Relasi Kuasa dan Pesantren

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Pikiran Rakyat/Tebuireng


SAAT esai ini ditulis, sebuah berita soal runtuhnya asrama sebuah pondok pesantren kembali muncul. Kali ini di Situbondo, Jawa Timur. Sehari sebelum esai ini ditulis, sebuah video beredar di media sosial tentang seorang laki-laki di sebuah pesantren yang membagikan pembalut menstruasi kepada segerombolan santri perempuan, sembari menanyakan apakah ia bisa melihat ‘bukti’ bahwa mereka benar-benar sedang menstruasi. Beberapa hari sebelumnya, di Sabtu pagi waktu Toronto, saya bertindak sebagai seorang pembicara di sebuah forum diskusi dengan topik feodalisme di pesantren. Dalam diskusi tersebut, seorang pembicara lainnya berkali-kali menekankan bahwa kekerasan berbasis pesantren adalah masalah individual alih-alih sistemik, dan ia membuktikannya dengan berbagi banyak cerita soal betapa ia memimpin pesantrennya dengan penuh kebajikan. Seorang peserta diskusi—yang mengklaim diri sebagai santri dari pembicara kedua—mengekspresikan rasa frustrasinya terhadap argumentasi saya tentang kekerasan berbasis pesantren sebagai problematika sistemik, dan menyatakan bahwa tidak seharusnya saya menempatkan pertanggungjawaban atas kekerasan tersebut kepada para kyai, melainkan kepada para santri itu sendiri.

Saya adalah seorang akademisi Indonesia yang saat ini sedang bekerja di Amerika Utara. Latar belakang pendidikan dan kehidupan saya tertanam cukup dalam di konteks pesantren. Selain tumbuh di kalangan keluarga besar yang memiliki hubungan dengan beberapa pesantren di Jawa Timur dengan kultur Nahdlatul Ulama yang kental, saya juga menerima pendidikan di dua lembaga pesantren. Dengan kata lain, pengalaman pribadi saya mencakup aspek posisionalitas sebagai bagian dari keluarga pesantren, dan aspek pengalaman sebagai santri perempuan di pondok pesantren. Dari sisi inilah, dan dari pembacaan saya atas dinamika yang terjadi di pesantren dalam beberapa tahun terakhir, saya menyimpulkan bahwa kekerasan berbasis pesantren adalah fenomena sistemik yang menuntut adanya dekonstruksi budaya dan hirarki pesantren secara mendasar.

Lebih lanjut, dekonstruksi budaya dan struktur hirarkis di pesantren ini tentu tidaklah mudah untuk dilakukan. Tantangan terbesar bagi langkah-langkah evaluatif dan korektif di pesantren terutama datang dari kalangan pengasuh pesantren dan keluarganya sendiri, serta sebagian masyarakat yang terhubung dengan komunitas pesantren (wali santri, pengikut kyai dan gus, alumni pesantren, dan sebagainya). Di sisi lain, berbagai aspek pemerintahan (kyai dan gus yang menjabat sebagai politikus, para pejabat kementrian, aparatur kepolisian, dan sebagainya) turut melestarikan tembok kekuasaan pesantren dengan memberikan impunitas hukum bagi pengasuh pesantren dan keluarganya yang terbukti melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan.

Berbagai percakapan yang bersifat kritik maupun otokritik yang diarahkan terhadap struktur hirarkis dan kekerasan berbasis pesantren lebih sering dihadapi secara defensif dan reaktif, sehingga muncul narasi-narasi kekerasan seperti ancaman menggorok leher para pengkritik yang diteriakkan oleh Ketua Gerakan Pemuda Ansor DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Berbagai elemen masyarakat pesantren juga menolak adanya kritik dan otokritik tersebut dan memilih untuk terjebak dalam argumentasi relativisme budaya (“Kalau ngga pernah mondok, jangan mengkritik!”) dan memuaskan romantisisme mereka terhadap pesantren melalui gerakan boikot Trans 7.

Aspek yang paling menyalahi rasa keadilan dari semua ini adalah tenggelamnya eksistensi korban kekerasan berbasis pesantren dalam gelombang kemarahan reaksioner yang malah ditujukan untuk membela institusi pesantren dalam personifikasi para kyai dan gus. Alih-alih bereaksi karena puluhan santri terbunuh begitu saja dalam tragedi al-Khoziny, para pembela pesantren murka karena merasa citra kyai dan pesantren dinodai oleh tayangan Trans 7 dan sejumlah kritik yang diarahkan terhadap mereka. Pada titik maksimalnya, kehadiran para korban kekerasan berbasis pesantren dirayakan melalui narasi syahid, seakan-akan kematian mereka adalah hal yang harus disyukuri. Kekerasan, bahkan kematian, menjadi hal yang ‘suci’ ketika figur pengasuh pesantren dan keluarganya menjadi penyebabnya.

Politik kekerasan dalam pesantren terbangun melalui tiga jaringan relasi kuasa yang membuka ruang bagi kekerasan untuk terjadi dalam pesantren, serta memberikan impunitas hukum dan sanksi sosial bagi para pelakunya. Dari jejaring relasi kuasa inilah kita dapat melihat bahwa persoalan kekerasan berbasis pesantren bukan hanya ulah ‘oknum’ melainkan sebuah konsekuensi dari perkembangan budaya pesantren yang tidak pernah secara serius melakukan evaluasi terhadap nilai-nilai feodal dan patriarkal yang dipraktikkannya.


Relasi Kuasa di Pesantren

Michel Foucault membedakan dua jenis kekuasaan yang sejalan dengan perkembangan pemerintahan di Eropa: kekuasaan berbasis kedaulatan dan kekuasaan berbasis disiplin. Kekuasaan berbasis kedaulatan adalah kekuasaan yang menekankan hadirnya lembaga-lembaga represif yang menerapkan rezim hukuman sebagai alat untuk mengontrol subjek yang berada di bawah kendali kekuasaan tersebut. Sementara itu, kekuasaan berbasis disiplin adalah bentuk kekuasaan berdasarkan pembentukan kedirian subjek yang nantinya dengan sendirinya akan menyesuaikan subjektivitasnya dengan rezim kebenaran yang dijadikan acuan oleh penguasa. Dengan kata lain, dalam kekuasaan berbasis disiplin, lembaga-lembaga represif tidak menjalankan fungsi yang dominan karena subjek yang berada di bawah kekuasaan tersebut telah sedemikian rupa membentuk kediriannya berdasarkan nilai-nilai penguasa.

Relasi kuasa di pesantren antara Pengasuh, keluarga pengasuh, pengurus dan para ustadz, serta para santri dapat dilihat dari kedua lensa kekuasaan ini. Di satu sisi, terdapat lembaga-lembaga represif (para ustadz/ustadzah, pengurus pesantren bagian ta’zir/hukuman dan keamanan, dan/atau pengasuh secara langsung) yang bertanggung-jawab atas pemberian hukuman bagi para santri di pesantren. Di sisi lain, seluruh elemen pendidikan pesantren ditujukan untuk membentuk para santri menjadi subjek-subjek beragama yang berbuah tatanan gender patriarkal dan hirarki pengetahuan tertentu.

Di banyak pesantren, baik tradisional maupun modern, penerapan hukuman fisik dan psikologis untuk para santri yang dianggap melanggar peraturan pesantren adalah hal yang umum ditemui. Hari Jum’at, yang umumnya merupakan hari libur sekolah di pesantren, banyak digunakan sebagai hari di mana sanksi fisik maupun psikologis diberikan kepada santri, walaupun hukuman-hukuman lainnya juga dapat diberikan secara mendadak (impromptu). Di sebuah pesantren yang saya tahu di dekade awal 2000an, salah satu bentuk hukuman untuk pelanggaran peraturan berlapis yang dilakukan oleh santri laki-laki adalah penggundulan rambut dan dijemur di bawah panas matahari selama beberapa waktu. Santri perempuan akan dijemur di bawah panas matahari dalam posisi berdiri di atas bangku-bangku plastik selama beberapa waktu dengan memakai kalung papan dari kardus yang ditulisi dengan jenis pelanggaran yang mereka lakukan. Tragisnya, khadimat senior (pelayan-pelayan pribadi pengasuh perempuan yang juga diambil dari kalangan santri) kemudian meneriakkan kata-kata bahwa para santri perempuan yang sedang dihukum ini adalah perempuan-perempuan yang tak pantas untuk dinikahi karena mereka tidak memiliki disiplin. Mereka melakukan hal ini sembari mengawasi tindak-tanduk para santri yang sedang dihukum.

Seluruh peraturan di pesantren ditujukan untuk membentuk pribadi beragama dalam pemaknaan yang spesifik. Logika peraturan-peraturan tersebut sangat bias gender dan umumnya memperlakukan santri laki-laki dan perempuan secara jauh berbeda. Santri laki-laki diberikan kebebasan untuk bergerak dalam ruang yang jauh lebih luas daripada santri perempuan. Dari sudut pandang tradisi Islam, tentunya hal ini berasal dari peraturan pingitan (purdah) di mana komunikasi dan ruang gerak perempuan dibatasi atas nama segregasi gender yang seharusnya juga diterapkan kepada laki-laki. Sayangnya, di banyak pesantren, tanggung-jawab segregasi gender ini justru hanya jatuh kepada santri perempuan sehingga merekalah yang harus dibatasi ruang geraknya, sementara santri laki-laki dapat secara lebih bebas bergerak di sekitar wilayah pesantren.

Tidak hanya itu, pembentukan subjektivitas santri juga sangat bergantung kepada komunikasi satu arah, di mana Pengasuh dan/atau para ustadz memberikan pengetahuan kepada para santri tanpa adanya ruang kritis yang bermakna. Metode pengajian sorogan maupun bandongan yang umum dilakukan di pesantren-pesantren tradisional maupun modern, bertumpu kepada transmisi pengetahuan dari pengajar kepada santri dengan sedikit ruang untuk bertanya-jawab. Tradisi keislaman tentunya diajarkan secara normatif di mana kritik-kritik doktrinal hampir tidak mendapatkan tempat, dan ‘Islam’ dihadirkan sebagai entitas monolitik ortodoks dengan sedikit atau bahkan tidak adanya perhatian akan keberagaman interpretasi dan praktik keislaman di berbagai belahan dunia.

Di banyak pesantren—sekali lagi dengan alasan tradisi segregasi gender dalam Islam—santri perempuan sama sekali tidak punya akses untuk menemui dan belajar langsung kepada Kyai (pengasuh utama) mereka, sementara santri laki-laki dapat langsung belajar dari Kyai. Di beberapa pesantren, kitab-kitab yang diajarkan kepada santri perempuan bahkan dibedakan dari kitab-kitab yang diajarkan kepada santri laki-laki. Yang pertama secara khusus berfokus kepada kitab-kitab yang mengajarkan etika perkawinan dan hubungan suami-istri, sementara yang terakhir mempelajari tema yang lebih luas seperti yurisprudensi dan teologi Islam.

Seluruh dinamika sosial santri yang bertumpu kepada segregasi gender antara santri perempuan dan santri laki-laki ini kemudian dipertajam dengan adanya dinamika sosial hirarkis di mana kekuasaan pengasuh dan keluarganya sama sekali tidak dapat dipertanyakan. Sangatlah mudah untuk melihat budaya absolutis ini di dalam konteks pesantren: barisan santri seketika menghentikan kegiatannya di tempat dan terdiam menunduk ketika pengasuh dan/atau keluarganya lewat di hadapan mereka; para santri berebutan untuk merapikan barisan sandal pengasuh dan keluarganya; dan, para santri yang terdiam dan hanya mampu memvalidasi apapun yang dikatakan pengasuh dan keluarganya, kesemuanya adalah pemandangan yang umum ditemukan dalam konteks pesantren.

Hirarki ini menemukan ekspresi terkuatnya dalam budaya khodim di pesantren. Fenomena khodim tidak hanya menggambarkan struktur hirarkis di pesantren, melainkan lebih dari itu juga menunjukkan bias kelas sosial-ekonomi dalam struktur tersebut. Khodim(at) adalah para santri yang mengabdikan diri kepada pengasuh dan keluarganya untuk melayani kebutuhan sehari-hari mereka. Khodim laki-laki umumnya menjalankan fungsi sebagai tukang kebun, tukang bersih-bersih, memperbaiki berbagai bagian perumahan dan asrama santri yang rusak, menjadi sopir bagi pengasuh dan keluarganya, dan lain-lain. Sementara Khodimat perempuan umumnya menjalankan tugas-tugas perawatan anak, mencuci baju dan perangkat dapur, memasak, menjadi pelayan ketika ada tamu, dan sebagainya. Berbeda dengan santri biasa yang harus membayar uang Gedung, SPP, dan biaya lainnya, para Khodim(at) ini umumnya mendapatkan pendidikan, penginapan, dan makanan secara cuma-cuma dari pesantren karena mereka dianggap membayarnya dengan kerja-kerja perawatan mereka bagi pengasuh dan keluarganya.

Di sinilah percampuran antara karisma pengasuh dan keluarganya yang berakar dari otoritas keilmuan agama dan nilai-nilai eksploitasi feodal terjadi. Banyak Khodim(at) dari keluarga kelas sosial-ekonomi rendah yang diserahkan oleh keluarga mereka kepada pengasuh dan keluarganya dengan harapan mereka akan mendapatkan pendidikan secara gratis dengan jalan pengabdian. Sayangnya, apa yang umumnya terjadi adalah tugas-tugas perawatan bagi pengasuh dan keluarganya jauh mendominasi kehidupan para Khodim(at) daripada proses pendidikan yang dijanjikan. Dalam titik ini, harapan akan proses pendidikan tersebut kemudian tenggelam dan tergantikan dengan harapan untuk memperoleh ‘keberkahan’ dari tugas-tugas perawatan bagi pengasuh dan keluarganya. Dengan kata lain, praktik kerja tanpa upah yang dilakukan oleh Khodim(at) dijustifikasi melalui konsep ‘keberkahan’ yang mereka harapkan dapat mengalir dari pelayanan terhadap pengasuh dan keluarganya.

Sebagian besar Khodim(at) mengabdikan dirinya kepada pengasuh dan keluarganya selama beberapa tahun, lalu meninggalkan pesantren dengan berbagai alasan. Namun, sebagian kecil Khodim(at)—karena berbagai hal—menghabiskan masa hidupnya untuk melakukan pengabdian ini. Seorang Khodimat yang saya kenal secara pribadi hidup menua di lingkungan pesantren dan tetap mengabdi kepada pengasuh dan keluarganya sampai akhir hayatnya.

Fenomena Khodim(at) adalah salah satu aspek terpenting dari pembentukan subjektivitas dalam pesantren. Bagi para santri, figur Khodim(at) yang mengabdikan diri sepenuhnya kepada pengasuh dan keluarganya menjadi model penghormatan terhadap ‘orang berilmu’ yang seringkali dielu-elukan para pecinta pesantren itu. Sementara itu, bagi pengasuh dan keluarganya, terutama dari pandangan eksternal terhadap keluarga pesantren, Khodim(at) melengkapi gambaran keluarga pesantren sebagai keluarga ‘kerajaan modern’ di mana kehormatan dan karisma diekspresikan melalui tubuh-tubuh pelayan yang membungkuk dan menemani keluarga pengasuh kemanapun mereka pergi. Pada sisi ini, Khodim(at) tak ubahnya seperti para pelayan di foto-foto klasik keluarga penjajah Belanda yang duduk di lantai bertelanjang kaki dan dipamerkan dalam foto-foto tersebut sebagai bukti kesejahteraan keluarga meneer yang terhormat.


Relasi Kuasa di Masyarakat Pesantren

Sebagai individu-individu yang terikat erat dengan pesantren, kedua orang tua saya bahkan menyerahkan keputusan untuk memberikan nama anak-anaknya kepada para kyai pesantren. Bagi elemen masyarakat pendukung pesantren, baik yang berposisi sebagai wali santri maupun yang tidak, kehadiran pesantren yang dipersonifikasi oleh kehadiran pengasuh dan keluarganya merupakan sumber keberkahan dan pegangan hidup yang utama. Hubungan antara masyarakat pendukung pesantren dengan pengasuh dan keluarganya tidak hanya terbatas dalam konteks pendidikan di pesantren, melainkan lebih dari itu menjadi jalan bagi elemen masyarakat ini untuk mengekspresikan keislaman mereka.

Berbagai keputusan penting dalam hidup, mulai dari memberi nama anak, membuka usaha, sampai menikahkan anak menjadi konteks di mana persetujuan dan nasihat dari para pengasuh pesantren dibutuhkan oleh masyarakat tersebut. Loyalitas komunal inilah yang kemudian menjadi basis bagi banyak kyai dan gus yang bermain dalam kancah politik untuk mendulang suara pendukung pencalonan mereka. Di tiap musim pemilihan umum maupun daerah, suara santri, alumni pesantren, wali santri, dan masyarakat pendukung pesantren lainnya menjadi elemen siap pakai yang dapat mengantar para kyai dan gus kepada posisi politik yang mereka kehendaki.

Tentunya, terdapat perbedaan yang signifikan dalam dinamika relasi kuasa di dalam pesantren dan di luar pesantren. Seloyal apapun elemen masyarakat pendukung pesantren kepada para kyai dan gus, tidak seperti halnya santri, mereka adalah elemen yang hidup di luar struktur dominasi pesantren. Kekuasaan dalam dinamika sosial ini tidak hanya berbentuk struktur dominasi, melainkan juga ekspresi agentif.

Dalam konteks hubungan antara elemen masyarakat pendukung pesantren dan para kyai dan gus, ‘keberkahan’ tidak lagi cukup sebagai konsep abstrak yang mengalir melalui pengabdian santri dan do’a-do’a pengasuh. Lebih dari itu, ‘keberkahan’ juga diterjemahkan dalam manfaat-manfaat sosial dan material yang diperoleh dari kedekatan dan loyalitas seseorang dengan para kyai dan gus. Manfaat-manfaat sosial dan material ini beragam dari yang kecil sampai yang besar: kelompok pengajian ibu-ibu yang mengonsolidasikan dukungan politiknya kepada salah satu politikus dari keluarga pesantren mendapatkan seragam baru untuk kelompok pengajian mereka ketika si politikus terpilih; atau seorang alumni pesantren yang setia menemani seorang kyai/gus dalam kampanye politiknya tiba-tiba saja terpilih untuk menduduki jabatan di struktural NU, Ansor, ataupun Banser setelah kyai/gus tersebut terpilih. Berbagai bentuk manfaat sosial-material menjelma sebagai ‘keberkahan’ dalam konteks ini.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Di sisi lain, gambaran keluarga pengasuh sebagai keluarga kerajaan modern yang bergelimang kemewahan, kehormatan, dan pelayanan membentuk gambaran ideal tentang kemuliaan orang berilmu yang seringkali digaungkan dalam konteks budaya pesantren sebagai justifikasi bagi kemewahan, kehormatan, dan pelayanan itu sendiri. Pemahaman sirkular ini menutup kemungkinan untuk melihat kemewahan, kehormatan, dan pelayanan yang dimiliki oleh keluarga pengasuh sebagai privilese sosial-material yang berasal dari struktur kekuasaan yang terus direproduksi melalui dominasi dan subjektivikasi.

Dalam era media sosial, pengidolaan terhadap kyai/gus dan keluarga pesantren lainnya ini mengalami popularisasi yang signifikan. Gambaran-gambaran gus-gus muda yang terlihat menawan dalam pernikahan mewahnya dengan para ning yang terlihat malu-malu, menjadi bahan konsumsi romantis bagi para pemuda-pemudi Muslim yang mengikuti trend ‘syar’i’. Sementara itu, para kyai dan gus yang memamerkan kemampuannya untuk berpoligami, dan para nyai yang menunjukkan hidup glamornya sebagai istri pengasuh pesantren, menjadi standar ideal kehidupan ‘Islami’ yang tak terjangkau bagi banyak orang. Pada akhirnya, elite pesantren berfungsi menjadi ‘selebritas spiritual’ yang tak begitu banyak berbeda dengan pastor-pastor kaya di Amerika Serikat, di mana kemewahan hidup mereka menjadi bukti dari klaim kedekatannya dengan Tuhan.

Maka tidak heran jika kemudian jatuhnya banyak korban dari kasus-kasus kekerasan berbasis pesantren tidak menghasilkan banyak tuntutan keadilan dari elemen masyarakat pendukung pesantren. Narasi-narasi kematian syahid yang digunakan untuk merespons kematian puluhan santri yang menjadi korban robohnya bangunan pesantren berfungsi untuk memberikan impunitas sosial bagi para pengasuh pesantren yang kelalaiannya menjadi alasan utama terbunuhnya para santri tersebut. Pun, narasi-narasi kematian syahid mengubah fenomena ketidakadilan menjadi sebuah cerita romantis tentang sekelompok anak-anak yang meninggal ketika mereka sedang mencari ilmu. Cerita romantis ini jauh lebih mudah diterima oleh hati nurani masyarakat pendukung pesantren ketimbang kenyataan pahit bahwa sebagian selebritas spiritual mereka adalah pelaku tindakan kriminal yang menyebabkan kematian dan trauma mendalam bagi para santri mereka.

Impunitas sosial ini pula yang membuka ruang bagi sebagian kyai dan gus untuk menggunakan gurauan kotor nan seksis dan klasis di banyak forum pengajian umum yang mereka pimpin. Jauh sebelum orang-orang seperti Gus Miftah dan Gus Iqdam bermain-main dengan hinaan seksis dan klasis, serta pandangan-pandangan politik yang membela kekuasaan dalam ceramah-ceramah mereka, banyak kyai dan gus lainnya yang telah menggunakan gurauan dan pandangan serupa dalam pengajian umum mereka. Hinaan terhadap kaum ibu-ibu, gurauan tentang janda dan perawan, dan puja-puji untuk menjilat para pejabat lokal telah menjadi elemen mendasar dalam ceramah-ceramah tersebut.

Problematika diskriminasi kelas, seksisme, dan misogini tidak pernah secara serius didekonstruksi dalam konteks pesantren dan masyarakat pendukungnya. Bahkan dengan adanya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan paradigma Mubadalah yang memberikan ruang-ruang kritis untuk mendiskusikan keadilan gender dalam konteks pesantren dan masyarakat pendukungnya dalam beberapa tahun terakhir, dominasi pandangan patriarkal masih terus berlanjut di berbagai basis pesantren. Struktur kekuasaan hirarkis-patriarkal yang ada di dalam pesantren mengalir ke ranah umum, dan mendapatkan validasinya dari elemen masyarakat pendukung pesantren yang hidup dalam harapan tetesan ‘keberkahan’ dan romantisasi kehidupan relijius bergelimang kemewahan yang dipamerkan oleh para kyai, nyai, gus dan ning favorit mereka.


Relasi Kuasa Pesantren dan Pemerintah

Jika impunitas sosial melindungi pengasuh pesantren dan keluarganya dari tuntutan publik atas ketidakadilan yang mereka lakukan, maka hubungan erat mereka dengan struktur pemerintahan—terutama melalui medium struktural Nahdlatul Ulama (NU)—memberikan impunitas politik dan hukum atas kekerasan berbasis pesantren yang telah mereka lakukan. Namun, tidak seperti konteks relasi kuasa di dalam pesantren, dan relasi kuasa dengan masyarakat pendukung pesantren, dialektika pengaruh a la Anthony Giddens lebih sesuai untuk membantu kita memahami relasi kuasa antara pesantren dan pemerintah.

Dialektika pengaruh dan konsep kuasa relasional yang diajukan Giddens menunjukkan bahwa kekuasaan tumbuh dari dialektika hubungan antara berbagai pihak yang menawarkan berbagai sumber daya yang mereka bawa untuk bersama-sama melestarikan sebuah struktur kuasa tertentu. Dalam hubungan antara pesantren dan pemerintah, para pengasuh pesantren membawa kekuatan massa dan sumber daya yang dihasilkan darinya untuk mendukung kebijakan dan kekuasaan pemerintah yang ada saat ini. Di sisi lain, pemerintah membuka ruang bagi pengasuh pesantren untuk turut serta dalam pembagian kue politik yang tentunya memberikan manfaat material kepada pihak pesantren. Lebih lanjut, impunitas hukum yang diberikan kepada para pengasuh pesantren yang seharusnya bertanggung-jawab atas kekerasan yang terjadi di pesantren-pesantren mereka juga merupakan buah dari kuasa relasional yang dibangun dengan pemerintah tersebut.

NU sebagai organisasi yang secara langsung menghubungkan konteks pesantren dengan kekuasaan pemerintah memegang peranan penting dalam membangun kekuasaan relasional ini. Tidaklah mengherankan jika posisi politik NU semakin terlihat searah sejalan dengan posisi politik pemerintah saat ini. Pun, di tataran akar rumput, banyak pengasuh pesantren—yang juga menduduki jabatan-jabatan dalam struktur NU—yang menggunakan pengaruhnya untuk membentuk persetujuan umum terhadap kebijakan apapun yang sedang diambil pemerintah saat ini. Narasi cinta NKRI, yang kemudian diterjemahkan menjadi keharusan untuk mendukung pemerintah, menjadi narasi dominan yang dapat ditemukan di banyak peringatan Hari Santri di pesantren-pesantren.

Pesan-pesan bahwa semua yang dilakukan oleh pengasuh pesantren (melalui NU) adalah untuk kemaslahatan ummat selalu digaungkan guna mendulang dukungan bagi lestarinya kekuasaan relasional antara pengasuh pesantren dan pemerintah. Bahkan ketika hasil dari kekuasaan relasional tersebut jelas-jelas menyakiti masyarakat, seperti penerimaan konsesi tambang dari pemerintah oleh NU, narasi kemaslahatan ummat masih terus digaungkan layaknya sebuah ejekan terhadap rasa keadilan masyarakat. Struktur pemerintahan pun semakin dipenuhi oleh pengasuh pesantren dan keluarganya yang tidak lagi puas dengan dominasi mereka terhadap santri dan pengaruh mereka kepada masyarakat di luar pesantren. Para kyai, gus, dan beberapa nyai sibuk mencari lahan basah pemerintahan yang memungkinkan mereka untuk terus hidup bergelimang kemewahan dalam bungkus spiritualitas keagamaan.

Rezim pemerintahan otoriter yang sekarang kita miliki ini tentunya bersuka ria dengan adanya pengasuh pesantren sebagai rekan mereka dalam membangun kekuasaan. Konsesi tambang, jabatan bupati, dan kursi-kursi legislatif serta posisi komisaris ini-itu adalah harga yang sangat murah untuk mendapatkan jaminan dukungan massa yang dihasilkan dari pengaruh para pengasuh pesantren dalam komunitas masyarakat masing-masing. Maka tak heran jika alih-alih mendapatkan hukuman yang setimpal, pengasuh PP. Al-Khoziny malah mendapatkan dukungan dari pemerintah untuk ‘mendidik’ santri-santri mereka menjadi tukang bangunan yang baik dan benar. Peduli setan dengan jiwa-jiwa muda yang melayang sia-sia, sumber daya berupa dukungan masyarakat yang dibawa oleh para pengasuh pesantren patut untuk dijamin keberadaannya.

Kelindan kekuasaan relasional inilah yang menjamin lestarinya bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah, dan oleh pengasuh pesantren dalam skala yang berbeda. Diamnya banyak masyarakat pesantren (pengasuh dan komunitasnya) dalam isu-isu eksploitasi alam, kemerdekaan Papua, gerakan mahasiswa, bahkan sampai isu dukungan terhadap kemerdekaan Palestina berakar dari kekuasaan relasional antara pemerintah dan pesantren ini. Terjerumus dalam narasi ‘Islam Moderat’ (‘Islam Nusantara’) yang digaungkan oleh para kyai mereka sebagai upeti terhadap proyek imperialisme global, berbagai elemen masyarakat pendukung pesantren bersikap acuh tak acuh dengan pengaruh lobi-lobi Zionisme yang sudah berakar kuat dalam tubuh NU. Barulah ketika para selebritas spiritual mereka dihina oleh tayangan televisi, bara kemarahan mereka tersulut, yang kemudian didukung oleh banyak kyai dan gus itu sendiri.


Mendekolonisasi Pesantren

Sebagai seorang santri, hati saya teriris dalam menuliskan esai ini. Sebagai bagian dari masyarakat pesantren, saya melihat bahwa bentuk pendidikan anti-kolonial dan anti-kapitalis yang saya cintai itu semakin hilang terhapuskan oleh gairah kekuasaan dan nilai-nilai patriarkal. Saya tumbuh dengan warisan ajaran kakek saya, seorang pengasuh pesantren di era 60-70an, yang terkenal di kalangan masyarakat lokal sebagai seorang pecinta lingkungan di mana ia mengajarkan kepada santri-santrinya untuk memberikan tumpukan gula pasir kepada gerombolan semut yang mereka temui. Saya dididik dalam konteks pesantren yang mewajibkan santri-santrinya untuk membersihkan aliran sungai dari sampah setiap hari Jum’at. Saya diajari dalam konteks pesantren lainnya untuk menjadi pemimpin redaksi majalah santri, dan mengembangkan kemampuan menulis saya dari jabatan itu.

Akar kesejarahan pesantren adalah akar anti-kolonial dan anti-kapitalis. Para pengasuh pesantren terdahulu mendirikan pondok-pondok untuk menyediakan pendidikan secara gratis kepada masyarakat sekitar. Pondok-pondok itupun kemudian berfungsi sebagai basis perjuangan rakyat dalam menghadapi kekuatan penjajah. Sayangnya, akar kesejarahan ini semakin terkikis, bukan oleh kekuatan eksternal yang seringkali digaungkan dalam narasi-narasi konspiratif NU, melainkan oleh kekuatan internal: para pengasuh dan keluarga pesantren itu sendiri.

Seorang keluarga pesantren yang saya tahu dengan bebasnya bicara soal wilayah-wilayah tambang yang dia kuasai dalam sebuah WhatsApp grup. Seorang gus lainnya memiliki ‘hobi’ mencuri ’pakaian dalam’ santri perempuan di masa mudanya, yang kemudian dijustifikasi dengan cerita-cerita tentang keistimewaan ilmu pengetahuannya. Seorang pengasuh pesantren lainnya dengan bangga memamerkan praktik poligaminya dalam sebuah liputan TV swasta. Seorang gus lainnya yang saya tahu, terkenal memiliki istri simpanan di berbagai kota di Jawa Timur. Inilah wajah pesantren saat ini: bopeng tak karuan dengan lobang-lobang kekuasaan di mana-mana. Berapa banyak pun anggota Banser dan Ansor yang marah-marah di tempat umum dan mengancam untuk menggorok leher orang, tak akan mengubah realita ini: bahwa konteks pesantren saat ini didominasi oleh permainan kekuasaan yang mengorbankan para santri dan masyarakat umum sebagai tumbalnya. Saya menulis dalam sebuah grup WhatsApp NU pasca tragedi al-Khoziny: “The emperor has no clothes, and we try our best to convince people that he does.”

Satu-satunya cara untuk mendekolonisasi pesantren adalah dengan mendekonstruksi ketiga relasi kuasa yang saya sebutkan di atas. Pertama, bentuk kultur pendidikan pesantren yang demokratis dan tidak tergantung kepada absolutisme hirarki pengetahuan para pengasuh. Kedua, berikan pendidikan kritis terhadap masyarakat pesantren dan enyahkan gambaran pengasuh dan keluarganya sebagai selebritas spiritual. Ketiga, putuskan hubungan kuasa relasional antara pesantren dan pemerintah. Semua ini tentunya hanya dapat dilakukan ketika pengasuh pesantren dan keluarganya mau melepaskan berbagai kenyamanan, keistimewaan, dan gambaran kehormatan yang selama ini mereka dapatkan dari hasil menumpuk kekuasaan. Selama pengasuh pesantren dan keluarganya tidak mau membayar harga dekolonisasi ini, maka selama itulah pesantren akan terus tenggelam dalam gelimang kekuasaan yang mengubah indahnya nilai-nilai keagamaan menjadi alat justifikasi ketidakadilan.

Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa tuntutan bagi pesantren untuk merombak budaya feodal, nilai-nilai patriarkal, dan hirarki akses pengetahuan—yang sampai saat ini menjadi kombinasi yang bukan hanya merusak, melainkan juga mematikan di banyak pesantren—hanya dibebankan kepada pengasuh dan keluarganya saja. Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, pesantren adalah sebuah institusi sosial yang tidak mungkin berdiri tanpa adanya masyarakat yang mendukungnya, dan pertalian kekuasaan dengan pemerintah yang menjamin impunitas hukum dan aksesnya terhadap sumber daya politik dan material.

Maka, sudah menjadi tugas masyarakat pula untuk memahami pesantren secara kritis dan tidak lagi memandang pengasuh dan keluarganya sebagai ‘selebritas spiritual’ yang merepresentasikan gambaran kemewahan hidup sebagai buah dari kedekatan mereka dengan Tuhan. Di samping itu, masyarakat juga dapat melakukan kritik terhadap budaya khodim(at) dan menuntut pengasuh dan keluarganya untuk menyediakan beasiswa penuh bagi santri yang berasal dari kelompok ekonomi lemah, alih-alih meminta mereka untuk menjadi Asisten Rumah Tangga gratis bagi pengasuh dan keluarganya dengan dalih ‘keberkahan’. Masyarakat memiliki peran penting untuk memutus rantai kekerasan dalam pesantren karena legitimasi otoritas feodal/patriarkal pengasuh dan keluarganya sebagian besar berasal dari validitas yang diberikan masyarakat kepada mereka.

Melihat kuatnya jejaring kekuasaan antara para elite pesantren dan pemerintah Indonesia, kritik dan pengawasan dari masyarakat juga dapat berfungsi sebagai medium akuntabilitas untuk menjamin bahwa institusi pesantren tidak hanya dijadikan ladang untuk mendulang suara publik bagi berbagai langkah politik seperti yang terjadi saat ini. Di sisi lain, masyarakat—terutama mereka yang mengklaim identitas sebagai ‘orang NU’—juga harus memberikan kritik kepada struktur PBNU yang saat ini telah bertransformasi penuh menjadi ‘makelar’ kekuasaan antara elite pesantren dan pemerintah, alih-alih menjadi lembaga keagamaan sipil yang berdiri bersama kelompok-kelompok marjinal untuk melawan ketidakadilan. Hanya dengan gerakan kritis seperti inilah kita dapat menghentikan jatuhnya korban dari ragam kekerasan berbasis pesantren, dan mengembalikan misi institusi tersebut untuk menjadi lembaga pendidikan Islam yang berlandaskan keadilan sosial.***


Lailatul Fitriyah adalah Associate Professor dalam Pendidikan Antaragama di Claremont School of Theology, Los Angeles, California. AS.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.