Kritik – Wiji Thukul, Mata Sejarah dalam Budaya Bisu
Kritik – Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah
Teori – Pemuda, Remaja, dan Alay: Dari Politik Revolusioner Menjadi Sekadar Gaya Hidup
Teori – Permainan Video sebagai ‘Gesamtkunstwerk’
Karya – ku Bin Atang
BARANGKALI pengantar edisi ini adalah pengantar paling kapitalis dari pengantar-pengantar kami sebelumnya. Dua bulan terakhir ini, orang Indonesia—lebih spesifik lagi—orang Indonesia di kota-kota besar yang berumur kurang lebih kepala dua dan kepala tiga, terkena ‘sindrom kenangan’. Pasalnya adalah kemunculan film pendek sekuel AADC Mini Drama. Film pendek itu membawa ribuan—bahkan jutaan—kepala kembali pada masa beberapa tahun silam ketika film AADC besutan Riri Reza Rudi Soedjarwo ‘pecah’ di bioskop-bioskop. Entah nostalgia macam apa yang muncul di kepala masing-masing, tetapi sedikit banyak, kesamaan referensi pada AADC-lah pemicunya. Dan AADC Mini Seri yang memicu kenangan itu ternyata dan ternyata merupakan iklan cerdas untuk sebuah aplikasi komunikasi via telepon pintar; LINE.
Karya seni atawa kerja-kerja kebudayaan saudari-saudara, setidaknya dalam optimisme Walter Benjamin, memungkinkan dengan sangat kita mengenal kembali masa lalu. Melalui film dan foto misalnya, ia percaya bahwa masyarakat bisa didekatkan dengan keadaan pada sebuah masa tertentu. Tentu Benjamin kala itu tidak mengenal Photoshop dan sejenisnya, yang memungkinkan kita ‘merekayasa’ foto, oleh karenanya bisa membelokan apa pun pesan di dalamnya. Tentu juga Benjamin tidak buta untuk tak melihat mekanisme kerja kapitalisme dalam produksi dan distribusi kapitalistik di balik dua produk kebudayaan itu. namun setidaknya, dari kemungkinan yang ditawarkan teknologi yang ada, di balik foto dan televisi menjanjikan sebuah rekaman sejarah yang paling mendekati peristiwa yang sesungguhnya; tidak persis tentu saja. Kapitalisme dan saudara jauh namun dibencinya, fasisme, tahu betul kemampuan teknologi menerobos ruang waktu dan kesadaran. Dan mereka pun tahu betul cara memanfaatkan potensi itu.
Pada edisi ini, kami sengaja menampilkan tulisan Martin Suryajaya tentang seni video game di rubrik teori. Dalam tulisan itu, menurut Martin, teknologi yang digunakan video game memungkinkannya disebut sebagai ‘karya seni total’. Kami juga, di rubrik yang sama, menghadirkan tulisan perihal anak muda dari Aria W. Yudhistira. Kita akan menemukan di dalam tulisan tersebut sejarah pemahaman tentang anak muda dan bagaimana pergeseran pemahaman itu, serta kosa kata julukannya, dari masa ke masa yang tak lepas dari pengaruh politik dan perkembangan teknologi informasi yang menjadi sumber referensi para pemuda.
Sedangkan di rubrik kritik, kali ini sastrawan Afrizal Malna menghadiahi kita dengan kenangannya, penilaiannya, dan persahabatannya dengan penyair Widji Thukul yang kerap menjadi ikon perjuangan. Malna dalam tulisannya memaparkan sejarah kiprah Thukul dalam sastra Indonesia dan bagaimana puisi-puisi Thukul dibaca dalam sejarah sastra Indonesia. Selain itu, perbandingan tentang sejarah pemberontakan PKI 1926 dari versi ‘resmi’ dengan ‘versi alternatif’ dapat kita baca dalam tulisan Budiawan bertajuk “Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah”.
Tentu Lembar Kebudayaan IndoProgress tak melupakan rubrik apresiasi karya. Kali ini kami memilih cerpen “Aku bin Atang” karya AP Edi Atmaja sebagai santapan pembaca.
Akhirul kalam, menyitir Eka Kurniawan, kami menutup pengantar ini, “seperti janji, kecewa harus dibayar tuntas.” Tuntaskan kekecewaan dengan kerja yang lebih keras menuju cita-cita yang dikhianati.