Dari Queens ke City Hall: Ketika Zohran Mamdani Mengubah Gaya Politik Amerika

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: The Telegraph


Di sebuah blok apartemen di Queens, salah satu wilayah di New York City (NYC), seorang relawan kampanye berjalan menyusuri lorong, mengetuk setiap pintu dengan kesabaran nyaris religius. “Selamat pagi, saya dari kampanye Zohran Mamdani. Boleh bicara sebentar?” Ia tidak membawa brosur penuh janji atau ponsel untuk membuat konten, melainkan membawa telinga. Dalam masa ketika semua orang sibuk berbicara tetapi jarang mendengarkan, tindakan itu sendiri sudah menjadi bentuk politik yang radikal.

Di balik pintu-pintu itu, warga bercerita: tentang sewa apartemen yang naik dua kali lipat tanpa peringatan, tentang bus kota yang selalu penuh dan kian mahal, atau tentang anak yang terlambat sekolah karena kereta api mogok. Tidak ada panggung besar, tidak ada jingle kampanye. Hanya percakapan antarmanusia—ruang yang semakin langka di abad algoritma.

Kampanye seperti ini terasa nyaris aneh di Amerika yang kini hidup dalam histeria layar. Namun bagi Zohran Kwame Mamdani, putra imigran India-Uganda, seorang Muslim dan sosialis demokrat, politik bukan soal penampilan, melainkan pertemuan. Ia meyakini bahwa politik yang sehat tidak dimulai dari “berapa banyak orang menonton,” melainkan dari “berapa banyak orang merasa didengar.”


Politik sebagai Percakapan

Mamdani menolak pandangan bahwa politik adalah kompetisi visual antar kandidat yang memoles citra. Ia tidak meniru tradisi politik modern Amerika yang menjadikan kontestasi seperti Super Bowl ideologis: siapa yang memiliki iklan paling menarik, paling sering muncul di televisi, atau paling viral di media sosial. Ia membalik logika itu. Ia turun ke jalan, menyeberang trotoar, mengetuk pintu, dan menyapa langsung para penyewa apartemen kelas pekerja.

Strategi ini bukan sekadar romantisme gerakan akar rumput (grassroots). Pendekatan tersebut mencerminkan pergeseran cara berpikir dalam praktik politik. Mamdani memperlakukan warga bukan sebagai “target komunikasi,” melainkan sebagai sumber pengetahuan politik. Dengan mendengarkan, ia membalik relasi kekuasaan dalam demokrasi representatif: yang diwakili memberi arah kepada yang mewakili, bukan sebaliknya.

Literatur klasik mengenai partisipasi politik, dari Sidney Verba hingga Robert Putnam, menegaskan bahwa komunikasi langsung (face-to-face contact) merupakan cara paling efektif untuk membangun kepercayaan. Namun apa yang dilakukan Mamdani melampaui teori itu. Ia menjadikan mendengar sebagai strategi elektoral sekaligus etika politik. Dalam dunia yang terlalu banyak bicara, mendengar adalah bentuk revolusi.


Politik dari Jalanan Queens

Latar belakang Mamdani menjelaskan banyak hal. Ia lahir di Kampala, Uganda, dari keluarga diaspora India dan tumbuh besar dengan kesadaran tentang kolonialisme, ketimpangan, dan pencarian tempat berpijak. Ayahnya, Mahmood Mamdani, adalah seorang pemikir besar politik Afrika dan warisan kolonialisme. Ibunya, Mira Nair, sutradara film Monsoon Wedding dan The Namesake, dikenal karena mengangkat ketegangan antara Timur dan Barat, modernitas dan tradisi.

Dari rumah itulah Zohran tumbuh dengan kepekaan ganda: akar imigran yang tahu rasanya menjadi “yang lain,” serta pendidikan global yang menumbuhkan kesadaran bahwa sistem sosial tidak pernah netral. Ia menolak jalan aman politik arus utama dan memilih bergabung dengan organisasi Sosialis Demokratik Amerika (Democratic Socialists of America/DSA), yang menentang kapitalisme predator serta memperjuangkan redistribusi kekayaan, layanan publik gratis, dan hak-hak pekerja.

Ketika ia mencalonkan diri sebagai anggota Majelis Negara Bagian New York pada tahun 2020, banyak yang menganggap langkahnya nekat. Lawannya adalah petahana kuat dari Partai Demokrat. Namun, ia menang bukan karena dana besar, melainkan karena kesetiaan pada metode lama: mengetuk pintu, berbicara, dan mendengarkan.

Lima tahun kemudian, ia mencatat sejarah dengan menjadi Wali Kota New York City pertama yang beragama Islam, berhaluan sosialis, dan berasal dari keluarga imigran. Ia mengalahkan penerus salah satu dinasti politik terkuat di negara bagian itu, keluarga Cuomo, yang didukung sepenuhnya oleh para aristokrat keuangan.


Dari Kampanye ke Kepercayaan

Mengapa strategi “mengetuk pintu ke pintu” begitu efektif? Jawabannya terletak pada konsep yang jarang dibicarakan dalam politik modern: kepercayaan sosial. Kepercayaan adalah mata uang demokrasi. Ketika warga merasa tidak didengar, mereka menarik diri dari sistem, dan demokrasi kehilangan legitimasi.

Di banyak negara maju, partisipasi pemilih menurun karena kejenuhan terhadap elite politik yang dianggap jauh dari realitas. Mamdani melawan tren itu dengan cara sederhana: hadir secara fisik.

Penelitian Putnam (2000) dalam Bowling Alone menunjukkan bahwa interaksi langsung antar manusia memperkuat modal sosial dan kohesi komunitas. Mamdani tampaknya memahami hal itu tanpa perlu mengutip buku; ia menerapkannya dalam praktik. Dengan memobilisasi relawan untuk berbicara dari rumah ke rumah, ia membangun jejaring sosial horizontal yang lebih kuat dibanding iklan digital mana pun.

Strategi ini bukan sekadar taktik, melainkan kritik terhadap struktur komunikasi politik kontemporer. Dalam ekonomi atensi digital, warga direduksi menjadi angka dan tayangan. Dalam sistem seperti itu, rakyat bukan lagi subjek, melainkan titik data (data points) yang ditambang demi kepentingan elektoral. Mamdani mengubah arus itu dengan menempatkan kembali manusia di pusat politik.

Namun, perlu diingat bahwa di balik romantika “politik yang tulus,” tetap ada realitas keras. Kampanye modern tetap membutuhkan dana, organisasi, dan teknologi komunikasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Mengorganisasi ribuan relawan, mencetak materi kampanye, menyewa ruang komunitas, serta menyediakan transportasi membutuhkan logistik besar. Penolakan Mamdani terhadap iklan televisi mahal bukan berarti bebas biaya; ia hanya mengalihkan sumber daya ke bentuk mobilisasi lain. Ia tidak menghapus struktur kapital politik, melainkan menafsirkan ulang penggunaannya.

Selain itu, terdapat persoalan skala. Kampanye tatap muka mungkin efektif di lingkungan urban seperti NYC, tetapi sulit diterapkan di negara besar dengan ratusan juta pemilih. Model ini memerlukan kepadatan sosial tinggi dan keterlibatan komunitas yang kuat—dua hal yang semakin langka akibat urbanisasi dan individualisme digital.

Kemenangan Mamdani juga tidak terlepas dari konteks politik Amerika pasca-Trump. Ketika publik jenuh dengan retorika kasar dan politik kebencian, sosok seperti Mamdani yang lembut, intelektual, dan idealis hadir sebagai antitesis yang menyejukkan. Dalam politik, waktu dan konteks sering menentukan seberapa jauh ketulusan dapat diterima oleh pemilih.


Politik Indonesia dan Fetisisme Viralitas

Sekarang mari melihat ke Indonesia. Di sini, politik tidak lagi dipahami sebagai ruang deliberasi, melainkan sebagai panggung pertunjukan. Calon kepala daerah dinilai bukan dari rekam jejak, tetapi dari tingkat keterlibatan di media sosial. Politisi berlomba-lomba tampil di feed, bukan di forum warga. “Dekat dengan rakyat” sering diartikan sebagai mampir ke warung kopi sambil direkam tim konten.

Kita hidup dalam era politik performatif: makan di warung dianggap bukti kerakyatan, meneteskan air mata dianggap empati, dan berswafoto dengan rakyat dianggap kerja nyata. Dalam lanskap seperti itu, Zohran Mamdani tampak seperti anomali. Ia tidak bermain dengan algoritma, melainkan menulis ulang naskah politik: politik sebagai percakapan, bukan sebagai konten.

Fenomena ini kerap disebut sebagai fetisisme viralitas, yaitu obsesi terhadap angka impresi yang menggantikan substansi. Ketika “viral” menjadi ukuran keberhasilan, yang lahir bukanlah kebijakan, melainkan citra; bukan dialog, melainkan monolog yang dibungkus estetika keterlibatan.

Sayangnya, banyak media ikut memperkuat logika ini. Alih-alih membedah gagasan dan menelusuri kebijakan, media lebih gemar menghitung jumlah pengikut atau membuat daftar “siapa yang paling disukai warganet minggu ini.” Padahal demokrasi tidak dapat diukur dengan algoritma; ia hanya bisa dirawat melalui percakapan jujur dan ruang partisipasi nyata.

Pidato Mamdani yang bernas dan argumentatif menjadi pengingat bahwa politik seharusnya mencerahkan, bukan menggurui. Di Amerika, publik menyambutnya sebagai angin segar setelah bertahun-tahun terjebak dalam politik cacian era Trump. Namun, mendengarnya dari Jakarta menimbulkan rasa getir.

Di Indonesia, pidato politik telah lama berubah menjadi ritual yang membosankan. Para pejabat lebih suka menasihati daripada menjelaskan kebijakan. Mereka berbicara seolah rakyat adalah murid yang harus diarahkan. Tidak ada ruang untuk bertanya, apalagi berdebat. Demokrasi merosot menjadi monolog moral.

Fenomena ini menjelaskan mengapa kepercayaan publik terhadap institusi politik terus menurun. Ketika pidato kehilangan isi dan hanya menyisakan gaya, warga kehilangan alasan untuk mendengarkan. Ketukan pintu yang dilakukan Mamdani seolah menjadi nostalgia bagi demokrasi yang pernah kita impikan: politik yang sederhana, tulus, dan manusiawi.


Dua Dunia, Satu Cermin

Mamdani kini berusia 34 tahun. Gibran Rakabuming, putra presiden Indonesia, berusia 38 tahun. Dua politisi muda dari dua dunia berbeda. Yang satu membangun legitimasi dari jalanan Queens, yang lain dari ruang istana. Yang satu mengetuk pintu, yang lain mengetuk layar.

Perbandingan ini mungkin tidak sepenuhnya adil, tetapi tetap menarik karena menunjukkan perbedaan mendasar dalam ekologi politik kedua negara. Di Amerika, masih ada ruang bagi sosok luar sistem (outsider) seperti Mamdani untuk menantang tatanan yang mapan. Di Indonesia, sistem justru memastikan bahwa tokoh luar sistem tidak memiliki cukup ruang untuk bertahan. Politik di sini telah menjadi sistem tertutup, di mana modal finansial, koneksi keluarga, dan akses media menentukan siapa yang berhak berbicara atas nama rakyat.

Oleh karena itu, ketika publik Indonesia memuji ketulusan Mamdani, pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah sistem kita masih memungkinkan model politik seperti itu tumbuh? Bisakah seorang aktivis tanpa modal besar, tanpa dinasti, dan tanpa patron benar-benar mengetuk pintu rumah warga dan tetap punya peluang menang?

Jawaban yang jujur mungkin pahit. Struktur politik Indonesia—dari regulasi kampanye hingga kepemilikan media—dirancang untuk memihak mereka yang sudah berkuasa. Agar politik dapat kembali menjadi ruang percakapan yang tulus, perubahan tidak cukup datang dari kandidat. Reformasi sistemik diperlukan: pendanaan politik yang transparan, media independen, serta partai yang terbuka terhadap aspirasi akar rumput.


Kepercayaan dan Kepura-puraan

Kemenangan Mamdani memberi harapan bahwa politik yang jujur masih mungkin ada. Namun harapan itu rapuh. Dalam dunia di mana citra dapat diproduksi dengan satu klik, ketulusan mudah berubah menjadi komoditas baru. Banyak politisi kini meniru gaya “merakyat” dengan perhitungan dingin layaknya strategi pemasaran.

Ujian sejati bagi Mamdani bukanlah kemenangan, melainkan keberlanjutan. Dapatkah ia mempertahankan politik mendengar setelah berkuasa? Maukah ia tetap mengetuk pintu ketika kamera sudah pergi? Di sanalah nasib para reformis progresif sering diuji—bukan di jalan kampanye, melainkan di ruang birokrasi yang membosankan dan penuh kompromi.

Politik, sebagaimana ditulis Max Weber, adalah “usaha lambat dan berat yang menuntut keberanian serta kesabaran.” Ketulusan, betapapun indahnya, bisa mati perlahan di tangan sistem yang memuja efisiensi dan viralitas.


Politik Mengetuk Pintu, Bukan Layar

Kemenangan Zohran Mamdani adalah anomali yang menenangkan sekaligus provokasi intelektual. Ia menantang anggapan bahwa politik modern harus tunduk pada logika kapital dan algoritma. Ia menunjukkan bahwa kepercayaan, empati, dan percakapan masih dapat menjadi strategi kemenangan.

Namun, ia juga menyingkap kelemahan demokrasi global: dunia di mana kepercayaan menjadi barang langka, dan bahkan ketulusan pun dapat dipasarkan. Dalam konteks Indonesia, Mamdani adalah cermin. Ia memperlihatkan betapa jauh kita bergeser dari politik sebagai ruang deliberasi menuju politik sebagai tontonan.

Pertanyaan akhirnya sederhana, tetapi menohok: di negeri ini, siapa yang masih mau mengetuk pintu? Siapa yang masih mau mendengar, bukan sekadar berbicara? Lebih pahit lagi, apakah rakyat masih memiliki waktu untuk membuka pintu, atau kita semua sudah terlalu sibuk menatap layar?


Abdul Hakim adalah pengajar Studi Perbandingan Politik, STISNU Kota Tangerang.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.