Investasi, Alih Fungsi Lahan, dan Kerusakan Ekologis di Haya

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Dokumentasi Penulis


HARAPAN terus dirawat, luka dirajut di tengah protes panjang, tetapi persoalan terus bermunculan dari selatan Pulau Seram. Warga Negeri Haya, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, menuntut PT Waragonda Minerals Pratama (WMP) menghentikan seluruh aktivitas pertambangannya.

Letusan konflik agraria memang tak pernah berhenti.  Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa pada 2024 konflik agraria terus meningkat di berbagai daerah, termasuk Maluku. Di Haya, misalnya, pada 2019 PT WMP masuk dan menancapkan kukunya di tanah mereka demi tambang pasir garnet. Sejak itu, hidup masyarakat Haya tak lagi sama. Tanah dikeruk, lingkungan rusak, konflik sosial meningkat.

Protes dilakukan warga untuk menggagalkan operasi perusahaan, termasuk terhadap kriminalisasi dua warga masyarakat adat Negeri Haya yang dituduh merusak dan membakar fasilitas perusahaan. Perusahaan melaporkan mereka karena beberapa fasilitas terbakar akibat protes. Namun warga menolak keterlibatan sengaja. Mereka bereaksi karena ulah perusahaan. Seperti pepatah lama: “tak ada asap tanpa api”. Menurut keterangan warga, termasuk di persidangan, tindakan tersebut merupakan respons spontan karena perusahaan melanggar larangan sasi di tanah mereka—wilayah yang kemudian dicaplok perusahaan sebagai area operasi.

Protes ini membawa mereka bertemu Hendrik Lewerissa, Gubernur Maluku, pada 4 September 2025. Ia berjanji akan turun langsung ke Haya, bertemu warga, dan mengecek kondisi di sana.

“…Beta akan datang ke sana. Tujuannya agar pemerintah provinsi mendapat gambaran yang utuh tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Haya dengan investasi Waragonda itu,” kata Hendrik Lewerissa.

Sudah dua hingga tiga minggu berlalu, tetaapi tak ada kunjungan ke Haya. Hendrik menghilang; perusahaan terus beroperasi. Pada 18 September, warga kembali mendatangi kantor gubernur dan menagih janji itu. Bagai garam ditabur ke laut, pertemuan terasa sia-sia. Tak ada batang hidung pejabat Pemprov di sana. Alasannya: Pemprov sibuk.

Dalih bahwa Pemprov sibuk adalah omong kosong belaka. Ada faktor lain. Ini yang ingin dibahas penulis. Bagaimanapun, tambang adalah investasi, dan Maluku selalu membuka tangan dengan alasan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Namun yang kerap luput diperiksa ialah bahwa di tingkat lokal, tak semua berjalan sesuai janji manis negara atau perusahaan, atau seperti teks buku-buku ekonomi di bangku kuliah: selalu ada kerusakan dalam setiap aktivitas ekstraksi dan eksploitasi. Dan warga tidak selalu berdaya atau diuntungkan atas kehadiran perusahaan. Mereka bahkan diasingkan di tanah sendiri.


Menyangkal Ancaman Krisis Ekologi di Balik Mantra Investasi

Hendrik pernah menyatakan bahwa Maluku memiliki pendapatan asli daerah (PAD) rendah sehingga tidak mudah menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Barangkali, dengan tidak mencampuri urusan Haya, ia berharap pertambangan di Haya dapat menggerakkan pertumbuhan tersebut.

Ini sejalan dengan pernyataannya bahwa investasi adalah cara terbaik dan paling logis untuk menyerap tenaga kerja dan mengatasi pengangguran. Menurutnya, investasi adalah metode paling efektif.

“Untuk menjawab masalah kemiskinan, menjawab masalah pengangguran, tidak ada pilihan lain. Tidak ada orang yang bisa kasih saya argumentasi paling logis bahwa ada cara lain untuk menyerap tenaga kerja, mengurangi kemiskinan, dan pengangguran kalau bukan investasi.”

Sejauh ini pemerintah masih melihat investasi sebagai wacana dominan untuk menaikkan PAD dan pertumbuhan ekonomi. Hadirnya PT WMP diharapkan dapat meningkatkan PAD. Namun cara pandang ini abai terhadap dampak turunannya.

Jika pertimbangannya adalah pendapatan daerah, PT WMP mencatat total realisasi investasi dan serapan tenaga kerja pada triwulan ketiga 2024 sebesar Rp20,270 miliar. Sementara itu, setoran pajak yang diterima Pemda Maluku Tengah dari 2022 hingga 2024 hanya Rp18 juta. Rinciannya: tahun 2022 sebesar Rp5,9 juta; tahun 2023 sebesar Rp8,6 juta; tahun 2024 sebesar Rp3,4 juta. Dengan demikian, penerimaan daerah dari PT WMP sangat kecil dibanding profit yang mereka peroleh dari hasil keruk.

Padahal, beroperasinya PT WMP telah mempercepat laju pengikisan bibir pantai, menghilangkan tanaman warga, dan merusak sebagian kuburan di tempat pemakaman umum (TPU). Dengan pendapatan sebesar itu, PT WMP bahkan tak mampu mengatasi masalah yang mereka timbulkan. Jika demikian, pembangunan bisa jadi hanya ilusi tanpa meningkatkan kesejahteraan warga.

Selain ilusi keuntungan bagi ekonomi daerah, arus investasi juga menghilangkan ruang hidup masyarakat yang terbangun berabad-abad. Tak wajar jika angka ratusan juta rupiah disandingkan dengan risiko kerusakan lingkungan yang warga alami.

Meski Pemprov menggaungkan investasi etis dan bertanggung jawab, seperti mematuhi peraturan dan menyerap tenaga kerja lokal, banyak kasus menunjukkan bahwa pertambangan justru mempercepat kerusakan lingkungan dan degradasi sosial. Kasus pertambangan nikel di Kawasi, Pulau Obi, serta Weda, Halmahera Tengah, adalah contoh nyata.

Berbagai kasus juga menunjukkan bahwa pertambangan justru menjadi jalan buntu ekonomi. Masyarakat lingkar tambang hampir tak pernah menerima manfaat setimpal dari kekayaan alam yang dirampas dari tanah mereka. Yang diwariskan justru krisis ekologi dan trauma sosial yang bertahan jauh lebih lama daripada masa kejayaan pertambangan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penanaman Modal di Kawasan Rawan Bencana

Dalam RTRW Kabupaten Maluku Tengah, Negeri Haya terletak di kawasan rawan bencana alam. Hal ini juga tercantum dalam dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB) Partisipatif Desa Haya 2023. Negeri Haya rentan terhadap berbagai ancaman bencana dan memiliki sejarah panjang bencana geologi dan hidrometeorologi.

Bencana geologi yang terjadi di Negeri Haya adalah gempa bumi dan tsunami pada 2021. Sementara itu, bencana hidrometeorologi meliputi angin puting beliung pada 2021, abrasi, dan kebakaran hutan pada 2023.

Bencana ini mengakibatkan banyak rumah rusak, warga mengungsi, serta pengikisan bibir pantai. Selain itu, terdapat ancaman lain berupa kerusakan lingkungan. Kehadiran PT WMP yang berjarak 500 meter dari permukiman warga dapat memperparah dan memperluas krisis ini.

Desa/Kelurahan        : Haya

Kecamatan                : Tehoru

Kabupaten/Kota       : Maluku Tengah

Provinsi                      : Maluku

 

RAGAM ANCAMAN KEMUNGKINAN TERJADI PERKIRAAN DAMPAK TOTAL
Gempa Bumi 3 4 7
Tsunami 3 4 7
Abrasi 3 2 5
Angin Puting Beliung 2 2 4
Kebakaran Lahan 1 3 4
Penambangan Pasir merah 2 3 5

 

Keterangan:

Kemungkinan Terjadi

Nilai 1 = Sangat kecil kemungkinan terjadi

Nilai 2 = Kemungkinan kecil terjadi

Nilai 3 = Sangat mungkin terjadi

Nilai 4 = Pasti terjadi

Perkiraan Dampak

Nilai 1 = Tidak parah

Nilai 2 = Agak parah

Nilai 3 = Parah

Nilai 4 = Sangat parah

 

Sumber: Dokumen KRB Desa Haya, 2023

Tabel di atas menunjukkan bahwa gempa bumi dan tsunami merupakan ancaman terbesar di Negeri Haya, masing-masing dengan skor risiko tujuh. Karena dampaknya akan ditanggung masyarakat, pemerintah semestinya menolak aktivitas modal yang justru mempercepat kerusakan.


Jalan Masuk Ekstraksi Pasir Merah

PT Waragonda Minerals Pratama telah beraktivitas sejak 2019 dengan luas konsesi 25,73 hektare. Izin awal perusahaan adalah izin usaha industri kecil melalui Surat Keputusan Menteri Investasi Nomor 972/1/IUP/PMDN/2021 tentang Persetujuan Pemberian Izin Usaha Pertambangan untuk Komoditas Batuan, serta Izin Usaha Industri Kecil Nomor 449/IUI-K/KKB/IV/2021 yang diterbitkan Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Maluku Tengah. Pada 2023, izin ini berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Produksi melalui Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 01/IUP-OP/IV/2023.

“Keputusan Menteri ESDM terkait penetapan wilayah izin usaha pertambangan (IUP) diterbitkan, kalau tidak salah, pada 2021. Pada tahun yang sama juga diberikan IUP eksplorasi dari Kementerian Investasi. Tahun 2023 barulah SK dari Gubernur Maluku sebelumnya. Jadi misalnya pada 2021, saat statusnya masih eksplorasi, memang merupakan kesalahan bila perusahaan melakukan aktivitas yang terkesan eksploitasi, karena belum boleh,” kata mereka.

Berdasarkan Surat Keterangan Nomor 540/196-KET/ESDM/2022, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut PT WMP mengangkut sekitar 200 koli sampel pasir merah (garnet) untuk uji laboratorium. Namun Laporan Triwulan I 2022 PT WMP menunjukkan bahwa shipment pasir merah telah berlangsung sejak 2022–2024 dengan total 3.148 ton. Khusus Maret–November 2022, pengiriman mencapai 1.122 ton.

Sementara itu, warga memperoleh data Syahbandar yang menunjukkan PT WMP telah melakukan dua kali pengiriman dalam tahap eksplorasi sebesar 1.800 ton. Jika benar demikian, perusahaan mengangkut material dalam jumlah besar saat belum memiliki izin produksi 2023 (SK 01/IUP-OP/IV/2023), sehingga terbukti melanggar.

Warga juga menemukan beberapa lokasi—Waya, Hininita, Maniyato, dan Labuang—yang diduga menjadi titik penambangan pasir merah di luar konsesi. Kasus ini sedang diperiksa Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) atas dugaan pertambangan ilegal.

Proses penambangan ini bahkan melibatkan warga di atas tanah mereka sendiri. Perusahaan menampilkan kegiatan tersebut seolah-olah sebagai pertambangan rakyat melalui mekanisme kontrak lahan. Padahal hanya tiga lahan yang benar-benar dikontrak, sementara konsesi mencapai 25,73 hektare. Secara legal hanya tiga lahan yang sah, tetapi operasi perusahaan melampaui batas itu.


Ketika Semua Batas Jebol: Dari Luka yang Disangkal ke Solidaritas Perlawanan

Masalah muncul ketika warga menyadari kerusakan akibat pertambangan sejak akhir 2020. Siliau, lokasi penting bagi warga, hilang ditelan abrasi. Kini wujudnya tak tampak sekalipun air laut surut. Abrasi menjadi peristiwa normal. Warga yakin kerusakan ini dimulai ketika perusahaan beroperasi.

Selain itu, puluhan makam di TPU hilang. Tulang-belulang—dari kaki, rusuk, hingga tengkorak—berserakan di pantai, meninggalkan luka bagi keluarga yang ingin berziarah. Pohon kelapa, bahan baku utama kopra sebagai sumber ekonomi warga, ikut hilang bersama hutan mangrove dan talud beton penahan ombak.

Meluasnya abrasi mengubah bentang alam dan merusak wilayah pesisir secara permanen. Penghancuran itu berlangsung cepat sejak 2021 dan terus berlanjut. Yang hilang bukan sekadar pasir, tetapi sejarah, ingatan kolektif, dan hak-hak komunal masyarakat adat.

Sebelum kerusakan disadari warga, Wakil Bupati Maluku Tengah periode sebelumnya pernah mengunjungi Haya pada 2021. Ia mengetahui adanya kesalahan izin dan menyimpulkan penambangan pasir garnet di Haya ilegal. Ia mengatakan, “Penambangan pasir garnet ini ilegal dan harus ditutup karena dapat menyebabkan abrasi di pesisir pantai Negeri Haya.”

Setelah kunjungan itu, perusahaan sempat menghentikan operasi selama tiga bulan, tetapi tak lama aktivitas kembali dibuka.

Atas seluruh tipu daya dan penghancuran yang berlangsung, masyarakat menemukan momentum perlawanan dari arogansi perusahaan. Penolakan tak terbendung. Warga melancarkan protes sejak 2021 hingga kini. Beragam strategi lahir dari inisiatif warga: rapat-rapat, berita acara penolakan, aksi massa, hingga pemasangan sasi adat sebagai simbol legitimasi perjuangan masyarakat adat.

Pemerintah negeri, saniri (lembaga adat), dan kasisi (tokoh agama) ikut terlibat dalam gerakan masyarakat adat Negeri Haya. Mereka memberi syarat berat kepada perusahaan sebagai strategi yang mustahil dipenuhi—misalnya pembangunan dua rumah sakit, satu pelabuhan, talud sepanjang pantai, dan menyekolahkan 20 anak Negeri Haya setiap tahun.

Perlawanan mencapai puncak ketika perusahaan tidak menghentikan operasi dan kerusakan terus berlangsung. Lembaga adat, tokoh agama, dan pemuda kemudian melaksanakan sasi adat sebagai bentuk penegasan hak ulayat. Ketua Saniri menegaskan bahwa sasi adat yang dilakukan merupakan “sasi perang”; pelanggarannya dibayar dengan nyawa. Sayangnya, sasi ini dilanggar perusahaan.

Seorang anggota saniri berkata, “Perusahaan dong potong sasi adat itu berarti dong potong katong hak adat dan menginjak-injak harga diri Negeri Haya. Maka katong harus lawan perusahaan. Kalo dibiarkan terus, negeri ini bisa tenggelam.” Kemarahan tak terbendung; warga berbondong-bondong mendatangi perusahaan lalu membakar sebagian fasilitasnya.

Kejadian tersebut menyebabkan dua warga dikriminalisasi. Satu didakwa membakar, satu menghasut. Pada 14 Oktober, keduanya dinyatakan bersalah: yang membakar divonis delapan tahun, yang menghasut divonis tiga tahun enam bulan. Namun yang luput dipertimbangkan adalah tindakan perusahaan yang merusak lingkungan dan melanggar sasi.

Masalah ini bukan sekadar benturan antara industri dan masyarakat adat yang dapat diselesaikan lewat negosiasi. Ini mencerminkan persoalan struktural tata kelola sumber daya alam. Pemerintah cenderung menempatkan investasi sebagai motor utama ekonomi, seolah aliran modal adalah jawaban tunggal bagi persoalan pembangunan.

Namun, pasar memiliki empat kelemahan mendasar yang tidak bisa diabaikan. Aktivitas ekonomi kerap memunculkan dampak ikutan yang merugikan pihak lain—terutama lingkungan—tanpa pernah benar-benar diperhitungkan dalam logika keuntungan. Di saat yang sama, dorongan akumulasi modal cenderung melahirkan monopoli atau pemusatan kekuasaan ekonomi yang justru memperlebar kesenjangan. Pasar juga bekerja dalam kondisi yang tidak stabil dan sering disertai minimnya informasi yang memadai, sehingga keputusan ekonomi yang diambil masyarakat maupun pemerintah kerap tidak adil atau tidak rasional. Lebih jauh lagi, mekanisme pasar gagal memastikan pemerataan kesejahteraan; manfaat pertumbuhan tidak otomatis mengalir ke kelompok yang paling terdampak pembangunan.

Karena itu, narasi investasi yang terus digembar-gemborkan Gubernur Maluku tak lebih dari retorika lama. Mungkin angkanya mempercantik statistik ekonomi daerah, tetapi apakah investasi seperti itu mampu membalikkan krisis sosial-ekologi yang sedang berlangsung?


Muh. Jihad Hurasan, sedang aktif di Front Perjuangan Pemuda Indonesia

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.