Foto: Prabin Ranabhat/AFP via Getty Images
“Hancurkan korupsi!”
“Cukup dengan kebohongan!”
“Kami ingin pekerjaan, bukan alasan!”
HAMPIR sebulan yang lalu, teriakan-teriakan ini menggema di Taman Ratna, Kathmandu, saat ratusan pemuda mengibarkan spanduk buatan tangan. Beberapa ditulis dalam bahasa Inggris — “Demokrasi, Bukan Diktator” — sementara yang lain menampilkan slogan sederhana dalam bahasa Nepali: Roti, Kapda, Ghar (roti, pakaian, tempat tinggal).
Arjun, pemuda berusia 22 tahun, berdiri di atas tembok rendah sambil memegang pengeras suara. Baru lulus ekonomi, ia sudah hampir satu tahun tidak mendapatkan pekerjaan. “Saya menempuh pendidikan untuk bekerja di negeri sendiri,” serunya pada massa. “Namun kini masa depan saya hanyalah mencari kerja di luar negeri. Apakah ini bentuk demokrasi yang kita cita-citakan?”
Tak jauh darinya, Pushpa—seorang ibu dari dua anak asal distrik Chitwan—mengangkat spanduk bertuliskan, “Hentikan Penjualan Pemuda Kita ke Negara-Negara Teluk.” Suaminya telah menjadi pekerja migran di Qatar selama tujuh tahun. “Saya tidak ingin anak-anak saya ikut pergi suatu hari nanti,” katanya sambil menahan tangis, matanya perih terkena gas air mata. “Kami ingin hidup bersama sebagai keluarga, bukan terpencar-pencar.”
Perlu diketahui, sekitar 10 persen penduduk Nepal—sekitar 3 juta orang—bekerja di luar negeri pada waktu tertentu.
“Tujuan kami adalah membangun negeri ini seperti Denmark—tanpa korupsi,” ujar Anjana Tiwari, pemuda 20 tahun, sambil memunguti sampah di kamp darurat, menyuarakan harapan banyak anak muda yang memenuhi jalan-jalan Kathmandu. “Kami ingin memilih pemimpin yang peduli dan bekerja sungguh-sungguh, yang akan memperbaiki dan memperindah negara ini dalam segala aspek.”
Larangan mendadak pemerintah terhadap media sosial pada pertengahan September menjadi pemicu langsung gelombang protes ini, yang terus berlanjut bahkan setelah larangan dicabut. Namun, seperti tercermin dalam slogan-slogan, motivasi mendasar kemarahan massa jauh lebih dalam: perasaan bahwa setelah 17 tahun Nepal menghapuskan monarki, republik yang menjanjikan harapan kini terasa hampa dan tidak bermakna.
Kehancuran raja
Untuk memahami akar kekecewaan saat ini, kita harus meneliti sejarah Nepal baru-baru ini. Pada suatu malam musim panas di Juni 2001, peristiwa tragis terjadi ketika sebagian besar keluarga kerajaan tewas dibunuh di Istana Narayanhiti, kediaman resmi mereka. Di antara korban tewas adalah Raja Birendra, Ratu Aishwarya, dan Pangeran Mahkota Dipendra. Setelah tragedi ini, mahkota diserahkan kepada Gyanendra, saudara Birendra.
Gyanendra dengan cepat menunjukkan pendekatan otoriternya. Pada 2005, ia membubarkan parlemen, menangguhkan semua partai politik, dan menyatakan keadaan darurat. Media menghadapi sensor, dan banyak demonstran ditahan.
Responsnya adalah pemberontakan. Pada April 2006, jutaan orang turun ke jalan. “Kami hanya memiliki suara kami,” kenang Anjana, seorang pensiunan guru yang berdemonstrasi bersama murid-muridnya. “Kami membawa spanduk yang bertuliskan, ‘Tidak Ada Lagi Raja,’ dan bernyanyi hingga tenggorokan kami berdarah.”
Selama sembilan belas hari, demonstran dengan berani menantang peluru dan jam malam. Petani dari pegunungan berbaris bersama pekerja pabrik, sementara kaum wanita membentuk rantai manusia di sekitar lokasi demonstrasi. Siswa-siswa memenuhi alun-alun Kathmandu. Kekuatan gerakan ini akhirnya memaksa Gyanendra untuk memulihkan parlemen.
Dua tahun kemudian, pada Mei 2008, monarki secara resmi dihapuskan. Saat bendera kerajaan diturunkan, kerumunan meledak dalam sorak sorai dan mengibarkan bendera yang bertuliskan “Loktantra Zindabad” (Hidup demokrasi). Istana diubah menjadi museum, dan republik secara resmi diproklamasikan.
Pada awal tahun 2000-an, ketika gerakan kiri di banyak negara melemah akibat tekanan neoliberalisme dan runtuhnya proyek-proyek sosialisme lama, Nepal justru menghadirkan secercah harapan yang jarang terlihat. Pemberontakan Maois, yang kemudian disusul oleh gerakan massa yang berhasil menjatuhkan monarki, tampak seperti menghidupkan kembali semangat kiri internasional. Di sebuah negara kecil di Himalaya ini, kaum tani, buruh, dan mahasiswa seolah membuka babak baru dalam sejarah, mendirikan sebuah republik pada saat sosialisme di banyak tempat lain tampak kehilangan daya.
Janji merah
Pembubaran monarki menempatkan komunis di pusat kehidupan politik republik yang baru terbentuk. Kaum Maois, yang muncul dari bertahun-tahun perjuangan bersenjata, bersama dengan Partai Marxis-Leninis Bersatu (Unified Marxist-Leninists/UML), menjadi kekuatan dominan di parlemen. Mereka mengusung janji “Nepal baru” yang akan memberikan tanah bagi mereka yang tak memilikinya, lapangan kerja bagi kaum muda, serta kesetaraan bagi komunitas Dalit dan kelompok minoritas. Para mantan gerilyawan yang dahulu berjuang di hutan dengan seragam militer kini duduk di kursi parlemen, meyakinkan rakyat bahwa perjuangan dan pengorbanan mereka tidak sia-sia.
“Rasanya seperti menyaksikan sejarah berpihak pada kami,” kenang Bhim, mantan kombatan Maois. “Kami mengibarkan spanduk bertuliskan ‘Kekuasaan untuk Rakyat,’ dan kami sungguh mempercayainya.” Namun, optimisme itu cepat berubah menjadi rasa kecewa. Negara memasuki masa kebuntuan politik yang dipenuhi saling tikam dan pengkhianatan. Penyusunan konstitusi berlarut-larut selama bertahun-tahun karena partai-partai terus berebut kekuasaan, sementara praktik korupsi tetap merajalela. Tiga kekuatan politik utama—Partai Komunis Nepal (UML), Maois, dan Kongres Nepal—berulang kali terlibat dalam perebutan kendali negara sejak Nepal memasuki era republik.
Pada 2018, Maois dan UML bergabung untuk membentuk Partai Komunis Nepal, dengan K. P. Sharma Oli dan Pushpa Kamal Dahal—atau “Prachanda”—berbagi kepemimpinan dan memegang mayoritas besar di parlemen. Banyak warga menyambutnya dengan penuh harapan, terlihat dari spanduk yang bertuliskan “Akhirnya Stabilitas.” Namun, ketika Oli membubarkan parlemen pada 2020, harapan itu runtuh, memicu kembali ketidakstabilan politik dan menantang legitimasi pemerintahan. Para demonstran turun lagi ke jalan membawa spanduk, “Bukan Untuk Ini Kami Menumbangkan Raja.” Meski Mahkamah Agung kemudian membatalkan keputusan Oli, kepercayaan rakyat terlanjur terkikis. Tak lama kemudian, partai tersebut pun retak dari dalam akibat konflik ego dan perselisihan hukum.
“Setiap kali kami mulai percaya pada seorang pemimpin, mereka justru mengecewakan kami,” ujar Rita, seorang buruh pabrik garmen. “Spanduk kami mungkin berubah-ubah, tapi pesannya selalu sama: jangan rampas masa depan kami.”
Sementara itu, di luar hiruk-pikuk politik, kondisi hidup kian memburuk. Tingkat pengangguran meningkat tajam. Remitansi dari para pekerja migran memang menjadi penopang ekonomi, tetapi sekaligus membuat banyak desa kehilangan generasi mudanya. Di Kathmandu, gedung-gedung apartemen mewah terus bermunculan, sementara sekolah-sekolah di pedesaan terpaksa tutup. Kemiskinan pun tetap bertahan tanpa banyak perubahan.
Pushpa, seorang ibu asal Chitwan, menunjukkan spanduk lamanya kepada seorang wartawan sambil berkata, “Anak-anak saya membutuhkan kehadiran ayah mereka, bukan kiriman uang.” Bagi dirinya, kegagalan republik bukan isu abstrak, tetapi sesuatu yang menyentuh kehidupan keluarganya langsung. Pandemi hanya memperdalam kemarahan itu: pasien kehabisan oksigen di depan rumah sakit, sementara korupsi menghambat pengadaan vaksin, membuat banyak keluarga harus menguburkan orang yang mereka sayangi tanpa sempat mendapatkan perawatan. “Kami sudah mengangkat poster bertuliskan, ‘Kami Tak Bisa Bernapas,’ sebelum polisi menembakkan gas air mata,” ujar Laxmi, seorang pedagang yang kehilangan ayahnya pada 2021.
Tanda peringatan diabaikan
Pada tahun 2022, para pemilih di Kathmandu mengejutkan negara dan para partai besar ketika mereka memilih Balen Shah—seorang rapper sekaligus kandidat independen—sebagai wali kota. Banyak anak muda mendukungnya dengan membawa spanduk bertuliskan, “Tanpa Partai, Tanpa Korupsi.” Kemenangan Shah tidak hanya bersifat simbolis; kemenangan itu menunjukkan bahwa masyarakat mulai berani menjauh dari partai-partai politik mapan. “Dia adalah orang pertama yang membuat kami merasa bisa berharap lagi,” ujar Sabina, seorang aktivis mahasiswa. “Dia membuat politik terasa kembali dekat dengan kehidupan manusia.” Kekecewaan luas terhadap elite politik terlihat jelas. Momen ini mencerminkan suasana ‘Que se vayan todos’ di Nepal—keinginan untuk mengganti seluruh kelas politik—meskipun tidak diungkapkan secara gamblang dalam bahasa politik resmi.
Partai-partai besar, yang tampaknya waspada namun enggan menghadapi kenyataan, memilih untuk mengabaikan makna dari kemenangan Shah. Alih-alih melakukan refleksi, mereka menyapunya sebagai kejadian kebetulan. Sikap acuh ini terlihat jelas ketika mereka tetap menjalankan politik seperti biasa, tanpa memperhatikan kesulitan rakyat. Memasuki tahun fiskal 2022–23, janji-janji republik demokratis federal mulai terkikis oleh tekanan stagnasi ekonomi dan meningkatnya ketimpangan. Bagi sebagian besar keluarga di Nepal, hal ini berujung pada penderitaan yang nyata—terutama bagi mereka yang bergantung pada upah harian, pertanian subsisten, atau pekerjaan yang tidak menentu.
Inflasi menjadi penanda paling nyata dari tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Pada 2022–23, tingkat harga konsumen naik rata-rata 7,7 persen, meningkat dari sekitar 6,3 persen tahun sebelumnya. Meskipun angka ini tampak tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan lonjakan inflasi di banyak negara lain, bagi keluarga-keluarga Nepal yang hidup dengan anggaran pas-pasan, kenaikan tersebut membawa dampak besar—sering kali membuat mereka harus memilih antara makan tiga kali sehari atau hanya dua kali. Inflasi harga pangan saja mencapai lebih dari 6,6 persen, sementara komoditas dasar seperti sereal, minyak goreng, dan rempah-rempah mengalami kenaikan harga hingga dua digit. Pada saat yang sama, biaya makan di restoran dan hotel—yang biasanya masih terjangkau oleh keluarga kelas menengah ke bawah—melonjak dengan tingkat inflasi lebih dari 14 persen. Biaya transportasi pun turut meningkat tajam. Harga bensin dan solar naik sekitar 30 hingga 47 persen, sebagian besar dipicu oleh gangguan dalam pasar energi global akibat perang Rusia-Ukraina. Hal ini memperburuk beban hidup rumah tangga yang sudah tertekan.
Bagi warga biasa, angka-angka tersebut bukan sekadar statistik. Kenaikan biaya hidup terlihat langsung: tarif bus pelajar melonjak dua kali lipat, ongkos distribusi pupuk meningkat bagi petani, dan banyak keluarga harus mengurangi konsumsi daging. The Kathmandu Post bahkan melaporkan fenomena “shrinkflation,” di mana ukuran kemasan diperkecil sementara harga tetap sama, sehingga daya beli masyarakat semakin tergerus. Selain terhimpit oleh kenaikan harga, rumah tangga juga berjuang menghadapi lapangan pekerjaan yang stagnan dan tidak pasti. Pada 2022, tingkat pengangguran nasional berada di kisaran 10–11 persen. Namun, di kalangan pemuda berusia 15–24 tahun, angkanya jauh lebih tinggi, diperkirakan mencapai sekitar 22,7 persen. Akibatnya, satu dari lima anak muda tidak bekerja atau terpaksa mengambil pekerjaan informal dengan upah rendah. Harapan akan masa depan yang lebih baik bagi generasi pasca-penghapusan monarki pun perlahan tergantikan oleh rasa putus asa.
Seperti di banyak bagian lain di Global Selatan, pasar tenaga kerja Nepal didominasi oleh pekerjaan informal dan upah harian, dengan perlindungan sosial yang hampir tidak ada. Meskipun upah nominal sesekali meningkat, inflasi dengan cepat menghapus keuntungan tersebut. Upah riil—yakni daya beli aktual pekerja—tetap tidak bergerak atau bahkan menurun. Mereka yang paling merasakan dampaknya adalah pekerja pertanian, buruh harian, dan pegawai layanan publik berupah rendah. Sementara itu, kalangan elite perkotaan mampu melindungi diri dari perubahan harga, atau bahkan meraup keuntungan darinya, kelompok miskin tetap berada dalam posisi paling rentan.
Kesenjangan ini sebenarnya bukan fenomena baru. Struktur pendapatan di Nepal memang telah lama timpang, tetapi jurangnya semakin melebar setelah 2008. Data menunjukkan bahwa kontribusi pendapatan rumah tangga yang berasal dari pertanian turun drastis—dari lebih dari 60 persen pada pertengahan 1990-an menjadi hanya sekitar 16–17 persen pada 2022–23. Pertanian, yang dulu menjadi penopang utama kehidupan pedesaan, kini melemah, membuat banyak keluarga harus bergantung pada migrasi tenaga kerja dan remitansi untuk bertahan hidup. Sementara itu, pertumbuhan pendapatan terutama dinikmati oleh kelompok terkaya, sedangkan kelompok termiskin hanya memperoleh bagian yang sangat kecil.
Remitansi memegang peran yang sangat penting dalam perekonomian Nepal, dan pada 2022 jumlahnya mencapai hampir seperempat dari total PDB negara tersebut. Bagi banyak keluarga, kiriman uang dari luar negeri sekaligus menjadi penyelamat dan jerat. Di satu sisi, remitansi membantu rumah tangga bertahan menghadapi inflasi, membayar biaya pendidikan, dan mendirikan rumah. Namun di sisi lain, arus remitansi membawa dampak berat bagi desa-desa, memisahkan anggota keluarga dan memperlemah kehidupan komunitas. Nepal pun berada dalam posisi rentan, sangat bergantung pada jutaan pekerja migran di negara-negara Teluk, Malaysia, dan India. Kedatangan peti jenazah di Bandara Tribhuvan di Kathmandu—yang terjadi hampir sefrekuensi dengan transfer uang remitansi—menjadi pengingat memilukan tentang harga manusia yang tersembunyi dari model ekonomi berbasis ekspor tenaga kerja ini.
Pandemi Covid-19 semakin memperdalam perasaan bahwa rakyat dibiarkan tanpa perlindungan. Rumah sakit kehabisan oksigen, pengadaan vaksin dipenuhi dugaan korupsi, dan banyak pasien meninggal tanpa sempat mendapatkan perawatan. Hingga 2022, ingatan atas kegagalan tersebut masih melekat kuat dalam kehidupan keluarga-keluarga, memperbesar ketidakpercayaan terhadap negara Krisis legitimasi pun kian diperparah oleh lonjakan harga, tingginya pengangguran, dan kemacetan politik—semuanya menumpuk di atas trauma kesehatan masyarakat yang belum pulih.
Seperti terlihat pada 2022, Nepal bukan hanya mengalami perlambatan ekonomi, tetapi juga krisis sosial yang mendalam. Kenaikan harga pangan dan bahan bakar, ditambah meningkatnya pengangguran dan merosotnya upah, membuat banyak rumah tangga tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan dasar. Kesenjangan sosial semakin nyata: kelompok kaya di perkotaan relatif mampu bertahan dari tekanan harga, sementara masyarakat miskin di pedesaan semakin tertinggal.
Bagi kaum muda, pilihan hidup semakin sempit—antara merantau keluar negeri atau hidup dalam keputusasaan.
Krisis yang dihadapi Nepal jelas jauh melampaui angka-angka resmi dalam laporan pemerintah atau lembaga internasional. Ini adalah kemerosotan perlahan dalam kualitas hidup sehari-hari. Republik yang dahulu menjanjikan pangan, pekerjaan, dan martabat kini justru menyuguhkan kekurangan bahan pokok serta pekerjaan yang rapuh dan tidak pasti, sehingga kepercayaan publik terkikis. Gelombang protes yang bermunculan sejak 2022 bukanlah kejadian mengejutkan; ia adalah konsekuensi yang nyaris tak terelakkan dari masyarakat yang telah didorong hingga titik jenuhnya.
Pemberontakan baru
Pada September 2025, apa yang disebut sebagai “pemberontakan Gen Z” telah mendominasi jalan-jalan di Nepal. Larangan pemerintah terhadap media sosial memang menjadi pemicu segera, namun kemarahan yang mendorong puluhan ribu anak muda turun ke Kathmandu serta kota-kota seperti Pokhara, Biratnagar, dan Butwal telah terakumulasi lama.
Ini adalah generasi yang lahir di bawah republik—dibesarkan dengan janji mengenai kesempatan dan kesetaraan—tetapi kenyataannya mereka berhadapan dengan pengangguran, harga kebutuhan yang melonjak, korupsi yang tak terkendali, serta politik yang memperlakukan mereka seolah tidak penting. Mahasiswa, lulusan yang belum mendapatkan pekerjaan, dan pekerja muda—banyak di antaranya berusia belasan hingga awal dua puluhan—menembus barikade dan memenuhi ruang-ruang publik sambil mengangkat spanduk yang menuntut pangan, pekerjaan, dan keadilan.
Tindakan represif negara berlangsung keras: gas air mata, semprotan air bertekanan besar, peluru karet, hingga peluru tajam digunakan untuk membubarkan massa. Menjelang pertengahan September, setidaknya 72 orang dinyatakan tewas dan lebih dari 2.100 terluka, menjadikan gelombang protes ini salah satu pemberontakan rakyat paling mematikan sejak kejatuhan monarki.
Walau pemerintah dan kelompok sayap kanan berupaya menuduh bahwa aksi-aksi ini merupakan “konspirasi asing”, kiri tidak dapat begitu saja menolaknya. Menyebut protes tersebut sebagai hasil campur tangan luar berarti mengabaikan realitas yang dihadapi pemuda Nepal setiap hari: tekanan inflasi, merosotnya upah riil, dan hilangnya mata pencaharian di pedesaan. Banyak dari para demonstran adalah anak-anak buruh migran yang dibesarkan oleh remitansi, tetapi kini menghadapi pilihan pahit—merantau keluar negeri atau terjebak dalam pengangguran. Slogan-slogan mereka tidak datang dari Washington maupun Beijing, melainkan dari perut yang lapar dan impian yang patah. Fakta bahwa gelombang protes ini memaksa Perdana Menteri K. P. Sharma Oli untuk mundur mencerminkan bukan pengaruh kekuatan luar, tetapi kedalaman kemarahan publik terhadap elite politik yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri.
Munculnya Sushila Karki sebagai perdana menteri sementara, tidak serta-merta menjawab tuntutan massa. Yang ditunjukkan oleh pemberontakan ini adalah ketidaksabaran sebuah generasi yang tidak lagi menaruh harapan pada perubahan dari para penguasa di atas.
Bagi gerakan kiri Nepal, tantangannya jelas: menyambung kembali dengan kemarahan rakyat dan mengarahkannya, atau membiarkan masa depan jatuh ke tangan kekuatan reaksioner yang menunggu kesempatan di balik bayang-bayang.
Pemberontakan di Nepal bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari arus protes rakyat yang lebih luas di Asia Selatan dan Tenggara. Dalam beberapa tahun terakhir, Sri Lanka, Bangladesh, dan kini Nepal telah menyaksikan gelombang perlawanan terhadap elit yang korup dan ekonomi yang terpuruk. Di Indonesia pun, rakyat turun ke jalan dalam salah satu aksi massa terbesar dalam beberapa tahun terakhir.
Kesamaannya terlihat jelas: pemerintah-pemerintah yang gagal menahan laju inflasi dan menjamin mata pencaharian warganya, partai-partai berkuasa yang terjerat patronase serta skandal, dan rakyat yang kembali menjadikan jalanan sebagai ruang utama untuk menyuarakan tuntutan mereka. Di seluruh kawasan—sebagaimana di banyak wilayah lain di dunia—kaum muda secara khusus menolak menerima kemunduran demokrasi dan politik yang hanya berfokus pada bertahan hidup. Mereka menyuarakan tuntutan yang sama: martabat, akuntabilitas, dan perubahan yang nyata.
Masa depan?
Namun para pemimpin politik di Nepal tampaknya masih terjebak pada pola lama, menanggapi gejolak dengan penyangkalan dan pengalihan isu. Bukannya mengakui masalah sosial dan ekonomi yang mendalam yang mendorong rakyat turun ke jalan, baik kubu kiri maupun kanan memilih untuk mengklaim bahwa protes tersebut dibiayai oleh kekuatan asing. Amerika Serikat dijadikan kambing hitam, dituduh sebagai aktor di balik layar yang memanipulasi pemuda Nepal untuk mengacaukan republik. Narasi semacam ini mungkin terdengar selaras dengan sentimen anti-imperialis secara umum, tetapi justru mengabaikan hal mendasar: kemarahan massa di Nepal muncul dari kenyataan hidup—lapar, pengangguran, korupsi, dan penyempitan ruang demokrasi. Menyederhanakannya sebagai konspirasi luar berarti mencabut agensi rakyat sendiri sekaligus menutupi kegagalan negara. Selain itu, tuduhan semacam itu juga tidak didukung bukti yang jelas.
Nepal kini berada di sebuah titik penentu. Satu kemungkinan adalah kelanjutan keadaan seperti sekarang: elite politik kembali merombak koalisi, protes perlahan dipadamkan atau melemah, sementara krisis yang mendasarinya dibiarkan semakin dalam. Pilihan lainnya adalah bangkitnya kembali kekuatan kanan dan kelompok pendukung monarki, yang menawarkan kesan stabilitas melalui kembalinya simbol-simbol kekuasaan lama. Namun ada pula jalan ketiga — dan inilah yang paling penuh harapan — yakni pembaruan yang tumbuh dari bawah. Dalam skenario ini, para pekerja menuntut upah yang layak, para petani memperjuangkan kepemilikan tanah dan keamanan hidup, dan mahasiswa serta kaum muda menolak untuk menerima masa depan tanpa martabat. Dengan begitu, kemarahan yang meletup di jalanan dapat berubah menjadi proyek politik yang menantang ketimpangan dan menghidupkan kembali janji-janji radikal republik.
Arah masa depan Nepal akan sangat bergantung pada apakah energi pemberontakan ini dapat diorganisir menjadi bentuk perlawanan dan representasi politik yang berkelanjutan. Keberhasilan atau kegagalannya mungkin mulai terlihat pada Maret 2026, saat pemilu baru digelar—ketika banyak anggota Generasi Z yang terlibat dalam aksi protes kini telah mendaftarkan diri sebagai pemilih dengan penuh antusiasme.
Tujuh belas tahun setelah monarki dihapuskan, tampak jelas bahwa proyek demokrasi Nepal masih belum selesai. Impian republik—yang dahulu dikaitkan dengan kesetaraan, partisipasi rakyat, dan keadilan sosial—telah berganti menjadi kenyataan berupa ketidakstabilan, korupsi, dan pengkhianatan perlahan terhadap aspirasi publik. Namun, gelombang protes saat ini memperlihatkan bahwa meskipun kecewa, rakyat biasa Nepal belum menyerah. Mereka masih turun ke jalan dan percaya pada kemampuan mereka sendiri untuk mengarahkan jalannya sejarah. Yang belum diketahui adalah apakah kelas politik Nepal dapat dipaksa untuk berubah—atau harus digantikan—agar pengorbanan yang telah diberikan benar-benar menghasilkan perubahan yang tahan lama.
Satu hal yang jelas: kekuatan kiri di Nepal harus membenahi dirinya jika ingin tetap relevan dan menghindari kemunduran.***
Artikel ini sebelumnya telah terbit di transform!europe. Diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan dan pembangunan gerakan progresif. Sushovan Dhar adalah seorang aktivis politik dan serikat buruh yang berbasis di Kolkata, India. Ia juga anggota dewan editor Alternative Viewpoint (https://altviewpoint.in/), sebuah media independent Marxis di India.
				
															



