Ilustrasi: Espos
AKHIR-akhir ini, serikat buruh disibukkan dengan agenda sarasehan bersama pemerintah untuk membahas isu-isu ketenagakerjaan. Situasi ini diperparah dengan semakin eratnya hubungan institusi kepolisian dengan elite-elite serikat melalui narasi “penyerapan aspirasi”. Jawa Tengah sendiri memiliki banyak serikat pekerja. Beberapa hari lalu, misalnya, sebanyak 35 federasi hingga konfederasi serikat buruh hadir dalam pertemuan dengan mantan Kapolda Jawa Tengah yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Pertemuan tersebut mengangkat tiga isu utama, yakni Upah Minimum Provinsi (UMP) Jawa Tengah, penetapan Upah Minimum Sektoral (UMS), serta penyediaan infrastruktur penunjang kesejahteraan buruh.
Namun, tampaknya intervensi serikat buruh melalui forum-forum sarasehan semacam ini tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan kebijakan negara terkait perlindungan dan jaminan kesejahteraan buruh. Arus pemutusan hubungan kerja (PHK) massal justru terus berlanjut. Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat total PHK sepanjang tahun 2023 mencapai 63.806 buruh. Angka ini sangat mungkin lebih besar dari data resmi yang dihimpun. Sepanjang Januari–Agustus 2024, jumlah PHK meningkat secara tahunan sebesar 23,71 persen, dari 37.373 buruh pada periode yang sama tahun 2023 menjadi 46.240 buruh terdampak. Jawa Tengah menjadi wilayah dengan jumlah PHK tertinggi dan menempati posisi pertama secara nasional. Buruh sektor tekstil, garmen, dan alas kaki menjadi kelompok yang paling terdampak oleh badai PHK massal ini.
Derasnya arus industrialisasi yang mengepung Jawa Tengah tidak diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh, melainkan demi kepentingan pemodal dalam mengeruk keuntungan dari ketersediaan sumber daya yang melimpah. Jawa Tengah telah menjelma menjadi primadona kapital. Selain tenaga kerja yang murah, pemodal juga difasilitasi negara melalui pembangunan infrastruktur yang bertujuan melancarkan proses akumulasi modal, meskipun kerap dilakukan dengan cara-cara yang memaksa dan merusak. Mimpi buruh untuk memperoleh kesejahteraan semakin pupus. Mereka kian tereksploitasi dan dimiskinkan, sementara pemodal memperkaya diri secara legal melalui regulasi negara yang berpihak pada kepentingan mereka. Hal ini terlihat dari berbagai insentif seperti tax allowance dan tax holiday yang diberikan kepada pengusaha, sementara buruh dibiarkan hidup dalam kondisi miskin dan jauh dari sejahtera.
Dikooptasi Elit, Ditundukkan Aparat
Promosi Pemerintah Jawa Tengah hingga saat ini semakin gencar menyasar pemodal sebagai daya pikat dengan membangun narasi tenaga kerja murah dibandingkan provinsi lain, pekerja yang ramah, minim aktivis perburuhan yang mengorganisir demonstrasi, sehingga perselisihan ketenagakerjaan relatif jarang terjadi dan tingkat kepatuhan buruh dinilai tinggi. Selain itu, pembangunan infrastruktur terus dipercepat, seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandara, sebagai penghubung kawasan-kawasan industri. Bahkan Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, secara terbuka menyebut dengan bangga bahwa upah murah di Jawa Tengah merupakan keuntungan untuk menarik lebih banyak investor dan mendukung pembangunan dunia usaha.
Pada tahun 2025, Jawa Tengah dinobatkan sebagai provinsi dengan upah terendah. Kondisi ini juga tercermin dalam lima tahun terakhir, ketika banyak kabupaten dan kota di Jawa Tengah mencatat Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) terendah. Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) per tahun pun tidak pernah melebihi 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan kesejahteraan buruh dikesampingkan dibandingkan upaya mendatangkan pemodal yang menguras tenaga buruh dengan upah murah. Berikut persentase kenaikan UMP Jawa Tengah:
- 2021: naik 3,27 persen
- 2022: naik 0,78 persen
- 2023: naik 8,01 persen
- 2024: naik 4,02 persen
- 2025: naik 6,5 persen
Terasa manis di lidah, tetapi kenyataannya pahit bagi buruh. Perusahaan tetap melanggengkan praktik eksploitasi. Berikut data jumlah PHK massal di Jawa Tengah dalam tiga tahun terakhir:
- 2023: 69.286 buruh
- 2024: 13.130 buruh
- Januari–Juni 2025: 10.677 buruh
Tampaknya berbagai persoalan yang dihadapi buruh Jawa Tengah, seperti upah rendah, PHK massal, dan union busting, ditambah masih banyaknya perusahaan yang memberlakukan upah di bawah ketentuan UMK, tidak menjadi perhatian serius sebagian serikat buruh. Alih-alih mengambil langkah strategis untuk melawan kepungan sistem yang eksploitatif, kondisi rapuh ini justru cenderung didiamkan.
Serikat-serikat buruh sebenarnya menyadari bahwa Gubernur Jawa Tengah tidak pernah merespons tuntutan buruh untuk menaikkan UMP Jawa Tengah, sebagaimana pengalaman lima tahun terakhir. Namun, kesadaran ini tidak pernah mendorong lahirnya gerakan besar dengan menggalang aliansi luas. Penyebabnya antara lain ego sektoral masing-masing serikat serta ketidakmampuan di tubuh serikat buruh untuk membangun sekutu lintas serikat, apalagi memperluas gerakan rakyat lintas sektor.
Dalam beberapa waktu terakhir, serikat buruh justru lebih sering memuji kinerja pemerintah dibandingkan melakukan kritik atas kegagalan negara dalam memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja. Akibatnya, situasi kekalahan tersebut dianggap sebagai hal yang normal. Setidaknya terdapat dua hal yang perlu dibaca dari kekalahan gerakan serikat buruh Jawa Tengah.
Pertama, kondisi eksternal, yaitu buruh selalu berhadapan dengan ancaman PHK massal, belenggu kebebasan berserikat, serta hilangnya hak-hak normatif yang sengaja dilanggengkan oleh produk undang-undang yang sarat kepentingan kapital dan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Selain itu, akses keadilan melalui mekanisme hukum Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) kerap menjadi skema yang justru menyempitkan perjuangan buruh itu sendiri.
Kedua, kondisi internal, yaitu buruh dan serikatnya sering kali terjebak pada isu perburuhan semata tanpa mengaitkannya secara lebih luas. Ketidakmampuan serikat buruh untuk melebur dengan isu-isu lain, seperti pengesahan UU TNI dan revisi UU Polri, menunjukkan lemahnya upaya membangun aliansi yang lebih luas. Demokratisasi dan pengorganisasian tidak berjalan dengan baik, sehingga kepemimpinan serikat cenderung stagnan tanpa regenerasi. Solidaritas dan jejaring dengan kelompok rakyat lain, seperti petani, nelayan, pengemudi ojek daring, hingga mahasiswa, juga enggan dibangun akibat fragmentasi antars erikat yang terus dipelihara.
Ruang Hampa Hukum Perburuhan
Mekanisme hukum perburuhan kita tampak seperti gula-gula manis bagi buruh ketika hak-haknya dilanggar. Negara menyediakan wadah penyelesaian kasus-kasus yang dihadapi buruh, namun dalam praktiknya mekanisme tersebut justru kerap menjadi jurang yang hanya memenangkan perusahaan. Berikut merupakan hasil analisis dan refleksi atas keberadaan beberapa instrumen hukum perburuhan.
Lembaga LKS Tripartit (Forum Musyawarah Ketenagakerjaan)
Keberadaan LKS Tripartit di tingkat nasional, daerah, hingga perusahaan, serta Dewan Pengupahan, menunjukkan bahwa peran unsur buruh semakin dikurangi dan bahkan sering dirugikan. Dalam pengambilan keputusan yang kerap dilakukan melalui mekanisme voting dengan tiga unsur, yaitu pemerintah, akademisi, perwakilan buruh, dan perwakilan pengusaha, pemerintah sering kali berpihak kepada pengusaha. Akibatnya, serikat buruh berulang kali kalah dalam memperjuangkan kenaikan upah pada proses pleno pengupahan setiap tahunnya.
Satuan Pengawas Ketenagakerjaan
Pembentukan Satuan Pengawas Ketenagakerjaan justru semakin menyulitkan buruh. Berdasarkan pengalaman di Jawa Tengah, tidak ada satu pun perusahaan yang diawasi secara serius ketika terjadi pelanggaran terhadap buruh, seperti upah lembur yang tidak dibayarkan, Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak dibayar atau dicicil, upah di bawah ketentuan upah minimum, serta berbagai persoalan perburuhan lainnya. Sepanjang tahun 2024 hingga 2025, LBH Semarang mencatat sejumlah aduan yang dilakukan bersama serikat buruh, antara lain kasus PHK sepihak dan union busting di SBI PT Far East Seating, Serikat Buruh Progresif Sejahtera (SBPS) terkait PHK sepihak dan union busting, Serikat Buruh Bersatu Sejahtera (SBBS) dengan kasus serupa, pengaduan penahanan ijazah oleh Koperasi Pandawa Jaya Semarang, kasus pekerja media di Semarang, kecelakaan kerja K3, hingga kasus pekerja di PT Hong Fa International, Kabupaten Demak.
Seluruh kasus tersebut hanya berujung pada nota khusus yang bersifat rekomendasi perbaikan hak normatif bagi pengadu. Penegakan hukum norma ketenagakerjaan di tingkat perusahaan tampak sangat rapuh, lamban, dan tidak bergerak cepat dalam merespons aduan buruh dan atau serikat pekerja. Pekerjaan Satuan Pengawas Ketenagakerjaan juga terkesan tertutup, karena sanksi terhadap perusahaan tidak diketahui oleh buruh yang mengadukan kasusnya. Masalah lainnya, surat nota khusus pemeriksaan tidak ubahnya seperti anjuran atau risalah yang dikeluarkan Dinas Tenaga Kerja, yang tidak memiliki kekuatan memadai untuk memberikan sanksi.
Dewan Pengupahan
Proses penetapan upah sering kali terjebak pada penggunaan regulasi yang lebih menguntungkan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Penetapan upah tidak menggunakan data survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) buruh, terdapat indikasi manipulasi data Badan Pusat Statistik (BPS), serta tidak adanya ruang yang memadai bagi unsur buruh di Dewan Pengupahan untuk mengusulkan kenaikan upah yang layak.
Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
Mekanisme penyelesaian kasus perburuhan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dibangun dengan konstruksi hukum yang memaksa buruh untuk membuktikan kesalahan perusahaan ketika terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), perselisihan hak, maupun perselisihan kepentingan antara buruh dan perusahaan. Prosedur hukum di PHI tergolong rumit, mulai dari kewajiban memahami proses pendaftaran melalui sistem ecourt.mahkamahagung.go.id, biaya yang mahal, hingga keterbatasan akses karena pengadilan PHI hanya tersedia di ibu kota provinsi.
Belenggu Ego Sektoral hingga Kehilangan Kompas Perjuangan
Salah satu hal yang khas dari kondisi buruh Jawa Tengah terlihat setiap peringatan Hari Buruh Internasional. Sejak 2019 hingga sekarang, berbagai agenda pemerintah kerap digunakan untuk meredam dan menggagalkan gerakan buruh, misalnya dengan menggelar kegiatan seremonial seperti senam bersama, jalan santai, hingga lomba karaoke, yang mengaburkan makna Hari Buruh. Upaya ini juga ditopang oleh kepolisian melalui pertemuan yang disebut sarasehan atau halal bihalal, yang tidak menyelesaikan persoalan mendasar yang dialami buruh di pabrik-pabrik di bawah kontrol kapitalisme. Alih-alih memperkuat perjuangan, praktik ini justru semakin menjauhkan gerakan buruh dari agenda-agenda revolusioner serikat pekerja.
Selain itu, dalam momentum penetapan pengupahan selalu terdapat upaya pengondisian melalui pertemuan antara perwakilan serikat dengan pejabat pemerintah dan kepolisian. Bahasa yang kerap digunakan adalah menjaga kondusivitas dan menyerap aspirasi. Seremonial semu ini terus dilakukan secara berulang, tetapi tidak membuahkan hasil. Kesejahteraan dan perlindungan buruh semakin menjauh dari harapan, karena seluruh persoalan diselesaikan di meja lingkar kekuasaan antara penguasa dan elit serikat, sambil meredam kemarahan buruh yang tertekan oleh upah murah dan praktik eksploitasi.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Dalam tradisi aksi-aksi serikat buruh untuk merespons penetapan upah, serikat sering kali terjebak pada ego sektoral masing-masing, alih-alih berfokus pada kesejahteraan buruh secara umum. Persoalan ini bukan semata-mata soal kebebasan berserikat yang secara formal dijamin melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, maupun soal kuantitas anggota di basis. Sepanjang perjalanannya, serikat-serikat buruh justru mengalami fragmentasi internal yang menciptakan status quo, kehilangan nadi perjuangan, serta menjauh dari kesadaran kelas secara menyeluruh.
Setiap menjelang akhir tahun, serikat-serikat buruh sibuk melakukan konsolidasi internal, agitasi, dan propaganda, serta membentuk aliansi lintas serikat yang dianggap strategis dan kemudian diberi nama tertentu. Tradisi tahunan ini dilakukan untuk menekan negara agar menetapkan upah minimum kabupaten atau kota sesuai dengan perhitungan versi serikat buruh. Pola tersebut terus berulang sebagai rutinitas yang diklaim demi kesejahteraan kelas buruh.
Meskipun serikat-serikat menyadari bahwa Gubernur Jawa Tengah tidak pernah merespons tuntutan buruh untuk menaikkan UMP Jawa Tengah, sebagaimana pengalaman tiga tahun terakhir, hal ini tidak pernah mendorong lahirnya gerakan besar dengan aliansi yang luas. Penyebabnya adalah ego sektoral masing-masing serikat. Para ketua serikat enggan mengorbankan basis anggota yang besar dengan bergabung bersama serikat lain yang memiliki jumlah anggota lebih sedikit. Gerakan buruh Jawa Tengah pun kehilangan daya tawar yang kuat karena lebih sering mengandalkan lobi atau audiensi, serta sekadar menjalankan instruksi pusat untuk menggugurkan kewajiban.
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melakukan berbagai upaya untuk meredam gejolak gerakan buruh dalam menuntut upah layak. Upaya tersebut dilakukan dengan penetrasi ke pabrik-pabrik dan menekan serikat buruh yang tengah membicarakan kenaikan upah minimum melalui berbagai ancaman yang mengarah pada pemberangusan serikat atau union busting, sekaligus menekan pemerintah agar tidak mengakomodasi tuntutan serikat buruh.
Isu yang kerap digaungkan oleh Apindo dan pengusaha adalah permintaan kepada pemerintah untuk menangguhkan tuntutan serikat buruh. Kenaikan upah selalu diklaim akan membuat perusahaan merugi dan mendorong relokasi pabrik ke daerah dengan upah yang lebih rendah. Narasi “perusahaan merugi” versi pengusaha sangat sering muncul di media sosial untuk menekan dan melanggengkan praktik upah murah. Hal ini terlihat, misalnya, pada momentum kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen yang diikuti dengan penetapan upah minimum sektoral kabupaten atau kota (UMSK) di Kabupaten Jepara. Pengusaha menganggap angka tersebut terlalu tinggi dan berdampak buruk terhadap iklim investasi serta keuntungan perusahaan.
Pengalaman penetapan UMK Kabupaten Jepara tahun 2025, yang awalnya ditetapkan naik sebesar 6,5 persen atau sebesar Rp159.309 dari tahun 2024, pada akhirnya dibatalkan. Pembatalan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 100.3.3.1/5 tentang Perubahan atas Surat Keputusan Nomor 561/45 Tahun 2024, yang membatalkan penetapan UMSK. Kebijakan ini berdampak pada turunnya angka upah secara drastis, baik UMK maupun UMSK Kabupaten Jepara. Peristiwa ini menjadi salah satu gambaran keberhasilan Apindo dan pengusaha dalam menekan kenaikan upah buruh.
Berbagai tipologi perjuangan buruh Jawa Tengah menunjukkan kecenderungan mengambil langkah-langkah praktis yang bersifat individual dan jangka pendek, sembari menutup mata terhadap persoalan besar yang sedang dihadapi, yakni kapitalisme yang rakus, perusahaan yang menghisap keringat buruh, serta undang-undang yang memperkaya pemodal. Serikat buruh juga gagal menghimpun kekuatan massa melalui gerakan lintas serikat di Jawa Tengah. Banyaknya serikat buruh tidak berbanding lurus dengan kekuatan gerakan yang muncul ke permukaan.
Saat ini, serikat buruh dihadapkan pada situasi fleksibilitas tenaga kerja murah yang ditopang oleh liberalisasi kapitalisme. Upaya perlawanan serikat buruh Jawa Tengah kian hari semakin meredup. Buruh juga berhadapan dengan kriminalisasi terhadap aktivis serikat, sistem kerja kontrak yang semakin dipersingkat akibat legitimasi Undang-Undang Cipta Kerja, serta kondisi di mana jaminan upah layak menjadi sesuatu yang tabu bagi kaum pemodal.
Belajar dari Kekalahan: Serikat Buruh Jawa Tengah, Bersatulah!
Tampaknya kekuatan serikat buruh Jawa Tengah kian menyusut. Hal ini disebabkan oleh praktik eksklusi dan sikap tidak peduli terhadap kelemahan yang sesungguhnya dialami oleh serikat itu sendiri. Terlihat adanya kekacauan di tubuh serikat. Sejak Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, serikat buruh kerap mendukung aksi-aksi mahasiswa di berbagai kota. Dukungan tersebut diwujudkan melalui aksi bersama dengan mengatasnamakan aliansi, baik di tingkat nasional maupun daerah, antara mahasiswa dan buruh, serta melalui pertemuan rutin dan diskusi untuk menuntut pembatalan produk hukum tersebut oleh rezim Jokowi.
Pada prinsipnya, mahasiswa sering kali perlu melibatkan serikat buruh untuk memperoleh gambaran melalui diskusi mengenai dampak jangka panjang Undang-Undang Cipta Kerja apabila tidak segera dibatalkan. Secara moral, mahasiswa melakukan aksi protes tanpa harus bergantung pada kehadiran serikat buruh. Mereka memahami isu tersebut, meskipun banyak di antara mereka mengalami penangkapan, ditembak gas air mata dan peluru, bahkan ada yang meninggal dunia, mengalami pemukulan secara brutal, hingga dipenjara. Brutalitas aparat tidak hanya menyasar massa aksi, tetapi juga menimpa lembaga pers mahasiswa, pendamping hukum, serta jurnalis yang melakukan pendampingan dan peliputan.
Semua tindakan tersebut dilakukan atas dasar dorongan moral. Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi titik temu gerakan buruh dan mahasiswa dalam lima tahun terakhir. Namun, perjuangan bersama ini sering kali dipecah melalui narasi bahwa aksi-aksi yang berangkat dari isu perburuhan, seperti peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, aksi tuntutan kenaikan upah, dan isu-isu lain yang beririsan dengan perburuhan, dianggap semata-mata sebagai urusan serikat buruh atau elit serikat. Berbagai tudingan kerap muncul di media arus utama, dilontarkan oleh pejabat, kepolisian, hingga elit serikat, dengan istilah seperti penumpang gelap, penyusup, provokator, perusak aksi, hingga tuduhan geng anarko yang merusak citra aksi serikat buruh. Setiap kali terjadi kekacauan, selalu ada upaya mengambinghitamkan sekelompok orang tanpa mempertanyakan lebih jauh sebab dan akibat terjadinya situasi tersebut.
Bukankah dalang dari akumulasi kemarahan rakyat berawal dari kebijakan neoliberal yang memicu penderitaan rakyat, lalu diikuti legitimasi rezim terhadap tindakan represif aparat yang sangat brutal?
Tantangan Pengorganisasian Serikat Buruh Jawa Tengah
Tantangan Internal Serikat Tantangan Eksternal
Gerakan serikat buruh Jawa Tengah tidak memiliki daya tawar yang kuat di hadapan pemodal dan penguasa karena dua hal. Pertama, kecenderungan menggunakan cara-cara lobi dan audiensi yang menghabiskan waktu. Kedua, sikap serikat yang hanya mengandalkan instruksi pusat, yakni konfederasi, untuk menggugurkan kewajiban. Padahal, persoalan yang dihadapi jauh lebih kompleks, yaitu melawan kapitalisme yang mengalir deras di Jawa Tengah. Mekanisme hukum semata tidaklah cukup. Diperlukan kekuatan terorganisir berbasis massa melalui konsolidasi rakyat secara menyeluruh.
Selain itu, selama serikat buruh tidak memiliki program revolusioner dan tidak mendidik anggota dengan cara-cara demokratis, maka yang akan lahir adalah serikat yang mudah dikooptasi oleh pengusaha atau pemerintah. Akibatnya, pimpinan serikat buruh absen dalam gerakan rakyat. Banyak bukti menunjukkan adanya serikat yang bermain mata dengan pengusaha dan bersikap lemah di hadapan pemerintah, namun tetap melabeli diri sebagai pejuang kelas buruh.
Masalah ini tidak dapat digeneralisasi, karena masih banyak serikat buruh yang memiliki kemurnian niat untuk memperjuangkan hak-hak anggotanya dan terlibat dalam isu-isu ketimpangan lainnya. Namun, perjuangan serikat buruh sering kali dimanipulasi oleh pimpinan yang memiliki pengaruh dan hak prerogatif dalam organisasi, termasuk memecat anggota yang dianggap berseberangan dengan ketua serikat, meskipun anggota tersebut memiliki cara pandang yang lebih maju.
Muhammad Safali adalah advokat publik Divisi Buruh, LBH Semarang.




