Merapal Kapital Ekstraktif dalam Tasbih Pasal dan Pasar

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


“LAW is the opium of both the masses and the ruling class,” demikian ujar Steven Spitzer (1983) ketika melucuti hukum dari akrobat jargon dan doktrin dalam “Marxist Perspectives in the Sociology of Law”. Spitzer tidak hanya melakukan peninjauan dan pembedahan, tetapi juga menelanjangi perkembangan perspektif marxis dalam diskursus sosiologi hukum. Menurutnya, meskipun dalam empat dekade terakhir teori dan pembedahan marxis telah berupaya membongkar mitos-mitos supremasi hukum, nyatanya hukum masih belum diposisikan sebagai permasalahan teoretik utama dalam upaya pembongkaran tersebut. Hukum masih dilihat dalam bingkai determinisme yang cenderung mereduksi seluruh fenomena sosial sebagai turunan dari permasalahan ekonomi. Dalam pandangannya, kerangka pikir atau weltanschauung yang demikian-lah yang selama ini menjadi hambatan besar dalam perkembangan sosiologi hukum marxis.

Cara pikir ekonomisme hukum (legal economism) ini paling nyata nampak dalam teori pertukaran hukum komoditas yang diajukan oleh Evgeny B. Pashukanis, seorang jurist Soviet. Bagi Pashukanis, hukum dalam sistem kapitalisme adalah hukum borjuis yang berakar pada logika pertukaran komoditas, di mana subjek hukum bukanlah fenomena universal yang berlaku di semua masyarakat sepanjang sejarah melainkan baru muncul ketika ia terlibat dalam pertukaran komoditas di pasar (Yuwono, 2024). Aliran legal economism sayangnya tidak banyak membantu para marxis memahami hukum secara utuh karena ia memosisikan hukum hanya dalam eklips kapitalisme. Konsekuensinya, ketika kapitalisme menemui senjakala dan masyarakat bergerak menuju corak produksi pasca-kapitalisme, hukum sebagai sebuah objek analisis akan menghilang.

Dalam merespons derasnya gaung ekonomisme hukum ini, Spitzer kemudian mengajak kita mengunjungi diskursus legal marxis beraliran kulturalisme yang salah satunya didorong oleh E.P. Thompson. Bagi Thompson, hukum tidak dapat dibaca simplistik hanya sebagai faktor yang memengaruhi basis material masyarakat, tetapi ia adalah bagian dari basis itu sendiri. Dengan demikian, Thompson mengkritisi pemisahan yang tegas antara infrastruktur ekonomi dengan suprastruktur hukum, politik, ideologi, dan budaya.

Proposisi ini kemudian diberi nama “flattening project”, sebuah penolakan terhadap metafora topografis dari basis dan superstruktur dalam teori marxis. Metafora topografis ini sering kita temui dalam penggambaran konvensional yang menempatkan basis sebagai “dasar” dan suprastruktur sebagai “atap”. Sesuai dengan namanya, flattening project menantang konsep metafora topografis tersebut dengan berusaha menyamarkan bagian “atas” dari budaya, agama, politik, dan hukum dengan bagian “bawah” dari proses dan struktur ekonomi. Flattening project tidak hanya menuntut marxisme merekonseptualisasi sistem kapitalisme secara keseluruhan, tetapi juga memikirkan ulang bagaimana sistem tersebut berdinamika. Dalam proses ini, penting bagi para pemikir hukum marxis untuk melihat hubungan antara hukum dengan bentuk-bentuk sosial “non-ekonomik” lainnya.

Sebagai permulaan, kita dapat melakukan proyek “perataan” ini dengan menilik bagaimana kapital ekstraktif bekerja dalam kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang kini telah menjelma karpet merah pembangunanisme di Indonesia.


Pembangunan Dipandu Pasar dan Pasal: Tinjauan Terhadap MP3EI dan PSN

Meskipun klausul PSN secara letterlijk muncul dalam Peraturan Presiden (Perpres) 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, kehadiran ratusan proyek yang diberi stempel “PSN” tersebut harus dibaca sebagai kelanjutan dari Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yang diatur dalam Perpres 32/2011. MP3EI adalah pengukuhan politik pembangunan pasca-Reformasi pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang resepnya diracik oleh para motor penggerak Konsensus Washington, yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB) (Bachriadi, 2023).  Konsensus Washington merupakan istilah yang merujuk pada paket kebijakan ekonomi neoliberal yang mendorong strategi pembangunan dipandu pasar (market-led development strategies) dan menciptakan pertumbuhan ekonomi dengan model “efek menetes” (tricke down economy).

Krisis moneter 1997-98 dan transisi dari Orde Baru menuju Reformasi merupakan momentum sempurna untuk mengadaptasi prinsip tersebut dalam rencana pembangunan ke depan. Masa “pemulihan” ekonomi dan demokrasi pasca-otoritarianisme membuka ruang begitu besar untuk menata ulang struktur ekonomi, termasuk membangun pilar-pilar neoliberalisme melalui skema kemitraan pemerintah swasta (public-private partnership/PPP) yang dibingkai dalam kemasan good governance (Wiratraman, 2007). Skema PPP kemudian menjadi kerangka kerja yang membuka ruang permufakatan antara negara dengan korporasi dalam menjalankan proyek-proyek pembangunan.

Namun skema ini saja tidak cukup untuk memuluskan pembangunan neoliberal. Pengadaan tanah menjadi aspek penting yang kepastiannya perlu dijamin untuk mengamankan kapital tetap (fixed capital) sebagai salah satu bentuk mobilisasi modal. Pada tahap inilah hukum memainkan peran yang krusial. Langkah pertama yang dilakukan SBY untuk mengamankan pengadaan tanah adalah dengan menerbitkan Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dan Pembangunan. Pada tahap ini, proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang sesungguhnya dipandu oleh pasar, diposisikan sebagai program populis yang ditujukan bagi kepentingan umum. Kewenangan diskresioner eksekutif yang besar dijadikan ruang untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan infrastruktur, terlepas dari ketidaksesuaian muatan norma dan koherensinya dengan peraturan perundang-undangan lain.

Belum cukup mewujudkan pembangunan infrastruktur untuk “membangun kembali Indonesia”, SBY bersama DPR akhirnya menerbitkan UU 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Hukum. Mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan, penerbitan produk hukum ini adalah manuver memperbesar kuasa pemerintah dalam mengambil alih hak atas tanah, terutama yang telah dikuasai dan/atau dimiliki oleh masyarakat.

Tidak hanya sebagai produk hukum, UU ini harus dipandang sebagai pengondisian ekosistem pembangunan demi memudahkan terbentuknya sirkuit-sirkuit kapital baru yang dipandu oleh para motor penggerak neoliberal. Hal ini tampak jelas sebab Perpres 32/2011 tentang MP3EI memuat proyek-proyek pembangunan jangka panjang, yakni 2011-2015. Di samping itu, Perpres 3/2016 yang diterbitkan Presiden Joko Widodo untuk melanjutkan proyek-proyek MP3EI dalam kemasan “Proyek Strategis Nasional” juga menegaskan bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengan pengadaan tanah akan mengacu pada ketentuan yang telah diatur dalam UU 2/2012 beserta pelaksanaannya.


Ekstraktivisme dalam Bayang-bayang “Hilirisasi”

Selain kesamaan trajektori untuk menciptakan “pusat-pusat ekonomi baru”, PSN dan MP3EI juga sama-sama ditopang oleh rezim ekstraktif. Sebut saja Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) dalam MP3EI yang membabat hutan seluas 1,2 juta hektare untuk perkebunan skala besar multi-komoditas, termasuk sawit, yang dicanangkan sebagai lumbung pangan nasional. Meskipun dikeluarkan dari daftar PSN, logika proyek yang sama, food estate, tetap dikembangkan di Kalimantan dan Sumatra. Pembangunan smelter logam tanah jarang (rare earth minerals) seperti nikel juga digencarkan mewujud dalam rencana pengembangan kawasan industri di berbagai tempat, beberapa di antaranya mencakup Kawasan Industri Morowali dan Kawasan Industri Bantaeng.

Wacana “hilirisasi” yang dilantunkan dalam mendorong pelaksanaan dan percepatan PSN tak ubahnya kedok untuk menyamarkan operasionalisasi ekstraktivisme. Perampasan dan apropriasi kekayaan alam skala besar oleh rezim (neo)-kolonial untuk menopang kebutuhan negara lain, terutama negara-negara inti (core) di global utara melalui ekspor, masih menjadi kenyataan hari ini (Acosta, 2013). Hal ini dapat dilihat lewat bagaimana dalam konteks “perkembangan positif”, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak 2006-2020 justru mengalami penurunan drastis. Data output dan penyerapan tenaga kerja di sektor ekonomi kedua (secondary sector), yakni industri manufaktur, juga menunjukkan tren serupa. Bertolak dari dua temuan ini, beberapa ahli berkesimpulan bahwa yang terjadi de-industrialisasi alih-alih industrialisasi—yang seharusnya adalah konsekuensi logis dari “proyek strategis nasional”.

Selain itu, skema PPP juga telah membuka pintu masuk bagi korporasi transnasional untuk “mengambil risiko” melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang “membutuhkan modal besar”. Pada tahap ini terjadi apa yang disebut oleh Acosta (2013) sebagai de-nasionalisasi ekonomi.

“Modal besar” yang dimiliki oleh korporasi transnasional ini penting dibaca secara menyejarah dalam bingkai relasi Global Utara-Selatan (core-periphery) yang berkaitan erat dengan konteks (neo)-kolonialisme. Dalam bingkai ini, negara-negara Global Selatan seperti Indonesia terjebak dalam rezim ekstraktif untuk menopang proses industrialisasi di Global Utara, sebagaimana berlangsung pada masa penjajahan dulu. Hari ini, relasi eksploitatif tersebut semakin terang dilihat lewat kerangka rantai komoditas nilai-tenaga kerja (labor-value commodity chains) (Suwandi, 2019). Dalam cara pandang ini, proses perampasan nilai lebih (surplus value) dalam proses akumulasi profit oleh perusahaan multinasional di Global Utara terjadi lewat eksploitasi buruh di Global Selatan yang dibayar murah (atau bahkan tidak dibayar sama sekali).


Hukum sebagai Prasyarat Akumulasi Kapital

Dalam seluruh proses perampasan nilai ini, hukum berperan penting sebagai wadah kodifikasi kapital (code of capital) (Pistor, 2019). Ia lebih dari sekadar “instrumen” yang dibutuhkan pada tahap awal akumulasi, melainkan karakteristik inheren dari kapital itu sendiri. Hal ini dapat dilihat lewat pemaknaan Jonathan Levy terhadap kapital, sebagaimana dikutip oleh Katharina Pistor, yakni “kepemilikan yang sah yang diberi nilai uang dengan harapan akan mendatangkan pendapatan dalam bentuk uang di masa depan” (legal property [that is] assigned a pecuniary value in expectation of a likely future pecuniary income).

Hukum sebagai arena kodifikasi kapital nyata dilihat lewat bagaimana SBY dan Jokowi sama-sama membutuhkan produk hukum, baik dalam bentuk perpres maupun UU, untuk mengukuhkan pelaksanaan PSN. Hukum tidak lagi dapat dilihat hanya sebagai sarana; ia adalah prakondisi bagi proyek-proyek pembangunan tersebut untuk dapat berjalan sesuai dengan trajektori yang dikehendaki sistem kapitalisme hari ini.

Kacamata ini semakin relevan untuk melihat tautan antara penerbitan Perpu 6/2023 tentang Cipta Kerja dengan percepatan PSN. Pasal 3 huruf d Perpu Cipta Kerja yang secara eksplisit menyebutkan bahwa salah satu tujuan pembentukan Perpu Cipta Kerja adalah untuk “melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi, kemudahan dan percepatan proyek strategis nasional” menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana hukum menciptakan arena bagi pembentukan sirkuit kapital yang lebih “fleksibel” dan “adaptif” dengan perubahan-perubahan tren pembangunanisme di masa mendatang.

Dengan menyadari bahwa kodifikasi hukum adalah arena penciptaan nilai bagi kapital, kita dapat melihat bagaimana ragam rupa “kapitalisme baru” hari ini, seperti neoliberalisme, finansialisasi, dan sejenisnya adalah fenomena perubahan teknik kodifikasi, dari yang sebelumnya merupakan aset berwujud seperti tanah menjadi apa yang disebut oleh para ekonom sebagai fiksi hukum: aset yang dilindungi oleh tabir kepercayaan (trust veils) dalam personalisasi badan hukum perusahaan (rechtspersoon) dan aset yang tidak berwujud yang diciptakan berdasarkan hukum.


Ratakan, Lalu Bangun Kembali: Seruan Membangun Teori Hukum Marxis yang Kontekstual

Setelah melakukan “perataan” (flattening project) terhadap bagaimana hukum beroperasi dalam sistem kapitalisme, langkah berikutnya yang perlu didorong oleh para jurist beraliran marxis adalah melakukan rekonstruksi terhadap teori hukum marxis itu sendiri. Spitzer mencatat setidaknya ada tiga faktor “non-ekonomi” yang signifikansinya harus diperhatikan dalam tahap rekonstruksi ini, yakni aspek politik, ideologi, dan sejarah.

Pada tataran politik, Spitzer menyarankan para pemikir hukum marxis untuk mengunjungi kembali konsep klasik, yakni kepemilikan pribadi terhadap alat produksi. Ini mengandung dua konsep hukum yang penting (dan oleh karenanya politis), yakni “pribadi” dan “kepemilikan”. Kecenderungan untuk memisahkan aspek politik dengan hukum secara tegas juga menyebabkan banyak teori marxis tidak mampu mengidentifikasi secara spesifik pada kondisi apa saja rule of law dan hak (rights) dalam hukum menjadi penghambat kekuasaan, perpanjangan kekuasaan, atau perpaduan keduanya.

Dalam konteks di Indonesia, kemampuan analitik untuk memilah peran hukum secara politis menjadi sangat penting. Pasalnya, hingga hari ini, masih banyak akademisi hukum, bahkan yang progresif sekalipun, secara aktif menempatkan pemenuhan HAM sebagai poros gerakan sosial, termasuk langkah-langkah advokasi dalam merespons PSN. Langkah tersebut sayangnya dilakukan tanpa memilah dan menautkannya dengan konteks ekonomi-politik yang lebih besar. Misalnya, bagaimana HAM dalam kerangka good governance tak ubahnya menjadi HAM yang hadir hanya untuk melayani kepentingan liberalisasi pasar (market friendly human rights paradigm).

Selanjutnya, menurut Spitzer, pembedahan ideologi hukum menjadi sentral dalam rekonstruksi teori hukum marxis. Berkenaan dengan ideologi, dua dimensi hukum yang sering dibedah biasanya menyoal hukum sebagai sesuatu yang “magis” dan hukum sebagai doktrin. Aspek magis dari hukum tampak lewat bagaimana hukum memistifikasi kehidupan sosial lewat ritus-ritus legislasi, bahasa esoterik, ruang-ruang pengadilan yang diposisikan begitu agung beserta profesi hakim-hakimnya. Sebagai suatu doktrin, formalisme hukum penting dilihat sebagai sebuah ideologi yang memberikan legitimasi tersendiri terhadap tahap tertentu dalam perkembangan kapitalisme.

Dengan melakukan eksplorasi pada aspek ideologis dari hukum, kita dapat melihat bagaimana ideologi hukum tidak hanya memperkuat, melanggengkan, dan melegitimasi tatanan kapitalis, tetapi juga memiliki kapasitas untuk mencatatkan dan meramalkan kekalahannya.  Ini lagi-lagi merupakan sentilan bagi diskursus marxisme yang mengabaikan karakter transisional dan mediatif dari hukum itu sendiri.

Terakhir, menurut saya yang paling penting dalam konteks Indonesia, adalah aspek sejarah. Dalam analisis Spitzer, terdapat dua perkembangan yang berkaitan dengan pertimbangan historis dalam teori hukum marxis, yakni a.) fungsi hukum secara historis dan b.) pemeriksaan ulang kerangka waktu utama dalam analisis marxis, yakni corak produksi. Dua hal ini adalah bekal yang sangat penting dalam membangun ulang teori hukum marxis yang relevan dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.

Setidaknya terdapat tiga periode sejarah yang saya rasa penting untuk diteroka dalam memahami bagaimana hukum beroperasi secara fungsional dan diposisikan pada corak produksi yang berbeda-beda. Ketiga periode sejarah tersebut utamanya adalah masa pra-kolonial, masa kolonial, dan pasca-kolonial. Pada periode pasca-kolonial, peralihan kekuasaan pada 1965-66 dan 1997-98 perlu mendapatkan porsi pembedahannya tersendiri. Konteks historis ini juga harus ditautkan dengan anomali-anomali pembangunan seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya.

Misalnya, dalam kerangka labor-value commodity chain yang berkaitan erat dengan relasi asimetris negara penjajah-terjajah, proses perampasan nilai-lebih di Indonesia dapat dikatakan “berlapis”. Hal ini karena, meskipun biaya upah tenaga kerja di Indonesia tergolong murah, nyatanya perusahaan-perusahaan transnasional seperti dari Cina tetap memilih membawa tenaga kerjanya untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan di Indonesia.

Lebih lanjut, Spitzer menegaskan bahwa pembedahan marxis terhadap peran hukum di tiap corak produksi dapat membantu kita untuk mengenali ruang-ruang rumpang antara hukum dan ekonomi tanpa mengabaikan hubungan antara keduanya. Di samping itu, perbandingan historis yang demikian juga membantu kita menginterogasi aspek diakronik dan sinkronik dari hukum dan ekonomi secara bersamaan.

Sebagai refleksi, sabda-sabda Spitzer yang telah disajikan dalam tulisan ini harapannya dapat menjadi percikan untuk mulai memosisikan hukum sebagai arena perjuangan kelas. Jika hukum adalah alat dominasi kelas kapitalis, mengapa kita tidak menjadikannya senjata bagi kelas pekerja untuk merebut alat produksi dan membangun ulang relasi serta struktur masyarakat yang tidak berbasis pada pertukaran komoditas?

Guna mencapai hal tersebut, perlu ada penggalian-penggalian antropologis terhadap bagaimana hukum beroperasi pada lintasan berbagai corak produksi dalam masyarakat dengan struktur sosial-budaya yang beragam pula. Terakhir, sabda Spitzer juga hendaknya dapat menjadi rambu pengingat bagi kita semua untuk lebih cermat bertasbih pasal dalam dzikir gerakan sosial. Sebab, dalam tiap tasbih pasal, terdapat pasar yang senantiasa merapal mantra kapital untuk menjagal.


Referensi

Alberto Acosta, 2013, Extractivism and neo-extractivism: two sides of the same curse

Dianto Bachriadi, 2023, Pembangunan Pasca Reformasi: Pijakan-pijakan Baru

Herlambang Wiratraman, 2007, Neo-Liberalisme, Good Governance, dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum Jentera XV

Intan Suwandi, 2019, Value Chains: The New Economic Imperialism, New York: Monthly Review Press

Ismantoro Dwi Yuwono, 2024, Teori Hukum Pertukaran Komoditas, Yogyakarta: Red Book

Katharina Pistor, 2019, The Code of Capital: How the Law Creates Wealth and Inequality, New Jersey: Princeton University Press

Steven Spitzer, 1983, Marxist Perspectives in the Sociology of Law, Annual Reviews Sociology


Salsabila Khairunisa, pembelajar hukum di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera yang sedang tertarik memereteli hukum dari pretensi supremasi dan “keadilan” lewat pisau analisis ekonomi-politik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.