Inklusivitas yang Eksklusif: Kapitalisme di Balik Ruang Aman

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Wayde Clarke/QNews


DALAM dua dekade terakhir, wacana inklusivitas semakin menempati ruang publik dan menjadi elemen penting dalam berbagai industri, termasuk industri kecantikan (Angga, 2025). Inklusivitas yang pada mulanya dipandang sebagai nilai emansipatoris—yakni upaya membebaskan individu dari belenggu diskriminasi berbasis gender, kelas, maupun orientasi seksual—kini menghadapi transformasi dalam lanskap kapitalisme kontemporer.

Ruang-ruang sosial, khususnya di industri kecantikan seperti brand kecantikan, brand fesyen, bahkan salon, mengalami evolusi branding. Dengan menghadirkan ruang simbolik sebagai tempat identitas dan nilai-nilai inklusif diproduksi, dipertukarkan, dan dikomodifikasi, ruang-ruang tersebut tidak hanya berfungsi sebagai arena perawatan tubuh ataupun arena kecantikan yang lain. Dilansir dari artikel yang ditulis oleh Edhy Aruman (2024), kemunculan influencer yang mengubah wajah pasar dengan merayakan inklusivitas—memberikan tempat pada identitas yang selama ini kurang diperhatikan dalam dunia kecantikan—juga turut berperan di dalamnya.

Namun, selain hadirnya inklusivitas dan visibilitas identitas seksual lain di industri kecantikan, muncul pula kritik terkait transformasi nilai. Fenomena ini dapat dipahami melalui beberapa kerangka teoritis.

Pertama, Henri Lefebvre dengan konsep ruang sosialnya melihat bahwa ruang tidak pernah netral, melainkan selalu dibentuk oleh relasi kekuasaan dan praktik konsumsi (Kusnad & Ayuningrum, 2025). Dalam konteks salon, inklusivitas diproduksi sebagai komoditas yang dapat dipasarkan kepada kelompok tertentu, sehingga ruang inklusif bertransformasi menjadi arena konsumsi yang terkontrol.

Kedua, Pierre Bourdieu melalui konsep modal simbolik memungkinkan kita memahami bahwa inklusivitas diartikulasikan dalam bentuk simbol-simbol visual maupun linguistik, yang pada akhirnya dapat dikonversi menjadi modal ekonomi (Syahril, 2014).

Ketiga, Rosemary Hennessy (1994) menegaskan bahwa visibilitas queer di pasar tidak otomatis membebaskan, justru memperkuat logika konsumsi dengan menutupi ketimpangan kelas, bahkan menyerap energi politik menjadi lifestyle choice.

Kajian ini berfokus pada praktik yang berlangsung di salon JPalm di Omaha, khususnya bagaimana simbol-simbol inklusivitas seperti gender-neutral pricing atau queer-friendly space dikonstruksi dan dimaknai dalam strategi pemasaran serta segmentasi pasar. Dalam konteks serupa, Hennessy (1994) mendukung pandangan bahwa inklusivitas yang dihadirkan di salon JPalm tidak lagi muncul dari kesadaran individu, melainkan berubah menjadi nilai surplus.

Analisis diarahkan pada diferensiasi harga, bentuk layanan, dan simbolisme inklusif yang berfungsi ganda: sebagai strategi bisnis yang menargetkan segmen pasar tertentu, sebagai visibilitas queer yang mereproduksi kapitalisme neoliberal, sekaligus sebagai mekanisme yang melanggengkan hierarki akses terhadap layanan kecantikan yang mengandung nilai-nilai inklusif.

Melalui teori kritik kapitalisme Lefebvre dan analisis modal budaya serta kekerasan simbolik Bourdieu, artikel ini berpendapat bahwa inklusivitas dalam industri kecantikan telah bergeser dari praksis emansipatoris menuju komoditas transaksional. Bersama dengan kritik yang dikembangkan oleh Hennessy, dapat disimpulkan bahwa komodifikasi identitas seksual dalam konteks queer tidak lagi membebaskan—tidak lagi merayakan atau membawa kesadaran atas keberagaman, melainkan menjadi nilai tambah kapital semata. Akses terhadap ruang dan layanan inklusif kini ditentukan oleh kemampuan ekonomi, bukan lagi oleh kebutuhan identitas, sehingga inklusivitas kehilangan makna otentiknya dan bertransformasi menjadi instrumen diferensiasi kelas dalam kapitalisme kontemporer.


Simbol-Simbol Inklusivitas ala JPalm Hairdressing

Menurut Lefebvre, representasi ruang merupakan “ruang yang dikonseptualisasikan” oleh para ahli, perencana, dan teknokrat, yang mencerminkan kebutuhan serta prioritas kekuasaan dominan (O’Brien, 2023). Dalam kasus JPalm, representasi ruang tersebut terwujud melalui strategi branding dan positioning salon sebagai queer femme-owned salon yang menawarkan genderless pricing.

Konseptualisasi ini membentuk identitas visual dan linguistik yang secara eksplisit mengklaim ruang inklusif dalam lanskap bisnis yang umumnya heteronormatif. Positioning tersebut bukan sekadar label, melainkan konstruksi ideologis yang dikemas dalam bahasa bisnis modern. Sebagaimana dijelaskan Lefebvre (1974), representasi ruang berkaitan erat secara ideologis bila berkontribusi terhadap reproduksi relasi produksi. JPalm membangun diskursus dominan mengenai makna salon “inklusif” di Omaha dengan menetapkan standar bahwa inklusivitas dapat diukur melalui indikator tertentu, seperti gender-neutral pricing dan aksesibilitas fisik.

Dalam praktiknya, inklusivitas di JPalm dikomodifikasi melalui beberapa mekanisme. Sistem Pay What You Can (PWYC) yang memungkinkan klien membayar antara $0–50 untuk potongan rambut, misalnya, hanya menyediakan lima slot per bulan. Meskipun tampak inklusif, model ini tetap menciptakan hierarki akses yang terstruktur berdasarkan kapasitas ekonomi dan keterbatasan kuota.

Demikian pula dengan strategi gender-neutral pricing yang dipromosikan melalui slogan “cutting hair is cutting hair.” Alih-alih sekadar bentuk keadilan gender, strategi ini berfungsi sebagai diferensiasi produk yang menghadirkan unique selling proposition serta membangun market positioning yang menguntungkan secara ekonomi. Dengan demikian, ruang inklusif yang diklaim bukan hanya kebutuhan riil komunitas, melainkan juga aset merek dagang (goodwill) yang dapat dimonetisasi.

Di dalam kapitalisme, ruang mengalami transformasi dari nilai guna (use-value) menjadi nilai tukar (exchange-value). Hal ini tampak jelas dalam praktik JPalm, khususnya terkait kebutuhan komunitas LGBTQIA+ akan ruang aman (safe space) yang ditransformasikan menjadi simbol inklusivitas yang dapat dipasarkan. Dampaknya terlihat dari peningkatan drastis interaksi dan perluasan pasar setelah video JPalm viral. Fenomena ini menunjukkan bahwa simbolisme inklusif dapat dikonversi menjadi modal kapital ekonomi yang nyata.

Namun, transformasi tersebut juga mereproduksi logika ruang abstrak kapitalisme. Lefebvre mengonseptualisasikan “abstract space” sebagai ruang yang serentak terfragmentasi, homogen, dan hierarkis (Robet, 2014). JPalm, meski mengklaim menciptakan alternatif, justru mereproduksi logika tersebut dengan menstandarkan pengalaman inklusif ke dalam format yang dapat dibeli dan direplikasi berdasarkan prakondisi yang telah ditentukan.

Hierarki akses semakin nyata dalam struktur harga JPalm—mulai dari PWYC ($0–50), existing client cut ($71), hingga new client cut ($99). Sistem ini secara implisit mempertahankan stratifikasi kelas; klien dengan kapasitas ekonomi lebih tinggi memperoleh pengalaman yang lebih komprehensif. Dengan positioning sebagai salon premium yang mengedepankan inklusivitas, terciptalah eksklusivitas dalam inklusivitas—sebuah paradoks yang menunjukkan bahwa hanya mereka yang memiliki privilese ekonomi dan waktu yang benar-benar dapat mengakses ruang tersebut.

Kontradiksi spasial ini semakin menajam ketika praktik sehari-hari JPalm memasuki ruang digital. Video viral di media sosial berfungsi sebagai alat pemasaran yang mengubah interaksi autentik menjadi performa inklusivitas untuk konsumsi massa. Dengan demikian, ruang representasional JPalm tidak hanya terbatas pada pengalaman fisik di salon, melainkan juga dimediasi oleh teknologi digital yang sangat terkontrol dan terkomodifikasi.

Meskipun awalnya dimotivasi oleh kebutuhan riil menciptakan safe space bagi komunitas LGBTQIA+, praktik tersebut kini mengalami kooptasi oleh logika pasar. Apa yang awalnya merupakan bentuk resistensi terhadap heteronormativitas industri kecantikan berubah menjadi strategi branding yang menguntungkan.

Ruang representasional JPalm tetap memiliki arti penting, khususnya bagi klien LGBTQIA+, neurodivergen, veteran dengan PTSD, dan penyintas kekerasan. Di ruang ini, pengalaman afirmasi gender dan identitas berlangsung secara nyata, sebagaimana ditegaskan oleh pemilik salon: “People deserve to be comfortable with what they see in the mirror.” Namun, sebagaimana diperingatkan oleh Lefebvre, kontradiksi spasial yang lahir dari kapitalisme berisiko menetralkan potensi subversif suatu praktik. Dalam kasus JPalm, inklusivitas yang dimaksudkan sebagai ruang pembebasan justru diintegrasikan ke dalam format yang dapat dipasarkan, sehingga reproduksi logika kapitalisme tetap berlanjut di balik klaim ruang alternatif yang inklusif.


Simbolisme Visual dan Linguistik JPalm sebagai Modal Simbolik dan Ekonomi

Salon JPalm Hairdressing di Omaha, Nebraska, telah mentransformasikan elemen-elemen inklusivitas menjadi sistem simbolik yang beroperasi dalam kerangka kapitalisme kontemporer. Hal ini mencerminkan transformasi ruang dari nilai guna menjadi nilai tukar—kebutuhan komunitas queer akan ruang aman berubah menjadi aset atau merek dagang yang dapat dimonetisasi.

Di sisi lain, Bourdieu menunjukkan bahwa simbolisme visual dan linguistik yang digunakan JPalm berfungsi sebagai modal simbolik yang dapat dikonversi menjadi modal ekonomi, sehingga memperkuat posisi dominan salon ini dalam arena industri kecantikan alternatif.

Klaim sebagai queer femme-owned salon dengan genderless pricing bukan sekadar label komersial, melainkan konstruksi ideologis yang memberikan legitimasi simbolik kepada JPalm untuk mendefinisikan standar inklusivitas. Praktik seperti menanyakan pronoun atau meminta izin sebelum menyentuh klien tidak sekadar rutinitas, tetapi simbol-simbol yang menegaskan distingsi salon ini dibandingkan dengan salon konvensional.

Namun, Lefebvre mengingatkan bahwa bentuk-bentuk representasi ruang semacam ini sering kali menjadi sarana homogenisasi, karena praktik yang pada mulanya autentik akhirnya distandarkan, diprediksi, dan dipasarkan sebagai bagian dari abstract space kapitalis (Robet, 2014).

Dari sisi ekonomi, simbolisme inklusivitas memungkinkan JPalm membebankan premium price melalui konsep gender-neutral pricing yang dikemas sebagai ethical consumption. Klien tidak hanya membayar potongan rambut, melainkan juga akses ke ruang simbolik yang dilegitimasi sebagai safe space. Viralitas konten mereka di media sosial memperluas legitimasi tersebut hingga ke luar wilayah Omaha, sekaligus mendemonstrasikan bahwa modal simbolik ini dapat dikonversi menjadi kapital ekonomi yang nyata (Bourdieu, 2008).

Lefebvre menyebut proses ini sebagai reproduksi ruang di dalam sistem kapitalisme, sementara Bourdieu menegaskan bahwa nilai simbolik hanya terealisasi dalam konteks pasar yang mengakui legitimasi simbolisme tersebut. Selain itu, bahasa yang digunakan JPalm—seperti queer-friendly space, consent-based service, dan terminologi inklusif lainnya—menjadi bentuk modal linguistik yang berfungsi menciptakan perbedaan simbolik.

Klaim inklusivitas JPalm juga menciptakan eksklusi. Akses ke ruang yang dikonstruksikan sebagai inklusif ditentukan oleh kemampuan membayar harga premium dan menunggu slot terbatas. Dengan demikian, inklusi tidak lagi berbasis solidaritas kolektif, melainkan pada kemampuan ekonomi individu untuk mengakses layanan tersebut. Hal ini menunjukkan paradoks “eksklusivitas dalam inklusivitas”, sekaligus mereproduksi hierarki sosial baru.

Inklusivitas yang semula dimaksudkan sebagai praksis emansipatoris akhirnya terkooptasi ke dalam logika pasar—menjadi instrumen akumulasi modal simbolik dan ekonomi serta memperkuat reproduksi kapitalisme melalui segmentasi pasar baru.


Visibilitas Queer sebagai Reproduksi Kapitalisme Neoliberal

Seperti halnya istilah queer, konsep “visibilitas” juga merupakan hasil perjuangan panjang komunitas LGBTQIA+ (Hennessy, 1994). Bagi sebagian orang, visibilitas dipahami sebagai bentuk pencarian validasi. Namun, visibilitas budaya juga berdampak positif dalam memperjuangkan hak-hak sipil serta memberdayakan komunitas LGBTQIA+ untuk mendapatkan akses di berbagai bidang, layaknya orang-orang yang dapat menjalani hidup tanpa validasi dari budaya dominan.

Visibilitas ini turut memunculkan wajah-wajah baru yang sebelumnya tidak mendapatkan ruang aman untuk bersinar maupun mengekspresikan pendapat di berbagai bidang. Perjuangan atas visibilitas tersebut telah menciptakan ruang aman, khususnya bagi komunitas LGBTQIA+ di beberapa bidang, termasuk industri kecantikan.

Dalam jurnalnya, Yakisch (2005) menulis bahwa salah satu brand kecantikan menggunakan lima laki-laki gay sebagai host atau pembawa acara. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan visibilitas telah memberikan ruang aman bagi komunitas LGBTQIA+ untuk mengekspresikan diri. Namun, Yakisch (2005) sekaligus mengkritik bahwa metode presentasi yang flamboyan oleh kelima pembawa acara tersebut, meskipun menghibur, justru memperkuat stereotipe terhadap komunitas LGBTQIA+.

Acara yang awalnya membawa nilai-nilai inklusivitas akhirnya terjebak dalam paradoks yang sama, yakni eksklusivitas di dalam inklusivitas. Media massa, dalam hal ini, berupaya menyeimbangkan kepentingan mayoritas dengan minoritas yang terspesialisasi. Hal serupa juga tampak pada salon JPalm yang mengusung konsep inklusivitas, visibilitas, dan ruang aman bagi komunitas LGBTQIA+ dalam praktik pemangkasan rambut.

Alih-alih menghadirkan kesadaran dan kesetaraan untuk semua kalangan, salon JPalm yang mengusung pelayanan “queer haircutting specialist” justru menghadirkan eksklusivitas dengan memanfaatkan visibilitas dan inklusivitas sebagai nilai jual bisnis.

Salon JPalm mengamini visibilitas komunitas LGBTQIA+, tidak hanya di ranah tertentu, tetapi juga dengan menyediakan layanan berbasis nilai-nilai inklusivitas seperti gender-affirming service, pemijatan, dan gaya potongan rambut berdasarkan gender yang diinginkan. Industri kecantikan yang menghadirkan representasi komunitas LGBTQIA+ ini, pada akhirnya, memanfaatkan inklusivitas sebagai strategi pemasaran produk atau jasa.

Sejalan dengan hal tersebut, seperti yang disebutkan Rosemary Hennessy (1994), di Amerika Serikat banyak visibilitas gay dan lesbian yang tidak hanya bertujuan menciptakan ruang aman, tetapi juga pasar baru yang menguntungkan. Dalam logika pemasaran, pembebasan bukanlah tujuan utama—melainkan uang dan popularitas.

Dengan kata lain, “kemenangan” komunitas LGBTQIA+ dalam hal visibilitas dapat dikatakan terbatas. Hanya sebagian yang merasa nyaman sebagai subjek konsumen, bukan subjek sosial. Hal serupa ditemukan pada konteks salon JPalm: inklusivitas yang ditawarkan bukanlah hasil pembebasan atau ruang aman yang lahir dari kesadaran individu, melainkan bentuk komoditas yang berfokus pada profit.

Dalam konteks late capitalism, visibilitas identitas seksual sering kali berkaitan dengan komodifikasi, yakni proses yang bergantung pada kehidupan dan kerja orang lain yang tak terlihat (Hennessy, 1994).


Identifikasi Target Pasar JPalm dan Strategi Diferensiasi Harga

Selain visibilitas dan inklusivitas yang dijadikan komoditas, pembebasan tidak lagi menjadi inti perjuangan kesadaran komunitas LGBTQIA+. Dalam hal ini, salon JPalm kembali mengamini hal tersebut dengan menetapkan tarif potong rambut yang lebih tinggi dibandingkan barbershop di sekitarnya.

Salon JPalm tidak hanya menawarkan inklusivitas dan pelayanan ramah gender, tetapi juga harga yang relatif mahal. Dengan demikian, untuk mendapatkan pelayanan yang “tidak biasa”, pelanggan harus membayar lebih.

Salon JPalm menetapkan harga US$99 untuk pelanggan baru dan US$71 untuk pelanggan tetap. Angka tersebut berbeda 8–56% lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata barbershop di Omaha yang berkisar US$31–65. Perbedaan ini menegaskan kontradiksi terhadap klaim gender-neutral pricing—harga justru menjadi lapisan baru yang mengeksklusi, bukan menginklusi masyarakat dari berbagai kelas sosial dan ekonomi.

Sebagai ilustrasi, untuk mendapatkan pengalaman dipanggil sesuai pronoun saat memotong rambut atau menyesuaikan potongan rambut berdasarkan gender yang diinginkan, seseorang harus membayar sekitar Rp1,6 juta (kurs 20 September 2025, setara US$99). Sementara itu, di salon Jaydabarber yang berjarak sekitar 500 meter dari JPalm, seseorang dapat mencukur rambut dengan Rp668 ribu (setara US$40)—tanpa pronoun.

Dalam kerangka Bourdieu, ritualisasi interaksi seperti menanyakan pronoun dapat dilihat sebagai bentuk kekerasan simbolik, karena memaksakan definisi baru tentang bagaimana inklusivitas harus dipraktikkan. Dengan menetapkan formula khusus, JPalm pada akhirnya menstandarkan pengalaman queer yang autentik agar sesuai dengan format yang dapat dipasarkan.

“Netral” yang diusung oleh salon JPalm memberikan arti bahwa netralitas hanya berlaku bagi mereka yang memiliki dompet tebal, bukan bagi kantong tipis.

Perbedaan harga juga memperlihatkan strategi pasar: salon JPalm sengaja menempatkan diri di segmen premium. Harga tinggi menjadi sinyal bahwa salon ini bukan untuk “sembarang potong rambut.” Netralitas gender digunakan bukan untuk menurunkan hambatan ekonomi, melainkan untuk menaikkan nilai jual.

Dengan kata lain, “Kami adil untuk semua gender; oleh karena itu, kami layak dipandang mahal.”

Di barbershop lain, harga murah bukan berarti layanan buruk—misalnya The Maple Barber (US$38) atau Vintage Barbershop (US$45). Dengan hasil potongan yang tetap rapi, hanya tanpa neon quote dan ritual pronoun, selisih Rp400–600 ribu menunjukkan bahwa inklusivitas JPalm bukan soal kesetaraan akses, melainkan premium experience.

Dengan demikian, label “netral” yang diusung JPalm tidak menghapus hierarki, tetapi hanya mengganti kriterianya: bukan laki-laki atau perempuan yang boleh mengakses layanan, melainkan mereka yang memiliki high purchasing power.


Simpulan

Salon JPalm merupakan contoh konkret bagaimana konsep inklusivitas dan visibilitas komunitas LGBTQIA+ dikomodifikasi dalam logika kapitalisme neoliberal. Melalui simbolisme visual, bahasa inklusif, dan narasi ruang aman, JPalm berhasil mengonversi nilai-nilai solidaritas dan pembebasan menjadi modal simbolik yang dapat diperdagangkan. Praktik seperti gender-neutral pricing, penggunaan pronoun, dan penciptaan atmosfer “queer-friendly” bukan semata bentuk resistensi, melainkan strategi diferensiasi pasar yang efektif.

Fenomena ini memperlihatkan paradoks: inklusivitas yang seharusnya meniadakan batas justru menciptakan eksklusivitas baru. Hanya individu dengan daya beli tinggi yang dapat mengakses ruang aman yang diklaim sebagai simbol kesetaraan. Dengan demikian, ruang aman menjadi bentuk baru dari abstract space (Lefebvre), tempat di mana nilai sosial dan kultural diubah menjadi nilai tukar ekonomi.

Dalam konteks Bourdieu, JPalm mempraktikkan akumulasi modal simbolik melalui bahasa dan estetika yang dilegitimasi sebagai progresif. Namun, legitimasi tersebut berfungsi mempertahankan struktur sosial yang sama: mereka yang berkuasa tetap memiliki kemampuan untuk mendefinisikan makna “inklusif”. Akhirnya, visibilitas queer yang dipasarkan melalui salon ini bukanlah bentuk pembebasan sejati, melainkan representasi kapitalisme yang merangkul perbedaan demi mempertahankan eksistensinya.

Dengan kata lain, JPalm tidak sekadar ruang potong rambut—ia adalah performative space yang mereproduksi nilai kapitalisme melalui simbol-simbol emansipasi. Inklusivitas, visibilitas, dan netralitas gender bertransformasi menjadi strategi pemasaran yang menguntungkan. Ini membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme lanjut (late capitalism), bahkan nilai-nilai yang paling emansipatoris pun dapat dikonsumsi, dijual, dan diukur dengan harga.


Daftar Pustaka

Bourdieu, P. (2008). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press.

Hennessy, R. (1994). Queer Visibility in Commodity Culture. In Materialist Feminism and the Politics of Discourse. Routledge.

Lefebvre, H. (1991). The Production of Space. Blackwell Publishing.

Robet, R. (2014). Henri Lefebvre: Ruang, Negara, dan Reproduksi Kapitalisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Yakisch, T. (2005). Queer Eye for the Straight Guy and the Commodification of Gayness. Journal of Communication Inquiry, 29(4), 338–356.

JPalm Hairdressing. (2025). Official Website and Instagram Content. Retrieved from https://www.jpalmhair.com


Intan Fajriyah adalah seorang pembelajar yang sedang merampungkan tesis dan co-founder Ruangan Filsafat.Angga Pratama adalah seorang penulis dan founder Ruangan Filsafat.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.