Sepanjang tahun 2006, sejumlah agenda transisi demokrasi berkait reformasi sektor keamanan, khususnya TNI berjalan lambat. Di sektor ini, Pemerintahan SBY-JK masih menjalankan reformasi TNI yang parsial dan atributif. Kalkulasi dinamika kepentingan politik, sangat mewarnai pengambilan kebijakan ketimbang reformasi menyeluruh, sesuai arah pembangunan pertahanan negara yang mensyaratkan perbaikan dan pengembangan profesionalitas TNI.
Misalnya, berkembangnya fenomena impunity (kekebalan hukum) para pelanggar HAM dan kejahatan yang melibatkan aktor-aktor keamanan, “tebang pilih” penyelesaian kasus-kasus korupsi dan kejahatan ekonomi yang tidak menyentuh institusi keamanan, belum tuntasnya pengembangan profesionalitas dan independensi institusi keamanan dari praktek politik dan ekonomi yang kotor, serta ketidakjelasan arah pengembangan postur insitusi TNI ke depan.
Tulisan ini akan memaparkan secara ringkas, dinamika kerja pemerintah dalam mendorong reformasi sektor keamanan, khususnya institusi militer (TNI) sepanjang tahun 2006, terkait pandangan di atas. Pada bagian penutup, akan diberikan kesimpulan dan rekomendasi proyeksi 2007, dan hubungannya dengan perbaikan dan keberlanjutan upaya reformasi TNI. Terutama, merujuk pada keterpaduan agenda reformasi 1998 dan arah transisi demokrasi yang ingin dibangun.
Beberapa Masalah Reformasi TNI 2006: Ketika Biduk Kehilangan Arah
Reformasi sektor pertahanan, sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konteks warisan tuntutan reformasi tahun 1998. Berangkat dari semangat itu, agenda reformasi sektor pertahanan paling menonjol, adalah menjauhkan TNI dari praktek-praktek yang menyimpang di masa Soeharto, mendorong pertanggungjawaban politik dan hukum yang akuntabel terhadap pelbagai kejahatan dan pelanggaran HAM, serta memastikan terbentuknya militer profesional sebagaimana dimaksud UU No 34/2004 Tentang TNI, sebagai ”tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi”.
Merespon tuntutan reformasi tersebut, TNI mengembangkan tafsir sendiri akan konsep demokrasi dan peran mereka, termasuk peran politik dan penegakan keamanan. Paradigma baru TNI menyatakan, di masa depan peranannya tetap tidak terpisahkan dari keterpaduan peran pertahanan-keamanan negara dan pembangunan bangsa. Dari sini, pandangan-pandangan konservatif TNI muncul seperti, “…memarjinalkan TNI dengan back to barracks, berarti mengeliminasi hak politik anggota TNI sebagai warga negara, sekaligus memisahkan TNI dari rakyat yang menjadi tumpuan kekuatan dan basis jati diri TNI. Pandangan ini berkembang dalam rumusan peran sosial-politik TNI, yang tidak selalu harus di depan, berubah dari menduduki menjadi mempengaruhi, dari mempengaruhi langsung menjadi tidak langsung dan bersedia melakukan political and role sharring dengan komponen bangsa lainnya.
Harus diakui, “secara insitusional” TNI memberikan respon cepat terhadap kritik dan tuntutan reformasi yang mengarah lebih keras kepadanya, ketimbang ke institusi lain. Misalnya, dengan menyatakan mengubah paradigma, peran, fungsi dan tugas meski secara substansial, sebenarnya tidak ada yang berubah. Pemerintah juga memberikan respon terhadap kritik dan tuntutan tersebut, dengan mengeluarkan kebijakan pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR No.VI/2000), pengaturan peran TNI dan peran Polri (Tap MPR No.VII/2000), UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang TNI. Termasuk amandemen UUD 1945 yang kembali menegaskan fungsi pertahanan TNI di bawah kontrol otoritas politik sipil.
Hingga 2006, respon cepat perubahan paradigma TNI dan legislasi-legislasi baru tersebut, belum efektif memengaruhi perubahan kultur, pertanggungjawaban hukum, bahkan profesionalitas di tubuh TNI. Reformasi TNI yang berjalan formal telah kehilangan arah dan menimbulkan banyak persoalan-persoalan di atas. Ini ditunjang dengan ketidakseriusan pemerintah memastikan perwujudannya, keengganan melakukan pengawasan, dan mengambil tindakan tegas atas penyimpangannya. Fakta ini menunjukkan, otoritas politik sipil gagal memisahkan antara kebutuhan mereformasi TNI dan kebutuhan pemerintah memperoleh dukungan TNI pada setiap kebijakan strategis tertentu. Kebutuhan publik atas peran TNI di bidang keamanan, juga digunakan sebagai cara lain menutup peluang diselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM, tindak pidana umum, bahkan kejahatan ekonomi yang melibatkan personil TNI.
Terkait penegakan hukum (rule of law) di atas, misalnya, TNI masih menggunakan pengaruh dominannya sebagaimana di masa lalu, pada setiap proses hukum yang melibatkan aparatnya. Akibatnya, tidak satu pun kasus-kasus yang melibatkan TNI diselesaikan secara adil dan akuntabel. Dalam hal ini, insitusi TNI melanggengkan praktek impunity dengan mempertahankan aparatnya yang ‘melanggar hukum’ pada posisi-posisi strategis, dengan dalih otonomi TNI dalam mekanisme promosi dan mutasi perwira, serta menggunakan pengadilan militer untuk menghindar dari upaya koreksi melalui sistem hukum nasional, termasuk pengadilan HAM. Pada titik ini, TNI belum menjadi institusi yang tunduk pada hukum, sehingga melahirkan ketidaksamaan di muka hukum (inequality before the law) antara personil TNI dan warga sipil.
Upaya pemerintah mengambilalih bisnis TNI pun lambat dan bertele-tele. Proses pengajuan rancangan Keppres pembentukan tim khusus inventarisasi bisnis di lingkungan TNI, pembentukan kelompok kerja, surat-menyurat Menteri Pertahanan (Menhan) ke Panglima TNI dan Kepala-kepala Staf Angkatan, hingga verifikasinya menghabiskan waktu hampir 2 tahun sejak disahkannya UU TNI pada tahun 2004. Informasi angka bisnis yang diambilalih pun simpang siur, mulai dari sekitar 219 unit, hingga angka 900 sampai 1000 unit, dan terakhir 1.520 unit. Terkait Keppres, Menhan Juwono Sudarsono menyatakan, akan terbit April 2006, menunggu hasil supervisi Menteri Negara BUMN. Pada kesempatan lain Juwono menyatakan, Keppres tersebut akan diumumkan bersamaan dengan pidato tahunan Presiden pada 16 Agustus 2006. Faktanya, hingga kini pengumuman Keppres tersebut sekadar janji.
Ini baru pada sektor bisnis yang dipandang ’legal’, diakui atau tercatat, baik di institusi TNI atau di pemerintah. Sementara disinyalir, militer juga masuk pada wilayah bisnis ’abu-abu’ atau bahkan ilegal/kriminal. Sebagai contoh, kasus uang jasa keamanan perusahaan pertambangan Amerika Serikat yang berbasis di New Orleans, Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. kepada Kodam Trikora, kasus illegal logging oleh perwira tinggi TNI, pejabat pemerintah dan aparat penegak hukum di Papua antara 2002-2004, serta kasus ditemukannya 185 pucuk senjata api berbagai jenis di kediaman Wakil Asisten Logistik KSAD, almarhum Brigjen Koesmayadi.
Sepanjang tahun 2006, pengadaan alat-alat militer cenderung tidak konsisten dan tidak mengacu pada pengembangan postur pertahanan. Menghadapi embargo Amerika Serikat, pemerintah membeli persenjataan produksi negara-negara Eropa, meski dengan harga sangat mahal atau kualitas kurang memadai, karena merupakan barang bekas pakai. Problemnya, hampir seluruh pengadaan tersebut menggunakan fasilitas kredit ekspor yang setiap tahunnya dialokasikan untuk Dephan dan Polri. Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, setiap tahun mengalokasikan US$ 500 juta untuk pengadaan dan pembiayaan militer dengan alasan, tidak adanya skema pinjaman lain dari donor bilateral atau multirateral yang diperbolehkan membiayai pembiayaan tersebut. Artinya, diluar budget APBN untuk anggaran pertahanan, militer memperoleh sumber-sumber keuangan lain yang menambah beban hutang negara.
Padahal pada 2005, pemerintah menyatakan menangguhkan pembelian peralatan tempur TNI. Kecuali untuk alat-alat transportasi seperti suku cadang pesawat angkut Hercules atau pesawat Hercules bekas jenis C-130. Pertimbangannya, dalam 5-10 tahun mendatang Indonesia membutuhkan dana sangat besar untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh paska tsunami. Pada kesempatan lain, pemerintah memutuskan menerapkan kebijakan pertahanan dengan titik berat pada pemenuhan kekuatan minimum yang diperlukan (minimum required essential force) dimana, pemerintah tidak membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang sebetulnya tidak atau belum dibutuhkan.
Sementara itu, DPR mengaku sulit mengawasi anggaran militer untuk pembelian alutsista TNI, karena minimnya data dan terbatasnya pengetahuan perihal persenjataan TNI. Akibatnya, pengadaan alutsista rawan praktek korupsi dan perdagangan gelap. Misalnya, kasus kredit ekspor senilai US$ 3.24 juta untuk pembelian 4 helikopter M-17 untuk TNI AD, yang melibatkan 2 jenderal di atas bintang 2; kasus tertangkapnya 2 perwira menengah TNI AU dan rekanan TNI, dalam pengadaan persenjataan di Honolulu; serta terungkapnya ’koleksi’ tidak wajar senjata Wakil Asisten Logistik KSAD almarhum Brigjen Koesmayadi.
Peran strategis Departemen Pertahanan (Dephan) untuk melakukan kontrol secara efektif terhadap TNI sepanjang tahun 2006, juga dipertanyakan karena cenderung di atas kertas. TNI relatif sebaliknya, dominan mempengaruhi kebijakan Dephan, baik dalam hal threat assesment, pengembangan postur pertahanan, struktur, gelar kekuatan, peralatan dan anggaran. Banyak aktifitas TNI berada di luar kendali Dephan, yang akhirnya hanya mengurusi pembiayaan negara dan administrasi belaka. Dalam soal-soal pengadaan senjata, logistik dan pembiayaan operasional misalnya, TNI masih leluasa berhubungan langsung dengan pihak-pihak ketiga. Ketika tindakan ‘ilegal’ demikian terungkap ke publik, Dephan pun ’berfungsi’ mencuci kesalahan tersebut dengan memberikan respon yang cenderung ’menyelamatkan’ citra TNI ketimbang mengkoreksinya.
Dalam kasus revisi UU peradilan militer, misalnya, Dephan cenderung bersikap kontraproduktif dengan melindungi kepentingan militer ketimbang, mengawal dan meloloskan pembahasannya di DPR. Menhan secara terbuka menunjukkan keberpihakannya pada sikap konsevatif segelintir kalangan militer yang masih ingin menikmati keistimewaan, dengan menghindari status kesamaan di bawah hukum sebagaimana berlaku di kalangan sipil. Sebagai perwakilan otoritas politik sipil, Menhan mestinya paham, pembahasan RUU Peradilan Militer yang memperjelas yurisdiksi tindak pidana dan pelanggaran disipliner oleh prajurit TNI, adalah kelanjutan dari TAP MPR No VII Tahun 2000 Tentang Peran TNI dan Polri serta UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Argumen perihal ketidaksiapan aparat hukum sipil dan sistem hukum yang ada untuk mengadili kalangan militer, sangat tidak relevan.
What Next: Proyeksi Reformasi TNI 2007
Dapat disimpulkan, wacana reformasi TNI di tahun 2006 cenderung mengalami krisis. Fakta ini makin menguat, seiring meningkatnya kebutuhan aliansi dengan kekuatan bersenjata tersebut, terkait isu-isu kontemporer seperti separatisme, terorisme, fundamentalisme pasar, dan bahkan stabilitas keamanan, politik dan ekonomi layaknya di masa Orde Baru. Contoh krisis ini adalah permintaan Presiden SBY pada peringatan Hari TNI 5 Oktober 2006, agar TNI dilibatkan dalam menghadapi terorisme. Pernyataan ini direspon TNI dengan mengaktifkan kembali komando teritorial. Kondisi ini memperlihatkan, isu terorisme telah merubah posisi TNI, yang semula ditempatkan sebagai ‘aktor bermasalah’ sehingga harus direformasi, menjadi ‘aktor penting’ melawan terorisme.
Kalangan TNI sendiri lebih peduli pada soal-soal hak pilih TNI, pengalihan bisnis militer, Komando Teritorial dan perannya dalam kontra-terorisme, kedudukan TNI di bawah Departemen Pertahanan, serta Peradilan Militer. Isu-isu ini notabene merupakan isu publik, yang potensial menguntungkan atau “menggerogoti” keistimeaan mereka.
Menghadapi kondisi ini, proyeksi reformasi TNI 2007 harus dapat dikembalikan sesuai arah yang diinginkan gerakan reformasi 1998. Tuntutan reformasi itu berupa, penarikan total TNI dari peran-peran politik dan ekonomi, pertanggungjawaban hukum terhadap kejahatan dan pelanggaran oleh aparat TNI, dan pengembangan profesionalitas sebagai kekuatan pertahanan. Tanpa paradigma ini, isu reformasi TNI akan menjadi semacam kamuflase politik menghadapi tekanan publik.
Titik tolak konstitusi dan UU menjadi penting, untuk memastikan arah dan konsistensi reformasi TNI. Pemerintah bersama-sama parlemen, hendaknya menyadari bahwa pentingnya reformasi TNI terkait erat dengan pembangunan kekuatan pertahanan kita yang tidak akan pernah terwujud tanpa perbaikan di tubuh TNI. Termasuk, memperkuat peran Dephan sebagai perpanjangan tangan Presiden.
Kalangan masyarakat sipil pun dituntut untuk memperkuat tekanan, baik terkait evaluasi terhadap dinamika reformasi TNI maupun terhadap resistensi yang berkembang di kalangan pemerintah dan TNI sendiri terhadap isu-isu reformasi. Paling tidak, capaian minimal pada 2007 adalah menguatkan peran kontrol otoritas politik sipil atas TNI, berkembangnya mekanisme dan akuntabilitas TNI, serta penempatan fungsi dan tugas secara proporsional, dengan tidak lagi melibatkan mereka pada kegiatan politik dan ekonomi.
Terkait pertanggungjawaban hukum TNI, harus diakui masih sangat berat namun, bukan tak mungkin. Pembahasan UU Peradilan Militer, harus dipastikan tidak lagi menempatkan TNI sebagai subjek hukum atas segala bentuk pelanggarannya. Semua pihak harus mendesak pembatasan ruang lingkup peradilan militer khusus untuk pelanggaran-pelanggaran militer. Terkait tindak pidana, perdata dan pelanggaran HAM, TNI harus tunduk pada peradilan umum. Sehingga ke depan, upaya menghadapkan aparat TNI ke muka hukum tidak lagi menghadapi hambatan ‘politis’ peradilan militer.
Tak kurang penting, pengawasan dan kritik atas praktek-praktek bisnis militer, korupsi, dan pengadaan-pengadaan yang menyalahi prosedur. Bentuknya bisa melalui publikasi, penelitian, dan bentuk-bentuk advokasi lainnya. Jika kalangan masyarakat sipil mengabaikannya, kejahatan-kejahatan ekonomi TNI tak akan pernah bisa dikoreksi.***
Mouvty Makaarim A, adalah Sekjen Federasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek
Kepustakaan:
Markas Besar TNI, “Paradigma Baru Peran TNI (Sebuah Upaya Sosialisasi)” (Markas Besar TNI, Edisi III Hasil revisi, Juni 1999), h. 2-7
Global Witness, “Paying For Protection, The Freeport mine and the Indonesian Security forces” Juli 2005.
Environmental Investigation Agency/Telapak, “The last Frontier; Illegal logging in Papua and China’s massive thimber theft,” London/Jakarta, Februari 2005
Republika, 25 Februari 2006; Republika, 8 Maret 2006; Republika, 14 Maret 2006.
Sinar Harapan, 29 Desember 2005.
Suara Pembaruan, 28 Februari 2006.
Tempo, Edisi 3-9 Juli 2006; Tempo, Edisi 10-16 Juli 2006.
The Jakarta Post, 19 Januari 2006.
Kompas, 27 Januari 2005
Koran Tempo, 3 Maret 2006; Koran Tempo, 24 Desember 2005; Koran Tempo, 8 Januari 2005; Koran Tempo, 12 Januari 2005.
Artikel ini sebelumnya dimuat di buletin elektronik SADAR (Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi), Edisi: 25 Tahun III – 2007, http://www.prakarsa-rakyat.org