Pada 2003, dengan nama sandi “Operation Iraqi Freedom,” koalisi pasukan yang dipimpin Amerika Serikat (AS), menyerbu Irak. Dengan kekuatan mencapai sekitar 295.500 pasukan, didukung persenjataan tempur supercanggih serta dana tidak terbatas, pemerintahan Saddam Hussein, dalam waktu singkat sukses ditaklukkan.
Segera sesudahnya, pasukan pendudukan itu langsung mengagendakan penyusunan sebuah tatanan pemerintahan yang demokratis. Setelah hampir empat dekade hidup di bawah pemerintahan teror, kini rakyat Irak, seperti dikemukakan presiden AS, George W. Bush, “…..must have a voice in the new government, and all citizens must have their rights protected.” Dalam “Fact Sheet: Democracy in Iraq,” yang diterbitkan Gedung Putih, ada empat tahap pembangunan demokrasi di Irak: pertama, penyerahan kedaulatan kepada pemerintahan koalisi pada 24 Juni, 2004; kedua, pada Januari 2005, rakyat Irak melakukan pemilihan umum untuk memilih para pemimpin yang akan duduk di pemerintahan transisional; ketiga, pemerintahan Irak yang baru ini, telah mengadopsi demokrasi konstitusional paling progresfi di dunia Arab. Konstitusi yang baru ini memasukkan jaminan bagi perwakilan seluruh komunitas yang berbeda, menjamin penegakan hukum, kebebasan berkumpul, hak-hak kepemilikan, kebebasan berbicara dan kebebasan pers, kebebasan mempraktekkan keyakinan agama masing-masing, jaminan terhadap hak-hak perempuan, dan hak untuk memilih; dan keempat, dalam tiga hari kemudian, rakyat Irak harus memilih pemerintahan baru di bawah Konstitusi mereka yang juga baru.
Seluruh proses ini berujung pada pemilu 12 Oktober 2005. Hasilnya, sebuah pemerintahan koalisi yang dipimpin perdana menteri Nouri al-Maliki, dari United Iraqi Alliance – Islamic Dawa Party.
Tetapi, apakah Iraq lantas menjadi sebuah pemerintahan yang demokratis? Jawaban atas pertanyaan ini, bergantung pada bagaimana kita mengartikan demokrasi. Dari sini, persoalan lantas menjadi rumit dan abstrak, karena masing-masing memiliki pengertian dan pemahaman terhadap demokrasi. Namun demikian, satu hal yang paling esensial, pembangunan sistem pemerintahan demokrasi di Irak pasca Saddam Hussein, dimotori oleh sebuah kekuatan asing, Amerika Serikat.
Tindakan agresif Washington ini, bukan tanpa alasan. Sebaliknya, tindakan itu didasarkan pada tujuan yang sangat mulia. Promosi Demokrasi, itulah judul besarnya. Berbekal kebijakan Promosi Demokrasi itu, invasi militer ke sebuah negara berdaulat menjadi sah. Maka pertanyaan penting di sini, apa itu Promosi Demokrasi?
Menjawab pertanyaan ini, the North American Council for Latin America (NACLA), dalam rangka perayaan 40 tahun kiprahnya, pada April 2006, menyelenggarakan sebuah Konferensi dengan tema “In the Name of Democracy: U.S. Elcetoral Intervention in the Americas,” di Yale University, AS. Hasil dari konferensi itu, kemudian dimuat dalam edisi terbaru “NACLA Report on the Americas.” Dari sekian laporan yang ada, artikel yang ditulis William I. Robinson, profesor sosiologi dan studi internasional dari universitas California, Santa Barbara, AS, berjudul “Democracy or Polyarchy,” dengan sangat khusus menguliti apa yang disebut kebijakan “Promosi Demokrasi” itu.
Demokrasi atau Polyarchy
Berdasarkan rekaman sejarah, politik intervensi AS ke luar negeri, tidak pernah tampil dalam wujud yang tunggal dan seragam. Ada sekian banyak strategi-taktik untuk setiap lokasi dan periode tertentu. Dalam masa perang dingin, misalnya, untuk membendung pengaruh Uni Sovyet, AS melancarkan politik intervensi langsung dan tidak langsung melalui operasi militer maupun operasi intelijen. Pada masa ini, Washington tidak segan-segan menjatuhkan pemerintahan yang sah, yang tidak berpihak kepada kepentingannya seperti, Mohammed Moassadegh di Iran pada 1953, atau Soekarno di Indonesia pada 1965. Dan kemudian, mendukung pemerintahan teror dan brutal seperti Soeharto di Indonesia, Augusto Pinochet di Chile, atau Saddam Hussein di Irak.
Pada masa itu, kosakata demokrasi tenggelam di balik jargon-jargon modernisasi atau pembangunan. Dalam cengkeraman rejim Orde Baru, misalnya, tertib sosial jauh lebih penting ketimbang kompetisi politik terbuka. Sentralisme kekuasaan di tangan aparatus negara, dipandang lebih efektif dalam menggerakkan roda-roda modernisasi dan pembangunan. Tak ada itu masyarakat politik, masyarakat bisnis, juga masyarakat sipil. Pemilahan semacam itu berarti subversif. Semua anak bangsa bersaudara, hidup bernegara layaknya hidup berkeluarga dalam sebuah rumah tangga.
Memasuki dekade 1980an, gerakan sosial yang melawan kediktatoran mulai bangkit dari tidur panjangnya. Di motori para pejuang hak asasi manusia (HAM), intelektual publik, dan mahasiswa, mereka tak kenal lelah menggerus setiap jengkal otot-otot rejim diktator. Di Amerika Latin, satu persatu rejim kediktatoran itu tumbang, berawal dari Argentina pada 1983, terus menyebar ke seluruh kawasan. Demikian juga rejim diktator di Asia satu demi satu mengalami nasib serupa, yang ditandai dengan kejatuhan rejim Ferdinand Marcos di Filipina, pada 1986.
Pada masa-masa inilah, pemerintah AS mendeklarasikan kebijakan luar negeri, yang kini dikenal dengan nama “Promosi Demokrasi.” Kebijakan ini merupakan respon politik luar negeri AS, terhadap perubahan situasi politik dan ekonomi saat itu. Sebagai sebuah respon politik, tentu saja pemaknaan terhadap kosakata demokrasi ini sarat muatan politiknya. Inilah yang melatari Robinson dalam paper yang dipresentasikan dalam Konferensi Yale, tersebut.
Menurut Robinson, apa yang Washington sebut sebagai “Promosi Demokrasi,” sebenarnya tak lain adalah Promosi “Polyarchy.” Mahasiswa ilmu politik atau penggiat studi demokrasi, pasti akrab dengan istilah Polyarchy. Ya benar, ini adalah istilah yang diperkenalkan Robert A. Dahl, salah satu teoritikus demokrasi paling terkenal. Tapi, tulis Robinson, akar dari istilah ini ditemukan pada karya klasik Joseph Alois Schumpeter, “Capitalism, Socialism and Democracy.” Dalam buku tersebut, Schumpeter memaknai demokrasi sebagai seperangkat aturan dan prosedur kelembagaan untuk memuluskan kepentingan elite dalam meraih kekuasaan melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat. Di sisi koin sebelahnya, demokrasi berarti “rakyat memiliki kesempatan untuk menerima atau menolak pemimpinnya.” Rumusan singkat demokrasi a la Schumpeterian ini, disampaikan Samuel P. Huntington, bahwa sebuah negara dikategorikan demokrasi jika, “sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu, dipilih melalui jalur pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan di dalam sistem itu, para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.”
Paradigma Schumpeterian yang berpuncak pada Robert A. Dahl ini, menurut Robinson, telah menyebabkan demokrasi menjadi kereta kencana tunggangan elite. Makna dasar demokrasi sebagai kekuasaan (rule/kratos) rakyat (people/demos), lenyap dalam rimbunan belukar birokrasi beserta seluruh aturan mainnya. Suara rakyat, yang berlangsung secara periodik pada akhirnya, hanya dibutuhkan sekadar sebagai sumber otoritas bagi elite untuk melayani kepentingannya sendiri.
Jika kita menganggap demokrasi berarti kekuasaan rakyat, partisipasi rakyat atas pengambilan keputusan-keputusan yang sangat vital bagi kepentingannya, dan sistem yang paling baik dalam mendistribusikan sumber-sumber material dan kultural, kita tak memiliki masalah sediktpun dengan kata Demokrasi. Yang jadi soal kemudian, di era neoliberalisme, “Promosi Demokrasi,” kembali mengutip Robinson, berarti “pembangunan sebuah rejim neoliberal untuk menegakkan tata aturan dan kelembagaan yang memungkinkan semakin terintegrasinya negara tersebut ke dalam sistem kapitalisme global. Pada saat yang sama, mengisolasi, memarjinalisasi, dan mendiskreditkan gerakan rakyat, nasionalis, atau revolusioner lainnya yang potensial mengancam stabilitas dominasi rejim lokal yang pro-AS dan pro-kebijakan neoliberal.”
Dengan demikian, di era neoliberal, “Promosi Demokrasi” yang menjadi wacana dominan para teoritisi transisi (transitologi), telah sempurna sebagai kendaraannya elite kapitalis. Sebabnya, demokrasi, sebagaimana dikatakan Diamond, Linz, dan Lipset, adalah “sebuah sistem politik yang terpisah dari sistem sosial dan ekonomi.” Lebih jelasnya, “isu-isu ekonomi dan sosial demokrasi harus dipisahkan dari masalah struktural pemerintahan.”
Dengan kerangka berpikir demikian, pemerintah dirantai tangannya agar tidak terlibat dalam persoalan ketidakpastian hidup mayoritas rakyat. Demokrasi berhenti pada sekadar masalah prosedural belaka, dan pemerintahan hasil pemilu berubah menjadi pemerintahan oligarkhis atau plutokratis. Demokrasi atau polyarchy dalam pengertian Robinson ini, oleh ahli politik Argentina Atilio Boron, disebutnya telah membalik prinsip demokrasi sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, menjadi pemerintahan dari pasar, oleh pasar, dan untuk pasar.”
Tidak heran, jika kehadiran demokrasi dalam struktur masyarakat yang timpang, diskriminatif, rasis, bias gender, dan dipenuhi tindakan kekerasan, menjadi tidak bermakna. Bahkan, dalam banyak kasus, segala bentuk keburukan warisan rejim kediktatoran dikekalkan atas nama demokrasi. Demokrasi dengan segera menjadi perkara yang melelahkan, menghabiskan energi, mahal, bermuka dua, dan tak tergapai. Apatisme pun merebak, dari sana benih-benih kebencian terhadap demokrasi tumbuh dengan suburnya.
Agen-agen Promosi Demokrasi
Dalam Konferensi Yale itu terungkap, kebijakan “Promosi Demokrasi” ini untuk pertama kalinya dicanangkan pada masa pemerintahan Ronald Reagen.
Sebagai realisasi dari kebijakan ini, pada 1982 Reagen, atas rekomendasi dari The American Political Foundation’s, meluncurkan pendirian sebuah lembaga nirlaba yang tugasnya menjadi “clearing house” bagi seluruh upaya-upaya “Promosi Demokrasi” di seluruh dunia. Lembaga itu diberi nama “the National Endowment for Democracy/NED.” Organisasi ini diberi mandat untuk “mempercepat pembangunan infrastruktur demokrasi di seluruh dunia.” Sebagaimana tertuang dalam dokumen publik NED pada 1998 dengan judul “Strengthening Democracy Abroad: The Role of the National Endowment for Democracy,” NED merupakan sebuah lembaga yang “diinisiasi oleh pemerintah AS untuk memperkuat kelembagaan demokrasi di seluruh dunia melalui lembaga-lembaga swasta, dan lembaga non-pemerintah.”
Sejak saat itu, NED tak pernah kehabisan energi untuk mengintervensi kebijakan sebuah negara yang dinilai tidak sesuai dengan sistem Polyarchy atau demokrasi berorientasi pasar. Untuk menjalankan mesin organisasinya, NED bersama-sama dengan partai Republik dan partai Demokrat, Dewan Bisnis (Chamber of Commerce) dan American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations (AFL-CIO), mendirikan Center for International Private Enterprise (CIPE), the National Democratic Institute for International Affairs (NDI), the National Republican Institute for International Affairs yang kemudian berubah nama menjadi the International Republican Institute (IRI) and Free Trade Union Institute (FTUI) yang kemudian lebih dikenal dengan nama the American Center for International Labor Solidarity (ACILS) atau Solidarity Center. NED sendiri, untuk jangka waktu yang lama dipimpin oleh pebisnis kakap Carl Gershman.
Dari segi pendanaan, NED menerima dana dari pemerintah AS melalui U.S. Agency for International Development (USAID), dan dari beberapa kontributor. NED juga memperoleh sumbangan dana dari lembaga-lembaga pro-pasar bebas semacam Smith Richardson Foundation, the John M. Olin Foundation dan the Bradley Foundation. Pada tahun 2004, misalnya, dana yang dimiliki NED mencapai $80.1 juta, $79.25 juta berasal dari lembaga-lembaga pemerintah AS, dan $0.6 juta datang dari kontributor lainnya. Dengan dana tersebut “Promosi Demokrasi” digerakkan. Salah satu publikasi paling terkenal yang mendapat dukungan dana dari NED adalah the Journal of Democracy. Melalui jurnal ini, gagasan mengenai kesesuaian dan demokrasi dan pasar bebas, diekspor ke seluruh dunia dan mendapat penghargaan sangat tinggi di kalangan akademisi di negara-negara target.
Jumlah dana yang mengucur itu memang tidak kecil. Tapi yang lebih penting, setelah lebih dari 20 tahun beroperasi, kebijakan “Promosi Demokrasi” ini, telah berubah menjadi sebuah industri global dengan omset multi-milyaran dollar. “The business of promoting democratic change,” is a “growth industry,” ujar presiden Bush, di hadapan anggota IRI pada 17 Mei 2005.
Tetapi, NED bukan satu-satunya lembaga yang diserahi tanggung jawab untuk “Promosi Demokrasi.” Menurut Robinson, ada tiga level organisasi politik yang bertugas mendesain, membiayai, melakukan aktivitas operasional, dan mempengaruhi kebijakan negara target. Pertama, adalah level tertinggi aparatus negara AS seperti, Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan (Pentagon), dinas intelijen CIA, dan cabang-cabang kekuasannya di negara lain. Pada level ini, seluruh kebutuhan untuk melakukan intervensi politik melalui kebijakan Promosi Demokrasi pada suatu negara atau wilayah tertentu, harus disinkronkan dengan kebijakan militer, ekonomi, diplomasi, dan dimensi-dimensi lain.
Level kedua, adalah agen pembangunan internasional AS (USAID), dan beberapa cabang departemen LN yang memperoleh kucuran dana ratusan milyar dollar. Dana-dana tersebut sebagian digunakan secara langsung, sebagian lainnya disalurkan ke lembaga semacam NED dan lembaga-lembaga lain seperti US Institute for Peace (USIP). Lembaga-lembaga ini berkait sangat erat dengan korporasi-korporasi AS, yang juga sangat berkepentingan dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS.
Level ketiga, adalah organisasi-organisasi AS yang menyediakan “grant” – dengan maksud membiayai, mengarahkan, dan menjadi sponsor politik – bagi organisasi-organisasi yang berada di negara yang diintervensi. Organisasi-organisasi ini boleh jadi telah berdiri sebelumnya, kemudian melalui program “Promosi Demokrasi” diinkorporasikan ke dalam desain kebijakan luar negeri AS. Atau bisa saja lembaga-lembaga itu diciptakan sebagai sebuah kesatuan dari lembaga-lembaga yang telah ada. Lembaga-lembaga ini bisa berupa partai politik lokal beserta koalisinya, kelompok mahasiswa dan perempuan, liga petani, kelompok hak asasi manusia, serikat buruh, intelektual, lembaga swadaya masyarakat, media masssa, asosiasi-asosiasi sipil, lembaga-lembaga bisnis profesional, dsb.
Di lapangan, dalam pembagian kerja dengan jaringan intervensi politik, setiap agen “Promosi Demokrasi” ini bekerja pada bidang garapan yang telah ditentukan. Sebagai contoh, NDI dan IRI, khusus menggarap partai politik, dimana dalam tugasnya ini mereka memberikan “grant” kepada kepada partai di negara yang diintervensi. Sebaliknya, FTUI dan ILS, menggarap sektor buruh dan secara tipikal, selalu memberikan “grant” kepada serikat buruh.
Di sektor masyarakat sipil, jaringan kerja intervensionis ini melakukan penetrasi dan mengontrol kelompok masyarakat di negara yang diintervensi. Kelompok-kelompok lokal ini seringkali di undang jalan-jalan ke AS, di mana mereka memperoleh pemahaman lebih bahwa dirinya adalah independen dan non-partisan. Kelompok-kelompok lokal ini juga memperoleh serangkaian bantuan teknis, konsultasi, dan pakar untuk “memperkuat partai politik dan masyarakat sipil.” Jaringan kerja intervensi ini juga melakukan serangkaian pelatihan dan workshop mengenai “pendidikan sipil,” “pelatihan media,” dan sebagainya.
Penutup
Kembali ke ruang konferensi di Yale University, paparan William I. Robinson, ditanggap oleh Michael Coppedge, assoiciate profesor ilmu politik dari universitas Notre Dame, AS. Dalam paper berjudul “In Defense of Polyarchy,” Coppedge mengatakan, seluruh kesalahan yang diperbuat oleh kebijakan “Promosi Demokrasi,” tidak bisa disematkan pada konsep Polyarchy.
Bagi Coppedge, polyarchy lebih dari sekadar masalah pemilihan umum tapi, juga seperti yang didefinisikan Dahl, suatu kondisi dimana warga negara memperoleh jaminan kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan memperoleh sumber-sumber informasi alternatif, kebebasan mengekspresikan kepentingan politiknya dan membangun kerjasama dengan pihak lain tanpa adanya rasa takut terhadap pembalasan dari pemerintah. Masalahnya, kembali mengutip Dahl, Coppedge mengeluhkan soal tidak jernihnya pemahaman para kritikus terhadap definisi polyarchy.
Itu sebabnya, ketika datang kritik gencar bahwa polyarchy mengabaikan masalah ketidakadilan sosial-ekonomi, Coppedge melihat telah terjadi kerancuan berpikir di kalangan kritikus polyarchy. Bagi Coppedge, jika demokrasi berarti juga sebuah bentuk pemerintahan yang menjamin atau secara progresif melaksanakan distribusi aset dan pendapatan, dan memudahkan pergerakan status sosial, kepercayaan diri, kekuasaan politik dan kebebasan personal, maka baginya ini lebih pantas disebut “sosial demokrasi.”
Kita tahu, itulah inti dari kritik terhadap Polyarchy ini, yang menggusur demokrasi hingga terpisah dari realitas kehidupan sosial masyarakat. Padahal, ketika rakyat menuntut demokrasi, itu tidak saja bermakna kebebasan sipil dan politik tapi, juga terpenuhinya hak-hak ekonomi-sosial-budaya yang selama itu dikangkangi rejim kediktatoran. ***
Coen Husain Pontoh
Kepustakaan:
Atilio A. Boron, “The Truth about Capitalist Democracy,” in Leo Panitch and Colin Leys, “Telling The Truth,” Socialist Register, 2006.
David Lowe , “Idea to Reality: NED at 20,” http://www.ned.org/about/nedhistory.html
Kim Moody, “An Unholy Alliance: AFL-CIO and NED in Venezuela,” Monday, Jul 11, 2005, http://www.venezuelanalysis.com/articles.php?artno=1499.
http://en.wikipedia.org/wiki/National_Endowment_for_Democracy
NACLA Report on the Americas, “In the Name of Democracy U.S. Intervention in the Americas Today,” Vol. 40 No. 1, January/February 2007.
William I. Robinson, “Promoting Polyarchy in Latin America: The Oxymoron of “Market Democracy,” in Eric Hersberg and Fred Rosen, “Latin America After Neoliberalism Turning the Tide 21st Century?” NACLA and The New Press, NY, 2006.