies, No 6, (February 2009), 29
[9]Ibid.
[10] F. Hayek. The Road to Serfdom. London. 1944. hal. 52.
[11] Maurizio Lazzarato, “Neoliberalism in Action: Inequality, Insecurity and the Reconstitution of the Social”,
Theory Culture Society, 26, (2009), hal. 126.
[12] Jodi Dean, Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of Drive (Polity Press, 2010).
[13] Andrew Dilts, “From ‘entrepreneur of the self’ to ‘care of the self’: Neoliberal Governmentality and Foucault’s
Ethics”, 2010, hal. 6
[14] Michel Foucault, The Birth of Biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978-1979, diterj. Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 226
[15] Sam Binkley, “The Perilous Freedoms of Consumption: Toward a Theory of the Conduct of Consumer
Conduct” Journal for Cultural Research, 10: 4 (October 2006)
[16] Becker, G. S., “Nobel Lecture: The Economic Way of Looking at Life.” (Nobel Foundation, 1993), hal. 43.
[17] Jodi Dean, Democracy and Other Neoliberal Fantasies: Communicative Capitalism and Left Politics (Duke Univ.
Press, 2009)
[18]Affective Turn, hal. 22
[19] A. Athanasiou, P. Hantzaroula, and K. Yannakopoulos, “Towards a New Epistemology: The “Affective
Turn””, Historein/Ιστορείν Vol. 8, nefeli publishing (2011), konten bisa diunduh di
http://www.nnet.gr/historein/historeinfiles/histvolumes/hist08/historein8-intro.pdf
[20] Helen Kennedy, “Going the Extra Mile: Emotional and Commercial Imperatives in New Media Work”, The
International Journal of Research into New Media Technologies Vol 15, 2 (2009), hal. 179.
[21] Tiziana Terranova, “Free labour: producing culture for the digital economy,” Social Text, 10, 2 (2000), hal. 48.
[22] Menurut Terranova, “kerja bebas” yang ia sebut sebagai permukaan tegangan dan kontradiksi sebagai “aktivitas produktif […] yang dengan senang hati dianut sekaligus dieksploitasi asal-asalan.” Tiziana
Terranova, Network Culture: Politics for the Information Age (England: Pluto Press, 2004), hal. 216.
[23] Pembahasan lebih lanjut tentang hal ini bisa dipahami lewat Antonio Negri and Michael Hardt, “Value and
Affect”, boundary 2 Vol. 26, No. 2 (Summer, 1999)
[24]“How does Twitter make money?”BBC News, 7 November 2013 (URL: http://www.bbc.com/news/business-24397472)