Selama masa perang, Shadia Marhaban merupakan salah satu aktivis perempuan Gerakan Aceh Merdeka yang berjuang melawan penjajahan militer negara Indonesia di Aceh. Bersama organisasi lain, Shadia mengkoordinir Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan berhasil menggerakkan satu juta orang dalam demonstrasi damai untuk menuntut referendum.
Empat tahun kemudian, Shadia terpaksa melarikan diri ke Amerika Serikat ketika pemerintah melancarkan Daerah Operasi Militer di Aceh. Ini mendorong Shadia untuk mencari dukungan internasional bagi rakyat Aceh. Pada tahun 2005, Shadia merupakan satu-satunya perempuan yang mengikuti perjanjian damai di Helsinki yang mengakhiri perang di Aceh. Peran Shadia dalam perjuangan rakyat Aceh didokumentasikan dalam film dokumenter “The Black Road”.
Setelah kembali ke Aceh, Shadia bergerak sebagai presiden Liga Inong Aceh (LINA) untuk membantu mantan kombatan perempuan kembali ke kehidupan sipil. Ia juga berperan aktif sebagai mediator dan konsultan usaha perdamaian di Afganistan, Thailand Selatan, Filipina, Timor-Leste, Nepal dan Papua. Selain itu, Shadia juga mengasuh sekolah pertama untuk anak-anak dengan autisma dan down syndrome di Aceh.
Pada 7-11 April 2014, Shadia diundang untuk berbicara di Conference on World Affairs di University of Colorado Boulder. Redaktur IndoPROGRESS, Rianne Subijanto berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Shadia Marhaban di Boulder, Colorado. Shadia berbagi cerita seputar gerakan rakyat di Aceh, sejarahnya serta perjuangannya di masa konflik dan saat ini.