Kemiskinan bukanlah fenomena baru. Banyak deskripsi tentang Eropa di abad ke-19, mengisahkan kehidupan masyarakat dan kondisi kerja yang mirip keadaan hari ini, di negera-negara berkembang. Kisah yang dikarang Charles Dicken, misalnya Oliver Twist (1837), mengenai kehidupan seorang anak malang, sejajar dengan kehidupan banyak pekerja anak di Afrika, Asia, dan Amerika Latin sekarang. Paparan Friedrich Engels mengenai sungai Manchester di perkampungan industri Irk di Inggris, juga mirip dengan perkampungan kaum buruh di beberapa kawasan industri di Jakarta saat ini; sama dengan kondisi kawasan Smoky Mountain di Manila, Filipina; persis dengan keadaan wilayah Nova Iguazu di Rio de Janeiro, Brasil.
Bercermin dari negara-negara yang pernah melakukan upaya penghapusan kemiskinan, hal tersebut hanya mungkin dicapai jika pemerintah sungguh-sungguh berkomitmen melakukannya. Di sini, komitmen dan kehendak politik adalah kata kuncinya. Namun, kerapkali pemerintah menjadikan isu penghapusan kemiskinan sebatas bagian dari tujuan pembangunan; tidak menjadi prioritas pembangunan sosial; diabaikan, atau paling banter ditangani dengan sumber daya yang tak memadai. Padahal dalam banyak kasus, mayoritas kebijakan sosial hanya menguntungkan sekelompok kepentingan tertentu, ketimbang pemenuhan kepentingan mayoritas penduduk. Inilah sebab, mengapa debat mengenai strategi penghapusan kemiskinan selalu sangat politis dan ideologis.
Memahami Kemiskinan
Debat mutakhir mengenai strategi penghapusan kemiskinan, kini fokus pada bagaimana memahami kemiskinan dalam skala global. Fakta terakhir menunjukkan, kemiskinan pun mencuat di negara-negara maju. Kemiskinan bukan lagi gambaran khas negara-negara berkembang. Dua dasawarsa terakhir ini, menyusul dijalankannya kebijakan neoliberal, kondisi kehidupan warga di belahan Utara atau negara-negara industri di Barat, kian merosot. Berakhirnya era perang pada 1970-an, telah mendorong para pembuat kebijakan di negara-negara maju mengabaikan pendekatan Keynesian. Menggantinya dengan kebijakan yang menganut “ortodoksi neoliberal,” yang menganggap pertumbuhan akan bergerak maju bila korporasi lebih fokus pada aspek persaingan.
Dalam rentang dua dasawarsa setelahnya, memang terlihat kemajuan ekonomi dan produktivitas yang cukup positif namun, bukan tanpa masalah. Reformasi stuktural, istilah yang dikenal dari kelompok neoliberal ini, telah meroketkan tingkat persaingan dan menurunkan laba perusahaan dan pelaku usaha. Korporasi-korporasi pun bereaksi keras. Mereka memecat pekerja, memotong gaji karyawan, dan memotong kesejahteraan buruh. Pemerintah yang ditekan untuk melakukan pengurangan defisit, pada akhirnya mengurangi nilai pengeluaran belanjanya untuk kesejahteraan publik. Dengan demikian, jika tidak segera ditemukan solusi global penghapusan kemiskinan yang disetujui bersama, terpaan kemiskinan dan pengangguran tidak akan terbendung, baik di Utara maupun di Selatan.
Pemecahan kemiskinan dalam kerangka global juga menjadi relevan, karena dalam beberapa kasus, kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang disebabkan oleh kebijakan internasional yang membuat pemerintah di negara-negara berkembang tidak memiliki pengaruh. Misalnya, mereka tak dapat mengakses pasar negara-negara maju. Penghapusan kemiskinan mensyaratkan upaya global yang disepakati bersama untuk menghapus utang, mengelola korporasi dan keuangan internasional, dan mendukung kebijakan sistem perdagangan global yang adil. Kesepakatan dan tindakan secara internasional ini, harus memfasilitasi penyelesaian hambatan-hambatan internal pembangunan di dalam negeri seperti korupsi, kepentingan-kepentingan sekelompok kecil elite domestik, atau pengelolaan layanan publik yang buruk di tingkat nasional. Singkatnya, agenda penghapusan kemiskinan bukan hanya berupaya mengurangi derita manusia tapi, terutama, bagaimana melestarikan pembangunan dan menjalankan fungsi pasar dengan baik.
Satu ciri paling penting globalisasi ekonomi yang menjadi kecenderungan dunia saat ini, ialah menguatnya kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional (Multinational Corporations/MNCs). Mereka adalah organisasi bisnis yang melakukan operasi di lebih dari satu negara. Perusahaan-perusahaan multinasional ini telah mendominasi perdagangan hampir semua komoditas penting dunia. Beberapa eksemplar perusahaan multinasional yang dikenal ialah General Motors dan Ford di industri otomotif; Esso, Shell, British Petroleum di industri minyak; McDonald di rantai makanan cepat saji; AT&T dan International News Corporation di sektor komunikasi; dan bank-bank utama Jepang yang sekitar 23 banknya merupakan 50 bank terbesar di dunia (Heywood, 1997).
Maka, lumrah jika perusahaan-perusahaan multinasional mampu membelanjakan sejumlah uangnya, jauh melebihi anggaran belanja suatu negara seperti Indonesia. Mereka juga bisa mengeluarkan jutaan dolar hanya untuk membayar seorang bintang iklan seperti, prusahaan sepatu Nike kepada Tiger Woods, yang bayarannya melebihi total upah seluruh buruh yang membuat produk Nike di Indonesia! Sementara kita tahu, aset perusahaan multinasional yang sangat besar itu sebagian besar diperoleh dari eksploitasi atas pekerja. Nike, misalnya, telah terbukti melakukan pelanggaran hak-hak pekerjanya di Indonesia, Vietnam dan Cina (Huckshorn, 2004: 191-99).
Itu sebabnya, sulit mengelak dari kesimpulan, betapa korporasi-korporasi multinasional turut berperan menyumbang angka kemiskinan dunia. Di bumi ini, lebih dari 2,8 miliar orang, atau sekitar setengah penduduk dunia, hidup di bawah garis kemiskinan berdasarkan ketetapan internasional yaitu, pendapatan kurang dari 2 dolar AS per hari. Di antara mereka, tak kurang dari 1,2 miliar jiwa hidup dalam kemiskinan yang amat parah, yang hanya mengandalkan pendapatan kurang dari 1 dolar AS per hari. Kebanyakan mereka adalah penduduk di kawasan Asia dan Afrika. Petaka kemiskinan ini, lebih besar menimpa perempuan ketimbang laki-laki dan juga lebih tinggi melanda mereka yang di pedesaan daripada di perkotaan. Kelompok-kelompok yang rentan seperti, kalangan lanjut usia, etnik minoritas, pengungsi, atau penyandang cacat juga, menderita kemiskinan lebih parah lagi.
Sejak 1987, bencana kemiskinan dikatakan telah mengalami penurunan, dan proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemisikinan (hidup di bawah 1 dolar per hari) menurun dari 28 persen hingga 24 persen dari total populasi negara-negara berkembang. Namun, sebetulnya kemiskinan tidaklah berkurang. Pertumbuhan penduduk masih tetap tinggi di negara-neggara berkembang, dan banyak dari mereka lahir dalam keadaan papa, terpenjara dalam kemiskinannya. Menggunakan data Bank Dunia, jumlah orang miskin sesungguhnya meningkat sejak akhir 1980-an (Ortiz, 2004: 276).
Saat ini, lebih dari delapan juta orang di seluruh dunia mati setiap tahunnya karena kemiskinan. Setiap hari, pemberitaan di media melaporkan puluhan ribu orang meninggal diakibatkan kemiskinan yang amat parah. Orang-orang miskin mati di bangsal-bangsal rumah sakit yang kekurangan obat, di desa-desa yang tak cukup memiliki ranjang berjaring antimalaria, atau di rumah-rumah yang amat minim air minum sehat. Mereka meninggal dengan tak diketahui khalayak, tanpa komentar masyarakat luas, dan kisah tentang mereka jarang ditulis media (Sachs, 2005). Sebagian dari mereka adalah penduduk Indonesia.
Kemiskinan di Indonesia
Sejak krisis ekonomi 1997/98, kondisi perekonomian Indonesia belum dapat dikatakan pulih. Laju perekonomian negeri ini terus diiringi dengan meroketnya angka pengangguran terbesar sepanjang sejarah. Masalah pengangguran akan terus menjadi batu sandungan perkembangan sosial-ekonomi negeri ini, di masa-masa mendatang.
Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Oktober 2005, dianggap sebagai pemicu meningkatnya jumlah penduduk miskin. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, hingga Maret 2006, jumlah penduduk miskin di Indonesia tak kurang dari 39,05 juta (17,75 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,1 juta (15,97 persen), maka jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta. Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada bulan Maret 2006, sebagian besar (63,41 persen) penduduk miskin berada di daerah perdesaan (Berita Resmi Statistik, September 2006).
Peranan komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada bulan Maret 2006, sumbangan Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 74,99 persen. Komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan adalah beras, gula pasir, minyak kelapa, telur dan mie instant. Untuk komoditi bukan makanan adalah biaya perumahan. Khusus daerah perkotaan, biaya listrik, angkutan, dan minyak tanah berpengaruh yang cukup besar sementara, untuk daerah perdesaan pengaruhnya relatif kecil (kurang dari 2 persen).
Di samping itu juga, terjadi pergeseran posisi penduduk miskin dan hampir miskin selama periode Februari 2005-Maret 2006. Sekitar 56,51 persen penduduk miskin pada bulan Februari 2005 tetap tergolong sebagai penduduk miskin pada Maret 2006, sisanya berpindah posisi menjadi tidak miskin. Sebaliknya, 30,29 persen penduduk hampir miskin di bulan Februari 2005 jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Pada saat yang sama, 11,82 persen penduduk hampir tidak miskin di bulan Februari 2005 juga jatuh menjadi miskin pada bulan Maret 2006. Bahkan, 2,29 persen penduduk tidak miskin juga terjatuh menjadi miskin di bulan Maret 2006. Perpindahan posisi penduduk ini menunjukkan, jumlah kemiskinan sementara cukup besar. Banyak data menunjukkan, penyumbang terbesar angka kemiskinan Indonesia selalu terdapat di pedesaan.
Bagaimanapun, faktor utang yang ditanggung Indonesia menjadi sekian penyebab mengapa masalah kemiskinan tak kunjung teratasi di negeri ini. Beban pembayaran utang luar negeri pemerintah, sudah di luar batas kemampuan. Indonesia terjerat utang yang terus dikucurkan lembaga-lembaga donor internasional dan negara-negara maju. Terhitung sejak tahun 1980 sampai 2005 saja, Indonesia sudah membayar tidak kurang dari 125 milyar dolar AS. Jumlah ini tidak termasuk utang swasta. Pemerintah juga masih mempunyai sisa utang yang harus dibayar tidak kurang dari 70 milyar dolar AS. Karenanya, setiap tahun pemerintah harus menguras perolehan devisa sedikitnya delapan hingga sembilan milyar dolar AS, untuk membayar cicilan pokok dan bunganya (LIPS, Labor Update: Semester 1 2005). Tak dapat dibayangkan, hingga kapan Indonesia terbebas dari beban utang, yang masing-masing dari 227,1 juta penduduknya, menanggung Rp.7 juta per kepala. Beban utang luar negeri di atas, membuat format Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak pernah mampu mendanai masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kemiskinan. APBN selalu mengalokasikan puluhan triliun untuk pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri, sementara biaya untuk sektor penunjang pembangunan kualitas manusia – seperti sektor kesehatan, pendidikan, dan pertanian – sangat minim.
Menghidupkan Kembali Pertanian
Ditinjau dari porsi penyerapan tenaga kerja secara total, sektor pertanian merupakan yang terbesar dalam menyerap tenaga kerja, yaitu 40 s.d 45 persen. Sektor ini menjadi tulang punggung tenaga kerja Indonesia, disusul sektor retail (eceran), perdagangan dan restoran, yang menyerap kurang lebih 20 persen dari total tenaga kerja. Sektor lainnya adalah sektor industri manufaktur. Namun, kebijakan dan arah pembangunan selama ini telah turut memperburuk kinerja sektor pertanian, dengan munculnya keenggananan kaum muda untuk terjun dalam sektor tersebut. Akibatnya, sektor pertanian mengalami pengurangan tenaga kerja setiap tahunnya. Kebijakan industri yang kehilangan arah, telah membuat sektor ini dianggap kurang menguntungkan dan tidak lagi menarik minat kaum muda Indonesia untuk bekerja dan mengembangkannya.
Karenanya, dilihat dari strukturnya, ekonomi Indonesia tampak bertumbuh secara timpang. Di satu sisi sektor pertanian yang menyerap tenaga kerja sebanyak 45 persen, ternyata hanya memiliki kue sebesar 15-20 persen dari total pendapatan nasional. Sementara, industri manufaktur dengan hanya menyerap kurang dari 15 persen tenaga kerja, memiliki porsi terbesar dalam ekonomi yaitu, sebesar 27 persen. Data Biro Pusat Statistik menunjukkan, porsi buruh yang bekerja di sektor formal terus mengalami penurunan sementara, buruh di sektor informal kian meningkat.
Dari komposisi ini, sebetulnya salah satu solusinya adalah melakukan pembangunan pertanian dan pedesaan. Tengok saja, sekitar 65 persen penduduk Indonesia berada di pedesaan; sekitar 44 persen angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian (dalam arti luas); sekitar 16 persen PDB nasional berasal dari sektor pertanian; dan kajian-kajian ekonomi menyimpulkan, produk-produk pertanian memiliki efek memicu (multiplier effects) dan keterkaitan (forward and backward linkages) yang tinggi dengan sektor-sektor lain.
Hasil studi Suharyadi dkk., menunjukkan, pertumbuhan pertanian pedesaan secara berarti mengurangi kemiskinan di kawasan pertanian desa, yang merupakan penyumbang angka kemiskinan terbesar di Indonesia. Lebih jauh, hasil studi itu merekomendasikan cara paling efektif menghapus kemiskinan yakni, memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan sektor pertanian di pedesaan dan sektor jasa di perkotaan.
Di atas semua itu, petaka kemiskinan adalah perkara rumit. Dibutuhkan keseriusan pemerintah dan pengawasan warga dalam memeranginya.***
Fahmi Panimbang , aktivis Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Bogor; mengasuh jurnal kajian perburuhan SEDANE.
Kepustakaan:
Andrew Heywood, “Politics,” London: Macmillan Press, 1997.
Jeffery D Sachs, “The End of Poverty,” Time (Sunday), 6 Maret 2005.
Kristin Huckshorn, “Labor,” dalam Anya Schriffin and Amer Bisat (eds.) “Covering Globalization,” New York: Columbia University Press, 2004, h.191-99.
Isabel Ortiz, “Poverty Reduction”, dalam Anya Schriffin dan Amer Bisat (eds.) “Covering Globalization,” New York: Columbia University Press, 2004.
Asep Suharyadi, et al., “Economic Growth and Poverty Reduction in Indonesia: The Effect of Location and Sectoral Components of Growth,” Jakarta: SMERU Research Institute, Agustus 2006.
Berita Resmi Statistik , No. 47 / IX / 1 September 2006.
LIPS, Labor Update, Semester 1, 2005.