Ilustrasi: SPK
“Dosen juga buruh!”
Seruan ini kembali mencuat pada aksi May Day beberapa bulan lalu, tahun 2025. Beberapa dosen yang tergabung dalam Serikat Pekerja Kampus (SPK) menyampaikan sejumlah tuntutan, terutama mengenai upah layak bagi semua pekerja kampus tanpa terkecuali. Penelitian SPK (2024) menunjukkan bahwa “upah dosen jauh dari layak.” Mayoritas dosen masih menerima take home pay di bawah tiga juta rupiah, meskipun telah bekerja lebih dari enam tahun. Kondisi kerentanan ini lebih banyak dialami oleh dosen di universitas swasta dibandingkan dosen di universitas negeri.
Dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 huruf (a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, fungsional, khusus, kehormatan, dan maslahat tambahan yang ditetapkan berdasarkan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Namun, realitas menunjukkan bahwa pemberian upah layak belum terealisasi secara merata dan adil.
Tuntutan tersebut dilandasi oleh kesadaran bahwa dosen telah menjadi komoditas. Komoditas dapat diartikan sebagai benda yang memiliki kegunaan dan nilai guna. Nilai guna menjadi nyata melalui penggunaan atau konsumsi, serta menjadi dasar dari nilai tukar (Marx, 1867). Dalam konteks ini, dosen merupakan entitas yang memiliki kegunaan untuk dikonsumsi dan ditukarkan dalam bentuk honorarium. Singkatnya, tenaga kerja dosen memproduksi ilmu pengetahuan yang kemudian dijual atau diganti dengan upah. Penekanannya terletak pada nilai guna, di mana dosen dikoptasi untuk menghasilkan lulusan yang sesuai kebutuhan pasar.
Kesadaran Dosen sebagai Buruh
Terjadi fragmentasi kesadaran mengenai posisi dosen sebagai kelas pekerja. Realitas sosial masih menempatkan dosen sebagai simbol status tinggi di masyarakat karena dianggap sebagai kaum intelektual. Dualisme ini membatasi kesadaran dan perlawanan. Meskipun tergolong kelas pekerja, dosen tetap dipandang sebagai sosok terpandang sebab menyebarkan ilmu pengetahuan. Pola universal, simbol sosial, dan struktur peran di masyarakat menempatkan dosen pada ketidaksadaran kolektif yang disebut arketipe.
Hal ini sejalan dengan pandangan Carl Gustav Jung bahwa kepribadian manusia dibentuk bukan hanya oleh pengalaman pribadi, tetapi juga oleh ketidaksadaran kolektif. Arketipe muncul dalam bentuk tokoh-tokoh simbolik, seperti dosen sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, orang bijak, atau cendekiawan. Pandangan ini membuat banyak dosen menginternalisasi “arketipe mulia” sehingga sulit melihat dirinya sebagai pekerja atau buruh.
Representasi dosen sebagai kaum intelektual telah menjadi stigma sosial yang membentuk arketisme dalam diri mereka. Banyak dosen secara tidak sadar menolak melihat dirinya sebagai buruh karena terikat oleh simbol kehormatan dan idealisme profesi. Mereka terkungkung oleh arketipe luhur yang menuntut mereka tetap tinggi secara moral. Dari perspektif Jungian, arketipe adalah kekuatan tak sadar yang membentuk identitas dan perilaku. Sebagai intelektual yang disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”, dosen dituntut berkorban demi pendidikan dan anak bangsa. Akibatnya, mereka memaklumi eksploitasi sistemik yang dialami sendiri, bahkan enggan bersuara atau melawan.
Arketipe itu membentuk kesadaran yang kuat bahwa profesi dosen adalah pekerjaan agung, sekaligus mengendalikan perilaku secara tidak sadar. Ketidaksadaran yang dibangun melalui arketipe tersebut melemahkan kesadaran kelas. Padahal siapa pun yang bekerja dan menerima upah dalam bentuk apa pun sejatinya adalah buruh. Artinya, jika dosen menerima upah sebagai imbalan atas pengajaran, ia juga merupakan buruh, meskipun upahnya jauh dari layak. Ketidaklayakan upah ini mencerminkan bentuk eksploitasi nilai lebih terhadap tenaga dosen.
Dosen juga harus menjalani sistem kerja yang tidak hanya mencakup penyebaran ilmu pengetahuan, tetapi juga beban administratif. Rendahnya upah dibenarkan melalui narasi bahwa menjadikan dosen sebagai pekerjaan utama adalah kesalahan. Akibatnya, profesi dosen dimaknai sebagai pekerjaan sampingan. Dosen yang berfokus pada pengajaran, penelitian, dan pengabdian sering dianggap bodoh karena tidak mencari penghasilan lain. Di sinilah arketipe bekerja dengan rapi, membenarkan eksploitasi dengan bungkus moralitas dan idealisme.
Pemahaman bahwa dosen harus mencari pekerjaan alternatif membuat mereka tidak fokus mengajar karena perhatian terpecah pada kebutuhan ekonomi. Seperti disebut Gramsci, relasi kerja eksploitatif sering dianggap normal dan dimaklumi dalam struktur pasar yang monopsoni, yaitu kondisi ketika pemberi kerja memiliki kuasa tunggal untuk menentukan upah dan syarat kerja. Akibatnya, dosen, terutama di perguruan tinggi swasta, harus tunduk pada perintah institusi.
Kesalahpahaman tentang rendahnya gaji dosen sering dikaitkan dengan pilihan individu untuk mengajar, seolah situasi ini merupakan konsekuensi alami dari keputusan pribadi. Padahal akar masalahnya bersifat struktural. Negara bertanggung jawab menciptakan sistem ketenagakerjaan yang adil dan non-eksploitatif. Karena itu, kesejahteraan dosen tidak dapat direduksi menjadi pilihan personal, melainkan harus dipandang dalam kerangka kebijakan hukum dan tata kelola universitas yang menempatkan dosen sebagai pilar pembangunan nasional.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Shadow dan Alienasi Dosen dalam Sistem Pasar
Minimnya kesadaran kelas berkelindan dengan sistem pendidikan tinggi yang semakin tunduk pada logika pasar. Di Indonesia, pendidikan tinggi diarahkan untuk mendukung pembangunan ekonomi berorientasi pertumbuhan. Namun, universitas kini dipandang sebagai institusi penghasil sumber daya manusia bagi pasar, bukan lagi ruang pengembangan ilmu pengetahuan yang mandiri.
Akibatnya, kampus yang seharusnya menjadi medan perdebatan dan ruang kritik berubah menjadi arena pragmatis yang menempatkan pendidikan sebagai komoditas. Perubahan ini diperkuat oleh penerapan konsep Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) dan Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) yang mengharuskan kurikulum relevan dengan kebutuhan industri. Orientasi akademik pun mengikuti logika pasar, lebih menekankan kesiapan kerja daripada pengembangan keterampilan kritis dan emansipatoris mahasiswa.
Mahasiswa akhirnya ditanamkan pandangan bahwa universitas hanya tempat meraih gelar dan kesiapan kerja. Orientasi pragmatis ini membuat mereka pasif, tidak berani berkreasi atau mengkritik. Mahasiswa dan lulusan diposisikan sebagai produk akhir bagi kebutuhan kapitalisme, jauh dari fungsi perguruan tinggi sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi: mengembangkan kemampuan dan membentuk peradaban bangsa yang bermartabat, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta menumbuhkan sivitas akademika yang inovatif dan humanis.
Hegemoni negara dalam pendidikan tinggi tampak jelas melalui berbagai instrumen kontrol seperti regulasi, sistem penilaian, dan mekanisme akreditasi. Pola ini merupakan warisan panjang dari kontrol Orde Baru. Gaji dosen yang rendah hanyalah salah satu gejala dari masalah yang lebih besar, yaitu ketergantungan intelektual, alienasi akademis, dan dominasi logika pasar.
Sejalan dengan pemikiran Foucault tentang governmentality, kekuasaan tidak hanya hadir dalam bentuk represi, tetapi juga bekerja halus melalui regulasi dan standar yang menuntun perilaku akademisi. Hal ini menciptakan logika keliru dalam praktik pendidikan: tesis terbaik dianggap yang paling cepat selesai. Akibatnya, budaya kritis melemah dan digantikan orientasi pragmatis, seperti lulus cepat, mencari kerja, dan mengumpulkan uang. Pendidikan tinggi pun kehilangan semangat emansipatorisnya dan berubah menjadi ruang reproduksi ketaatan terhadap kapitalisme.
Menara Panoptik dan Kebebasan Semu
Konsep Panopticon yang diperkenalkan Jeremy Bentham dan dibahas Michel Foucault relevan menggambarkan situasi dosen saat ini. Panopticon menciptakan pengawasan konstan melalui desain arsitektur melingkar, di mana seorang penjaga dapat mengawasi semua tanpa terlihat (Foucault, 1995). Dalam konteks dosen, panoptik dapat dipahami sebagai sistem akreditasi, penilaian kinerja, sertifikasi, dan capaian pembelajaran yang terus memantau aktivitas mereka.
Meskipun tidak selalu tampak, mekanisme ini menciptakan rasa diawasi dan mendorong dosen berperilaku sesuai standar institusi. Kebebasan akademik yang seharusnya memberi ruang bagi kreativitas dan kritik justru dirusak oleh logika disiplin. Dosen menjadi subjek yang terus diukur, didokumentasikan, dan diselaraskan dengan kepentingan sistem.
Dalam konteks ini, universitas berperan sebagai menara panoptik yang mengontrol perilaku dosen melalui sistem penilaian dan beban kerja. Beban administratif yang berat mengekang kebebasan berpikir. Walaupun ada ruang kebebasan, semua tetap berada dalam kotak aturan Tridarma (pengajaran, penelitian, dan pengabdian). Dosen yang berpikir di luar pola yang telah ditetapkan tidak diakui bila tidak sesuai dengan indikator Beban Kinerja Dosen (BKD).
Foucault menyebut kondisi ini sebagai technology of the self, yaitu proses pendisiplinan diri yang membuat individu menyesuaikan diri dengan sistem kontrol. Sejalan dengan pandangan Mikhail Bakunin tentang illusory freedom, kebebasan yang ditawarkan institusi hanyalah ilusi. Dosen memang bebas menulis atau meneliti, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh regulasi, kurikulum, dan akreditasi. Bahkan kritik terhadap isu politik bisa berujung sanksi. Kebebasan akademik pun menjadi kebebasan semu yang meninabobokan.
Hak Otonomi Intelektual yang Merdeka
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 51 huruf (e) menyebutkan bahwa dosen berhak atas kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Idealnya, otonomi ini memberi ruang bagi pengembangan pengetahuan dan kritik terhadap situasi sosial. Namun dalam praktiknya, hak tersebut direpresi melalui Rencana Pembelajaran Semester (RPS), roadmap penelitian, dan sistem pengabdian yang kaku. Ide-ide yang muncul dari keresahan sosial tidak diakui bila tidak diterbitkan dalam jurnal terakreditasi.
Akibatnya, dosen hanya mengejar skor kinerja demi memenuhi beban kerja dan memperoleh hibah. Kebebasan yang dibatasi ini melahirkan efek domino berupa matinya kreativitas dan kritisisme ilmiah. Dosen tidak lagi melihat realitas sosial sebagai isu utama yang harus ditelaah, melainkan sekadar bahan administratif untuk laporan.
Kebebasan dibungkam oleh kebijakan internal kampus yang semakin terkooptasi oleh logika pasar. Dosen tidak hanya dibentuk oleh nilai akademik internal, tetapi juga oleh sistem eksternal yang mengekang kebebasan berpikir. Fenomena ini mirip dengan prinsip ideomotor, yaitu gerakan tak sadar yang muncul sebagai respons terhadap pengondisian mental. Dosen pun tanpa sadar diarahkan oleh mekanisme pelaporan administratif untuk bersikap pragmatis dan patuh terhadap indikator birokratis.
Selain itu, kebijakan eksternal kampus yang dapat mengkriminalisasi pandangan kritis menciptakan iklim ketakutan. Padahal suara dosen penting untuk memahami dan memecahkan masalah sosial. Alih-alih menjadi suara intelektual, universitas justru berisiko terjebak dalam mekanisme kontrol yang melemahkan tradisi berpikir kritis.
Universitas, yang idealnya menjadi ruang terbuka bagi pertukaran gagasan dan pencarian kebenaran, perlahan berubah menjadi institusi yang mengutamakan kepentingan pasar. Beban administratif semakin mendominasi, sementara pendidikan kritis menjadi utopia. Keberhasilan perguruan tinggi kini diukur dari jumlah lulusan yang cepat terserap pasar, bukan dari sejauh mana mereka melahirkan individu kritis dan inovatif.
Menemukan Pemenuhan Diri sebagai Dosen
Kepuasan sebagai dosen idealnya menjadi jalan menuju realisasi diri yang utuh karena profesi ini menawarkan makna, kebebasan akademik, dan ruang perkembangan intelektual. Namun realitas menunjukkan bahwa profesi ini terperangkap dalam struktur kekuasaan yang halus, mulai dari desain kurikulum hingga mekanisme penilaian negara. Kekuasaan dosen bukan fenomena terisolasi, melainkan bagian dari struktur kekuasaan yang lintas sektor dan generasi.
Upah yang tidak memadai menjadi titik awal kekerasan simbolis dan struktural, yang dampaknya bukan hanya pada kesejahteraan dosen, tetapi juga makna pendidikan itu sendiri. Universitas, yang seharusnya menjadi ruang pembebasan dan pertempuran gagasan, justru berubah menjadi arena kontrol yang tunduk pada logika pasar. Pendidikan tinggi kehilangan dimensi emansipatorisnya dan lebih mengutamakan reproduksi kepatuhan serta utilitas ekonomi dibandingkan pengembangan ilmu pengetahuan sebagai kekuatan transformatif.
Budaya intelektual sejatinya lahir dari proses yang melampaui aktivitas belajar dan mengajar. Ia tumbuh melalui pengkajian kritis terhadap ilmu yang telah diperoleh, menghasilkan siklus intelektual berkesinambungan. Ruang kuliah bukan titik akhir transfer pengetahuan, melainkan awal dari dinamika intelektual yang progresif.
Sebagaimana ditegaskan LSP3I dalam Budaya Intelektual & Budaya Akademik Kekinian, budaya intelektual harus membentuk siklus berulang di mana pengetahuan dipertajam, diuji, dan diperkaya melalui pengalaman serta perspektif baru sehingga melahirkan kontinuitas keilmuan yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Novi Enjelina Putri, dosen di salah satu universitas di Surabaya, aktif dalam riset hukum, politik, dan kajian sosial kritis.




