Membincangkan Peristiwa G30S 1965, adalah perkara susah-susah-gampang. Peristiwanya sendiri begitu terang-benderang. Ada begitu banyak tafsir, ada begitu tebal kabut yang menyelimutinya. Salah satunya menyangkut peran angkatan darat (AD) sebagai garda terdepan dalam pembunuhan massal menyusul terbunuhnya enam jenderal AD.
Untuk menyingkap sedikit kabut tebal menyangkut keterlibatan AD ini, Coen Husain Pontoh dari IndoProgress, mewawancarai DR. Sylvia Tiwon, pengajar di Department of South & Southeast Asian Studies University of California, Berkeley AS. Berikut petikan wawancaranya:
IndoProgress (IP): Para analis politik sering mengatakan, dalam tahun-tahun sebelum Peristiwa G30S 1965, ada tiga kekuatan politik paling dominan: Soekarno, PKI, dan AD. Bagaimana Anda menjelaskan konfigurasi ketiga kekuatan politik yang berujung pada Peristiwa itu?
Sylvia Tiwon (ST):Perumusan konstelasi politik seperti ini mungkin merupakan bagian dari cara menganalisis peristiwa yang dinamakan “G30S” itu, yang akhirnya “bulat” saja diterima. Rumusan seperti ini, tidak banyak membantu lagi untuk memecahkan persoalan yang hingga sekarang masih belum terselesaikan. Saya mulai merasa bahwa memasukkan Soekarno sebagai “kekuatan” yang berimbang dengan kekuatan-kekuatan politik lain masih membutuhkan analisis lebih lanjut: Soekarno hanya satu orang saja sementara, kekuatan-kekuatan politik lain merupakan organisasi. Soekarno memang sangat kharismatis tetapi, dalam percaturan politik kharisma an sich bukanlah kekuatan yang berarti; kharisma hanya akan berarti kalau dapat dimanfaatkan dan pemanfaatan efektif secara politis berarti ada jalur dan mekanisme politik yang tidak dikuasai langsung oleh Soekarno. Sebelum Oktober ‘65 itu, lagu yang sering terdengar ialah “Bung Karno siapa yang punya?” Yang biasa dijawab dengan “republik Indonesia” atau “rakyat Indonesia.” Tapi, itu kan hanya lagu, bukan mekanisme.
Apakah kita bisa menjawab pertanyaan itu dengan cara lain? Ada yang pernah bercerita, menjelang Dekrit 1959, Soekarno pernah mengatakan “saya ini kan Presiden konstitusional!” (tentu dalam bahasa Belanda, ketika itu). Dan setelah UUDS dinyatakan tak sah tanpa menyelesaikan proses penggantian konstitusi secara utuh (melalui konstituante hasil pemilu yang sah), maka dasar konstitusional itupun menjadi goyah dan hanya dapat dipertahankan dengan kekuatan konkrit. Sementara, Partai Nasional Indonesia (PNI) jarang disebut-sebut. Saya kira PNI tidak identik dengan Soekarno. Untuk sedikit membebaskan diri dari pola analisis klasik ini (kita kok senang dengan angka 3 ya? bagaimana kalau 4? atau 6?) mungkin akan membantu untuk juga melihat dinamika politik di bawah: bagaimana kiprah partai tingkat cabang, ranting setelah dekrit 59 yang memangkas kekuatannya di pusat setelah pemilu? Bagaimana tanggapan AD?
Dan tentu, aktor penting yang tak boleh dilupakan: Amerika Serikat (AS) yang sedang melancarkan perang anti-komunis, dengan partnernya, Inggris, yang juga sedang menumpas “komunis” di semenanjung.
IP: Ketika Peristiwa itu meledak, terbukti hanya AD-lah yang paling siap dan pada akhirnya keluar sebagai pemenang.
ST: AD yang punya senjata, mobilitas, dan tenaga yang terorganisir menurut konsep “perang teritorial” yang dikembangkan. Tahun 1964, republik berada di bawah hukum darurat (SOB ketika itu). Di samping itu, di antara pihak-pihak yang memelihara jalur komunikasi langsung dengan AS adalah AD, yang sering mengadakan komunikasi/pertemuan dengan AS. Dokumen-dokumen pemerintah AS yang telah dideklasifikasi (bisa diakses oleh publik, ed.) jelas-jelas menunjukkan, bagaimana bulan Maret 1964, Nasution sudah menyatakan kepada Dubes AS di Jakarta bahwa AD sangat “pro-AS dan anti-PKI.” Dalam pertemuan itu, Nasution juga menjelaskan bahwa AD hanya “terpaksa melaksanakan keputusan pemerintahan” dan memberi kesan bahwa akan ada saatnya di mana situasi akan berubah dan untuk mengantisipasi itu komunikasi antara AS dan AD harus dilanjutkan. Menurut memo dalam laporan itu, kalau PKI tidak lagi mendukung Soekarno, maka penumpasan PKI di Madiun tahun 1948 tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penumpasan yang bakal dilakukan AD. Di mata AS, AD pun dianggap sebagai “real pals” (National Security Council Staff, Agustus 35, 1964), dan mempunyai kontak di AD yang menjadi sumber intelijen (nama kontak itu masih dirahasiakan). AS juga punya rencana kerja untuk mendukung operasi gelap melancarkan “agitasi” melawan PKI–yang merupakan partai sah hasil pemilu–menebar konflik antara unsur-unsur komunis dan non-komunis, dan menanam perpecahan di dalam tubuh PKI.
Dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam dokumen CIA ini juga diangkat kemungkinan dan dampak mencipta ketegangan internal yang mungkin memaksa AD mengambilalih kekuasaan untuk “mengembalikan ketertiban” (Memorandum CIA untuk Dept. of State, September 18, 1964 berjudul “Prospects for Covert Action”). Rencana program bantuan operasi gelap dalam 5 tahapan itu serta orang2 yang terlibat masih dirahasiakan, sementara dokumen2 CIA masih ada yang rahasia.
Peran dan kepentingan AS dalam peristiwa ini tidak bisa diabaikan. AS mempunyai kepentingan politik globalnya, terutama menghadang “blok komunis” dan juga kepentingan untuk melindungi modal sebesar kurang lebih $500 juta (dalam nilai tahun 1960an, tentu) yang ditanam di Indonesia, terutama perusahaan perkebunan dan minyak.
IP: Laporan Cornel Paper menyebutkan, Peristiwa G30S itu berpangkal pada konflik internal AD. Artinya, AD terlibat aktif dan penuh dalam Peristiwa tersebut. Bagaimana komentar Anda?
ST: Dari tahun ke tahun AD mengalami konflik internal yang berdampak eksternal sangat besar, karena selalu mencipta suasana “darurat” yang kemudian mudah dijadikan “darurat militer.” Jadi sebenarnya Peristiwa 1965 itu tidak terlalu aneh. Tentara bunuh tentara bukan hal yang baru ketika itu. Yang barangkali baru saat itu ialah pernyataan Untung bahwa semua pangkat militer akan diturunkan menjadi kolonel. Yang juga baru adalah suasana histeria nasional yang berhasil dibangkitkan melalui media. Cornell Paper itu baru merupakan upaya awal untuk memahami “kup Untung.” Setelah itu, banyak analisis yang sudah muncul, antara lain analisis oleh Peter Dale Scott (yang juga membuat analisis atas pembunuhan Kennedy, kontra- dan narkoba di Amerika Latin), apalagi setelah deklasifikasi dokumen-dokumen AS untuk tahun-tahun 1964-1968, dan juga beberapa tokoh CIA/intelijen AS. Cara operasi AS di Indonesia itu diangkat sebagai contoh operasi “tak langsung” (tapi tetap hitam) yang berhasil.
Dalam skenario ini juga kita perlu memasukkan kepentingan ekonomi AD: nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing (terutama perkebunan dan minyak) walau diawali oleh buruh, segera diambil alih oleh tentara. Reclaiming tanah oleh rakyat sudah dilakukan berkali-kali saat itu tetapi, lebih sering berakhir dengan reclaiming baru oleh AD. Tahun-tahun 50an dan awal 60an, berbagai faksi di dalam AD yang bertikai sudah biasa melakukan penyelundupan untuk membiayai operasi-operasinya. Dan relasi dengan AS juga sudah diketahui (walau juga masih banyak yang rahasia), begitu juga peran Soemitro Djojohadikusumo yang setelah peristiwa 65 berhasil menggiring perekonomian Indonesia memasuki “pasar bebas.” Tahun 1963, pemerintah Indonesia sudah dipaksa menerima restrukturisasi ekonomi (=pasar bebas) tapi kemudian ditolak lagi oleh Sukarno.
IndoProgress (IP): Katakanlah laporan Cornel Paper benar. Tapi, bagaimana menjelaskan kedigdayaan AD mengatasi dan kemudian memimpin dalam Peristiwa itu? Bukankah Soekarno sendiri tidak dalam posisi yang lemah secara politik saat itu?
ST: Apa benar posisi Soekarno “tidak lemah?” Itulah yang masih perlu diteliti. Walau Dekrit 59 mengubah posisinya menjadi presiden dengan wewenang eksekutif langsung (sistem presidensial seperti di AS), AD berperan dalam mematahkan konstituante hasil pemilu 1955. Tentu pada tahun-tahun menjelang 1959, banyak sekali peristiwa yang terjadi, yang kebanyakan berupa konflik-konflik antar grup-grup AD, termasuk gerakan “separatis.” Walau sudah ada studi-studi tentang itu, termasuk oleh Adnan Buyung Nasution, masa ini belum terlalu jelas. Saya kira faktor-faktor ekonomi (nasional dan internasional) masih kurang diperhatikan, termasuk jalur-jalur perdagangan senjata gelap dan penyelundupan. Dan tentu jalur-jalur berbagai operasi gelap.
IndoProgress (IP): Bagaimana Anda menjelaskan politik tumpas-kelor yang dilakukan AD terhadap anggota dan simpatisan PKI, setelah Peristiwa tersebut berlangsung?
ST: Ada yang menarik yang sempat muncul: kalau sekian ratus ribu orang (atau lebih) itu harus ditahan, bagaimana bisa diberi makan? Padahal saat itu sedang terjadi krisis pangan. Dari tutur korban yang mulai banyak terbit, ada satu tema konstan: makanan yang tersedia sangat sedikit dan sangat tidak bergizi. Kalau kita bandingkan dengan bencana tsunami dan gempa di Aceh, Nias, Jogja, Jabar, jumlah korban/tahanan jauh lebih besar. Belum lagi dihitung keluarga-keluarga yang kena dampak, harus pindah, kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan, dsb. Tambahan lagi, tak ada bantuan kemanusiaan yang mengalir masuk.
Penangkapan massal–dan ini tidak hanya terjadi di Jawa–menjadi masalah logistik yang luar biasa besarnya. Di masa itu, negosiasi dengan AS banyak berkisar pada penyediaan beras dan bulgur–nada negosiasi terasa sangat mendesak. Pemindahan ke Nusakambangan dan terutama di Buru, di mana para tapol harus buka hutan bangun sawah untuk menghidupi dirinya, tentara penjaganya (yang kemudian jadi lahan baru untuk pemerasan dan korupsi oleh yang berwenang) baru terjadi kemudian. Meski agak berat dibayangkan, barangkali juga perhitungan logistik ini bisa dimasukkan dalam analisis… membunuh adalah solusi yang lebih murah.
Tentu pembunuhan tokoh kunci seperti Aidit tidak masuk dalam skenario logistik. Pembungkaman yang paling efektif ialah membunuh.
IndoProgress (IP): Dengan rangkaian kejadian itu, pada bagian mana sebenarnya tuntutan hukum terhadap AD? Karena posisinya sebagai dalang Peristiwa G30S ataukah karena tindakan mereka dalam pembantaian massal menyusul Peristiwa itu?
ST: Kalau memang akan dituntut secara hukum, banyak pasal yang bisa dipakai, termasuk pasal-pasal tentang makar. Tapi kita tahu, proses hukum tidak lepas dari proses politik. Pengadilan belum lagi dilihat sebagai tempat untuk menguji “kebenaran” untuk mencapai keadilan, melainkan baru sebagai arena tarung untuk menjatuhkan hukuman. Penyalahgunaan konsep pengadilan yang sangat besar adalah Mahmilub. Kenapa mahkamah militer yang digunakan? Kenapa bukan pengadilan sipil? Mahmilub itu menjadi awal dari pengrusakan seluruh sistem pengadilan supaya menjadi hamba penguasa militer. “Keadilan” semata-mata sebuah drama besar yang dipertontonkan (dan diperdengarkan melalui pengeras suara di mana-mana) untuk memberi kesan legitim kepada tindakan yang illegal dan anti-kemanusiaan.