BAGI saya tidak ada yang salah saat Pollycarpus Budihari Priyanto mengajukan diri untuk bisa bebas bersyarat, seperti juga Anwar Kongo yang merasa tidak pernah salah melakukan penjagalan. Pollycarpus toh masih merasa tidak bersalah, ia merasa jadi korban konspirasi dalam kasus pembunuhan Munir. Dalam sebuah masyarakat yang lebih mudah mengingat tanggal pernikahan Raffi dan Gigi, keberadaan Pollycarpus jelas hanya figuran. Ia tidak lebih penting dari jumlah follower Dijjahyellow.
Tapi jadi agak menjijikan bagi saya ketika pemerintah dengan mudah membebaskan Pollycarpus, namun susah memberikan penjelasan mengapa Filep Karma, seorang aktivis keadilan Papua, ditahan hingga bertahun-tahun lamanya. Pada 1 Desember 2004, Filep Karma dan beberapa temannya melakukan aksi damai untuk memperingati hari kemerdekaan Papua. Hari itu ia mengibarkan bendera Bintang Kejora di lapangan Trikora, Abepura, Jayapura. Dalam kejadian itu pihak keamanan Indonesia bereaksi sangat keras. Sekitar 4 orang terluka, termasuk Filep Karma.
Demi mengibarkan simbol kemerdekaan bangsa Papua, Filep harus membayar mahal. Pada Mei 2005, ia divonis hukuman penjara 15 tahun penjara atas tuduhan makar. Tapi apakah makar itu? Dalam banyak hal, makar tidak lebih dari sekedar label dan cap yang mudah diberikan untuk melegitimasi kekerasan. Label yang diberikan kepada tiga juta orang yang dibantai atas nama simpatisan komunis, tiga orang dibunuh dengan brutal karena ia dicap Ahmadiyah yang dianggap sesat, dan puluhan keluarga terusir dari rumah karena ia diberi label Syiah.
Label adalah usaha untuk memberikan kemudahan bagi pemerintah untuk melakukan kendali. Pemerintahan kita dalam sejarah memiliki banyak lembaga yang difungsikan sebagai panoptikon, sistem pengawasan ala Big Brother dalam novel 1984. Kita mengenal Tim Pengawas Keyakinan yang punya kuasa untuk menentukan sesat atau tidaknya sebuah keyakinan, juga Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang menjadi satuan tugas paling mengerikan paska 1965.
Tapi sebenarnya siapa Filep dan mengapa ia begitu ditakuti oleh pemerintah Indonesia? Mengapa seorang Papua ini bisa menjadi momok mengerikan sehingga mesti berkali kali dipenjara karena mengebarkan bendera? Ini perkara rumit yang, bahkan, saya sendiri malas membahas. Tapi di zaman dimana segala hal bisa dikomentari, tentu kita bisa berdebat perkara apakah mengibarkan bendera Bintang Kejora itu tindakan makar, sementara membunuh aktivis kemanusiaan itu usaha menjaga stabilitas negara.
Perjuangan Filep terhadap keadilan bangsa Papua jauh ia lakukan sejak Orde Baru masih berkuasa. Pada 1998, ia memulai advokasi kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia dengan menaikkan bendera Bintang Kejora di Biak. Akibat kegiatannya ini Filep divonis pengadilan 6 tahun penjara, namun dua tahun kemudian dibebaskan setelah Gus Dur jadi presiden pada tahun 2000. Setelah dibebaskan, Filep tidak berhenti melakukan advokasi dan perjuangan terhadap apa yang ia yakini sebagai kebenaran.
Filep ditahan sejak 2004, tahun yang sama di mana Munir mati dibunuh. Selama satu dekade terakhir penegakan hukum seolah jalan di tempat, kekerasan demi kekerasan ditolerir, dan puncaknya adalah ketika seorang Pollycarpus dapat bebas bersyarat sementara Filep Karma masih saja ditahan. Tentu tidak adil membandingkan kasus Filep dan Pollycarpus, yang satu ditahan karena memperjuangkan kebebasan bangsanya, yang satu dipenjara karena membungkam kebebasan yang lain.
Wakil Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Navi Pillay, pada Mei 2013 menyebut bahwa pemerintahan Indonesia berlebihan dalam menangani kasus pengibaran Bintang Kejora di Papua. Sebelumnya UN Working Group on Arbitary Dentention, juga mengatakan bahwa penahanan Filep Karma oleh Pemerintah Indonesia sebagai pelanggaran hukum internasional. Filep dianggap tidak mendapatkan fair trial serta dinyatakan sebagai tahanan politik. Namun pemerintah Indonesia menyangkal adanya tahanan politik.
Tentu PBB tidak bisa diandalkan dalam perkara-perkara kemanusiaan, mereka hanya sibuk voting dan musyawarah belaka. Tapi pada satu titik permasalahan, keberadaan Filep Karma yang ditahan ini sempat menjadi duri dalam daging pemerintah. Indonesia ditekan untuk menegakkan keadilan. Pemerintahan SBY pernah memberikan remisi kepada Filep, namun Filep menolak pemberian ini karena ia menganggap bahwa keseluruhan kasus yang ditimpakan kepadanya adalah sebuah kesalahan.
Maka semestinya kita bersepakat ketika Filep berkata dalam buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang”. Republik ini, dalam buku tersebut, tidak pernah menempatkan orang Papua sebagai warga yang sejajar. Selama sekolah di Jawa, kata Filep, orang Papua sering dianggap setengah binatang. “Kitorang dianggap seakan-akan kitorang evolusi dari teori Darwin, proses dari hewan berubah jadi manusia,” katanya.
Mengharapkan kebebasan Filep Karma pada pemerintahan kali ini barangkali seperti mengharapkan The Smiths akan reuni. Prioritas penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia Jokowi belum menunjukkan hal yang menggembirakan. Kekerasan demi kekerasan di Papua masih terjadi, bahkan ketika Presiden yang menjanjikan penegakan HAM ini terpilih. Respon si presiden pada penembakan Paniai membutuhkan waktu berhari-hari tanpa ada sikap yang jelas.
Slogan Kerja, Kerja, Kerja tidak lebih banal daripada semangat Orde Baru yang membungkam kritik atas nama Pembangunan. Barangkali sudah waktunya Kerja, Kerja, Kerja diimbangi dengan semangat untuk mengingat. Mengingat bahwa sejarah bangsa ini tidak baik baik saja, ada banyak darah yang ditumpahkan dan dikorbankan. Seruan Ingat, Ingat, Ingat bisa jadi penting ketika kita lebih mudah melupakan.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menuntut Pollycarpus hukuman penjara seumur hidup, karena dianggap terbukti terlibat dan merencanakan pembunuhan Munir. Pengadilan kemudian memberikan vonis hukuman penjara selama 14 tahun. Sementara Filep Karma dipenjara selama 15 tahun karena mengibarkan bendera. Dari sini tentu kita bisa belajar, bahwa di negeri ini, membunuh seseorang hukumannya lebih ringan daripada mengibarkan bendera.***