Ilustrasi: CC0
Insinyur Konservatif dan Kemauan Politik Teknologi
Salah satu penjaga utama status quo dalam sistem energi adalah kaum insinyur konservatif dan para teknokrat yang enggan keluar dari pakem. Mereka ini sering berada di pucuk pimpinan lembaga, perusahaan utilitas, maupun sebagai “pakar” yang suaranya didengar pembuat kebijakan. Mengapa kita sebut konservatif? Sebab banyak di antara mereka cenderung memandang persoalan energi murni dari kacamata teknis-ekonomis sempit: stabilitas jaringan, hitungan biaya per kWh, load factor, efisiensi termal, dan seterusnya — sering tanpa refleksi dampak ekologi atau keadilan. Setiap ada gagasan baru progresif, respons instingtif mereka, “apakah sudah sesuai standar? Apakah reliable? Jangan sampai ganggu sistem.” Tentu, kehati-hatian teknis perlu, tapi bila dijadikan dalih abadi, jadilah resistensi terhadap perubahan.
Ada konteks historis-sosiologis di sini. Para insinyur listrik Indonesia dididik di kampus dan tradisi yang sangat dipengaruhi mentalitas Orde Baru: stabilitas, pembangunan besar-besaran, efisiensi central-planning. Sejak mahasiswa, mereka dijejali kurikulum tentang sistem tenaga terpusat, tentang cara merencanakan sistem least-cost di mana solusi default-nya PLTU dan PLTA besar. Kampus teknik kerap menjadi pabrik ideologi teknokratis tanpa disadari. Dalam ruang kelas termodinamika atau analisis daya, jarang (atau nihil) diskusi soal politik energi, soal bagaimana pembangkit mempengaruhi relokasi penduduk, soal etika teknologi. Akibatnya, lahir lulusan yang sangat mahir hitungan, tetapi cenderung abai dimensi sosial. Mereka masuk PLN atau kementerian ESDM, dan di sanalah reproduksi ideologi terjadi: senior menurunkan “ilmu” ke junior bahwa “listrik itu rumit, awas orang sipil gak paham, tugas kita jaga sistem jangan sampai blackout, pokoknya EBT jangan mengganggu kestabilan.” Lama-kelamaan, mentalitas ini mendarah daging.
Herbert Marcuse pernah mengemukakan konsep one-dimensional man, manusia satu dimensi yang terintegrasi dalam sistem teknokratis tanpa kemampuan berpikir transformatif. Para insinyur konservatif ini contohnya: dalam keseharian kerja, horizon pikir mereka ya satu dimensi itu tadi (stabil, efisien, selesai). Teknologi menjadi semacam agama sekuler: dijalankan taat aturan manual, tanpa membuka dialog nilai. Andrew Feenberg mencatat, profesional modern sering merasa teknologi adalah domain otonom yang netral, padahal itu hanya ilusi karena mereka telah terinstitusionalisasi berpikir sempit. Butuh kemauan politik teknologi untuk mengubah ini — yakni kesadaran bahwa memilih desain sistem energi adalah tindakan politis, bukan keputusan algoritma netral.
Namun, tak adil juga menyalahkan individu insinyur semata. Mereka adalah produk lingkungan. Banyak insinyur di PLN atau instansi sebenarnya tahu isu lingkungan itu penting, tapi terjepit tuntutan dan regulasi. Ada yang ingin mendorong inovasi (misal proyek smart grid di satu area), tapi eselon atas mungkin tak beri lampu hijau karena dianggap buang-buang uang. Kita sering dengar anekdot: pejabat tertentu di kementerian menghambat regulasi surya atap karena takut “merugikan PLN”. Atau, manajer pembangkit EBT frustrasi karena kebijakan berubah-ubah. Semua ini menunjukkan bahwa selain aspek teknis, diperlukan kemauan politik dari pucuk pimpinan. Misalnya, jika Menteri ESDM dengan tegas mendukung EBT dan memarahi PLN ketika menghambat, tentu para teknokrat di bawah akan menyesuaikan. Sayangnya, selama ini yang kita lihat justru cozy relationship antara regulator, BUMN, dan industri fosil. Elite teknokratik kita mungkin nyaman dengan status quo karena sudah lama di zona itu. Lagipula, banyak dari mereka berkelindan dengan para taipan migas/batubara (entah sebagai komisaris BUMN pasca pensiun, atau difasilitasi dalam bentuk lain).
Maka, peran insinyur konservatif ini harus dipahami bukan semata pribadi-pribadi kolot, tapi sebagai bagian dari hegemoni pengetahuan. Di forum-forum diskusi publik, tak jarang argumen kritis warga soal PLTU atau PLTN misalnya, dibungkam dengan dalih “ah itu emosional, serahkan pada ahlinya”. Di sini kita lihat kuasa pengetahuan ala Foucault: power/knowledge. Para teknokrat memonopoli wacana benar/salah dalam energi. Contoh, wacana bahwa “pembangkit beban dasar fosil diperlukan agar listrik murah dan andal” itu kan narasi ideologis yang dilanggengkan seolah-olah fakta objektif. Media arus utama pun sering mengutip “pakar” yang sebenarnya berbicara dari sudut pandang industri. Dekolonisasi pengetahuan teknik menjadi penting: membuka bahwa ada pengetahuan alternatif (misal: model transisi 100% EBT, ilmu energi terdistribusi, dsb) yang valid dan perlu dipertimbangkan.
Kita perlu insinyur-insinyur progresif yang tak hanya mahir hitungan tetapi juga punya imajinasi lain. Sejarah menunjukkan, teknologi bisa dikembangkan untuk emansipasi jika para pelakunya mau keluar dari kotak. Lihatlah misalnya gerakan appropriate technology era 1970an, atau inovasi off-grid komunitas. Di baliknya selalu ada beberapa figur teknisi berani yang menentang arus. Salah satu tugas gerakan transisi ke depan adalah mempolitikkan para insinyur: mendidik ulang bahwa kerja mereka bukan semata menjaga kabel, tapi bagian dari perjuangan sosial ekologis. Mungkin terdengar utopis, tapi benihnya ada. Bayangkan, misal kurikulum elektro di ITB/UGM memasukkan mata kuliah “Politik Energi dan Keadilan Sosial”, atau himpunan mahasiswa teknik membuat proyek desa mandiri energi. Hal-hal ini bisa perlahan mengikis konservatisme. Tentu, resistensi akan besar, tapi perubahan sering bermula dari pinggiran.
Pada akhirnya, kemauan politik teknologi berarti menyadari bahwa setiap keputusan teknis (membangun PLTU vs PLTS, memilih smart grid vs grid biasa, dll) adalah cermin kehendak politik: kehendak untuk dominasi atau untuk pembebasan. Selama kehendak itu masih dikuasai mereka yang berpikiran sempit dan konservatif, transisi energi akan terseok di tempat. Butuh keberanian kolektif melampaui comfort zone teknokrasi, membawa cita-cita demokrasi dan keadilan masuk hingga ruang kontrol dispatch center dan papan gambar perencanaan.
Kampus Teknik sebagai Pabrik Ideologi Status Quo
Sebagian akar dari konservatisme teknokrat tadi dapat ditelusuri ke hulu pendidikan: kampus teknik. Institusi perguruan tinggi teknik di Indonesia — fakultas teknik, program studi elektro, mesin, pertambangan, perminyakan, dll — telah lama menjadi semacam pabrik ideologi yang mereproduksi paradigma tertentu. Bak pabrik, setiap tahun kampus “meluluskan” insinyur-insinyur baru dengan pola pikir serupa, dibentuk oleh kurikulum, dosen, dan kultur kampus. Apa ideologi yang dominan di sana? Ideologi pembangunanisme teknokratis: keyakinan bahwa pembangunan material melalui sains-teknik adalah panglima, bahwa efisiensi dan kestabilan adalah nilai tertinggi, dan bahwa aspek sosial-politis adalah urusan orang lain (bukan insinyur).
Mari kita lihat contohnya. Di banyak kampus teknik terkenal (misal: ITB, ITS, UI, UGM), mata kuliah terkait energi biasanya fokus pada hal-hal seperti pembangkit tenaga listrik, sistem daya, elektronika daya, ekonomi teknik, manajemen proyek. Sangat jarang ada kurikulum wajib tentang energi dan masyarakat, sejarah ketenagalistrikan, apalagi filsafat teknologi. Mahasiswa dijejali tugas perancangan, praktikum lab, dan hitungan matematis — yang tentu penting — tetapi tidak diajak kritis mempertanyakan untuk apa dan untuk siapa teknologi ini. Diskusi soal keadilan energi atau demokratisasi energi sering muncul hanya di komunitas ekstra kurikuler marginal, bukan di kelas formal. Lebih parah, dosen-dosen pun banyak yang merangkap konsultan industri besar atau proyek pemerintah, sehingga sudut pandangnya bisa bias pro-otoritas. Misal, tak sedikit profesor teknik yang hobi bicara di media mendukung proyek PLTN atau PLTU “demi kebutuhan listrik nasional” tanpa pernah melibatkan perspektif warga terdampak.
Pierre Bourdieu mungkin akan menyebut kampus sebagai lokasi reproduksi habitus: nilai-nilai kelas dominan ditransmisikan halus ke peserta didik. Kampus teknik Indonesia punya warisan erat dengan Orde Baru. ITB misalnya, melahirkan banyak pejabat ESDM dan pimpinan PLN. Di era Soeharto, ilmu teknik sangat dihargai asal tidak berpolitik; mahasiswa teknik yang kritis ditindak (peristiwa ITB ’79 dll). Akibatnya, kultur “anti-politis” menguat: insinyur bangga sebagai problem solver ilmiah, bukan trouble maker aktivis. Bahkan hingga kini, jika seorang mahasiswa teknik berbicara soal perlawanan warga terhadap tambang atau bahaya oligarki energi, mungkin akan dicibir, “Kamu anak teknik kok kayak LSM?”. Konformitas ideologi dijaga lewat peer pressure juga.
Selain itu, kurikulum cenderung euro-sentrik dan korporat-sentrik. Buku teks yang dipakai mungkin terbitan AS/Eropa yang konteksnya jaringan negara maju. Soal kasus nyata di Indonesia kurang dibahas kritis. Jadi misal, mahasiswa belajar tentang grid modern di Jerman, tapi tidak diwacanakan kenapa di Indonesia grid-nya begini-begitu (missed opportunity memahami politik energi nasional). Atau belajar tentang manajemen proyek migas, tapi tak pernah singgung bahwa banyak konflik agraria muncul dari situ. Hal-hal semacam inilah yang saya sebut pabrikasi ideologi: melalui silence dan seleksi topik, kampus mengarahkan fokus mahasiswa ke aspek tertentu saja.
Ada ungkapan: “When all you have is a hammer, everything looks like a nail.” Insinyur dilatih dengan “martil” ilmu teknik, lalu cenderung melihat masalah bangsa sekadar masalah teknis yang bisa dipaku dengan solusi teknis. Contoh, masalah listrik desa dianggapnya hanya soal “investasi kurang, teknologi cocok, manajemen”, padahal ada dimensi ketimpangan pembangunan dan kuasa PLN. Tetapi mereka tidak dilatih untuk melihat itu. Foucault menekankan pentingnya kritik institusional: melihat bagaimana pengetahuan diproduksi. Di sini, kampus teknik memproduksi pengetahuan yang terpisah dari relasi kuasa, seolah-olah netral. Ini sejalan dengan yang disinggung Feenberg: para teknolog sering merasa domain mereka independen, padahal telah di-“de-worlding” (dipisahkan dari konteks dunia sosial) selama pendidikan. Murid diajari “mendecontextualize” masalah supaya bisa diformulasi, tapi lupa mengembalikan ke konteks nyata (misal: rumus optimalisasi biaya pembangkit dihitung, tapi konteks korupsi tender PLTU tak dibahas).
Akibatnya apa? Ketika lulusan ini masuk dunia kerja, mereka melanjutkan logika yang sama. Kampus sudah mencetak insinyur-insinyur “baik” yang patuh pada definisi permasalahan versi atasan. Mereka tidak terlatih menggugat kenapa misal target elektrifikasi ditetapkan begini, atau kenapa pakai batubara terus. Bagi mereka, tugasnya menjalankan, bukan mempertanyakan. Ini mengingatkan pada teori Marcuse tentang masyarakat industri lanjut: kapitalisme mampu menyerap potensi kritis dengan membuat para profesional merasa sudah sejahtera dalam peran fungsionalnya. Seorang insinyur PLN mungkin nyaman: gaji OK, status sosial terhormat sebagai “pahlawan listrik”, untuk apa pusing-pusing mikir soal keadilan energi?
Namun, harapan selalu ada. Belakangan, mulai muncul celah-celah di kampus untuk wacana kritis. Kelompok mahasiswa peduli lingkungan di jurusan teknik mulai menggugat kenapa kampusnya menerima dana kerjasama dari korporasi tambang. Beberapa dosen muda mulai memasukkan topik transisi energi dalam seminar. Di sini pengaruh global juga masuk: literatur tentang energy justice, sustainable design, dll mulai diakses. Ada potensi perubahan kurikulum seiring tekanan isu iklim. Tantangannya, tentu, massifnya hegemonisasi lama. Kampus teknik perlu direvolusi secara epistemik: dari pabrik teknokrat jadi lokakarya intelektual yang holistik. Mungkin suatu hari, membaca Foucault atau Haraway bukan lagi tabu bagi anak teknik, melainkan dianggap perlu agar mereka tak jadi robot korporasi. Ketika itu terjadi, kampus tak lagi sekadar pabrik
PLTS Komunal dan Sabotase Sunyi
Untuk mengilustrasikan pertarungan yang terjadi antara paradigma lama dan baru, mari menengok sebuah kisah nyata (atau semi-nyata) di pelosok Indonesia. Di sebuah desa terpencil di dataran tinggi Nusa Tenggara, yang jauh dari jangkauan jaringan PLN, hiduplah ratusan keluarga petani. Selama ini, kala matahari terbenam, desa gelap gulita. Beberapa warga mampu membeli genset diesel kecil, itupun hanya dinyalakan 2–3 jam malam hari karena mahalnya bensin. Listrik adalah kemewahan; malam hari lebih sering dihabiskan dalam remang lampu minyak.
Suatu ketika, sebuah LSM bekerja sama dengan pemerintah daerah meluncurkan proyek percontohan PLTS komunal di desa itu. Dibangunlah lapangan solar panel 50 kWp, dengan baterai yang bisa menyimpan listrik cukup untuk sepanjang malam. Warga dilibatkan: dibentuk koperasi energi desa, beberapa pemuda dilatih merawat sistem. Betapa gembiranya penduduk saat malam pertama jaringan lokal itu menyala: bohlam listrik menerangi rumah, posyandu bisa menghidupkan kulkas vaksin, anak-anak belajar tanpa asap lampu minyak. Bagi banyak orang kota, 50 kW mungkin sepele; bagi desa itu, bak mukjizat. Ini bukan sekadar proyek teknis, tapi pengubah tatanan sosial: kini mereka tak lagi sepenuhnya bergantung pada pasokan BBM dari luar, dan pengelolaan listrik dilakukan bersama di tingkat lokal.
Namun, cerita tak berakhir manis begitu saja. Beberapa bulan pertama berjalan lancar. Lalu, timbul masalah: inverter utama mendadak sering mati. Desa kembali gelap beberapa malam. Operator lokal bingung memperbaiki karena komponen harus diimpor. Harus tunggu teknisi dari kota datang, makan waktu berminggu-minggu. Sementara itu, pompa air desa yang kini mengandalkan PLTS tak bisa jalan, warga resah. Di tengah situasi ini, beberapa oknum mengambil kesempatan: mantan pemasok BBM genset di desa itu diam-diam menyebar gosip bahwa listrik surya tak bisa diandalkan. Ia punya kepentingan; sejak ada PLTS, dagangan solarnya turun drastis. Ketika inverter PLTS rusak lama, ia tawarkan genset pinjaman kembali. Warga yang panik menerima. Keesokan harinya, entah bagaimana, beberapa panel surya terlihat retak seperti habis dipukul benda keras. Mungkinkah sabotase? Tak ada yang tahu pasti, pelakunya tak ketahuan. Tetapi jelas, ada resistensi terselubung dari mereka yang kehilangan keuntungan dengan kemandirian energi desa.
Tak lama berselang, datang pula kabar bahwa jaringan PLN konvensional akan diperluas hingga kecamatan dekat desa itu. Para pejabat lokal pun jadi kurang berminat urus PLTS yang dianggap proyek LSM semata. Benar saja, setahun kemudian tiang-tiang PLN masuk desa. Warga ditawari sambungan rumah tangga dengan janji subsidi. Tergiur listrik “tak terbatas” dari PLN, perlahan banyak yang kembali meninggalkan koperasi PLTS. Apalagi PLTS mereka sedang perlu perbaikan mahal dan tak ada biaya. Akhirnya, PLTS komunal itu terbengkalai, meski sebenarnya masih bisa diperbaiki. Cahaya matahari kalah oleh terangnya janji PLN. Desa kini terang benderang oleh listrik PLN yang — ironisnya — bersumber dari PLTU batu bara ratusan kilometer jauhnya.
Kisah di atas (disarikan dari berbagai kasus nyata PLTS desa di Indonesia) menunjukkan betapa transisi dari bawah berhadapan dengan kekuatan status quo dari atas maupun samping. Inisiatif energi terbarukan lokal bisa kandas bukan karena teknologinya buruk, tapi karena ekosistem politik-sosial tidak mendukung. Sabotase kecil-kecilan oleh mantan penyedia diesel mencerminkan bagaimana perubahan teknologi mengancam mata pencaharian lama, dan tanpa mediasi baik, bisa timbul konflik. Masuknya jaringan PLN menggambarkan dualitas: di satu sisi bagus desa terlistriki penuh, di sisi lain modelnya kembali sentralistik dan mematikan inisiatif lokal. Pengabaian pemerintah daerah menunjukkan kurangnya komitmen jangka panjang; mungkin bagi mereka, PLTS desa hanya proyek peresmian sesaat, bukan bagian visi besar.
Ada juga kisah lain: misal komunitas di Sumatera Barat yang berhasil membangun PLTMH (Pembangkit Listrik Mikrohidro) swadaya dan bertahan belasan tahun. Kuncinya, dukungan komunitas kuat dan lokasi jauh dari grid sehingga tak “diambil alih” PLN. Namun, ketika akhirnya jaringan PLN nasional masuk, seringkali pembangkit lokal jadi tersisih atau diminta integrasi (yang ujungnya kontrol ke PLN). Sabotase bisa datang dalam banyak bentuk: sabotase harfiah seperti merusak alat, atau sabotase struktural seperti regulasi yang mematikan inisiatif.
Contoh konkrit sabotase regulasi: pada 2018 banyak rumah tangga pasang PLTS atap didorong program pemerintah. Lalu tiba-tiba di 2020 aturan baru membatasi ekspor listrik ke PLN, membuat investasi PLTS atap jadi kurang menarik. Ini semacam sabotase halus oleh pembuat kebijakan yang mungkin terpengaruh lobi PLN atau IPP fosil. Demikian pula, ada laporan dulu di era 2010an, beberapa proyek biogas dan PLTS hibah pemerintah mangkrak karena begitu dibangun lalu ditinggal tanpa pendampingan — seakan sabotage by negligence. Sementara, di sisi lain, protes warga terhadap proyek PLTU sering dihadapi represif oleh aparat; di Batang, di Indramayu, aktivis lingkungan dikriminalisasi. Bila warga melawan kapitalisme fosil, mereka dianggap kriminal; tapi saat kapital merusak lingkungan, dianggap proyek strategis nasional. Realitas ini pahit tetapi nyata di banyak tempat.
Tekonologi alternatif butuh dukungan ekosistem dan keberpihakan politik supaya bisa bertahan. Demokratisasi energi mesti berakar di komunitas tetapi juga dilindungi di level atas. Jika tidak, insiden sabotase dan kooptasi akan berulang: yang kecil kalah oleh yang besar, yang baru dihancurkan oleh yang lama.
Apa Itu Demokratisasi Energi?
Demokratisasi energi berarti mengembalikan kekuasaan atas produksi, pengelolaan, dan konsumsi energi kepada rakyat banyak, alih-alih terpusat pada segelintir elit atau korporasi. Ia meliputi beberapa prinsip kunci. Pertama, desentralisasi dan kedaulatan komunitas: masyarakat lokal diberi kuasa dan kapasitas untuk mengelola sumber energi setempat (matahari, angin, mikrohidro, biomassa) sesuai kebutuhan mereka, bukan semata jadi penerima. Ini mirip dengan konsep commons yang diangkat Silvia Federici: bahwa sumber daya sebaiknya dikelola secara kolektif-demokratik untuk kesejahteraan bersama, bukan dikungkung logika pasar. Energi sebagai commons berarti, misalnya, listrik desa dikelola koperasi, keuntungan digunakan lagi untuk komunitas, bukan diambil investor jauh.
Kedua, keadilan dan inklusivitas: transisi energi harus memperbaiki, bukan memperburuk, ketimpangan sosial. Artinya program seperti surya atap harus diakses juga oleh golongan menengah-bawah (mungkin lewat subsidi atau model gotong royong), bukan hanya orang kaya di kota. Pekerja di sektor fosil (buruh tambang, dll) harus dilibatkan dalam perencanaan alih kerja ke sektor EBT agar tak timbul korban ekonomi (just transition). Dalam semangat Federici pula, memperhatikan “reproduksi sosial”: contohnya, memastikan perempuan yang sering jadi penanggung jawab urusan energi rumah tangga (memasak, mencari kayu bakar) mendapat manfaat dari transisi (seperti akses kompor listrik atau biogas yang meringankan beban kerja domestik). Demokratisasi energi tidak melupakan ranah domestik: energi bukan cuma urusan pabrik dan PLN, tapi dapur dan rumah tangga. Ketika ibu-ibu di kampung bisa memutuskan beralih dari kayu bakar ke biogas komunitas dan berdaya mengelolanya, itu bagian dari energi yang demokratis.
Ketiga, partisipasi deliberatif dalam pengambilan keputusan. Selama ini, proyek energi (mau PLTU atau PLTS) sering top-down. Demokratisasi berarti melibatkan warga dan pekerja dalam keputusan: apakah suatu wilayah lebih butuh PLTMH daripada PLTA besar, misalnya, mesti didiskusikan bersama. Mekanisme bisa melalui musyawarah lokal, energy planning partisipatif di level daerah, sampai forum nasional. Intinya, menantang monopoli keahlian para teknokrat. Di sini gagasan Feenberg relevan: ia bicara soal democratic rationalization, bahwa publik berhak menentukan arah teknologi, bukan ahli saja. Tentu publik perlu difasilitasi pengetahuan agar deliberasi berbobot. Mungkin ini terdengar idealis, tapi beberapa negara sudah mulai: di Jerman ada energi skala kota yang dikelola stadtwerke (BUMD dengan dewan termasuk perwakilan warga), di beberapa tempat lain ada citizens assembly on climate.
Keempat, diversifikasi kepemilikan dan model bisnis energi. Selain koperasi dan komunitas, bisa juga model BUMDes energi, perusahaan daerah, atau bahkan perusahaan nasional yang dikelola dengan mandat pelayanan bukan laba. Demokratisasi bukan berarti meniadakan peran negara, justru negara harus mendukung, tapi pola top-down diganti federatif. Bayangkan, jaringan listrik masa depan bisa saja berupa ribuan microgrid otonom yang saling terhubung minimal, di mana PLN bertransformasi jadi semacam koordinator plus penyedia jasa teknis, bukan monopoli supplier. Ini sejalan dengan apa yang oleh Andrew Feenberg disebut “desain ulang institusi teknologi untuk membebaskan potensi sosial”. Kita mendesain ulang kelembagaan energi: dari terpusat-birokratis menjadi terdesentralisasi-partisipatoris.
Kelima, keberlanjutan ekologis sebagai syarat utama, bukan efek samping. Artinya, arah energi ditentukan bukan oleh “mana yang paling profit”, tapi “mana yang selaras dengan daya dukung bumi dan keselamatan generasi mendatang”. Ini aspek demokratisasi juga karena menyuarakan kepentingan makhluk non-manusia dan generasi masa depan ke meja keputusan (di sinilah inspirasi Karen Barad dan Donna Haraway berguna: menghancurkan batas tegas manusia-alam, menyadari entanglement kita dengan ekologi). Haraway mendorong kita berpikir melampaui antroposentrisme, menuju perspektif interspecies; misal, keputusan energi perlu mempertimbangkan hak sungai, hutan, satwa — melalui juru bicara manusia seperti komunitas adat yang hidup berdampingan dengan alam. Tradisi kearifan lokal di Nusantara sebenarnya penuh prinsip begini (contoh: kearifan Dayak hindari eksploitasi berlebih hutan). Demokratisasi energi di sini bertemu dengan dekolonisasi lingkungan: mengakui pengetahuan lokal dan hak alam.
Tentu, mewujudkan hal-hal di atas menghadapi jalan terjal. Konstelasi kekuatan saat ini masih berat sebelah: oligarki fosil kuat, masyarakat sipil belum cukup terorganisir di isu energi, pemerintah cenderung pilih solusi mudah (investasi besar) ketimbang urus pemberdayaan komunitas. Namun, tanda-tanda harapan ada. Gerakan perlawanan PLTU dan tambang makin marak di berbagai daerah (Walhi dan jaringan NGO lingkungan giat mengadvokasi). Komunitas-komunitas dengan energi alternatif bermunculan: contoh, Desa Kamanggih di Sumba sejak 2015 mengelola listrik tenaga mikrohidro secara swadaya dan sukses jadi inspirasi desa lain; atau koperasi pengguna surya atap di perkotaan yang mulai menyuarakan hak prosumer. Akademisi dan aktivis mulai menggodok konsep “kedaulatan energi” yang intinya senada dengan demokratisasi energi. Bahkan serikat pekerja PLN pun belakangan bersuara agar transisi energi tidak berujung privatisasi penuh (mereka khawatir liberalisasi hanya pindahkan monopoli ke swasta asing). Ini peluang untuk aliansi unik: pekerja, komunitas, lingkungan, sama-sama ingin model transisi yang adil dan demokratis, bukan sekadar kapitalistik.
Demokratisasi energi bukan utopia tanpa bentuk: bayangannya sudah mulai tergambar. Mungkin sulit membayangkan Indonesia tanpa PLN tunggal. Tetapi bisa saja, misal 20 tahun ke depan PLN berubah menjadi Independent System Operator yang mengatur lalu lintas listrik, sementara pembangkit dimiliki ribuan entitas kecil termasuk komunitas lokal. Tugas pemerintah memastikan standardisasi dan solidaritas antardaerah (misal daerah surplus membantu daerah defisit lewat grid). Energi masa depan bisa menjadi seperti internet: dulunya terpusat militer, kini jaringan desentral yang saling terhubung dengan protokol terbuka. Energi yang demokratis akan membuat setiap warga tak hanya konsumen tapi juga produsen (prosumen), dan yang tak bisa produksi tetap mendapat hak akses karena energi dianggap hak asasi, disubsidi silang oleh komunitas yang lebih mampu.
Lalu, siapa yang seharusnya memegang “saklar” kekuasaan atas energi? Apakah segelintir elit, atau kita bersama? Bagi saya, jawaban yang adil dan lestari hanya bisa tercapai jika saklar itu berada di tangan kolektif rakyat, dengan mekanisme yang menjamin tak seorang pun dibiarkan dalam gelap.
Renanda Yafi adalah seorang insinyur tenaga listrik.