MENGIKUTI jurus-jurus politik yang dilancarkan oleh para oligarkh akhir-akhir ini, saya berpendapat semua jurus tersebut bisa dipatahkan oleh satu jurus pamungkas: Bekerja dengan detil. The Devil is in the details, demikian kata bijaknya.
Apalagi menjelang laga-laga pamuncak yang tinggal sepelemparan batu jaraknya ini, maka segala macam jenis seremoni, kampanye-kampanye yang bersifat umum, pesan-pesan yang abstrak, harus segera dibangku-cadangkan. Starting eleven harus diisi oleh rumusan program-program yang sederhana, tenaga-tenaga terlatih yang siap mengusungnya dengan mental pemenang, penguasaan lapangan bermain yang menyeluruh, serta instruksi-instruksi yang tepat sasaran berkaitan dengan perubahan taktik sewaktu-waktu. Meminjam petuah Jose Mourinho, pelatih sepakbola yang terkenal sangat detil dalam mempersiapkan timnya, semua hal harus dipelajari dan dipersiapkan secara detil: kebugaran pemain, kesiapan psikologi, kondisi tim lawan, gaya bermain mereka, lapangan permainan, taktik-tatik yang dipersiapkan, dst.
Konkretnya, segera petakan dimana kantong-kantong terkuat yang hampir pasti dimenangkan dan mana wilayah terlemah. Setelahnya segera lakukan pelatihan relawan tentang bagaimana cara berkampanye dari pintu ke pintu dan apa yang harus dilakukan oleh sang juru kampanye tersebut, tentang bagaimana cara mengawasi kecurangan-kecurangan di TPS, dan kemana mereka harus berkoordinasi. Masing-masing relawan bertanggung jawab untuk wilayah dengan luas area tertentu. Misalnya, satu orang bertanggung jawab untuk 20 rumah tangga, atau 2 orang bertanggung jawab untuk satu rukun tetangga (RT).
Ketika Obama maju dalam pemilu presiden putaran pertama, para relawannya memiliki ciri khas utama: menenteng stiker bergambar wajah Obama yang bertuliskan Hope, selebaran-selebaran berisi program-program pokok Obama jika terpilih sebagai presiden, serta buku tulis dan pulpen. Ketika mereka mengetuk atau memencet bel apartemen dan atau ketemu orang di jalanan, maka para relawan ini dengan sigap menyodorkan stiker dan selebaran tadi. Kemudian mereka menerangkan dengan singkat dan jernih tentang isi selebaran itu kepada penghuni rumah atau orang yang mereka temui (baca: cegat) di jalanan. Setelah itu mereka bertanya ada berapa penghuni rumah tersebut yang punya hak pilih, dan jika dijawab maka mereka segera menuliskannya dalam buku yang sudah mereka siapkan: nama, pekerjaan, nomor telepon, dan alamat email. Dari sini, para relawan ini tidak hanya berkampanye dengan simpatik dan mendidik, tapi mereka juga tahu dengan lebih pasti berapa kira-kira calon pemilih mereka dan potensi menangnya dengan lebih pasti. Inilah yang saya sebut sebagai ‘sensus politik.’
‘Serangan darat’ ini kemudian diperkuat dengan kampanye melalui facebook, twitter, dan surat elektronik (mailing-list). Saya, misalnya, setelah menuliskan alamat email saya, maka hampir setiap hari menerima pesan-pesan via email yang berisi tentang kegiatan-kegiatan Obama, agenda kegiatan tim kampanyenya yang ada di seputaran tempat tinggal saya, program-program kerjanya, serta tak lupa mohon donasi minimal $5.00 (lima dollar). Dan isi pesan-pesan ini sangat singkat dan padat serta berlangsung secara reguler. Ketika Obama diserang dengan tuduhan ‘jangan-jangan ia muslim,’ email saya berisi penjelasan ringkas yang menangkis tuduhan tersebut. Dari email ini saya tahu dan bisa mengikuti day-to-day kegiatan kampanye Obama.
Melalui kerja-kerja yang sangat detil seperti ini, walaupun secara nasional pasang surut popularitas dan elektabilitas Obama terus diukur berdasarkan hasil-hasil survey dari lembaga survey yang kredibel, tetapi di lapangan tim Obama tahu lebih rinci bagaimana sebenarnya kekuatan mereka. Para relawan inilah yang menjadi kunci kemenangan Obama di pemilu pertamanya, bukan mesin Partai Demokrat yang sudah karatan dan disesaki oleh oligarki.***