Ilustrasi: Jawa Pos
AKSI para aktivis 17+8 yang menyuarakan tuntutan di depan gerbang Pancasila, DPR RI, di Jakarta, menyisakan sejumlah problem serius. Selain karena tuntutan mereka masih mengabaikan isu-isu ketimpangan sosial, keadaan ini justru menunjukkan titik lemah gerakan yang diinisiasi oleh kalangan kelas menengah Indonesia. Bahkan, klaim bahwa mereka mewakili tuntutan “warga” Indonesia agaknya berlebihan.
Salah satu inisiator 17+8, Abigail Limuria, dalam acara Rosi di Kompas TV pada 8 September 2025, berujar: “Setiap lihat berita rasanya tuh kayak nggak pernah senang kalau lihat politik… sampai pada titik kita tuh nggak berharap apa-apa, kita cuma (pengen) jangan ganggu-ganggu kita (red: pemerintah).”
Pernyataan ini secara samar mencerminkan bagaimana kesadaran materialis para aktivis yang berlatar belakang kelas menengah cenderung eksklusif dan berjarak dari isu ketimpangan sosial. Akibatnya, mereka terpisah dari kekuatan gerakan pekerja yang lebih luas.
Influencer sebagai Kekuatan Politik
Influencer kini menjadi kekuatan strategis secara politik. Fenomena “Oprah factor” dalam mendukung pencalonan Barack Obama pada Pemilu Amerika Serikat 2009 menjadi bukti nyata peran strategis influencer dalam arena politik.
Pengalaman Indonesia pun serupa: sejak Pemilu 2014, para influencer digunakan sebagai bagian dari strategi pemasaran politik dalam mendorong pemenangan calon presiden. Posisi strategis ini tidak bisa dilepaskan dari basis massa berupa pengikut (followers) yang secara rutin mengikuti aktivitas dan konten mereka.
Namun, harus dipahami bahwa influencer bekerja dalam kerangka bisnis kapitalistik kontemporer. Kesadaran kapitalistik ini tercermin dari bagaimana mereka bergantung pada engagement dan ad-sense. Kecenderungan ini membuat topik politik sering kali hanya dijadikan konten untuk menaikkan engagement.
Hal ini terlihat pada influencer sekaligus pendiri siniar politik populer Total Politik, Arie Putra dan Budi Adiputro. Mereka memang memiliki akses ke elit politik dan pejabat publik sebagai narasumber, namun tidak memiliki agenda ideologis yang jelas untuk disalurkan.
Influencer sebagai Gerakan Oposisi?
Menjadi penting untuk mengidentifikasi posisi influencer sebagai bagian dari kelas sosial tertentu. Aktivasi mereka dalam merespons isu politik mulai terlihat sejak 2019, seperti pada gerakan #ReformasiDikorupsi yang diikuti oleh influencer seperti Awkarin. Saat itu, mereka bergerak secara individual untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU KPK. Namun, gerakan ini bersifat sporadis, reaksioner, dan sangat bergantung pada mobilisasi NGO.
Kegagalan gerakan #ReformasiDikorupsi dalam membendung pengesahan RUU KPK menunjukkan lemahnya konsolidasi dan absennya aliansi yang solid.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Gelombang tuntutan terbaru pada Agustus 2025, terutama terkait penolakan kenaikan gaji anggota DPR RI, melahirkan aliansi “eksklusif” influencer dalam gerakan 17+8. Gerakan ini diinisiasi oleh sejumlah influencer seperti Jerome Polin, Jovi da Lopez, Andovi da Lopez, JS Khairen, Cania Citta (Founder Malaka Project), Fathia Izzati (musisi dan co-founder Malaka Project), Andhyta Firselly Utami (Founder Bijak Memantau), dan Abigail Limuria (founder What’s Up Indonesia & co-founder Bijak Memantau).
Tuntutan mereka dibagi menjadi dua: jangka pendek dan jangka panjang. Tuntutan jangka pendek menekankan penyelesaian cepat, seperti pengusutan kasus penabrakan Affan Kurniawan oleh anggota Brimob. Sementara itu, tuntutan jangka panjang berfokus pada reformasi lembaga negara.
Meski sebagian tuntutan ditindaklanjuti, pemerintah cenderung menyederhanakan persoalan. Misalnya, pemangkasan gaji anggota DPR RI dari Rp116,21 juta menjadi Rp65,59 juta per bulan tidak menjamin perubahan corak kepartaian yang predatoris, maupun munculnya agenda reformis melalui produk legislasi.
Penyelesaian kasus Affan Kurniawan yang berakhir dengan sanksi pemecatan anggota Brimob pun tampak formalistik—lebih bertujuan menenangkan publik daripada menyelesaikan akar masalah struktural di tubuh Polri. Ironisnya, Presiden Prabowo justru memberi kenaikan pangkat luar biasa bagi anggota polisi yang terluka saat mengamankan demo, yang menjadi legitimasi bagi aparat untuk terus melakukan kekerasan.
Gerakan yang Gagal Memahami Corak Kekuasaan
Gerakan influencer seperti 17+8 harus dipahami melalui basis kelas mereka. Gerakan ini diinisiasi oleh kelas menengah terdidik, sebagian bahkan lulusan universitas Barat di bidang public policy dan politik.
Secara umum, kelas menengah kerap diasosiasikan dengan warga negara berpendidikan tinggi yang memiliki akses sosial dan politik. Namun, dalam konteks Indonesia, kelas ini justru sering terisolasi dan tidak memiliki kesadaran multikelas.
Aktivisme kelas menengah cenderung pragmatis dan tidak ideologis. Hal ini tercermin dari absennya isu-isu akar rumput seperti harga bahan pokok, subsidi, dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dalam agenda mereka.
Dalam salah satu episode Musyawarah di kanal YouTube Najwa Shihab, Jovial Da Lopez mengatakan, “Aku jujur dari 17+8 ini sebenarnya ngurangin gaji DPR tuh bukan fokus utama aku, karena kalau mereka benar-benar menjalankan tugas dan fungsinya yang berat, ya wajar kalau digaji besar.”
“Apalagi misalnya orang ngomong tentang tunjangan rumah, ya kalau mau nyewa rumah di daerah Jakarta Selatan, kayak Gandaria, Kebayoran Lama, Senayan, silakan dicek harganya berapa. Emang gede…”
Argumen ini sekali lagi menunjukkan keterputusan mereka dari logika kekuasaan yang bekerja secara struktural. Pandangan semacam ini mengerdilkan persoalan ketimpangan antara pendapatan anggota DPR RI dan kelas pekerja, yang mencapai hingga 27 kali lipat dari UMR masyarakat.
Gerakan Influencer dan NGO: Bentuk Gerakan Sipil?
Jika dilihat dari basis kelas, gerakan influencer memang menyerupai gerakan masyarakat sipil yang diinisiasi oleh NGO/LSM/CSO, namun memiliki perbedaan mendasar.
Tinjauan kritis terhadap NGO reformis pasca-otoritarian menunjukkan bahwa kesadaran politik masyarakat telah bergeser. Perkembangan NGO global pada 1980-an di Eropa Barat dan Amerika Utara (Fernando, 2011; Prashad, 2012) didorong oleh agenda neoliberal. Pertumbuhan NGO selalu diikuti munculnya kelas menengah profesional dan akademik—suatu konsekuensi dari ekspansi kapitalisme global.
Di Indonesia, NGO reformis berperan penting dalam demokratisasi dan reformasi tata kelola pemerintahan pasca-Reformasi. Namun, banyak elite NGO yang kemudian masuk ke dalam rezim predatoris. Meskipun demikian, gerakan NGO masih memperlihatkan karakter multikelas dan lebih konsisten secara politik, dengan metode perjuangan yang beragam—mulai dari advokasi, lobi, hingga kontrak politik temporer.
Sebaliknya, gerakan influencer—setidaknya pada kasus 17+8—minim pelibatan lintas kelas dalam perumusan tuntutan. Basis material mereka berbeda: influencer digerakkan oleh logika engagement dan adsense, sementara NGO lebih bergantung pada dana donor. Bagi influencer, eksposur dan viralitas menjadi tolok ukur utama. Hal ini menyebabkan mereka kesulitan membangun gerakan multikelas yang berakar kuat di masyarakat.
Kesimpulan
Tulisan ini mengidentifikasi adanya problem serius dalam gerakan yang diinisiasi oleh influencer. Gerakan tersebut memiliki pola yang pragmatis dan eksklusif. Pragmatis, karena cenderung memperjuangkan kepentingan kelas menengah tanpa menyentuh isu mendasar seperti ketimpangan, kemiskinan, dan persoalan sosial akar rumput. Eksklusif, karena lebih menonjolkan figur personal para influencer ketimbang membangun aliansi multikelas. Ketiadaan ketahanan politik untuk menekan rezim secara konsisten membuat gerakan ini mudah jatuh pada pola lobi-lobi politik. Akibatnya, gerakan sipil yang seharusnya menjadi kekuatan multikelas kembali tumpul dalam mengawal agenda kelas pekerja.
Referensi
Diprose, Rachael, Dave McRae, dan Vedi R. Hadiz. 2019. “Two Decades of Reformasi in Indonesia: Its Illiberal Turn.” Journal of Contemporary Asia: 1–22. doi:10.1080/00472336.2019.1637922.
Fernando, Jude L. 2011. The Political Economy of NGOs: State Formation in Sri Lanka and Bangladesh. London: Verso.
Petras, James F. 1999. “NGOs: In the Service of Imperialism.” Journal of Contemporary Asia 29(4): 429–440. doi:10.1080/00472339980000221.
Prashad, Vijay. 2012. The Poorer Nations: A Possible History of the Global South. London: Verso.
Roosa, John. 2020. Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965–1966 in Indonesia. Madison: University of Wisconsin Press. doi:10.2307/j.ctv10h9dsh.
Törnquist, Olle. 2017. Penghancuran PKI. Ed. Harsutejo. Depok: Komunitas Bambu.
Deda Rainditya adalah mahasiswa Magister Program Studi Politik & Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, dan merupakan peneliti muda LP3ES, Jakarta.